Taqlid, Doa Iftitah, dan Selawat - Fatwa Tarjih Muhammadiyah
8/27/2015
Penanya:
Nyakmat, Ketua
Pimpinan Ranting Muhammadiyah Kauman,
Pisang,
Labuhan Haji, NAD
(disidangkan
pada tanggal 13 Januari 2006)
Pertanyaan:
1.
Pengertian taqlid, hukumnya serta beramal dengan taqlid
2.
Apa benar orang yang selama hidupnya terus menerus membaca
doa iftitah “Allahumma baa‘id …”
dianggap taqlid?
3.
Kenapa bacaan shalawat dalam khutbah Jum‘at yang dimuat
pada Majalah Suara Muhammadiyah tidak sama dengan bacaan shalawat yang tertulis
dalam HPT?
___________________________
Jawaban:
1.
Tentang Taqlid
a.
Pengertian Taqlid
Kata
“Taqlid” adalah kata dalam bahasa Arab, yang berasal dari kata تَقْلِيْدٌ (taqlid), yaitu: قَلَّدَ (qallada), يُقَلِّْدُ (yuqallidu), تَقْلِيْدًا (taqliidan). Artinya bermacam-macam
tergantung kepada letak dan pemakaiannya dalam kalimat. Adakalanya kata
“taqlid” berarti “menghiasi”, “meniru”, “menyerahkan”, “mengikuti” dan
sebagainya.
Para
ulama Ushul mendefinisikan taqlid: “menerima perkataan (pendapat) orang,
padahal engkau tidak mengetahui darimana sumber atau dasar perkataan (pendapat)
itu”. Para ulama yang lain seperti al-Ghazali, asy-Syaukani, ash-Shan‘ani dan
ulama yang lain juga membuat definisi taqlid, namun isi dan maksudnya sama
dengan definisi yang dibuat oleh ulama Ushul, sekalipun kalimatnya berbeda.
Demikian pula dengan definisi yang dibuat oleh Muhammad Rasyid Ridla dalam
Tafsir al-Manar,
yaitu: “mengikuti pendapat orang-orang yang dianggap terhormat atau orang yang
dipercayai tentang suatu hukum agama Islam tanpa meneliti lebih dahulu benar
salahnya, baik buruknya serta manfaat atau mudlarat dari hukum itu”.
Dalam
menjalani dan menempuh kehidupan dunia ini Allah Swt memberikan petunjuk kepada
manusia yang termuat dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw. Orang yang
mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya adalah orang-orang yang beriman, sedang
orang yang tidak mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya adalah orang-orang yang
kafir. Allah Swt berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَطِيْعُوْا
اللهَ وَأَطِيْعُوْا الرَّسُولَ وَلاَ تُبْطِلُوْا أَعْمَالَكُمْ. [محمد (47): 33].
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, ta’atlah kepada
Allah dan ta’atlah kepada rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala)
amal-amalmu.” [Muhammad
(47): 33].
قُلْ أَطِيْعُوْا اللهَ وَأَطِيْعُوْا
الرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْكَافِرِيْنَ. [آل
عمران (3): 32].
Artinya: “Katakanlah: Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika
kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” [Ali ‘Imran (3): 32].
وَأَطِيْعُوْا اللهَ وَرَسُولَهُ إِنْ كُنْتُمْ
مُؤْمِنِيْنَ. [الأنفال (8): 1].
Artinya: “… dan ta’atlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika
kamu adalah orang-orang yang beriman.” [al-Anfal (8): 1].
Taat
kepada Allah ialah mengikuti petunjuk-petunjuk-Nya yang termuat dalam al-Qur’an
dan taat kepada Rasul-Nya ialah mengikuti petunjuk Nabi Muhammad saw, berupa
perkataan, perbuatan dan taqrirnya yang diyakini berasal dari beliau, yang
disebut “Sunnah Maqbulah”. Kenapa Majelis Tarjih dan Tajdid
menggunakan “sunnah maqbulah”?
Sebagaimana
diketahui bahwa perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi Muhammad saw (as-Sunnah),
baru ditulis dan dibukukan setelah lebih dari seratus tahun beliau meninggal
dunia. Selama seratus tahun lebih itu as-Sunnah berada dalam hafalan kaum muslimin
yaitu para sahabat, tabi‘in, tabi‘it tabi‘in dan atba‘ at-tabi‘it tabi‘in.
As-Sunnah yang dihafal oleh sahabat disampaikan kepada tabi‘in dan mereka
menghafalnya, demikian pula para tabi‘in menyampaikan kepada tabi‘it tabi‘in,
kemudian kepada atba‘ at-tabi‘it tabi‘in dan yang terakhir diterima oleh para
perawi hadits dan membukukannya. Para perawi itu sebelum membukukannya meneliti
setiap para penyampai dan penerima as-Sunnah itu. Setelah diteliti ternyata ada
para penyampai dan penerima as-Sunnah itu yang dapat dipercaya dan ada yang
tidak dapat dipercaya, ada yang kuat atau baik hafalannya dan ada pula yang
lemah dan sebagainya. Lalu para perawi membuat ranking as-Sunnah, sehingga
as-Sunnah itu bertingkat-tingkat, ada yang shahih, ada yang hasan, ada yang
dla‘if dan sebagainya. Pada umumnya para ulama tidak menerima sunnah yang
dla‘if (lemah), kecuali asy-Syafi‘i yang menggunakannya untuk fadla’ilul a‘mal (amalan-amalan utama). Majelis Tarjih
dan Tajdid pada umumnya menerima as-Sunnah yang shahih dan hasan dengan syarat
tidak berlawanan dengan nash (al-Qur’an dan as-Sunnah) yang lebih kuat
daripadanya. As-Sunnah yang seperti ini disebut “sunnah maqbulah”.
Berdasarkan
uraian di atas maka taqlid menurut Majelis Tarjih dan Tajdid ialah: “mengikuti
perkataan atau pendapat orang (seperti ulama, syekh, kiyai atau pemimpin)
tentang suatu hukum Islam tanpa meneliti lebih dahulu apakah perkataan atau
pendapat itu ada dasarnya atau tidak dalam al-Qur’an dan sunnah maqbulah”. Jika
ada dasarnya maka perkataan dan pendapat itu dapat diterima dan diamalkan,
sebaliknya jika tidak ada dasarnya, sedang yang mengatakan atau yang
berpendapat tetap mengatakan bahwa itu adalah ajaran Islam, maka pendapat yang
demikian termasuk bid‘ah. Orang yang berbuat bid‘ah adalah orang yang telah
menyediakan semasa ia hidup tempat duduk dalam neraka nanti. Hal ini
berdasarkan:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّي
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ
مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ. [رواه البخاري ومسلم].
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi saw
beliau bersabda: Barangsiapa yang berdusta atasku, maka hendaklah ia
menyediakan tempat duduknya dalam neraka.” [HR. al-Bukhari dan Muslim].
Pada
saat ini banyak terdapat di Indonesia perguruan Tinggi Islam, baik pemerintah
maupun swasta, seperti UIN, STAIN dan sebagainya, sehingga tidaklah sukar untuk
menentukan apakah pendapat seseorang itu ada dasarnya atau tidak ada dasarnya,
dengan mengadakan pembahasan mendalam pada suatu seminar atau diskusi. Dengan
demikian taqlid dan bid‘ah itu semakin berkurang terdapat dalam nasyarakat
Islam. Demikian pula para ustadz, para kiyai, para da‘i hendaknya menyampaikan
kepada masyarakat yang berhubungan dengan ajaran Islam, yang benar-benar ada
dasarnya.
b.
Hukum Taqlid
Dari ayat al-Qur’an dan Sunnah
Maqbulah di atas dapat diambil kesimpulan bahwa taqlid itu tercela hukumnya.
Bagi orang yang belum tahu apa-apa tentang ajaran Islam, dan kaum muslimin yang
belum sanggup mencari dasar suatu hukum yang disampaikan kepadanya, maka hal
itu bukanlah taqlid, dan hendaklah ia menanyakan kepada orang yang lebih tahu.
2.
Tentang hukum membaca doa Iftitah: “Allahumma baa‘id …”
Sampai
saat ini Majelis Tarjih dan Tajdid belum menemukan ayat al-Qur’an atau Sunnah Maqbulah
yang menyatakan bahwa orang yang terus membaca “Allahumma baa‘id …”
dalam selama hidupnya dianggap telah melakukan bid’ah. Karena itu mungkin
sebaliknya bahwa orang yang mengatakan demikianlah yang telah berbuat bid’ah.
Menurut hasil penelitian kami bahwa ada dua macam doa iftitah yang diajarkan
Rasulullah saw yang dibaca setelah takbiratul
ihram pada setiap
mengerjakan shalat, dengan arti bahwa salah satu dari dua doa iftitah itu boleh
dibaca dalam shalat. Kedua doa itu ialah “Allahumma baa‘id …” dan “Wajjahtu
wajhiya …”.
Doa
iftitah “Allahumma baa‘id …”
berdasarkan:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ كَانَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَبَّرَ فِي الصَّلاَةِ سَكَتَ هُنَيْمَةً
قَبْلَ يَقْرَأُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ بِأَبِى أَنْتَ وَأُمِّى أَرَأَيْتَ
سُكُوْتَكَ بَيْنَ التَّكْبِيْرِ وَالقِرَاءَةِ مَا تَقُوْلُ قَالَ أَقُوْلُ
اللَهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِى وَبَيْنَ خَطَايَاىَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ المَشْرِقِ
وَالمَغْرِبِ اللَهُمَّ نَقِّنِى مِنَ اْلخَطَايَا كَمَا يُنَقِّى الثَّوبُ
الاَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ اللَهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَاىَ بِالمَاءِ وَالثَّلْجِ
وَالبَرَدِ. [رواه البخارى ومسلم وأصحاب السنن إلا الترمذى].
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, adalah Rasulullah
saw setelah mengucapkan takbiratul ihram dalam shalat diam sebentar sebelum
membaca al-Fatihah. Lalu aku bertanya: Ya Rasulullah, Demi bapakku, engkau dan
ibuku, apa yang engkau baca ketika engkau diam antara takbiratul ihram dan
membaca al-Fatihah? Rasulullah saw menjawab: Aku membaca:
اللَهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِى وَبَيْنَ خَطَايَاىَ
كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ اللَهُمَّ نَقِّنِى مِنَ
اْلخَطَايَا كَمَا يُنَقِّى الثَّوبُ الاَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ اللَهُمَّ اغْسِلْ
خَطَايَاىَ بِالمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالبَرَدِ.
Artinya:
Ya Allah, jauhkanlah antaraku dan antara segala kesalahanku sebagaimana Kau
telah jauhkan antara Timur dan Barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan
sebagaimana dibersihkannya pakaian putih dari kotoran. Ya Allah, cucilah segala
kesalahanku dengan air, salju dan air hujan beku.” [HR. al-Bukhari, Muslim dan penyusun
Kitab-kitab Sunan kecuali at-Tirmudzi].
Doa
iftitah “Wajjahtu wajhiya …”
berdasarkan:
عَنْ عَلِيٍّ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّي
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ كَبَّرَ ثُمَّ قَالَ
وَجَّهْتُ وَجْهِىَ لِلَّذِى فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَ الاَرْضَ حَنِيفًا مُسْلِمًا
وَمَا اَنَا مِنَ المُشْرَكِيْن اِنَّ صَلاَتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى
ِللهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَبِذَالِكَ اُمِرْتُ وَاَنَا مِنَ
المُسْلِمِيْنَ اللَهُمَّ اَنْتَ المَلِكُ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اَنْتَ اَنْتَ رَبِّى
وَاَنَا عَبْدُكَ ظَلَمْتُ نَفْسِى وَاعْتَرَفْتُ بِذَنْبِى فَاغْفِرْلِى ذُنُوبِى
جَمِيْعًا لاَيَغْفِرُ الذَُنُوبَ اِلاَّ اَنْتَ وَاهْدِنِى لِاَحْسَنِ
اْلأَخْلاَقِ لاَيَهْدِى لِاَحْسَنِهَا اِلاَّ اَنْتَ وَاصْرِفْ عَنِّى سَيِّئَهَا
لاَ يَصْرِفْ عَنِّى سَيِّئَهَا اِلاَّ اَنْتَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيكَ وَالخَيْرُ
كُلُّهُ فِى يَدَيكَ وَالشَّرُّ لَيْسَ اِلَيْكَ اَنَا بِكَ وَاِلَيكَ تَبَارَكْتَ
وَتَعَالَيْتَ اَسْتَغْفِرُكَ وَاَتَوبُ اِلَيكَ. [رواه أحمد ومسلم والترمذى وأبو
داود وغيرهم].
Artinya: “Diriwayatkan dari Ali, ia berkata: Rasulullah saw
apabila berdiri untuk shalat lalu bertakbiratul ihram, kemudian mengucapkan:
وَجَّهْتُ وَجْهِىَ لِلَّذِى فَطَرَ
السَّمَوَاتِ وَ الاَرْضَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا اَنَا مِنَ المُشْرَكِيْن
اِنَّ صَلاَتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى ِللهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ
لاَشَرِيْكَ لَهُ وَبِذَالِكَ اُمِرْتُ وَاَنَا مِنَ المُسْلِمِيْنَ اللَهُمَّ
اَنْتَ المَلِكُ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اَنْتَ اَنْتَ رَبِّى وَاَنَا عَبْدُكَ
ظَلَمْتُ نَفْسِى وَاعْتَرَفْتُ بِذَنْبِى فَاغْفِرْلِى ذُنُوبِى جَمِيْعًا
لاَيَغْفِرُ الذَُنُوبَ اِلاَّ اَنْتَ وَاهْدِنِى لِاَحْسَنِ اْلأَخْلاَقِ
لاَيَهْدِى لِاَحْسَنِهَا اِلاَّ اَنْتَ وَاصْرِفْ عَنِّى سَيِّئَهَا لاَ يَصْرِفْ
عَنِّى سَيِّئَهَا اِلاَّ اَنْتَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيكَ وَالخَيْرُ كُلُّهُ فِى
يَدَيكَ وَالشَّرُّ لَيْسَ اِلَيْكَ اَنَا بِكَ وَاِلَيكَ تَبَارَكْتَ
وَتَعَالَيْتَ اَسْتَغْفِرُكَ وَاَتَوبُ اِلَيكَ.
Artinya:
Aku hadapkan wajahku kepada Yang menciptakan langit dan bumi dengan tunduk dan
menyerahkan diri dan tiadalah aku termasuk golongan orang-orang musyrik.
Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, matiku untuk Tuhan semesta alam.
Tidak ada sekutu bagi-Nya dan sebab demikian itu aku diperintah dan aku
termasuk orang-orang yang menyerahkan diri (kepada-Nya). Wahai Allah, hanya
Engkaulah Tuhanku, tiada Tuhan selain Engkau, hanya Engkau Tuhanku sedang aku
adalah hamba-Mu, aku telah menganiaya diriku sendiri dan aku akui dosa-dosaku,
karena itu ampunilah seluruh dosaku, sesungguhnya hanya Engkau sajalah yang
mengampuni dosa, bimbinglah aku kepada akhlaq yang baik, hanya Engkaulah yang
dapat membimbingku kepada akhlaq yang baik, jauhkanlah aku dari akhlaq yang
buruk dan hanya Engkaulah yang dapat menjauhkan aku dari akhlaq yang buruk itu.
Aku penuhi panggilan-Mu dan aku gembira dengan memenuhi perintah-Mu, semua
kebaikan berada dalam kekuasaan-Mu, sedangkan kejahatan itu tidak dapat
(mendekatkan diri) kepada Engkau, aku hanya dapat hidup dengan-Mu dan hanya
akan kembali kepada-Mu. Maha Berkah Engkau dan Maha Tinggi, aku mohon ampun
kepada Engkau dan aku mohon taubat kepada Engkau”[HR. Ahmad, Muslim, at-Tirmudzi, Abu
Dawud dan lain-lain].
Sekalipun
kedua doa iftitah itu boleh dibaca salah satunya dalam shalat, namun ada yang
perlu direnungkan dan dipertimbangkan dalam mengamalkannya, yaitu:
a)
Dasar dari kedua doa iftitah itu adalah Sunnah Maqbulah,
karenanya Majelis Tarjih dan Tajdid memberikan kewenangan kepada kaum muslimin
untuk memilih doa mana yang akan mereka baca, atau mereka boleh membaca
keduanya secara bergantian.
b) Doa iftitah “Allahumma
baa‘id …” lebih
pendek dibanding doa iftitah “Wajjahtu wajhiya …”. Doa iftitah “Allahumma
baa‘id …” dimulai
dengan kalimat “Allahumma baa‘id ”
dan diakhiri dengan “bil-ma’i wats-tsalji wal-barad”, sedang
doa iftitah “Wajjahtu wajhiya …”
dimulai dengan kalimat “Wajjahtu wajhiya” dan diakhiri dengan
kalimat “astaghfiruka wa atuubu ilaik”.
c)
Jika ingin mengikuti sunnah Rasulullah saw, tentu kita
harus membaca doa iftitah itu secara lengkap, tidak setengah-setengah.
d) Sekalipun kedua doa iftitah itu
berdasarkan Sunnah Maqbulah, jika ditinjau dari segi perawi, maka doa iftitah “Allahumma
baa‘id …” lebih kuat
daripada doa iftitah “Wajjahtu wajhiya …”, karena doa iftitah “Allahumma
baa‘id …”
diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, an-Nasa’i, Abu Dawud dan Ibnu Majah,
sedangkan doa iftitah “Wajjahtu wajhiya …” diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim,
at-Tirmudzi, Abu Dawud dan yang lain.
e)
Selanjutnya kami serahkan kepada penanya untuk menetapkan
pendapatnya berdasarkan keterangan di atas.
3.
Tentang bacaan shalawat dalam Khutbah Shalat Jum’at
Allah
Swt menyuruh kaum muslimin agar selalu membaca shalawat untuk Nabi Muhammad saw
agar beliau selalu diberi rahmat oleh Allah Swt, berdasarkan firman-Nya:
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ
يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوأ عَلَيْهِ
وَسَلِّمُوا تَسْلِيْمًا. [الأحزاب (33): 56].
Artinya:
“Sesungguhnya
Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang
beriman bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan
kepadanya.” [QS. al-Ahzab (33): 56].
Perintah
yang terkandung pada ayat di atas adalah umum, dengan arti tidak diterangkan
kapan membacanya, apa lafadznya. Karena itu kaum muslimin membacanya kapan
mereka inginkan dan mengutamakan membacanya dalam melaksanakan ibadah, seperti
dalam khutbah Jum’at. Demikian pula halnya dengan lafadz yang akan dibaca, kaum
muslimin ada yang menyusunnya sendiri, namun isi dari lafadz itu hendaklah
memanjatkan doa untuk Rasulullah sebagaimana yang dimaksud oleh ayat di atas.
Mengenai
bacaan shalawat dalam shalat memang Rasulullah saw memberikan tuntunannya,
berdasarkan hadits:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
بْنِ أَبِى لَيْلَى قَالَ لَقِبَنِي كَعْبُ بْنُ عُجْرَةَ فَقَالَ أَلاَ أُهْدِى
لَكَ هَدِيَّةً سَمِعْتُهَا مِنَ النَّبِيِّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقُلْتُ بَلَى فَأَهْدِهَا لِى فَقَالَ سَأَلْنَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّي اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ الصَّلاَةُ عَلَيْكُمْ
أَهْلُ الْبَيْتِ فَإِنَّ اللهَ قَدْ عَلَّمَنَا كَيْفَ نُسَلِّمُ عَلَيْكُمْ
قَالَ قُوْلُوْا اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا
صَلَّيْتَ عَلَى اِبْرَاهِيمَ وَ عَلَى آلِ اِبْرَاهِيمَ اِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى
اِبْرَاهِيمَ اِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ. [رواه البخارى ومسلم].
Artinya: “Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Abi Laila, ia
berkata: Aku bertemu dengan Ka’ab bin ‘Ujrah, ia berkata: Maukah engkau aku
beri hadiah yang aku dengar dari Nabi saw? Aku berkata: Baiklah, berikanlah
kepadaku. Maka ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah saw: Ya Rasulullah,
bagaimana bacaan shalawat atasmu Ahlul Bait? Maka sesungguhnya Allah telah
mengajarkan kepada kami bagaimana mengucapkan salam atasmu. Beliau berkata:
Katakanlah:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ
وَ عَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى اِبْرَاهِيمَ وَ عَلَى آلِ
اِبْرَاهِيمَ اِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ
عَلَى اَلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى اِبْرَاهِيمَ اِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ.
Artinya:
Ya Allah, limpahkanlah rahmat-Mu atas Muhammad dan atas keluarganya,
sebagaimana Engkau telah melimpahkan rahmat atas Ibrahim dan atas keluarganya.
Sungguh Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia. Ya Allah limpahkanlah berkah-Mu
atas Muhammad dan atas keluarga Muhammad sebagaimana yang telah Engkau
limpahkan atas Ibrahim dan keluarganya, sungguh Engkau Maha Terpuji dan Maha
Mulia.” [HR. al-Bukhari dan Muslim].
Pada
sunnah maqbulah yang lain, setelah kalimat “wa ‘alaa aali Ibraahiim” tidak terdapat
kalimat “innaka hamiidun majiid”, langsung disebut kalimat “Allaahumma
baarik ‘alaa Muhammad …” sampai akhir. Hal ini berarti kedua lafadz
shalawat itu boleh dibaca dalam shalat.
Tentu
saja membaca shalawat atas Nabi saw di luar shalat seperti yang telah
diajarkannya itu adalah lebih baik, sedang bacaan shalawat dalam khutbah Jum’at
tidak diharuskan seperti bacaan shalawat dalam shalat. Namun yang paling baik
dibaca adalah seperti bacaan shalawat dalam shalat.
Wallahu
a‘lam bish-shawab.
*km)
Tim Fatwa Majelis
Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat
Muhammadiyah
E-mail: tarjih_ppmuh@yahoo.com dan ppmuh_tarjih@yahoo.com
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload