Islam Pesisir dan Islam Pedalaman
9/08/2015
Islam pesisir dan Islam
pedalaman memang pernah memiliki konflik yang keras terutama di masa awal
Islamisasi Jawa, yaitu ketika pusat kerajaan Demak di pesisir kemudian beralih
ke pusat kerajaan Pajang di pedalaman. Ketika Aryo Penangsang yang didukung
oleh Sunan Kudus kalah melawan Pangeran Hadiwijaya yang didukung oleh Sunan
Kalijaga, maka mulai saat itulah sesungguhnya terjadi rivalitas
pesisiran-pedalaman. Namun seiring dengan perubahan sosial-budaya-politik, maka
varian Islam pesisiran dan Islam pedalaman pun bergeser sedemikian rupa.
Perubahan itu terjadi karena factor politik yang sering menjadi variabel
penting dalam urusan rivalitas tidak lagi dominan dalam wacana dan praktik
kehidupan masyarakat.
Islam pesisiran sering
diidentifikasi lebih puris ketimbang Islam pedalaman. Gambaran ini tidak
sepenuhnya benar, mengingat bahwa di Indonesia –khususnya Jawa—varian-varian
Islam itu dapat dilihat sebagai realitas sosial yang memang unik. Sehingga
ketika seseorang berbicara tentang Islam pesisir pun tetap ada varian-varian
Islam yang senyatanya menggambarkan adanya fenomena bahwa Islam ketika berada
di tangan masyarakat adalah Islam yang sudah mengalami humanisasi sesuai dengan
kemampuannya untuk menafsirkan Islam. Demikian pula ketika berbicara tentang
Islam pedalaman, hakikatnya juga terdapat varian-varian yang menggambarkan
bahwa ketika Islam berada di pemahaman masyarakat maka juga akan terdapat
varian-varian sesuai dengan kadar paham masyarakat tentang Islam.
Sesungguhnya,
varian-varian Islam itulah yang menjadikan kajian tentang Islam Nusantara
–khususnya Jawa—menjadi menarik tidak hanya dari perspektif politik saja tetapi
juga sosiologis-antropologis. Tak ayal lagi, maka kajian tentang Islam Jawa
juga memperoleh tempat yang sangat penting dalam dunia kajian ilmiah.
Karya-karya tentang Islam
Jawa terus bermunculan, terutama dalam perspektif sosiologis-antropologis.
Semenjak Geertz melakukan kajian tentang The Religion of Java, maka kajian
terus berlanjut, baik yang bersetuju dengannya ataukah yang menolaknya. Tulisan
ini secara sengaja mengambil titik tolak kajian Geertz yang disebabkan oleh konsep trikhotominya
ternyata memantik banyak perdebatan
tentang Islam Indonesia. Terlepas dari
kelebihan atau kelemahan konsepsi Geertz, namun perlu digarisbawahi
bahwa konsepsi Geertz tentang Islam Jawa banyak menjadi sumber inspirasi untuk
kajian Islam Indonesia.
Perdebatan Konseptual Islam Indonesia
Kajian Islam dan masyarakat telah banyak dilakukan
semenjak tahun 1950an. Berbagai karya
monumental pun telah banyak dihasilkan, misalnya Clifford Geertz, “The Javanese Religion”. Konsep yang
dihasilkan dari kajian ini adalah penggolongan sosial budaya berdasarkan aliran
ideologi. Konsep aliran inilah kemudian hampir seluruh pengkajian tentang
masyarakat dan penggolongan sosial, budaya, ekonomi dan bahkan politik.. Pada
masyarakat Jawa, aliran ideologi berbasis pada keyakinan keagamaan. Abangan
adalah mewakili tipe masyarakat pertanian perdesaan dengan segala atribut
keyakinan ritual dan interaksi-interaksi tradisional yang dibangun diatas pola
bagi tindakannya. Salah satu yang mengedepan dari konsepsi Geertz adalah
pandangannya tentang dinamika hubungann antara islam dan masyarakat Jawa yang
sinkretik. Sinkretisitas tersebut nampak dalam pola dari tindakan orang Jawa
yang cenderung tidak hanya percaya terhadap, hal-hal gaib dengan seperangkat
ritual-ritualnya, akan tetapi juga pandangannya bahwa alam diatur sesuai dengan
hukum-hukumnya dengan manusia selalu terlibat di dalamnya. Hukum-hukum itu yang
disebut sebagai numerologi. Melalui numerologi inilah manusia melakukan
serangkaian tindakan yang tidak boleh bertentangan dengannya. Hampir seluruh
kehidupan orang Jawa disetting berdasarkan hitungan-hitungan yang diyakini
keabsahannya. Kebahagiaan atau ketidakbahagian hidup di dunia ditentukan oleh
benar atau tidaknnya pedoman tersebut dilakukan dalam kehidupan. Penggunaan
numerologi yang khas Jawa itu menyebabkan adanya asumsi bahwa orang jawa tidak
dengan segenap fisik dan batinnya ketika memeluk Islam sebagai agamanya. Di
sinilah awal mula “perselingkuhan” antara dua keyakinan: Islam dan budaya Jawa.
Dari sekian banyak
Indonesianis, maka Clifford Geertz adalah orang yang memiliki sumbangan luar
biasa dalam kajian masyarakat Indonesia. Berkat kajian-kajian yang dilakukan
maka Indonesia bisa menjadi lahan amat penting bagi studi-studi
sosiologis-antropologis yang mengdepan. Berkat sumbangan akademisnya itulah
maka Geertz dianggap oleh banyak kalangan sebagai pembuka jendela kajian Indonesia.
Geertz adalah sosok luar biasa yang dapat melakukan modifikasi konseptual.
Melalui kemampuan modifikasinya itu, ia menemukan hubungan antara sistem
simbol, sistem nilai dan sistem evaluasi. Ia dapat menyatukan konsepsi kaum
kognitifisme yang beranggapan bahwa kebudayaan adalah sistem kognitif, sistem
makna dan sistem budaya, maka agar tindakan bisa dipahami oleh orang lain, maka
harus ada suatu konsep lain yang menghubungkan antara sistem makna dan sistem
nilai, yaitu sistem simbol. Sistem makna dan sistem nilai tentu saja tidak bisa
dipahami oleh orang lain, karena sangat individual. Untuk itu maka harus ada
sebuah sistem yang dapat mengkomunikasikan hubungan keduanya, yaitu sistem
simbol. Melalui sistem simbol itulah sistem makna dan sistem kognitif yang
tersembunyi dapat dikomunikasikan dan kemudian dipahami oleh orang lain.[1]
Geertz adalah ilmuwan yang memiliki minat kajian yang sangat variatif. Ia tidak
hanya mengkaji persoalan agama dan masyarakat dalam perspektif sosiologis atau
antropologis, tetapi juga mengkaji sejarah sosial melalui kajiannya tentang
perubahan sosial di dua kota di indonesia. Ia juga mengkaji masalah ekonomi.
Melalui kajiannya tentang ekonomi masyarakat pedesaan Jawa, ia menghasilkan
teori yang hingga dewasa ini masih diperbincangkan, yaitu teori involusi.
Salah satu kehebatan
sebuah karya adalah jika karya itu dibicarakan dan dijadikan sebagai bahan
rujukan berbagai karya yang datang berikutnya. Salah satu karya yang banyak
mendapatkan sorotan itu adalah karya Geertz tentang konsep agama Jawa tersebut.
Kajian Geertz memantik berbagai reaksi, baik yang pro maupun yang kontra. Di
antara yang menolak konsepsi Geertz adalah Harsya Bachtiar, ahli sejarah
sosial, yang mencoba mengkontraskan konsepsi Geertz dengan realitas sosial. Di
antara konsepsi yang ditolaknya adalah mengenai abangan sebagai kategori
ketaatan beragama. Abanganadalah lawan dari mutihan, sebagai kategori ketaatan
beragama dan bukan klasifikasi sosial. Demikian pula konsep priyayi juga
berlawanan dengan wong cilik dalam penggolongan sosial. Jadi, terdapat
kekacauan dalam penggolongan abangan, santri dan priyayi.[2]
Namun demikian, anehnya
konsepsi Geertz tersebut hingga sekarang menjadi acuan utama dalam berbagai
kajian tentang Islam dan masyarakat di Indonesia. Di antara kajian yang menolak
konsepsi Geertz adalah Mark R. Woodward dalam tulisannya yang bertopik “Islam
in Java: Normative Piety and Mysticism
in the Sultanate of Jogyakarta,” 1985 dan telah diterjemahkan ke dalam edisi
Indonesia dengan topik “Islam Jawa: Kesalehan versus Kebatinan Jawa”, 2001.
Karya ini merupakan sanggahan terhadap konsepsi Geertz bahwa Islam Jawa adalah
Islam sinkretik yang merupakan campuran antara Islam, Hindu Budha dan Animisme.
Dalam kajiannya tentang Islam di pusat kerajaan yang dianggap paling sinkretik
dalam belantara keberagamaan (keislaman) ternyata justru tidak ditemui unsur
sinkretisme atau pengaruh ajaran Hindu Budha di dalamnya. Melalui kajian secara
mendalam terhadap agama-agama di Hindu di India, yang dimaksudkan sebagai kacamata
untuk melihat Islam di Jawa yang dikenal sebagai paduan antara Hindu, Islam dan
keyakinan lokal, maka ternyata tidak ditemui unsur tersebut didalam tradisi
keagamaan Islam di Jawa, padahal yang dikaji adalah Islam yang dianggap paling
lokal, yaitu Islam di pusat kerajaan, Jogyakarta. Melalui konsep aksiomatika
struktural, maka diperoleh gambaran bahwa Islam Jawa adalah Islam juga, hanya
saja Islam yang berada di dalam konteksnya. Islam sebagaimana di tempat lain
yang sudah bersentuhan dengan tradisi dan konteksnya. Islam Persia, Islam
Maroko, Islam Malaysia, Islam Mesir dan sebagainya adalah contoh mengenai Islam
hasil bentukan antara Islam yang genuin Arab dengan kenyataan-kenyataan sosial
di dalam konteksnya. Memang harus diakui bahwa tidak ada ajaran agama yang
turun di dunia ini dalam konteks vakum budaya. Itulah sebabnya, ketika islam
datang ke lokus ini, maka mau tidak mau juga harus bersentuhan dengan budaya
lokal yang telah menjadi seperangkat pengetahuan bagi penduduk setempat.[3]
Woodward memperoleh
banyak dukungan, misalnya dari Muhaimin,[4] yang mengkaji Islam dalam konteks
lokal. Dalam kajiannya terhadap Islam di Cirebon melalui pendekatan alternatif,
ditemukan bahwa Islam di Cirebon adalah Islam yang bernuansa khas. Bukan Islam
Timur Tengah yang genuin, tetapi Islam yang sudah bersentuhan dengan konteks
lokalitasnya. Islam di Cirebon adalah Islam yang melakukan akomodasi dengan
tradisi-tradisi lokal, seperti keyakinan numerologi atau hari-hari baik untuk
melakukan aktivitas baik ritual maupun non ritual, meyakini tentang
makhluk-makhluk halus, serta berbagai ritual yang telah memperoleh sentuhan
ajaran Islam. Ada proses tarik menarik bukan dalam bentuknya saling mengalahkan
atau menafikan, tetapi adalah proses saling memberi dalam koridor saling
menerima yang dianggap sesuai. Islam tidak menghilangkan tradisi lokal selama
tradisi tersebut tidak bertentangan dengan Islam murni, akan tetapi Islam juga
tidak membabat habis tradisi-tradisi lokal yang masih memiliki relevansi dengan
tradisi besar Islam (Islamic great tradition).
Kajian yang dilakukan
oleh Bartholomew,[5] tentang Islam di Lombok Timur yang dipresentasikan melalui
jamaah masjid Al Jibril dan masjid Al-Nur, ternyata juga menggambarkan
bagaimana respon sosial jamaah masjid terhadap Islam yang berasal dari tradisi
besar tersebut. Pada masyarakat sasak yang semula bertradisi lokal yang
dipengaruhi oleh tradisi-tradisi Hindu, Budha dan animisme, ketika Islam datang
kepadanya maka direspon dengan cara yang berbeda meskipun berada dalam konteks
lokalitasnya masing-masing. Jamaah masjid Jibril yang dalam kehidupan
sehari-harinya kental dengan tradisi Islam yang bersentuhan dengan tradisi
lokal dan jamaah masjid Al-Nur yang bertradisi lebih puris, namun demikian
tidak menimbulkan polarisasi hubungan keduanya. Mereka menerima perbedaan itu
bukan dalam kerangka untuk saling berkonflik, akan tetapi dapat mewujudkan
kesinambungan dalam dinamika hubungan yang harmonis. Masyarakat Sasak menerima
perbedaan dalam konteks agree in disagreement. Itulah yang kemudian
dikonsepsikan sebagai kearifan sosial masyarakat Sasak.
Tulisan Nur Syam,[6] yang
mengkaji Islam pesisir melalui tinjauan teori konstruksi sosial, diperoleh
gambaran bahwa Islam pesisir yang sering ditipologikan sebagai islam murni,
karena bersentuhan pertama kali dengan tradisi besar Islam, ternyata adalah
Islam yang kolaboratif, yaitu corak hubungan antara islam dengan budaya lokal
yang bercorak inkulturatif sebagai hasil konstruksi bersama antara agen
(elit-elit lokal) dengan masyarakat dalam sebuah proses dialektika yang terjadi
secara terus menerus. Ciri-ciri Islam kolaboratif adalah bangunan Islam yang
bercorak khas, mengadopsi unsur lokal yang tidak bertentangan dengan Islam dan
menguatkan ajaran islam melalui proses transformasi secara terus menerus dengan
melegitimasinya berdasarkan atas teks-teks Islam yang dipahami atas dasar
interpretasi elit-elit lokal. Islam yang bernuansa lokalitas tersebut
hadir melalui tafsiran agen-agen sosial
yang secara aktif berkolaborasi dengan masyarakat luas dalam kerangka
mewujudkan islam yang bercorak khas, yaitu Islam yang begitu menghargai
terhadap tradisi-tradisi yang dianggapnya absah seperti ziarah kubur suci,
menghormati terhadap masjid suci dan sumur-sumur suci. Medan budaya tersebut
dikaitkan dengan kreasi para wali atau penyebar Islam awal di Jawa. Motif untuk
melakukan tindakan tersebut adalah untuk memperoleh berkah. Melalui bagan
konseptual in order to motif atau untuk memperoleh berkah, ternyata juga
penting dilihat dari bagan konseptual because motive atau orang pergi ke tempat
keramat adalah disebabkan oleh keyakinan bahwa medan-medan budaya tersebut
mengandung sakralitas, mistis dan magis. Namun demikian, keduanya tidak cukup
untuk menganalisis tindakan itu, maka diperlukan bagan konseptual pragmatic
motive yaitu orang pergi ke medan budaya disebabkan oleh adanya motif pragmatis
atau kepentingan yang mendasar di dalam kehidupannya.
Tulisan yang bernada
membela terhadap Geertz juga banyak. Di antaranya adalah tulisan Beatty.[7]
Tulisan ini mencoba untuk menggambarkan bahwa Islam Jawa hakikatnya adalah
Islam sinkretik atau paduan antara Islam, Hindu/Budha dan kepercayaan
animistik. Melalui pendekatan multivokalitas dinyatakan bahwa Islam Jawa
sungguh-sungguh merupakan Islam sinkretik. Corak Islam Jawa merupakan pemaduan
dari berbagai unsur yang telah menyatu sehingga tidak bisa lagi dikenali
sebagai Islam. Kenyataannya Islam hanya di luarnya saja, akan tetapi intinya
adalah keyakinan-keyakinan lokal. Melalui tulisannya yang bertopik “Adam and Eva
and Vishnu: Syncretism in the Javanese Slametan” digambarkan bahwa inti agama
Jawa ialah slametan yang di dalamnya terlihat inti dari ritual tersebut adalah
keyakinan-keyakinan lokal hasil sinkresi antara Islam, Hindu/Budha dan
animisme.
Meskipun menemukan konsep
baru dalam jajaran kajian agama-agama lokal, yaitu bagan konseptual
“lokalitas”, tetapi Mulder[8] tetap dapat dikategorikan sebagai kajian hubungan
antara Islam dan masyarakat dalam konteks sinkretisme. Ketidaksetujuan Mulder
terhadap Geertz, sesungguhnya merupakan perbedaan pandangan tentang Islam,
Hindu/Budha dan animisme itu bercorak paduan di antara ketiganya ataukah yang
lain. Mulder sampai pada kesimpulan bahwa hubungan itu bercorak menerima yang
relevan dan menolak yang tidak relevan. Ternyata yang dominan menyaring setiap
tradisi baru yang masuk itu adalah unsur lokal. Jadi ketika Islam masuk ke
wilayah kebudayaan Jawa, maka yang disaring adalah Islam. Ajaran Islam yang
cocok akan diserap untuk menjadi bagian dari tradisi lokal sedangkan yang tidak
cocok akan dibuang. Itulah sebabnya Islam di Jawa hanya kulitnya saja tetapi
intinya adalah tradisi lokal tersebut. Kajian-kajian ini menggambarkan tentang
bagaimana cara pandang sarjana Barat tentang Islam di Indonesia, yang
digambarkannya sebagai Islam nominal, yaitu Islam yang hanya di dalam pengakuan
dan bukan masuk ke dalam keyakinan dan penghayatan.
Tulisan lain yang juga
menganggap Islam dan masyarakat hanyalah nominal juga dijumpai dalam tulisan
Budiwanti.[9] Meskipun bercorak kajian kualitatif, tetapi melalui pendekatan
fungsionalisme alternatif ditemui bahwa Islam sasak sesungguhnya Islam juga
hanya dalam coraknya yang khas yang lebih banyak mengadopsi unsur luar Islam
yaitu tardisi-tradisi dan keyakinan-keyakinan lokal, sedangkan ajaran Islam
hanyalah dijadikan sebagai pigura saja. Islam ini adalah Islam yang benar-benar
berbeda dengan Islam Timur Tengah. Jika Islam lainnya menekankan pada unsur
keyakinan, ritual dan etika Islam, maka
di sini hanya ditekankan pada dimensi yang sangat luar dari Islam, yaitu ritual
yang sangat elementer, Islam Wetu Telu. Di tengah arus islamisasi yang terus
berlangsung tersebut, maka memunculkan tekanan dari Islam Wetu Limo, yang
diprakarsai oleh gerakan dakwah Islam dari Nahdlatul Wathon. Gerakan dakwah ini
semakin lama semakin mendesak terhadap Islam tradisi lokal ke titik yang paling
rendah, sehingga akan terdapat kemungkinan Islam Wetu Telu akan mengalami
kemerosotan dalam jumlah di masa yang akan datang.
Islam di Indonesia memang
mengalami pergulatannya sendiri. Di tengah arus pergulatan tersebut, corak
Islam memang menjadi bervariatif mulai dari yang sangat toleran terhadap
tradisi lokal maupun yang sangat puris dan menolak tradisi lokal.
Gerakan-gerakan Islam pun bervariasi dari yang bercorak tradisionalisme,
post-tradisionalisme sampai yang modernisme bahkan neo-modernisme. Corak
keislaman seperti itu sebenarnya
menjadikan wajah Islam di Indonesia menjadi semakin menarik untuk dicermati,
baik sisi sosiologisnya maupun antropologisnya.
Islam Pesisir versus
Islam Pedalaman
Islam datang ke Nusantara
melalui pesisir dan kemudian masuk ke pedalaman. Itulah sebabnya ada anggapan
bahwa Islam pesisir itu lebih dekat dengan Islam genuine yang disebabkan oleh
adanya kontak pertama dengan pembawa islam. Meskipun Islam yang datang ke
wilayah pesisir, sesungguhnya sudah merupakan Islam hasil konstruksi
pembawanya, sehingga Islam yang pertama datang adalah Islam yang tidak murni.
Terlepas dari teori kedatangan Islam ke Nusantara dari berbagai sumbernya,
namun yang jelas bahwa Islam datang ke Nusantara ketika di wilayah ini sudah
terdapat budaya yang berciri khas. Islam yang datang ke Nusantara tentunya
adalah Islam yang sudah bersentuhan dengan tradisi pembawanya (da’i), seperti
yang datang dari India Selatan tentunya sudah merupakan Islam hasil penafsiran
komunitas Islam di India Selatan dimaksud. Demikian pula yang datang dari
Gujarat, Colomander, bahkan yang bertradisi Arab sekalipun.
Bukan suatu kebetulan
bahwa kebanyakan wali (penyebar Islam) berada di wilayah pesisir. Sepanjang
pantai utara Jawa dapat dijumpai makam para wali yang diyakini sebagai penyebar
Islam. Di Jawa Timur saja, jika dirunut dari yang tertua ke yang muda, maka
didapati makam Syeikh Ibrahim Asmaraqandi di Palang Tuban, Syeikh Malik Ibrahim
di Gresik, makam Sunan Ampel di
Surabaya, makam Sunan Bonang di Tuban, makam Sunan Giri di Gresik, makam Sunan
Drajad di Lamongan, makam Wali Lanang di Lamongan, makam Raden Santri di Gresik
dan makam Syekh Hisyamudin di Lamongan. Makam para wali ini hingga sekarang
tetap dijadikan sebagai tempat suci yang ditandai dengan dijadikannya sebagai
tempat untuk berziarah dengan berbagai motif dan tujuannya.
Secara geostrategis,
bahwa para wali menjadikan daerah pesisir sebagai tempat mukimnya tidak lain
adalah karena mudahnya jalur perjalanan dari dan ke tempat lain untuk
berdakwah. Bisa dipahami sebab pada waktu itu jalur laut adalah jalur lalu
lintas yang dapat menghubungkan antara satu wilayah dengan wilayah lain.
Sehingga tidak aneh jika penyebaran Islam oleh Sunan Bonang sampai ke Bawean,
Sunan Giri sampai ke daerah Sulawesi, Lombok dan sebagainya. Jalur laut pada
masa awal penyebaran Islam, terutama laut Jawa telah mencapai puncaknya. Pada
abad ke 12, jalur laut yang menghubungkan Jawa, Sumatera, Malaka dan Cina,
sudah terbangun sedemikian rupa. Maka, para wali pun telah melakukan dakwahnya
ke seluruh Nusantara melalui pemanfaatan jalur laut tersebut.
Islam pesisiran Jawa
hakikatnya adalah Islam Jawa yang bernuansa khas. Bukan Islam bertradisi Arabyang
puris karena pengaruh gerakan Wahabiyah, tetapi juga bukan Islam sinkretis
sebagaimana cara pandang Geertz yang dipengaruhi oleh Islam tradisi besar dan
tradisi kecil. Islam pesisiran adalah Islam yang telah melampaui dialog panjang
dalam rentang sejarah masyarakat dan melampaui pergumulan yang serius untuk
menghasilkan Islam yang bercorak khas tersebut. Corak Islam inilah yang disebut
sebagai Islam kolaboratif, yaitu Islam hasil konstruksi bersama antara agen
dengan masyarakat yang menghasilkan corak Islam yang khas, yakni Islam yang
bersentuhan dengan budaya local. Tidak semata-mata islam murni tetapi juga
tidak semata-mata Jawa. Islam pesisir merupakan gabungan dinamis yang saling
menerima dan memberi antara Islam dengan budaya local.[10]
Varian Islam pesisir juga
didapati di wilayah pesisir utara Jawa. Di pesisir Tuban bagian timur –tepatnya
di Karangagung, Kecamatan Palang—juga didapati corak pengamalan Islam yang
puris. Kelompok Muhammadiyah di desa ini cukup dominant dan bahkan jika
dibandingkan dengan wilayah Tuban lainnya, maka di desa inilah kekuatan
Muhammadiyah bertumpu. Jika pelacakan dilakukan ke arah timur di pesisir utara
Lamongan, maka geliat Islam murni juga semakin nampak. Di sepanjang pesisir
utara Lamongan –kecamatan Brondong terus ke timur sampai Gresik sebelah barat,
maka dapat dijumpai Islam yang bertradisi puris. Meskipun tidak seluruhnya
seperti itu, namun memberikan gambaran bahwa corak Islam pesisir, sesungguhnya
sangat variatif. Wilayah pesisir Tuban ke barat, tampak didominasi oleh Islam
local. Dari Tuban ke barat sampai Demak, corak Islam local masih dominan. Namun
demikian juga bukan berarti bahwa di sana sini tidak dijumpai adanya pengamalan
Islam yang bercorak murni tersebut.
Pada komunitas
pesisir, ada satu hal yang menarik
adalah ketika di suatu wilayah terdapat dua kekuatan hampir seimbang, Islam
murni dan Islam lokal, maka terjadilah tarikan ke arah yang lebih Islami
terutama yang menyangkut
istilah-istilah, seperti slametan yang bernuansa bukan kesedihan berubah
menjadi tasyakuran, misalnya slametan kelahiran, pindah rumah, mendapatkan
kenikmatan lainnya, maka ungkapan yang digunakan bukan lagi slametan tetapi
syukuran. Upacara memperingati kematian atau dulu disebut manganan kuburan
sekarang diubah dengan ungkapan khaul.Nyadran di Sumur sekarang berubah menjadi
sedekah bumi. Upacara petik laut ataubabakan di pantai disebut sedakah laut.
Upacara babakan untuk menandai datangnya masa panen bagi para nelayan. Dari
sisi substansi juga terdapat perubahan. Jika pada masa lalu upacara nyadran di
sumur selalu diikuti dengan acara tayuban, maka sekarang dilakukan kegiatan
yasinan, tahlilan dan pengajian. Sama halnya dengan upacara sedekah laut, jika
dahulu hanya ada acara tayuban, maka sekarang ada kegiatan yasinan, tahlilan dan
pengajian. Secara simbolik hal ini menggambarkan bahwa ada pergerakan budaya
yang terus berlangsung dan semakin mendekati ke arah tradisi Islam.[11]
Suasana keagamaan yang
berbeda tampak pada suatu wilayah yang kecenderungan umum pelakunya adalah
kebanyakan penganut NU. Di desa-desa pesisir yang aliran keagamaannnya seperti
itu, maka tampak bahwa pengamalan beragamanya cenderung masih stabil, yaitu
beragama yang bercorak lokalitas. Jika terjadi perubahan pun kelihatannya
sangat lambat. Akan tetapi satu hal yang pasti bahwa upacara-upacara di medan
budaya –sumur dan makam—sudah berubah menjadi lebih islami. Hal itu juga tampak
dari sederetan upacara ritual yang menampakkan wajah islam secara lebih
dominan, meskipun hal itu merupakan penafsiran atau hasil konstruksi yang
mempertimbangkan lokalitasnya.
Islam pedalaman pun
menggambarkan wajah varian-varian yang menonjol. Kajian Nakamura (1983) dan
Mulkhan (1999) tentang Islam murni di wilayah pusatnya Jogyakarta maupun Islam
murni di Wuluhan Jember tentunya merupakangambaran varian Islam ketika berada
di dalam lokus sosial budayanya. Muhammadiyah yang merupakan gerakan keagamaan
anti takhayul, bidh’ah dan churafat (TBC) ketika berada di tangan kaum petani
juga mengalami naturalisasi. Muhammadiyah di Wuluhan juga menggambarkan
fenomena seperti itu. Gerakan Muhammadiyah belumlah tuntas, sehingga
Muhammadiyah di tangan Petani juga memberikan gambaran bahwa belum semua orang
Muhammadiyah melakukan Islam sebagaimana penafsiran para elitnya tentang Islam.
Empat tipe penggolongan orang Muhammadiyah di Wuluhan yang dilakukan oleh
Mulkhan yaitu: Islam-Ikhlas yang lebih puris, Islam-Munu atau golongan
Muhammadiyah-NU yang orientasinya kurang puris dan ada lagi Islam-Ahmad Dahlan
yang tidak melakukan praktik bidh’ah tetapi membiarkan dan ada Islam-Munas atau
Muhammadiyah-Nasionalisme yang tidak mengamalkan ajaran Islam atau disebut juga
Marmud atau Marhaenis-Muhammadiyah.[12]
Di sisi lain, Nakamura
juga memberikan gambaran bahwa gerakan tajdid yang dilakukan oleh Muhammadiyah
juga berada dalam proses terus menjadi dan bukan status yang mandeg. Di dalam
penelitiannya diungkapkan secara jujur bahwa islam diJawa ternyata tidak mandeg
atau sebuah peristiwa sejarah yang paripurna, akan tetapi peristiwa yang terus
berlangsung. Muhammadiyah adalah gerakan keagamaan yang bercorak sosial dan
agama sekaligus. Muhammadiyah dalam pengamatannya ternyata tidak sebagaimana
disangkakan orang selama ini, yaitu gerakan keagamaan yang keras, eksklusif,
fundamental, namun merupakan gerakan yang berwatak inklusif, tidak
mengedepankan kekerasan dan berwajah kerakyatan. Nakamura memang melakukan
penelitian tentang Muhammadiyah di pusatnya yang memang menggambarkan corak
keberagamaan seperti itu.[13]
Dalam banyak hal, Islam
pedalaman memang menggambarkan corak varian yang bermacam-macam. Selain
gambaran Muhammadiyah sendiri yang juga terdapat varian-varian pengamalan
keagamaannya, maka di sisi lain juga menggambarkan watak keislaman yang sangat
variatif. Corak Islam tersebut misalnya dapat dilihat dari semakin semaraknya
tradisi-tradisi lokal di era pasca reformasi. Tradisi-tradisi yang pada masa
lalu dianggap sebagai ritual, maka dewasa ini lebih dikemas sebagai
festival-ritual. Artinya bahwa upacara ritual tersebut dilaksanakan dengan
tetap mengacu kepada tradisi masa lalu, namun dikemas sebagai peristiwa
festival yang bisa menghadirkan nuansa budaya dan ekonomi. Tradisi Suroan di
beberapa wilayah Mataraman dewasa ini,
sungguh-sungguh telah masuk ke dalam wilayah festival budaya. Memang masih ada
ritual yang tetap bertahan sebagai ritual dan dilakukan dengan tradisi
sebagaimana adanya, sehingga coraknya pun tetap seperti semula. Tradisi itu
antara lain adalah upacara lingkaran hidup,
upacara hari-hari baik dan upacara intensifikasi.[14] Namun untuk upacara
kalenderikal kelihatannya telah memasuki perubahanyang mendasar, yaitu sebagai
ritual-festival dimaksud.
Dalam banyak hal, tradisi
Islam pesisir dan pedalaman memang tidaklah berbeda. Jika pun berbeda hanyalah
pada istilah-istilah yang memang memiliki lokalitasnya masing-masing. Perbedaan
ini tidak serta merta menyebabkan perbedaan substansi tradisi keberagamaannya.
Substansi ritual hakikatnya adalah menjaga hubungan antara mikro-kosmos dengan
makro-kosmos. Hubungan mana diantarai oleh pelaksanaan ritual yang
diselenggarakan dengan corak dan bentuk yang bervariasi. Nyadran laut atau
sedekah laut bagi para nelayan hakikatnya adalah upacara yang menandai akan
datangnya masa panen ikan. Demikian pula
upacara wiwit dalam tradisi pertanian hakikatnya juga rasa ungkapan syukur
karena penen padi akan tiba. Upacara lingkaran hidup juga memiliki pesan ritual
yang sama. Upacara hari-hari baik dan intensifikasi hakikatnya juga memiliki
pesan dan substansi ritual yang sama. Dengan demikian, kiranya terdapat kesamaan
dalam tindakan rasional bertujuan atau in order to motive bagi komunitas petani
atau pesisir dalam mengalokasikan tindakan ritualnya. Jika demikian halnya,
maka perbedaan antara tradisi Islam pesisir dengan tradisi Islam pedalaman
hakikatnya hanyalah pada struktur permukaan, namun dalam struktur dalamnya
memiliki kesamaan. Atau dengan kata lain, substansinya sama meskipun
simbol-simbol luarnya berbeda.
Kesimpulan
Rivalitas pesisir dengan
pedalaman memang pernah terjadi dalam rentangan panjang sejarah Islam
Jawa. Namun seiring dengan perubahan
sosial-budaya-politik dalam kehidupan masyarakat, maka perbedaan itu tidak lagi
didapatkan. Dewasa ini, yang terjadi
hanyalah perbedaan dalam simbol-simbol performansinya, namun sesungguhnya
memiliki kesamaan dalam substansi. Perbedaan label ritual Islam, misalnya hanya
ada dalam label luarnya saja namun dalam substansinya memiliki kesamanaan.
Islam baik pesisiran
maupun pedalaman, ternyata memiliki varian-varian yang unik. Varian itu anehnya
justru menjadi daya tarik karena masing-masing varian memiliki ciri khas yang
bisa saja tidak sama. Pada masyarakat petani bisa saja terdapat varian Islam
murni meskipun selama ini selalu dilabel bahwa Islam pedalaman itu Islam lokal.
Demikian pula Islam pesisir yang selama ini dilabel Islam murni ternyata juga
terdapat Islam lokal yang menguat dan berdiri kokoh.
Dengan demikian,
genuinitas atau lokalitas Islam hakikatnya adalah hasil konstruksi sosial
masyarakat lokal terhadap Islam yang memang datang kepadanya ketika di wilayah
tersebut telah terdapat budaya yang bercorak mapan. Islam memamg datang ke
suatu wilayah yang tidak vakum budaya. Makanya, ketika Islam datang ke wilayah
tertentu maka konstruksi lokal pun turut serta membangun Islam sebagaimana yang
ada sekarang.
________________________________________
[1] Periksa Ignaz Kleden,
“Dari Etnografi ke Etnografi tentang Etnografi: Antropologi Clifford Geertz
dalam Tiga Tahap” dalam Clifford Geertz, After the Fact. (Jogyakarta: LKiS,
1998), ix-xxi
[2] Harsya W. Bachtiar,
“Komentar” dalam Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat
Jawa. (jakarta: Balai Pustaka, 1981).
[3] Mark R Woodward,
Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan. (Jogyakarta: LKiS, 2001)
[4] Muhaimin AG.,
Islam dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret
dari Cirebon, (Jakarta; Logos, 2001)
[5] John Ryan
Bartholomew, Alif Lam Mim, Kearifan Masyarakat Sasak. (Jogyakarta: Tiara
wacana, 2001)
[6] Nur Syam, “Islam
Pesisir’ (Jogyakarta: LKIS, 2005)
[7] Andrew Beatty, “Adam
and Eve and Vishnu: Syncretism in The Javanese Slametan” dalam The Journal of
the Royal Anthropological institut 2 (June 1996).
[8] Niels Mulder, Agama,
Hidup Sehari-hari dan Perubahan Budaya. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999)
[9] Erni Budiwanti, Islam
Sasak, Islam Wetu Telu versus Wetu Limo. (Jogyakarta; LkiS, 2000)
[10] Periksa Nur Syam,
Islam Pesisir…
[11] Periksa Nur Syam,
Islam Pesisir…
[12] Abdul Munir Mulkhan,
Islam Murni Pada Masyarakat Petani. Jogyakarta: Bentang Budaya, 1999.
[13] Mitsuo Nakamura,
Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin. (Jogyakarta: Gajah Mada Press,
1983)
[14] Upacara lingkaran
hidup terdiri dari upacara perkawinan sampai kematian. Upacara hari-hari baik
seperti pindah rumah, bepergian, dan membuat rumah dan sebagainya. Upacara
intensifikasi seperti upacara penutupan tahun, penerimaan tahun baru, upacara
tolak balak dan sebagainya. Upacara-upacara ini dilakukan secara intensif pada
masyarakat Islam pedalaman. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tadjoer Rijal,Tamparisasi
Tradisi Santri Jawa. (Surabaya: Kampusiana, 2004) masih menggambarkan nuansa
fenomena seperti itu. Demikian juga penelitian Woodward,Islam Jawa…, dan bahkan
tulisan Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa… juga masih
memiliki relevansi dengan kecenderungan keberagamaan masyarakat Islam pedalaman
hingga dewasa ini. Meskipun dikhotomi Santri-Abangan sudah memudar, namun dalam
segmen tradisi keberagamaan masih dijumpai fenomena yang terus berlangsung.
Oleh: Nur
Syam ; Guru Besar Sosiologi pada Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel
Sumber: serbasejarah.wordpress.com
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload