Pengaruh Madrasah Diniyah Arab di Indonesia
9/08/2015
A. Cikal Bakal Madrasah Diniyah
Madrasah diniyah sebagai salah satu
institusi islam, mulai eksis seiring dengan nafas perkembangan islam. Pada awal
perkembangan islam madrasah diniyah belum tampak secara jelas, meski prakteknya
telah dilakukan secara tidak langsung. Sebagai contoh, ketika Rasulullah masih
di Mekkah para sahabat belajar tentang islam kepada beliau di rumah al Arqam
bin Abi al Arqam. Pada saat Rasulullah berhijrah ke Madinah, teras mesjid
Nabawi (shuffah) dijadikan sebagai tempat belajar ilmu-ilmu agama oleh
Rasulullah dan sahabatnya. Sehingga sekitar 400 murid yang dimiliki Rasulullah
waktu itu sering disebut sebagai ahlu al shuffah. Dengan demikian
keberadaan shuffah menjadi tempat yang sangat vital, bahkan ketika Nabi Saw.
telah meninggal dan dilanjutkan oleh sahabat-sahabat beliau.
Ketika Umar bin Khattab menjabat sebagai
khalifah, untuk pertama kalinya dilakukan pemugaran masjid. Fungsi shuffah
sebagai tempat transformasi pengetahuan menjadi semakin penting. Kodifikasi
dan tashih al Qur’an dilakukan di sini, juga penyusunan ilmu nahwu
yang dilaksanakan oleh Zaid bin Haritsah yang sekaligus sebagai ketua tim
pengkodifikasian al Qur’an.
Shuffah masjid Nabawi hampir menyerupai
lembaga madrasah ketika Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah dengan
diterapkannya kegiatan belajar-mengajar di tempat ini. Dua bait sya’ir “alala
tanalul al ‘ilm” yang dikarang oleh Ali bin Abi Thalib menjadi salah satu
buktinya. Sya’ir ini mampu mengerakkan umat islam untuk selalu giat belajar dan
mendatangi ulama-ulama di berbagai daerah, seperti Madinah, Kuffah, dan
Bashrah.
Meski demikian kota Madinah tetap memiliki
peran sentral sebagai pusat studi islam, terutama hadits. Sehingga ketika term
madrasah mulai muncul, Madinah lebih dikenal sebagai tempat ahl al hadits atau
sebagai pusat ahl hadits, dengan tokohnya antara lain, Ali bin Abi
Thalib, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ja’far, dan Ibnu Sirin.
Di masa Dinasti Umayah istilah madrasah
sudah dikenal secara luas. Namun maknanya bukan sebagai sebuah institusi pendidikan,
melainkan aliran pemahaman dan tradisi. Di bidang agama dikenal dua madrasah,
yakni madrasah al hadits yang berpusat di madinah dan madrasah ahl
al ra’y yang berpusat di Bashrah. Di bidang bahasa (madrasah
al nuhat) terdapat tiga madrasah terkenal. Yaitu madrasah al Hijaz,
madrasah al Kuffah, dan madrasah al Bashrah dengan ciri aliran dan pemikiran
yang berbeda.
B. Babak Baru Pertumbuhan Madrasah Diniyah
Sekitar abad V Hijriyah atau IX/X Masehi institusi
madrasah mulai didirikan dan dikembangkan, sejalan dengan perkembangan islam
yang telah meluas dalam bentuk aliran atau mazhab dalam bidang fiqh, ilmu kalam
atau tasawwuf, dan ilmu pengetahuan lain yang mencakup bidang filsafat,
astronomi, kedokteran, matematika dan berbagai ilmu lainnya.
Aliran-aliran yang timbul sebagai akibat
perkembangan ilmu pengetahuan ini saling berebutan dan mencari pengaruh di
kalangan umat islam, dan berusaha untuk mengembangkannya. Sehingga terbentuklah
madrasah-madrasah pada masa itu yang dihubungkan dengan mazhab Syafi’I, Hanafi,
Maliki, atau Hambali dalam bidang ilmu fiqh.
Sejarah mencatat, bahwa institusi madrasah
yang pertama kali didirikan dalam sejarah islam ialah madrasah al Baihaqiyyah
dan madrasah al Sa’idiyyah di Nisyapur yang didirikan oleh Sabaktikin saudara
dari raja Mahmud pada abad ke-9 M. Keduanya berhaluan syi’ah dan lebih
banyak meniru model pendidikan Persia bernama Miyan Dahiyyah, yang
mengajarkan pendidikan agama, filsafat dan pengetahuan lainnya yang berkembang
di Baghdad waktu itu.
Pada abad ke XI (1065 M/457 H) berdiri
madrasah Nizamiyyah di Baghdad yang didirikan oleh Nidzam al Mulk, seorang
penguasa dari Bani Saljuk (w. 485 H). Madrasah ini berhaluan sunni dan memiliki
jaringan khusus dengan model pendidikan kuttab dan ribath yang berkembang di
Hijaz (Haramain). Keberadaan madrasah ini telah merangsang kebangkitan keilmuan
sunni sehingga mendorong pertumbuhan madrasah sebagai lembaga tipikal muslim
secara mayoritas.
Di antara madrasah yang berdiri karena
pengaruh madrasah Nidzamiyah adalah madrasah al Muntashiriyyah di Baghdad, al
Azhar dan al Nasiriyyah di Kairo (Syi’ah Fathimiyah), madrasah Nuruddin Zanki
dan al Nuriyyah al Kubra di Damaskus, serta madrasah Salahuddin al Ayyubi,
madrasah al Jam’iyyah al Khairiyah, dan madrasah al Majzub di Beirut.
Di Makkah dan Madinah madrasah tetap
berkembang dengan baik, meskipun sejauh ini belum ada data konkrit mengenai
proses peralihan tradisi belajar mengajar masyarakat setempat dari kuttab,
ribath, halaqah ke madrasah. Kesulitan ini karena secara politik kawasan
Haramain ini jauh dari pusat pemerintahan islam. Selain itu, sejarah juga tidak
mencatat adanya madrasah yang didirikan di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.
Karena wilayah ini mendapat perlakuan khusus di bawah kekuasaan Dinasti
Abbasiyah.
Adapun madrasah yang pertama kali didirikan
di Haramain adalah Madrasah al ‘Urshufiyyah yang didirikan oleh ‘Afif ‘Abdullah
Muhammad al ‘Ursfi pada tahun 571 H/175 M. Madrasah ini terletak di pintu
umrah, bagian selatan masjid al Haramain dan mempunyai sebuah ribath yang
disebut ribath Abi Ruqaibah atau Abi Quthaibah.
C. Perkembangan Madrasah Diniyah di Haramain
Selama Haramain di bawah pemerintahan
Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, campur tangan mereka terhadap haramain
tidak begitu tampak, karena haramain dipertahankan sebagai daerah istimewa.
Hanya saja ketika dinasti Abbasiyah runtuh dan digantikan oleh penguasa Mamluk
dari Mesir, perubahan terjadi di daratan Haramain, termasuk para penguasa
dipilih dari kalangan mereka.
Berbagai upaya dilakukan untuk menaikkan
pamor kota suci ini. Di antaranya dengan membangun madrasah yang diprakarsai
dan didanai oleh pemerintah. Dengan madrasah pertamanya adalah madrasah al
‘Urshufiyyah pada abad ke-12 M. di pinggiran kota Mekkah. Di Madinah sendiri,
institusi madrasah belum didirikan sampai abad ke-15 M. Pendidikan yang
diselenggarakan di Madinah adalah Kuttab, Ribath dan halaqah.
Di kota Mekkah madrasah diniyah dapat
berkembang dengan baik. Tercatat samapi akhir abad ke-17 M. terdapat sekitar
Sembilan madrasah diniyah. Dimulai sejak Ajlan Abu Syari’ah diangkat sebagai
gubernur Hijaz, dan ia berhasil madrasah al Syarif al Ajlan. Pada masa Dinasti
Mamluk Mesir, Sultan Ghiyats al Din (Sultan Qayt Bey) mendirikan madrasah Qayt
Bey. Madrasah ini terletak di sebelah timur masjid al Haram menempati lokasi
bangunan Ribath al Maraghi dan Ribath al Sidrah yang terlebih dahulu dibongkar.
Madrasah ini mempunyai ruangan yang tergolong lengkap, dari ruangan kelas
hingga perpustakaan. Namun semua itu akhirnya di jual dan dijadikan asrama haji
Mesir, meski kemudian dikembalikan fungsinya oleh Hasyib Pasya pada pertengahan
abad ke-19.
Selain itu, sultan Ghiyats juga mendirikan
satu madrasah di Madinah yang terletak di Bab al Salam Masjid Nabawi, yang dikenal
dengan nama A’zham Syah sebagai institusi madrasah pertama di wilayah ini. Para
penguasa Mamluk menindaklanjuti hal ini dengan mendirikan madarasah Jaubaniyyah
di antara wilayahDar al Syibak dan al Husn al ‘Atiq.
Penguasa Mamluk terus melakukan restrukturisasi
pendidikan islam di Madinah dan agar mudah diterima oleh ulama setempat mereka
menggunakan madrasah as Syafi’iyyah pada setiap madarasah yang didirikannya.
Langkah ini ternyata efektif, sehingga di Madinah bermunculan banyak madrasah.
Seperti madrasah al Basithiyah oleh Zayni ‘Abd al Bashith, al Zamaniyah oleh
Syam al Din al Aman, al Anjariyah, al Syahabiyah dan al Mazariyah yang
didirikan oleh Zayni Katib. Di samping itu, sebagai pengganti Mamluk, Dinasti
Turki Usmani juga mendirikan satu madrasah yakni al Hamdiyah.
Secara umum, pada era pertumbuhan dan
perkembangan madrasah (abad X-XVI) madrasah diniyah di Haramain tidak ada yang
memiliki pengaruh luas seperti madrasah Nidhamiyah di Baghdad atau al Azhar di
Mesir. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, antara lain:
Pertama, faktor lingkungan
sosial politik. Munculnya banyak kekuasaan islam yang saling bertikai dan
membesarkan pusat kota kekuasaan mereka, menyebabkan daratan Hijaj yang penuh
gersang tidak terurus secara baik, begitu pula dengan Haramain.
Terlebih lagi, ketika Hijaj harus
berhadapan dengan Syi’ah Qarmathiyah yang cenderung bersifat kasar dan tidak
toleran. Hal ini menimbulkan dampak negatif substansial bagi masyarakat Sunni
Haramain, baik dari sisi ekonomi maupun pendidikan. Menurut al Syaiba’I, selama
kekacauan ini semua pasar Mekah nyaris tutup. Demikian pula dengan kegiatan
pendidikan. Selain antusiasme masyarakat menurun, kegiatan pendidikan juga
semakin terbatas pada masjid al Haram Mekah dan masjid al Nabawi di Madinah.
Pada masa-masa krisis ini, banyak tokoh dan cendikiawan Hijaj memilih merantau
untuk belajar maupun mengembangkan ilmunya di daerah lain.
Kedua, faktor pengelolaan madrasah
yang banyak bergantung kepada pemerintah dan patronase penguasa dengan dermawan
non-Hijaji. Selain itu, madrasah Haramain sangat tergantung pada wakaf yang
diberikan oleh mereka, sehingga dari segi keuangan madrasah-madrasah ini
cenderung rapuh.
Di samping itu, karena didirikan ileh
pemerintah Islam banyak madrasah yang dialih fungsikan untuk kepentingan maupun
untuk mensukseskan kebutuhan pemerintah yang bersangkutan.
Ketiga, gejala ortodoksi masyarakat
Haramain yang menyebabkan kurang terbukanya peran dan fungsi madrasah. Hal ini
tampak pada perkembangan madrasah yang nyaris tak menyentuh masjid al Haram dan
masjid al Nabawi. Secara umum, pendidikan halaqah dan madrasah di Haramain
tidak terbangun secara sinergis, dan penerimaan ulama Haramain kurang menerima
terhadap pengeloalaan madrasah seperti di Mesir dan Baghdad. Sehingga
pendidikan di Haramain hanya berfungsi sebagai:
1.
Transfer ilmu dan
sejarah Islam,
2.
Pemeliharaan
tradisi islam, dan
3.
Reprroduksi ulama.
4.
Madrasah Arab yang
Paling Berpengaruh di Indonesia
Permulaan interaksi antara Indonesia dengan
Arab dilalui dari tradisi halaqah yang diikuti oleh para haji asal Indonesia
ketika melaksankan ibadah haji. Mereka membawa kitab kuning sebagai oleh-oleh
haji. Hal ini cukup beralasan sejak abad ke-14 sampai abad ke-18 tidak
diperoleh catatan seputar ulama Indonesia yang lama mukm di Mekah terkecuali
pada musim haji.
Pada abad ke-18 orang-orang Indonesia mulai
bermukim lama di Mekah untuk belajar, seperti Syekh Arsad al Banjari, Syekh
Nawawi al Bantani, Syekh Rifa’i Kalisasak, Syekh Mahfudz al Tarmisi, dll.
Banyaknya orang Indonesia yang bermukim di Mekah melahirkan satu perkampungan
yang disebut dengan Kampung Jawi/Jawah. Pada umumnya mereka belajar ilmu
tasawuf, fikih dan tafsir pada halaqah yang dipimpin oleh Syekh di sekitar
Mekah.
Pada abad ke-19 M orang-orang Indonesia
baru ada yang tercatat belajar di madrasah Jazirah Arab. Umumnya berasal dari
Sumatera, Sulawesi, dan sedikit para pelajar dari Jawa, yang belajar di
Madrasah Darul Ulum Mesir, dan Madrasah Shaulatiyah, Madrasah al Falah, serta
Madrasah Nasyr al Ma’arif al Diniyah di Makkah .
Madrasah Darul Ulum merupakan reinkarnasi
Madrasah Fathimiyah yang tumbuh kembali setelah adanya pengaruh westernisasi
dengan salah satu tokohnya Muhammad Khudari Beik. Di antara orang Indonesia
yang belajar di sini adalah Zainuddin Labay el-Yunusi dan Syeikh Janan Muhammad
Thaib.
Adapun Madrasah Shaulatiyah (1867) di
Makkah adalah madrasah tradisional di abad ke-20 yang banyak beraviliasi dengan
Madrasah Darul Ulum di Deoband, India. Didirikan oleh Shaulah an Nisa dan
dipimpin oleh ulama India militant dan dihormati, Rahmatullah bin Khalil al
Utsmani. Pada awal abad ke-20 banyak orang Islam Indonesia yang belajar di
madrasah ini. Di antaranya adalah Sayyid Muhsin al-Musawwa al-Palimbani. Ada
juga pelajar Indonesia di Madrasah al-Falah Makkah seperti KH. Muhammad As’ad
al-Bugisi.
Masyarakat Indonesia yang belajar ini
kemudian membuat sebuah komunitas sendiri yang banyak bersentuhan dengan
literatur-literatur Arab modern berbeda dengan halaqah-halaqah yang khazanah
keilmuannya lebih bersifat tradisional.
Madrasah diniyah yang didirikan oleh orang
Indonesia adalah: (1) Madrasah Indonesiya al-Malakkiyah oleh Syekh Janan
Muhammad Thaib (1923), (2) Madrasah Darul Ulum al-Diniyyah oleh Sayyid Muhsin
al-Musawwa al-Palimbani (1934) sebagai respon atas terjadinya konflik antara
siswa dan pengajar yang berasal dari etnis melayu dengan Arab. Martin Van
Brinessen menyatakan bahwa pengajar Arab tidak suka dengan siswa dan pengajar
melayu yang sering berkomunikasi dengan bahasa melayu.
Selain itu, keadaan konstalasi politik
Haramain juga manjadi salah satu pemicu kalangan tradisional Indonesia
berinisiatif mendirikan madrasah. Di mana pada tahun 1923 di Haramain terjadi
peperangan saudara antara Sultan Abd Syarif Husein dengan kelompok Najd yang
dipimpin oleh Abd al-Aziz bin Abd al-Rahman dan dimenangkan oleh kelompok Najd.
Berikutnya adalah madrasah al-Alawiyah
al-Makkiyah di kawasan Rosaifa yang didirikan oleh sayyid al-Alawi al-Makki.
Juga Madrasah al-Tahzibiyah yang berdiri di Hamah al-Muhammadiyyah. Ulama yang
berpengaruh di madrasah ini adalah Muhammad al-Said bin Sa’ad bin Nubhan
al-Hidrami.
Madrasah-madrasah yang berdiri pada abad
ke-18 dan ke-19 ini tidak memiliki keterkaitan dengan madrasah Nizamiyah di
Baghdad. Sebaliknya madrasah-madrasah ini umumnya merupakan madrasah
tradisional yang hanya mengajarkan pengetahuan agama.
Daftar
Pustaka
Saha, M. Ishom el. 2005. Dinamika
Madrasah Diniyah di Indonesia ; Menelusuri Akar Sejarah Pendidikan Nonformal.
Pustaka Mutiara. Jakarta.
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload