Komite Hijaz, Cikal Bakal NU
9/16/2015
Panitia kecil yang dibentuk para ulama
sebagi respon atas perkembangan sosial politik Islam di Hijaz (Saudi Arabia).
Komite Hijaz dibentuk pada bulan Januari 1926. Panitia ini bertugas untuk
merumuskan sikap para ulama ahlussunnah wal jama’ah serta mempersiapkan
pengiriman delegasi ke Muktamar Islam di Makkah yang digagas Ibnu Saud,
penguasa baru Hijaz, dengan menghubungi para ulama terkemuka di Jawa dan
Madura.
Pembentukan Komite Hijaz dilatarbelakangi
oleh kemenangan Ibnu Saud (penguasa Najed) atas Syarif Husen (peguasa Hijaz)
pada tahun 1924 di tanah hijaz yang mencakup Makkah dan Madinah. Kemenangan
Ibnu Saud yang beraliran Wahabi membuat kecemasan di kalangan ulama Ahlissunah
wal Jama’ah karena mulai tersiar kabar tentang pelarangan ziarah ke makam Nabi,
pembongkaran makam Nabi dan sahabat, pelanggaran kemerdekaan bermadzhab di
wilayah Hijaz, dan lain-lain. Apalagi saat itu para ulama dan santri yang mukim
di Haramain mulai pindah atau pulang ke negara masing-masing.
Di dalam negeri juga terjadi dinamika
sebagai respons atas situasi politik internasional tersebut. Para tokoh Sarekat
Islam, Muhammadiyah, al Irsyad, dan lain-lain yag tergabung dalam kongres Islam
juga mempersiapkan tim untuk berangkat ke Muktamar Islam Dunia. Namun, umumnya
mereka tidak terlalu memperhatikan kegelisahan para ulama Ahlussunah wal
jama’ah.
Kiai Wahab Hasbullah atas restu Hadratusy
Syaikh Hasyim Asy’ari, kemudian berinisiatif membentuk panitia guna
memperjuangkan misi mempertahankan kemerdekaan bermadzhab di tanah Hijaz.
Susunan panitia yang dikenal dengan nama Komite Hijaz tersebut adalah:
Penasehat: K.H. Abdul Wahab Hasbullah; K.H.
Masyuri; K.H. Cholil Lasem
Ketua: Hasan Gipo
Wakil Ketua: H. Sholeh Syamil
Sekretaris: Muhammad Shodiq
Pembantu: K.H. Abdul Halim
Pada 31 Januari 1926 (16 Rajab 1344) komite
mengadakan rapat di rumah Kiai Wahab Hasbullah di Kertopaten, Surabaya. Rapat
ini dihadiri oleh para ulama terkemuka seperti K.H. Hasyi Asy’ari, K.H. Asnawi
Kudus, K.H. Bisri Syansuri, K.H. Nawawi Pasuruan, K.H. Ridwan Semarang, K.H.
Maksum Lasem, K.H. Nahrawi Malang, H. Ndoro Muntaha, K.H. Abdul Hamid Faqih
Sedayu Gresik, K.H. Abdul Halim Leuwimunding, Cirebon, K.H. Ridwan Abdullah,
K.H. Mas Alwi, K.H. Abdullah Ubaid Surabaya, Syaikh Ahmad Ghanaim al Misri dari
Mesir, dan lain-lain. Para ulama dalam rapat ini sepakat menunjuk K.H. Raden
Asnawi Kudus sebagai delegasi Komite Hijaz. Karena dibutuhkan adanya lembaga
formal yang akan diwakili oleh delegasi, maka dibentuklah Jam’iyah Nahdlatul
Ulama. Nama Nahdaltul Ulama diusulkan oleh K.H. Mas Alwi.
Rapat ini juga menghasilkan rumusan yang
akan disampaikan langsung kepada Ibnu Saud sebagai berikut:
Pertama, memohon diberlakukan kemerdekaan
bermadzhab di Negeri Hijaz pada salah satu dari madzhab empat, yakni Hanafi,
Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Atas dasar kemerdekaan bermadzhab tersebut
hendaknya dilakukan giliran antara imam-imam shalat Jum’at di Masjidil Haram
dan hendaknya tidak dilarang pula masuknya kitab-kitab yang berdasarkan madzhab
tersebut di bidang tasawuf, aqaid, maupun fiqih kedalam Negeri Hijaz, seperti
karangan Imam Ghazali, Imam Sanusi, dan lain-lainnya yang sudah terkenal
kebenarannya. Hal tersebut tidak lain adalah semata-mata untuk memperkuat
hubungan dan persaudaraan umat Islam yang bermadzhab sehingga umat Islam
menjadi sebagai tubuh yang satu, sebab umat Muhammad tidak akan bersatu dala
kesesatan.
Kedua, memohon untuk tetap diramaikan
tempat-tempat bersejarah yang terkenal sebab tempat-tempat tersebut diwakafkan
untuk menjadi masjid seperti tempat kelahiran Siti Fatimah dan bangunan
Khaezarun dan lain-lainnya berdasarkan firman Allah, “Hanyalah orang yang
meramaikan Masjid Allah orang-orang yang beriman kepada Allah” dan firman-Nya
“Dan siapa yang lebih aniaya daripada orang menghalang-halangi orang lain untuk
menyebut nama Allah dalam masjidnya dan berusaha untuk merobohkannya.” Di
samping untuk mengambil ibarat dari tempat-tempat bersejarah tersebut.
Ketiga, memohon agar disebarluaskan ke
seluruh dunia, setiap tahun sebelum datangnya musim haji mengenai
tariff/ketentuan biaya yang harus diserahkan oleh jama’ah kepada syaikh dan
muthawwif dari mulai Jeddah sampai pulang kembali ke Jeddah. Dengan demikian,
orang yang akan menunaikan ibadah haji dapat menyediakan perbekalan yang cukup
buat pulang-perginya dan agar mereka tidak dimintai lagi lebih dari ketentuan
pemerintah.
Keempat, memohon agar semua hukum yang
berlaku di Negeri Hijaz, ditulis dalam bentuk undang-undang agar tidak terjadi
peelanggaran terhadap undang-undang tersebut.
Kelima, Jam’iyah Nahdlatul Ulama memohon
balasan surat dari Yang Mulia yang menjelaskan kedua orang benar-benar
menyampaikan surat mandatnya dan permohonan-permohonan NU kepada Yang Mulia dan
hendaknya surat balasan tersebut diserahkan kepada kedua delegasi tersebut.
Pada akhirnya K.H. Asnawi batal berangkat
karena kapal yang akan ditumpangi sudah terlebih dulu berangkat ke Makkah,
kemudian K.H. Abdul Wahab Hasbullah berinisiatf mengirim mosi ke muktamar di
Makkah melalui telegram. Tidak hanyaitu, NU kemudian memutuskan untuk mengirim
delegasi ke Makkah untuk langsung menemui Ibnu Saud dan menyampaikan hal-hal
tersebut di atas. Kali ini yang menjadi delegasi adalah K.H. Wahab Hasbullah
dan Syaikh Ahmad Ghanaim al Amiri al Mishri. Pada tanggal 10 Mei 1928 (20
Dzulqo’dah 1346) keduanya diterima oleh Ibnu Saud dan menyampaikan aspirasi
tersebut.
Sumber:
Ensiklopedia Nahdlatul Ulama, yang disadur oleh mequran.com
Gambar terambil
dari kmnu.or.id
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload