Quraish Shihab Syi'ah? Ini Fatwa Beliau tentang Syi'ah
9/17/2015
Tidak sedikit orang
mencurigai Prof. Dr. Quraish Shihab sebagai seorang Syi’ah. Kecurigaan ini
tidak hanya berasal dari pihak luar (baca: orang yang berseberangan), namun
juga berasal dari pihak dalam (orang yang sepemikiran). Jika dilihat sepintas,
memang sepak terjang Quraish Shihab sangat dekat dengan syi’ah. Terlebih ketika
beliau menulis buku ‘Sunni-Syi’ah bergandengan tangan, mungkinkah?’, yang
dengan cepat dijawab oleh para penulis dari Pondok Sidogiri dengan jawaban
telak.
Lalu benarkah Prof. Dr. Quraish
Shihab orang syi’ah?
Setelah penulis telusuri,
sungguh sangkaan itu sepertinya jauh dari benar. Terlebih Quraish Shihab
sendiri pernah berfatwa tentang syi’ah. Lalu bagaimana isi fatwanya? Di dalam
buku ‘Fatwa-Fatwa; Seputar Wawasan Agama’ yang dikarangnya, Quraish Shihab
ditanya tentang perbedaan antara ahlussunnah dengan syi’ah.
“Kiranya
Bapak dapat menjelaskan kepada kami dengan terperinci tentang makna ahlussunnah
dan syi’ah serta perbedaan antara keduanya. Oleh karena itu, selama ini sangat
marak di daerah kami diskusi yang sering mengakibatkan pertengkaran dan
permusuhan yang tidak jarang merembet kepada orang tua,”
demikian pertanyaan Ahmad Munif, dkk dari Pekalongan dalam buku tersebut.
Dalam menjelaskan
ahlussunnah dan syi’ah, Quraish Shihab menukil pendapat Abdul Qahir bin Thahir
al-Baghdadi dalam al-Furqan baina
al-Firaq. Bahwa, ada delapan macam golongan ahlussunnah dan ada lima belas
prinsip pokok yang harus terpenuhi. Prinsip-prinsip itu pun belum tentu
disepakati, namun demikian mereka tidak saling mengafirkan atau
sesat-menyesatkan.
Demikian pula syi’ah,
terbagi menjadi puluhan kelompok. Oleh pengarang al-Farqu baina al-Firaq membaginya menjadi empat kelompok besar
yang hanya dua saja yang bisa dimasukkan ke dalam umat Islam.
Perbedaan
Ahlussunnah dan Syi’ah
Banyak perbedaan antara
ahlussunnah dan syi’ah, baik dalam perkara ushul
ataupun furu’. Dalam banyak perbedaan
itu, Quraish Shihab pun menyebutkan tiga perbedaan besar antara ahlussunnah dan
syi’ah, yaitu imamah, sikap terhadap
sahabat Nabi, dan sikap terhadap pemerintah.
Sambil menyetir perkataan Muhammad
Husain Kasyif al-Ghitha’, tokoh syiah kenamaan, penulis tafsir al-Mishbah ini
menyatakan bahwa imamah adalah “suatu
jabatan yang bersumber dari Tuhan seperti kenabian, yakni sebagaimana Tuhan
memilih siapa yang dikehendaki dari hamba-hambaNya untuk tugas kenabian dan
kerasulan yang didukungNya dengan mukjizat yang menjadi sebagai nash dari Tuhan
untuknya.… Imamah berkelanjutan sampai dua belas. Setiap pendahulu menetapkan
imam berikutnya. Dan mereka disyaratkan ma’shum dari kesalahan dan dosa
sebagaimana Nabi, karena kalau tidak,
tentulah kepercayaan akan hilang. (Kasyif al-Ghitha’, h. 103)
Jika dibandingkan dengan
ahlussunnah terhadap pemahaman imamah syi’ah di atas. Maka, sebenarnya kedua
belas tokoh yang diakui oleh kelompok Imamiyah juga mendapat tempat terhormat
di kalangan ahlussunnah. Akan tetapi, tugas-tugas imamah yang disandangkan kepada mereka diyakini oleh ahlussunnah sebagai amat berlebihan. Disamping itu,
sebagian dari ucapan-ucapan yang dinisbahkan kepada mereka sebagai hal-hal yang
mengada-ada.
Demikian juga, dari
keyakinan syi’ah terhadap imamah itu
setidaknya ada tiga butir yang tidak bisa diterima oleh ahlussunah. Pertama, bahwa Nabi belum menyampaikan
seluruh ajaran, ada yang disembunyikan untuk imamnya. Kedua, imam berwenang untuk mengecualikan apa yang disampaikan
Rasulullah. Ketiga, imam memiliki
kedudukan yang sama dengan nabi.
Kemudian perbedaan yang
kedua, yaitu mengenai sikap terhadap sahabat Nabi; pengarang tafsir al-Mishbah ini
pun menjelaskan bahwa ahlussunnah meyakini bahwa seluruh sahabat Nabi memiliki
sifat ‘adalah. Sebaliknya, syi’ah
tidak menerima hal itu. Mereka hanya menerima apa yang bersumber dari imam-imam
mereka. Adapun hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Nabi semisal Abu
Hurairah, Samurah bin Jundub, dan lainnya semua ditolak. Bahkan, mereka menilai
sebagian sahabat Nabi adalah pembohong atau orang-orang munafik. Bukan itu saja,
bahkan sebagian mereka mengutuk para sahabat yang dianggap melakukan
pelanggaran agama, atau merampas hak kekhalifahan dari imam Ali bin Abi Thalib.
Quraish
Shihab Memperingatkan Pemerintah agar Mewaspadai Aksi Revolusi Syi’ah
Perbedaan yang ketiga yang
dijelaskan Quraish Shihab antara ahlussunnah dan syi’ah adalah sikapnya kepada
pemerintah. Ahlussunnah dalam masalah hubungan Pemerintah dengan rakyat
memiliki pemahaman yang tawazun dan mutawassit. Memang benar, bahwa
ahlussunnah dan syiah, keduanya mensyarakat agar pemimpin itu harus bisa
berbuat adil.
Namun demikian,
ahlussunnah ketika menyikapi pemerintahan yang zalim tidak serta merta memerintahkan
untuk memberontak. Sikap memberontak bagi ahlussunnah atas pemimpinnya itu sangat
diminimalisir sedemikian rupa, kecuali bila melihat kekufuran yang amat nyata
dan ada alasan pembenaran yang pasti dari Allah dari perilaku pemimpinnya itu.
Hal itu didasari agar tidak terjerumus pada mudarat yang lebih besar, yaitu
kekacauan. Oleh karenanya, ahlussunnah memiliki prinsip “Pemerintah yang
berlaku aniaya lebih baik daripada kekacauan. Keduanya tidak ada segi
kebaikannya, namun dalam kejelekan pun terdapat pilihan.”
Pandangan ini berbeda
dengan keyakinan syi’ah. Mereka tidak bersedia bekerjasama dengan pemerintah
yang aniaya sedikitpun. Akibatnya, mereka tidak segan-segan memberontak kepada
pemerintah yang ada. Bahkan Khomeini memperingatkan para ulama syi’ah untuk
tidak segan-segan mengangkat senjata. Atas dasar ini, maka kita akan menjumpai
banyak sekali pemberontakan yang dikobarkan oleh Syi’ah dari dahulu hingga
sekarang sehingga negeri itu menjadi kacau, tak menentu.
Akhirnya terhadap tiga
perbedaan ini, Quraish Shihab pun memberikan nasehat agar tidak memaparkan
kepada masyarakat sesuatu yang dapat menimbulkan keresahan.
“Kalaupun –seandainya- kita
menoleransi sebagian ajaran-ajarannya (ajaran-ajaran syi’ah), yang pasti, bila
itu dipaparkan kepada masyarakat, maka akan timbul keresahan dan penolakan,”
paparnya.
Bahkan, Quraish Shihab pun
meminta pemerintah untuk mewaspadai aksi revolusi Syi’ah dengan menjelaskan:
“Kewajiban pemerintah antara lain
adalah memelihara ketenangan masyarakat sehingga tidak terusik dengan aliran
atau pandangan yang tidak sejalan dengan pandangan mereka. Ini belum lagi jika
diduga akan adanya ekspor revolusi atau memfungsikan ulama dan ahli-ahli fikih
sama dengan fungsi yang digariskan di atas, yaitu memikul senjata dan
mengumumkan perang.”
Wallahu a’lam
Oleh: Ibram Han
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload