Tuhan dalam Teori
9/11/2015
Seorang remaja Amerika suatu hari keluar
rumah untuk jalan-jalan bersama tiga orang kawannya. Sewaktu pamitan, ibunya
berpesan: “Semoga Tuhan bersama kalian”. Anaknya dengan ringan menjawab: “Tuhan
boleh ikut asal mau di bagasi”. Dalam perjalanan, mobil yang dinaiki anaknya
mengalami kecelakaan hebat. Anak remaja itu meninggal dunia, mobilnya hancur,
tapi bagasinya masih utuh.
Bagi seorang mukmin kisah ini sudah
membuktikan adanya Tuhan. Tapi kisah kecelakaan maut itu hanya sekelumit dari
jutaan kisah ateisme yang melanda masyarakat Barat. Asalnya adalah buah pikiran
para intelektual yang menjadi teori. Buah pikiran itu lalu dipraktikkan
dalam dunia pendidikan dan hasilnya adalah lahirnya pandangan hidup masyarakat.
Namun satu setengah dekade lalu, dosen
dan mahasiswa di beberapa universitas di Barat mulai siuman. Pada tahun
1990, Jeff, misalnya, seorang mahasiswa pascasarjana program pendidikan
matematika University of New York di Bufallo mengeluh. Ia sering seminar
di fakultasnya tentang asas filosofis teori konstruksi dalam pendidikan
matematika. Namun di situ worldview yang dominan adalah sikap agnostic (inkar
Tuhan) dan faham relativisme postmodern (alias ragu pada kebenaran).
Sebagai seorang Katholik, Jeff
terdorong untuk mengikuti saran Francis Schaeffer agar setiap komunitas
intelektual melibatkan sudut pandang Kristen. Jeff lalu mencoba menawarkan ide
dalam seminar itu. “Tuhan yang berwujud Trinitas, adanya berbagai macam bahasa
dan kemampuan manusia berkomunikasi dengan bahasa perlu dipertimbangkan sebagai
komponen kunci untuk memahami ide-ide matematis”, katanya. Tak pelak lagi,
kawan-kawan sekelasnya resisten alias menolak. Alasan mereka, karena
agnostisisme adalah jawaban tepat perihal Tuhan. Bagi mereka tidak
mungkin aspek teologi bersatu dengan teori tentang konstruksi ilmu pengetahuan
manusia.
Di Northern Illinois University
kasusnya mirip. Dave yang menyelesaikan dissertasinya di situ pun gelisah.
Pasalnya para mahasiswa dan dosen umumnya berfaham konstruksionisme yang
didasari pada relativisme intelektual dan moral. Konstruksionisme adalah teori
ilmu pengetahuan dalam sosiologi dan teori komunikasi yang mengkaji
perkembangan pemahaman yang tercipta secara bersama tentang dunia.
Kegelisahan ini dia tuangkan dalam bab
pendahuluan dissertasinya. Ia lalu diuji oleh empat orang Kristen dan
seorang Yahudi Orthodok. Tapi herannya keempat penguji Kristen itu sepakat
dengan Dave. Sedangkan penguji Yahudi justru yang menganggap tidak ada
masalah dan bahkan sepakat dengan relativisme intelektual dan moral.
Sikap agnostic atau
inkar dan ragu akan wujud Tuhan dalam kehidupan intelektual Amerika adalah
wajar. Karena negara itu adalah negara sekuler liberal dan bukan negara agama.
Itulah masalahnya. Sekuler karena memisahkan agama dari ranah sosial,
intelektual dan politik. Liberal karena semua orang bebas beragama dan juga
bebas tidak beragama.
Namun, kerancuan ilmu sekuler mulai
disadari. Seorang pakar studi Islam dari Georgetown University, John L Esposito
dalam Seminar Islamic Philosophy and Science di Penang
Malaysia tahun 1989 mengakui hal itu. John menyatakan bahwa Barat kini
mengalami deadlock, karena telah menarik dua garis lurus dari makna
dua realitas: empiris dan rasio. Dua garis lurus itu tidak akan pernah bertemu.
Dua garis itu ini dalam bahasa Descartes disebut extended substance dan rational
substance. Artinya realitas itu ada dua yang empiris-nyata dan yang
rasional. Esposito mungkin juga setuju bahwa deadlock itu
karena dikotomi ilmu dan agama, atau agama dan politik.
Kembali ke soal teori berfikir.
Dengan worldview ateis Lev Vygotsky, psikolog asal Rusia
menggambarkan proses psikologis fikiran manusia. Ia memperkenalkan konsep zona
perkembangan proximal (terdekat) atauproximal development. Artinya,
dalam proses pembelajaran seorang anak ada sebuah area di mana anak tersebut
harus diberikan bantuan eksternal untuk dapat belajar. Ini merupakan pelengkap
dari cara-cara tradisional yang disebut perkembangan aktual (actual
development), yaitu proses mengetahui secara mandiri tanpa dibantu.
Teori Vygotsky ini bagi komunitas
peneliti pendidikan matematika adalah upaya mengkaitkan ilmu dengan interaksi
sosial. Tapi ini juga merupakan kritik terhadap penganut aliran konstruksionis
radikal yang mengklain bahwa ilmu itu dapat muncul dari dalam fikiran seseorang
ketika ia menafsirkan pengalaman dan lingkungannya. (1978, pp. 88-91).
Pandangan Vygotsky berkembang di lingkungan budaya Marxist Soviet antara tahun
1915 dan 1935. Sudah barang terntu pandangan ini berasal dari sistim pemikiran
dialektika Hegel. Hegel mengingkari hubungan agama wahyu , termasuk wujud
Tuhan, dengan teori tentang perkembangan pemikiran dan ilmu pengetahuan
manusia. (Lihat McTaggart, J. M. E.. Studies in the Hegelian dialectic (2d
reprinted ed.), Kitchener, Ontario: Batoche Books. 2000, 222-225).
Nampaknya yang disoal Jeff dan Dave
adalah teori-teori semacam Vygotsky ini. Maka waja jika disana ada gugatan
akademis terhadap konsep mengetahui yang dikotomis dan ateis itu. Logikanya
seperti sebuah premis jika-maka. Jika ilmu pengetahuan bisa dikembangkan
berdasarkan worldview sekuler, mengapa tidak bisa dikembangkan
dengan worldview religius. Begitu misi yang dibawa Jeff dan
Dave. Jika agama menjanjikan kesalehan perilaku maka disana mesti ada kesalehan
berfikir. Dengan kata lain jika teori konstruksionisme Vygotsky bisa diterima
maka teori yang berbasis pada keyakinan suatu agama juga harus diterima.
Logika inilah yang ditangkap
Howell, R.W. dan Bradley, W.J. Keduanya lalu mengedit dan menerbitkan
kumpulan makalah tentang proses berfikir yang ia beri judul Mathematics
in a Postmodern Age: A Christian Perspective , Grand Rapids, MI: William
B. Eerdmans Publishing Company (2001). Intinya buku ini menawarkanworldview Kristen
untuk dipakai menguji berbagai sudut pandang yang secara epistemologis teapat.
Misalnya untuk menguji bagaimana anak-anak mengetahui dengan merujuk informasi
dari firman sang Pencipta.
Dalam Islam istilah ilm telah
memiliki konotasi dan denotasi iman. Iman memiliki konsekuensi amal. Obyek ‘ilm adalah
semua realitas wujud, baik empiris maupun non empiris. Karena luasnya makna ilm maka
obyekilm pun tidak terbatas. Ilm pun tidak
terdefinisikan, meski dapat digambarkan. Tuhan berada di semua obyek ilmu,
karena semua itu bagian dari ciptaannya. Maka dari itu pertanyaan dimana posisi
Tuhan dalam epistemologi Islam adalah absurd, apalagi dalam
kehidupan sosial.
Nampaknya kisah kecelakaan itu bisa
bersifat metaforis. Maksudnya, jika “menaruh” tuhan di bagasi saja telah
membawa maut, maka membuang “tuhan” dari fikiran, sekolahan, lembaga pendidikan
dan masyarakat juga akan membawa kematian peradaban. Mungkin, karena keprihatinan
situasi itu maka Dogulas Haddows menulis essai berjudul Hipster: The
Dead End of Western Civilization.
Oleh: Hamid Fahmi Zarkasyi
Tulisan pernah dimuat di Jurnal Islamia Vol. IX No. 1 tahun 2014
Sumber: inpasonline.com
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload