Hukum Upacara Tahlilan - Fatwa Tarjih Muhammadiyah
9/08/2015
Upacara Tahlilan
Pertanyaan dari: Kus
Anwaruddin, Sekretaris PC Pemuda Muhammadiyah Tersono
Mangunsari, Tersono,
Batang, Jawa Tengah
Pertanyaan:
Sebagai warga Muhammadiyah walaupun belum punya
KTA saya ingin menanyakan beberapa hal yang selama ini menjadi ganjalan dalam
benak saya:
1.
Bagaimana sikap resmi PP Muhammadiyah
mengenai tradisi Upacara Tahlilan dalam rangkaian upacara kematian?
2.
Sebagai warga Muhammadiyah bagaimana sikap
saya bila diundang dalam upacara tahlilan yang di dalamnya ada jamuan makanannya?
(Biasanya makanan tersebut dikumpulkan oleh warga RT/jamaah lalu diserahkan
kepada keluarga yang terkena musibah dan selanjutnya dimakan bersama dalam
upacara tahlilan tersebut).
3.
Apa hukumnya bila saya menghadiri undangan
tahlilan tersebut dengan alasan untuk kerukunan sebagai warga masyarakat?
(Perlu diketahui bahwa, sepengetahuan saya di daerah saya masih banyak para PCM
yang menghadiri undangan tahlilan tersebut).
4.
Apa pula hukumnya makan bersama dalam
perjamuan tahlilan tersebut dengan alasan yang meninggal dunia tidak punya anak
yatim / anaknya sudah dewasa dan sudah berkeluarga semua serta makanan tersebut
berasal dari para jamaah tahlil yang hadir/dari warga RT? (Biasanya hal ini
sudah menjadi program RT).
Saya sangat mengharapkan atas jawaban yang
memuaskan dan disertai dalil-dalil yang sohih sehingga sebagai warga
Muhammadiyah saya tidak ragu-ragu dalam melaksanakan ibadah yang sesuai dengan
ajaran Rasulullah saw. Atas jawabannya saya ucapkan terima kasih.
Jawaban:
Sebelumnya perlu kami sampaikan bahwa pertanyaan
yang saudara sampaikan sudah sangat sering ditanyakan dan sekaligus dijawab
dalam rubrik fatwa agama ini. Di antaranya adalah seperti yang ditanyakan
oleh Saudara Ruslan Hamidi, Moyudan, Sleman (SM No. 11 Th. Ke-88/2003), Ferry
al-Firdaus, Cilawu Garut (SM No. 24 Th. Ke-90/2005) Tamrin Mobonggi, Limbato,
Gorontalo (SM No. 3 Th. Ke-92/2007). Saudara dapat membaca secara lengkap dalam
edisi-edisi Majalah Suara Muhammadiyah sebagaimana yang kami sebutkan.
Namun demikian, tidak ada salahnya kami
jelaskan kembali secara ringkas tentang persoalan tahlilan tersebut, agar
saudara dapat lebih mudah memahaminya.
Jika yang dimaksudkan tahlil adalah membaca
“La Ilaha illa Allah” (tiada Tuhan selain Allah), Muhammadiyah tidak melarang,
bahkan menganjurkan agar memperbanyak membacanya, berapa kali saja, untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dalam al-Qur`an disebutkan:
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلاَ
تَكْفُرُونِ [البقرة (2):152]
Artinya: “Karena itu, ingatlah kamu
kepada-Ku niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan
janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku.” [al-Baqarah (2):152]
Disebutkan pula pada ayat-ayat lain seperti QS. al-Ahzab
(33): 41, QS. al-An’am (6): 19, QS. al-Ikhlas (112): 1-4, QS. Muhammad (47):
19.
Perintah berzikir dengan menyebut Lafal
Jalalah (La Ilaha illa Allah) dalam hadits-hadits pun banyak diungkapkan,
misalnya hadits riwayat Abu Hurairah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال: مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ
شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ كَانَتْ لَهُ عَدْلَ عَشَرَ رِقَابٍ وَكُتِبَتْ لَهُ
مِائَةُ حَسَنَةٍ وَمُحِيَتْ عَنْهُ مِائَةُ سَيِّئَةٍ وَكَانَتْ لَهُ حِرْزًا
مِنَ الشَّيْطَانِ يَوْمَهُ ذَلِكَ حَتَّى يُمْسِيَ وَلَمْ يَأْتِ أَحَدٌ أَفْضَلَ
مِمَّا جَاءَ بِهِ إِلاَّ أَحَدٌ عَمِلَ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ وَمَنْ قَالَ
سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ حُطَّتْ خَطَايَاهُ
وَلَوْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْحَرِّ. (رواه مسلم، كتاب الذكر، باب فضل التهليل،
نمرة: 28/2691)
Artinya: Diriwayatkan dari Abi Hurairah;
Bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa mengucapkan ‘La ilaha illa Allah
wahdahu la syarika lahu lahul-mulku wa lahul-hamdu wa huwa ‘ala kulli syai`in
qadir’, dalam satu hari sebanyak seratus kali, maka (lafal jalalah tersebut)
baginya sama dengan memerdekakan sepuluh hamba sahaya, dan dicatat baginya
seratus kebaikan, dan dihapus daripadanya seratus kejahatan, dan lafal jalalah
tersebut baginya menjadi perisai dari syaitan selama satu hari hingga waktu
petang; dan tidak ada seorang pun yang datang (dengan membawa) yang lebih
afdal, daripada apa yang ia bawa (ucapkan), kecuali orang yang mengerjakan
lebih banyak dari itu. Dan barangsiapa mengucapkan ‘subhana-llah wa bi hamdih’
(Allah Maha Suci dan Maha Terpuji) dalam satu hari sebanyak seratus kali, maka
dihapus kesalahan-kesalahannya, sekalipun seperti buih air panas yang
mendidih.”[Diriwayatkan oleh Muslim, Kitab az-Zikr, BabFadlut-Tahlil, No.
28/2691]
Disebutkan pula pada hadits-hadits lain seperti
hadits riwayat al-Bukhari dari ‘Itban ibn Malik, dalam Shahih al-Bukhari, Kitab
as-Shalah (420), Bab al-Masajid fi al-Buyut dan hadits
riwayat Muslim dari Abu Hurairah, dalam Shahih Muslim, Kitab az-Zikr, BabFadlut-Tahlil,
No. 32/2695.
Ayat-ayat al-Qur`an dan hadits-hadits tersebut
memberikan pengertian bahwa memperbanyak membaca tahlil adalah termasuk amal
ibadah yang sangat baik, sehingga mereka yang memperbanyak tahlil dijamin masuk
surga dan haram masuk neraka. Tentu saja tidaklah cukup hanya mengucapkannya,
atau melafalkannya saja, melainkan harus menghadirkan hati ketika membacanya,
dan merealisasikannya dalam kehidupan keseharian.Yaitu dengan memperbanyak amal
shalih dan meninggalkan segala macam syirik. Jika masih berbuat syirik, dan
tidak beramal shalih, sekalipun membaca tahlil ribuan kali, tidak ada
manfaatnya. Maka yang sangat penting sebenarnya ialah bahwa tahlil itu harus
benar-benar diyakini dan diamalkan dengan berbuat amal shalih
sebanyak-banyaknya.
Maka yang dilarang menurut Muhammadiyah adalah
upacaranya yang dikaitkan dengan tujuh hari kematian, atau empat puluh hari
atau seratus hari dan sebagainya.
Selamatan tiga hari, lima hari, tujuh hari, dan
seterusnya itu adalah sisa-sisa pengaruh budaya animisme, dinamisme, serta
peninggalan ajaran Hindu yang sudah begitu berakar dalam masyarakat kita.
Karena hal itu ada hubungan dengan ibadah, maka kita harus kembali kepada
tuntunan Islam. Apalagi, upacara semacam itu harus mengeluarkan biaya besar,
yang kadang-kadang harus pinjam kepada tetangga atau saudaranya, sehingga
terkesan tabzir (berbuat mubazir). Seharusnya, ketika ada orang yang
meninggal dunia, kita harus bertakziyah/melayat dan mendatangi keluarga yang
terkena musibah kematian sambil membawa bantuan/makanan seperlunya sebagai
wujud bela sungkawa. Pada waktu Ja'far bin Abi Thalib syahid dalam
medan perang, Nabi saw menyuruh kepada para shahabat untuk menyiapkan makanan
bagi keluarga Ja'far, bukan datang ke rumah keluarga Ja'far untuk makan dan
minum.
Perlu diketahui pula, bahwa setelah kematian
seseorang, tidak ada tuntunan dari Rasulullah saw untuk menyelenggarakan
upacara atau hajatan. Yang ada adalah tuntunan untuk memberi tanda pada
kubur agar diketahui siapa yang berkubur di tempat itu (HR. Abu Dawud dari
Muthallib bin Abdullah, Sunan Abi Dawud, Bab Fi Jam'i al-Mauta fi Qabr ...,
Juz 9, hlm. 22), mendoakan atau memohonkan ampun kepada Allah SWT (HR. Abu
Dawud dari 'Utsman ibn 'Affan dan dinyatakan shahih oleh al-Hakim, Sunan Abi
Dawud, Bab al-Istighfar 'inda al-Qabr lil-Mayyit ..., Juz 9, hlm. 41) dan
dibolehkan ziarah kubur (HR. Muslim dari Buraidah ibn al-Khusaib al-Aslami, Bab
Bayan Ma Kana min an-Nahyi ..., Juz 13, hlm. 113).
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat
diambil beberapa kesimpulan:
1.
Sebagai warga Muhammadiyah sikap yang harus
diambil adalah menjauhi atau meninggalkan perbuatan yang memang tidak pernah
dituntunkan oleh Rasulullah saw dan sekaligus memberikan nasehat dengan cara
yang ma'ruf (mauidlah hasanah) jika masih ada di antara keluarga besar
Muhammadiyah pada khususnya dan umat Islam pada umumnya yang masih menjalankan
praktek-praktek yang tidak dituntunkan oleh Rasulullah saw tersebut.
2.
Dalam menjaga hubungan bermasyarakat,
menurut hemat kami tidaklah tepat jika tolok ukurnya hanya kehadiran pada
upacara/hajatan kematian. Namun, kegiatan-kegiatan kemasyarakatan lain, seperti
rapat RT, kerja bakti, ronda malam (siskamling), takziyah dan lain-lain juga
perlu mendapat perhatian. Dengan aktif mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut,
insya Allah, ketika kita hanya meninggalkan satu kegiatan saja
(tahlilan/hajatan tersebut) tidak akan membuat kita dijauhi oleh masyarakat di
mana kita tinggal.
3.
Mengenai makan dan minum pada perjamuan
tahlilan, sekalipun makanan dan minuman tersebut berasal dari para warga RT,
namun tetap saja dapat digolongkan pada perbuatantabzir, sehingga layak untuk
ditinggalkan.
Wallahu a'lam bish-shawab.
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload