Inilah Hadis-Hadis Shahih yang Tidak (Harus) Diamalkan
9/26/2015
Jika sebelumnya, Pustaka Madrasah telah berbagi
tentang hal-hal yang syar’I namun tidak patut dikerjakan, maka sekarang akan
membahas tentang hadis-hadis shahih yang tidak (harus) diamalkan.
Bagaimana ini, bukannya kita harus meneladani
Rasulullah yang termanifestasi di dalam hadis? Terlebih jika hadis itu sahih,
tentu harus diamalkan dan diikuti oleh semua orang Islam.
BENAR, kita harus meneladani Rasulullah saw. yang
termanifestasi di dalam sebuah hadis. Namun demikian, untuk mengetahui pesan
dan memahami sebuah hadis tidak hanya didasarkan kesahihan hadis semata. Hal
ini sebagaimana tersirat dari perkataan Ibn Wahab (w. 197 H), salah
seorang murid dari Imam Malik bin Anas (w. 179 H) yang suatu ketika berkata:
لولا
مالك، والليث لهلكت، كنت أظن أن كل ما جاء عن النبي صلى الله عليه وسلم يعمل به
Kalau saja saya (Ibnu
Wahab) tidak bertemu dengan Imam Malik (w. 179 H) dan al-Laits bin Saad (w. 175
H), maka celakalah saya.Dahulu saya menyangka segala sesuatu yang datang dari
Nabi itu pasti harus diamalkan. (Jamaluddin Muhammad
al-Mizzi as-Syafi’i w. 742 H, Tahdzib al-Kamal, h. 24/ 270, lihat
pula: Ibnu Asakir w. 571 H, Tarikh Dimasyq, h. 50/ 359)
Maka, berikut adalah hadis-hadis sahih yang tidak
(harus) diamalkan oleh orang Islam.
1.
Makna zahir hadis berikut
إِذَا
أَتَى أَحَدُكُمُ الْغَائِطَ فَلَا يَسْتَقْبِل الْقِبلَةَ وَلَا يُوَلها ظهره،
شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا
Ketika
kalian buang air besar, maka jangan menghadap kiblat atau membelakanginaya.Tetapi menghadaplah ke TIMUR atau ke BARAT. (HR.
Bukhari dan Muslim)
Dari
hadis di atas, Nabi melarang buang air menghadap atau membelakangi kiblat,
tetapi beliau menyuruh menghadap ke timur atau ke barat. Tentu hadis ini tidak
bisa diamalkan hanya mengikuti makna zahirnya. Terlebih jika kita di Indonesia,
bukankah kiblatnya ke arah barat? Disinilah pemahaman terhadap hadits harus
tepat.
2.
Hadis yang telah dimansukh, seperti dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan
Imam Bukhari berikut:
أن زيد بن خالد، أخبره أنه، سأل عثمان بن عفان رضي الله عنه، قلت
أرأيت إذا جامع فلم يمن، قال عثمان «يتوضأ كما يتوضأ للصلاة ويغسل ذكره» قال عثمان
سمعته من رسول الله صلى الله عليه وسلم فسألت عن ذلك عليا، والزبير، وطلحة، وأبي
بن كعب رضي الله عنهم فأمروه بذلك
Zaid bin
Tsabit pernah bertanya kepada Utsman bin Affan, apakah yang dilakukan seseorang
jika berjima’ dengan istri tetapi tidak keluar mani? Utsman bin Affan menjawab:
Berwudhu sebagaimana wudhu’ akan shalat dan memcuci dzakarnya, hal itu saya
dengar dari Rasulullah. (Shahih Bukhari, h. 1/ 46).
Hadits
shahih riwayat Imam Muslim juga menyebutkan:
إنما
الماء من الماء
Air
(wajib mandi) itu karena air (keluar mani). (Shahih Muslim,
h. 1/ 269)
Dari
kedua hadits yang shahih tadi, disimpulkan bahwa jika seseorang berjima’ dengan
istri tetapi tidak mengeluarkan mani maka cukup dengan wudu dan membasuh dzakar
saja.
Meski
kedua hadits sahih tadi masih tertulis di dalam kitab shahih Bukhari dan
Muslim, hanya saja para ulama tidak mengamalkan hadis tersebut. Kenapa?
Hal itu
karena hadis di atas telah di-nasakh dengan hadis muttafaq
alaih juga, yaitu:
إذا
جلس بين شعبها الأربع ومس الختان الختان فقد وجب الغسل
Ketika
seorang duduk diantara empat cabang kaki wanita dan kedua khitan saling
bersentuhan, maka dia harus mandi besar. (Muttafaq alaih)
3.
Perbuatan sahabat pun berbeda dengan riwayatnya sendiri yang
sahih.
Ada hal
menarik ketika membaca sejarah para sahabat Nabi. Beberapa riwayat menyebutkan
ada beberapa sahabat Nabi tidak mengamalkan hadis yang mereka riwayatkan
sendiri. Diantaranya adalah hadis Abu Hurairah tentang banyaknya basuhan sesuatu
yang terkena jilatan anjing.
Abu
Hurairah ra meriwayatkan hadis dibasuh 7 kali, sedangkan beliau sendiri
melakukan basuhan 3 kali. (Abdul Karim an-Namlah, Mukhalafat as-Shahabi
lil Hadits an-Nabawi, h. 125).
Maka
dalam hal seperti ini, hanya bermodal hadis sudah sahih saja belum cukup
menjadi dalil hukum. Bagaimana mungkin seorang sahabat Nabi yang meriwayatkan
sendiri hadis, malah dalam perbuatannya berbeda dengan hadis yang diriwayatkan.
4.
Ahli Hadits pun ‘tidak mengamalkan’ hadis Nabi yang sahih
Jika
sebelumnya perbuatan sahabat, maka sekarang adalah ahli hadis. Dalam contoh
yang lebih nyata, para aAhli hadis malah “tidak mengamalkan” hadis Nabi yang
mereka tuliskan dalam kitab-kitab mereka.
Koq bisa?
Dalam hadis
sahih riwayat Imam Muslim dalam shahih-nya; Nabi Muhammad saw.
melarang menuliskan sesuatu apapun terkait beliau selain al-Qur’an.
عن أبي سعيد الخدري، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: لا تكتبوا
عني، ومن كتب عني غير القرآن فليمحه، وحدثوا عني، ولا حرج.. الحديث
Rasulullah
saw bersabda: Janganlah kalian menulis tentang saya, siapa yang menuliskan
sesuatu tentang saya selain al-Qur’an maka hapuslah. Dan tidaklah mengapa, sampaikanlah
hadis saya. (Shahih Muslim, h. 4/ 2298).
Larangan
menulis sesuatu tentang Nabi ini malah tertulis dalam kitab-kitab hadis para
ulama ahli hadis.Artinya para ahli hadis malah tidak mengindahkan larangan
Nabi, padahal hadisnya sahih.
Inilah
mengapa memahami hadis Nabi tidak hanya cukup bermodal sahihnya saja. Para
ulama menyebutkan bahwa alasan tidak boleh menuliskan sesuatu selain al-Qur’an
saat itu adalah agar tidak bercampur dengan teks al-Qur’an sesuatu yang bukan
al-Qur’an.
Itulah contoh-contoh hadis
sahih yang tidak (harus) diamalkan. Oleh karena itu ketika kita mendapati
sebuah hadis, maka kevalidan hadis memang perlu diperhatikan. Namun setelah
diketahui kesahihannya, tidak serta merta berhenti disitu. Namun juga harus
dipahami dengan benar tentang dilalah
hadis tersebut. Maka sungguh tepat perkataan Ibnu Uyainah yang dinukil Imam
Nawawi al-Haitsami, “Hadis itu bisa menyesatkan (tersebab salah memahaminya)
kecuali oleh seorang faqih.”
Wallahu a’lam
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload