Inilah Hadis-Hadis Shahih yang Tidak (Harus) Diamalkan

Jika sebelumnya, Pustaka Madrasah telah berbagi tentang hal-hal yang syar’I namun tidak patut dikerjakan, maka sekarang akan membahas tentang hadis-hadis shahih yang tidak (harus) diamalkan.
Bagaimana ini, bukannya kita harus meneladani Rasulullah yang termanifestasi di dalam hadis? Terlebih jika hadis itu sahih, tentu harus diamalkan dan diikuti oleh semua orang Islam.
BENAR, kita harus meneladani Rasulullah saw. yang termanifestasi di dalam sebuah hadis. Namun demikian, untuk mengetahui pesan dan memahami sebuah hadis tidak hanya didasarkan kesahihan hadis semata. Hal ini sebagaimana tersirat dari perkataan Ibn Wahab (w. 197 H), salah seorang murid dari Imam Malik bin Anas (w. 179 H) yang suatu ketika berkata:
لولا مالك، والليث لهلكت، كنت أظن أن كل ما جاء عن النبي صلى الله عليه وسلم يعمل به
Kalau saja saya (Ibnu Wahab) tidak bertemu dengan Imam Malik (w. 179 H) dan al-Laits bin Saad (w. 175 H), maka celakalah saya.Dahulu saya menyangka segala sesuatu yang datang dari Nabi itu pasti harus diamalkan. (Jamaluddin Muhammad al-Mizzi as-Syafi’i w. 742 H, Tahdzib al-Kamal, h. 24/ 270, lihat pula: Ibnu Asakir w. 571 H, Tarikh Dimasyq, h. 50/ 359)
Maka, berikut adalah hadis-hadis sahih yang tidak (harus) diamalkan oleh orang Islam.
1.            Makna zahir hadis berikut
إِذَا أَتَى أَحَدُكُمُ الْغَائِطَ فَلَا يَسْتَقْبِل الْقِبلَةَ وَلَا يُوَلها ظهره، شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا
Ketika kalian buang air besar, maka jangan menghadap kiblat atau membelakanginaya.Tetapi menghadaplah ke TIMUR atau ke BARAT(HR. Bukhari dan Muslim)
Dari hadis di atas, Nabi melarang buang air menghadap atau membelakangi kiblat, tetapi beliau menyuruh menghadap ke timur atau ke barat. Tentu hadis ini tidak bisa diamalkan hanya mengikuti makna zahirnya. Terlebih jika kita di Indonesia, bukankah kiblatnya ke arah barat? Disinilah pemahaman terhadap hadits harus tepat.
2.            Hadis yang telah dimansukh, seperti dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari berikut:
أن زيد بن خالد، أخبره أنه، سأل عثمان بن عفان رضي الله عنه، قلت أرأيت إذا جامع فلم يمن، قال عثمان «يتوضأ كما يتوضأ للصلاة ويغسل ذكره» قال عثمان سمعته من رسول الله صلى الله عليه وسلم فسألت عن ذلك عليا، والزبير، وطلحة، وأبي بن كعب رضي الله عنهم فأمروه بذلك
Zaid bin Tsabit pernah bertanya kepada Utsman bin Affan, apakah yang dilakukan seseorang jika berjima’ dengan istri tetapi tidak keluar mani? Utsman bin Affan menjawab: Berwudhu sebagaimana wudhu’ akan shalat dan memcuci dzakarnya, hal itu saya dengar dari Rasulullah. (Shahih Bukhari, h. 1/ 46).
Hadits shahih riwayat Imam Muslim juga menyebutkan:
إنما الماء من الماء
Air (wajib mandi) itu karena air (keluar mani). (Shahih Muslim, h. 1/ 269)
Dari kedua hadits yang shahih tadi, disimpulkan bahwa jika seseorang berjima’ dengan istri tetapi tidak mengeluarkan mani maka cukup dengan wudu dan membasuh dzakar saja.
Meski kedua hadits sahih tadi masih tertulis di dalam kitab shahih Bukhari dan Muslim, hanya saja para ulama tidak mengamalkan hadis tersebut. Kenapa?
Hal itu karena hadis di atas telah di-nasakh dengan hadis muttafaq alaih juga, yaitu:
إذا جلس بين شعبها الأربع ومس الختان الختان فقد وجب الغسل
Ketika seorang duduk diantara empat cabang kaki wanita dan kedua khitan saling bersentuhan, maka dia harus mandi besar. (Muttafaq alaih)
3.            Perbuatan sahabat pun berbeda dengan riwayatnya sendiri yang sahih.
Ada hal menarik ketika membaca sejarah para sahabat Nabi. Beberapa riwayat menyebutkan ada beberapa sahabat Nabi tidak mengamalkan hadis yang mereka riwayatkan sendiri. Diantaranya adalah hadis Abu Hurairah tentang banyaknya basuhan sesuatu yang terkena jilatan anjing.
Abu Hurairah ra meriwayatkan hadis dibasuh 7 kali, sedangkan beliau sendiri melakukan basuhan 3 kali. (Abdul Karim an-Namlah, Mukhalafat as-Shahabi lil Hadits an-Nabawi, h. 125).
Maka dalam hal seperti ini, hanya bermodal hadis sudah sahih saja belum cukup menjadi dalil hukum. Bagaimana mungkin seorang sahabat Nabi yang meriwayatkan sendiri hadis, malah dalam perbuatannya berbeda dengan hadis yang diriwayatkan.
4.            Ahli Hadits pun ‘tidak mengamalkan’ hadis Nabi yang sahih
Jika sebelumnya perbuatan sahabat, maka sekarang adalah ahli hadis. Dalam contoh yang lebih nyata, para aAhli hadis malah “tidak mengamalkan” hadis Nabi yang mereka tuliskan dalam kitab-kitab mereka.
Koq bisa?
Dalam hadis sahih riwayat Imam Muslim dalam shahih-nya; Nabi Muhammad saw. melarang menuliskan sesuatu apapun terkait beliau selain al-Qur’an.
عن أبي سعيد الخدري، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: لا تكتبوا عني، ومن كتب عني غير القرآن فليمحه، وحدثوا عني، ولا حرج.. الحديث
Rasulullah saw bersabda: Janganlah kalian menulis tentang saya, siapa yang menuliskan sesuatu tentang saya selain al-Qur’an maka hapuslah. Dan tidaklah mengapa, sampaikanlah hadis saya. (Shahih Muslim, h. 4/ 2298).
Larangan menulis sesuatu tentang Nabi ini malah tertulis dalam kitab-kitab hadis para ulama ahli hadis.Artinya para ahli hadis malah tidak mengindahkan larangan Nabi, padahal hadisnya sahih.
Inilah mengapa memahami hadis Nabi tidak hanya cukup bermodal sahihnya saja. Para ulama menyebutkan bahwa alasan tidak boleh menuliskan sesuatu selain al-Qur’an saat itu adalah agar tidak bercampur dengan teks al-Qur’an sesuatu yang bukan al-Qur’an.

Itulah contoh-contoh hadis sahih yang tidak (harus) diamalkan. Oleh karena itu ketika kita mendapati sebuah hadis, maka kevalidan hadis memang perlu diperhatikan. Namun setelah diketahui kesahihannya, tidak serta merta berhenti disitu. Namun juga harus dipahami dengan benar tentang dilalah hadis tersebut. Maka sungguh tepat perkataan Ibnu Uyainah yang dinukil Imam Nawawi al-Haitsami, “Hadis itu bisa menyesatkan (tersebab salah memahaminya) kecuali oleh seorang faqih.”

Wallahu a’lam
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel