Sejarah Turki Usmani
8/13/2015
A.
PENDAHULUAN
Kerajaan Turki Usmani muncul di saat Islam
berada dalam era kemunduran pertama.1 Berawal dari kerajaan kecil,
lalu mengalami perkembangan pesat, dan akhirnya sempat diakui sebagai negara
adikuasa pada masanya dengan wilayah kekuasaan yang meliputi bagian utara
Afrika, bagian barat Asia dan Eropa bagian Timur.2 Masa
pemerintahannya berjalan dalam rentang waktu yang cukup panjang sejak tahun
1299 M-1924 M. Kurang lebih enam abad (600 tahun).3
Dalam rentang waktu yang demikian panjang
kerajaan Turki Usmani mengalami dinamika yang selalu menghadirkan format dan
ciri khas yang baru dalam pemerintahan, bahkan merupakan penyelamat dan bebas
dunia Islam dari kekacauan yang berkepanjangan terutama di bidang hukum, karena
sebagaimana diketahui, bahwa pemerintahan Turki Usmani tidak hanya terbatas
pada kekuasaan dan wilayah, tapi juga meliputi bidang agama. Pada periode
berikutnya4, kerajaan Turki Usmani yang berpijak kepada Syari’at Islam mulai
bergeser menjadi hukum sekuler, ini terjadi pada akhir abad-19 tepatnya pada
era tanzimat (1839-1876) ketika terjadi persentuhan budaya timur (Islam) dengan
budaya Barat (Eropa). Era tanzimat merupakan gerakan pembaharuan yang terjadi
di Turki Usmani, yang pada hakikatnya berintikan upaya pemerintah Turki Usmani
untuk melakukan perbaikan dalam tata aturan perundangan di segala bidang, dan
salah satu hukum yang disusun Majallah al-Ahkam al-Adliyahi (1876 M) di samping
piagam Gulhane dan Humayun. Untuk mengetahui lebih jauh tentang perkembangan
hukum Islam pada masa Turki Usmani makalah sederhana ini mencoba menguraikan,
dengan pokok pembahasan; Sekilas tentang Turki Usmani, Sebelum Tanzimat, Era
Tanzimat, Majallah al-Ahkam al-Adliyah dan sesudah tanzimat.
B.
SEKILAS TENTANG TURKI USMANI
Pendiri kerajaan ini adalah bangsa Turki
dari kabilah Oghuz5 yang mendiami daerah Mongol dan daerah utara
negeri Cina. Dalam jangka waktu lebih kurang tiga abad, mereka pindah ke
Turkistan kemudian Persia dan Irak. Mereka masuk Islam sekitar abad ke sembilan
atau ke sepuluh ketika menetap di Asia Tengah. Di bawah tekanan
serangan-serangan Mongol pada abad ke-13 M bangsa Turki dengan dipimpin Artogol
melarikan diri menuju dinasti Saljuk untuk mengabdi pada penguasa yang ketika
itu dipimpin oleh Sultan Alauddin II.
Artogol dan pasukannya bersekutu dengan
pasukan Saljuk membantu Sultan Alauddin II berperang menyerang Bizantium, dan
usaha ini berhasil, artinya pasukan Saljuk mendapat kemenangan. Atas jasa
baiknya itu Sultan Alauddin II menghadiahkan sebidang tanah di Asia Kecil yang
berbatasan dengan Bizantium. Sejak itu bangsa Turki terus membina wilayah
barunya dan memilih Kota Syukud sebagai ibu kota.6
Pada tahun 1289 M Artogol meninggal dunia.
Kepemimpinan- nya dilanjutkan oleh putranya, Usman. Putra Artogol inilah yang
dianggap sebagai pendiri kerajaan Usmani, beliau memerintah tahun 1290 M – 1326
M. Sebagaimana ayahnya, Usman banyak berjasa pada Sultan Alauddin II, dengan
keberhasilannya menduduki benteng-benteng Bizantium. Pada tahun 1300 M, Bangsa
Mongol menyerang kerajaan Saljuk dan Sultan Alauddin II terbunuh. Kerajaan
Saljuk kemudian terpecah-pecah dalam beberapa kerajaan kecil. Usman pun
menyatakan kemerdekaan dan berkuasa penuh atas daerah yang didudukinya. Sejak
itulah kerajaan Turki Usmani dinyatakan berdiri. Penguasa pertamanya adalah
Usman yang sering disebut Usman I. Dalam perkembangannya, Turki Usmani melewati
beberapa periode kepemimpinan. Sejak berdiri tahun 1299 M yang dipimpin oleh
Usman I Ibn Artogol (1299-1326 M) berakhir dengan Mahmud II Ibn Majib
(1918-1922 M). Dan dalam perjalanan sejarah selanjutnya Turki Usmani merupakan
salah satu dari tiga kerajaan besar yang membawa kemajuan dalam Islam.7
C.
SEBELUM TANZIMAT
Sebagai diketahui Kerajaan Turki Usmani
dikepalai oleh seorang Sultan yang mempunyai kekuasaan temporal atau dunia dan
kekuasaan spritual atau rohani. Sebagai penguasa duniawi ia memakai titel
Sultan dan sebagai kepala rohani umat Islam ia memakai gelar Khalifah.8
Dengan demikian Raja Usmani mempunyai dua bentuk kekuasaan, kekuasaan
memerintah negara dan kekuasaan menyiarkan dan membela Islam.
Dalam melaksanakan kedua kekuasaan di atas
Sultan dibantu oleh dua pegawai tinggi sadrazam untuk urusan pemerintahan dan
syaikh al-Islam untuk urusan keagamaan. Keduanya tidak mempunyai banayak suara
dalam soal pemerintahan dan hanya melaksanakan perintah Sultan. Dikala Sultan
berhalangan atau berpergian ia digantikan sadrazam dalam menjalankan
pemerintahan. Syaikh al-Islam yang mengurus bidang keagamaan dibantu oleh qadhi
askar al-rumali yang membawahi qadhi-qadhi wilayah Usamniyah bagian Eropa,
sedang qadhi askar anduly membawahi qadhi-qadhi wilayah Usmaniyah di Asia dan
Mesir.9 Dalam melaksanakan tugasnya para qadhi tersebut merujuk
kepada mazhab Hanafi.10 Hal ini yang disebabkan mazhab yang dipakai
oleh Sultan adalah mazhab Hanafi. Bentuk-bentuk peradilan pada masa ini :
1.
Mahkamah
Biasa/Rendah (al-Juziyat), yang bertugas menyelesaikan perkara-perkara pidana
dan perdata.
2.
Mahkamah Banding
(Mahkamah al-Isti’naf), yang bertugas meneliti dan mengkaji perkara yang
berlaku.
3.
Mahkamah Tinggi
(Mahkamah al-Tamayz au al-Naqd wa al-Ibram), yang bertugas memecat para qadhi
yang terbukti melakukan kesalahan dalam menetapkan hukum.
4.
Mahkamah Agung
(Mahkamah al-Isti’naf al-Ulya), yang langsung di bawah pengawasan Sultan.11
Lembaga peradilan (qadha’) pada masa ini
belum berjalan dengan baik, karena terdapat intervensi dari pemerintah, bahkan
sistem peradilan dikuasai oleh kroni-kroni dan pejabat pemerintah. Jadi belum
tampak dengan jelas pemisahan antara urusan agama dan pemerintahan.
D.
MASA TANZIMAT (1839-1876 M)
Secara etimologi tanzimat berasal dari kata
nazhzhama-yunazhzhimu-tanzhimat, yang berarti mengatur, menyusun, dan
memperbaiki.12 Term ini dimaksudkan untuk menggambarkan seluruh
gerakan pembaharuan yang terjadi di Turki Usmani pada pertengahan abad ke-19.
Gerakan ini ditandai dengan munculnya sejumlah tokoh pembaharuan Turki Usmani
yang belajar dari Barat yaitu bidang pemerintahan, hukum, administrasi,
pendidikan, keuangan, perdagangan dan sebagainya.13 Tanzimat
merupakan suatu gerakan pembaharuan sebagai kelanjutan dari kemajuan yang telah
dilakukan oleh Sultan Sulaiman (1520-1566 M) yang termasyhur dengan nama
al-Qanuni. Namun pembaharuan yang sebenarnya lebih membekas dan berpengaruh
pada masa Sultan Mahmud II (1808-1839 M).14 Ia memusatkan
perhatiannya pada berbagai perubahan internal diantaranya dalam organisasi
pemerintahan dan hukum. Sultan Mahmud II juga dikenal sebagai Sultan yang
pertama kali dengan tegas mengadakan perbedaan antara urusan agama dan urusan
dunia. Urusan agama diatur oleh syari’at Islam (tasyr’ al-dini) dan urusan
dunia diatur oleh hukum yang bukan syari’at (tasyri’ madani).15
Hukum syari’at terletak di bawah kekuasaan syaikh al-Islam, sedangkan hukum
bukan syari’at diserahkan kepada dewan perancang hukum untuk mengaturnya, hukum
yang bukan syari’at ini diadopsi dari Eropa, Perancis dan negeri asing lainnya.
Diantaranya adalahal-Nizham al-Qadha al-Madani (Undang-undang Peradilan
Perdata). Dengan penerapan al-Nizham al-Qadha al-madani(Undang-undang Peradilan
Perdata) dalam peradilan munculMahkamah al-Nizhamiyah yang terdiri dari Qadha
al-Madani(Peradilan Perdata) dan Qadha-Syar’i (Peradilan Agama ).16
Dikotomi lembaga peradilan pada masa Sultan Mahmud II memberikan indikasi sudah
adanya pemisahan urusan agama dan urusan dunia. Kemunculan tanzimat
dilatarbelakangi oleh:
1.
Khusus bidang hukum
terjadinya persentuhan hukum Barat dan hukum Islam
2.
Muncul para tokoh
tanzimat17 yang ingin membatasi kekuasaan Sultan yang absolut.18
Disamping itu pada masa ini kondisi
masyarakat terdiri dari tiga lapisan yaitu:
1. Tradisional,
yang mempertahankan dan membangun pemikiran berdasarkan fiqh dan berpijak pada
mazhab yang ada. Karena fiqh dianggap telah mapan dan sempurna sehingga mereka
berpendapat mazhab ini harus dikembangkan dan disosialisasikan.
2. Modernisme,
yang menawarkan agar fiqh perlu diseleksi dan dikembangkan sesuai dengan
kondisi sosial budaya masyarakat.
3. Reformasi,
melontarkan gagasan, bahwa fiqh yang ada tidak mampu merespon berbagai
perkembangan yang muncul sebagai akses perkembangan zaman dan kebutuhan manusia
yang multi dimensionalitas. Oleh karena itu diperlukan fiqh baru, yang
menafsirkan nash secara kontekstual.19
Agaknya keadaan masyarakat ini juga
mempengaruhi munculnya pembaharuan lebih-lebih lapisan modernisme dan
reformasi. Realisasi pembaharuan ini dimulai dengan diumumkannya Piagam Gulhane
(Khatt-i Syarif Gulhane) pada tanggal 3 Nopember 1839 M, kemudian
ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Piagam Humayun (Khatt-i Syarif
al-Humayun)pada tahun 1856 M.20 Gerakan ini terjadi pada masa Sultan Abdul
Majid (1839-1861 M) putra Sultan Mahmud II. Piagam Gulhane berisikan berbagai
bentuk perubahan yang pada masa permulaan kerajan Turki Usmani, syari’at Islam
dan Undang-undang Negara dipatuhi, sehingga negara menjadi kokoh dan kuat.
Untuk kembali pada masa tersebut, maka perlu diadakan perubahan-perubahan yang
membawa kepada pemerintahan yang baik, yaitu:
1.
Terjaminnya
ketentraman hidup, harta kehormatan dan warga negara.
2.
Peraturan mengenai
pemungutan pajak.
3.
Peraturan mengenai
kewajiban dan lamanya dinas meliter.21
Selanjutnya dijelaskan bahwa tertuduh akan
diadili secara terbuka dan sebelum pengadilan pelaksanaan hukuman mati dengan
racun dan jalan lain tidak dibolehkan. Pelanggaran terhadap kehormatan seseorang
juga tidak diperkenankan. Hak milik terhadap harta dijamin dan tiap orang
mempunyai kebebasan terhadap harta yang dimilikinya. Ahli waris dari yang kena
hukuman pidana tidak boleh dicabut haknya untuk mewarisi, dan demikian pula
harta yang kena hukuman pidana tidak boleh disita.22 Melihat muatan
Piagam Gulhane ini terlihat adanya usaha pembaharu untuk melakukan rekonsiliasi
antar muslim tradisional dengan kemajuan23, serta
institusi-institusi baru yang tidak bertentangan dengan hukum Islam, bahkan bisa
menampung kebutuhan mereka. Menjamin keamanan hidup, ketenangan, jaminan
kepemilikan. Satu hal yang penting dalam piagam ini adalah adanya ketentuan
bahwa aturan-aturan itu berlaku untuk semua lapisan masyarakat dan semua
golongan agama tanpa ada pengecualian. Atas dasar piagam ini, maka terjadi
beberapa pembaharuan dalam berbagai institusi kemasyarakan Turki Usmani.
Diantaranya dalam bidang hukum dirumuskannya kodifikasi hukum perdata
olehMajelis Ahkam al-Adliyah24 dan hukum pidana. Sedang dibidang
pemerintahan adanya sistem musyawarah dan di bidang pendidikan adanya pemisahan
antara pendidikan umum dan agama, serta kekuasaan pendidikan umum dilepaskan
dari kekuasaan ulama.25 Pada masa ini mulai masuk pengaruh sistem
pendidikan Barat. Agaknya sejak saat ini pemisahan pendidikan antara hukum dan
agama ini berlaku sampai sekarang. Selanjutnya pada tahun 1856M26
Sultan Abdul Majid mengumumkan belakunya piagam Humayun yang lebih banyak
mengandung pembaharuan terhadap kedudukan orang Eropa dan non muslim yang berada
di bawah kekuasaan Turki Usmani,27 sehingga antara orang Eropa dan
rakyat Islam Turki tidak ada perbedaan lagi artinya mereka mempunyai hak yang
sama dalam hukum. Walaupun piagam Humayun dikeluarkan untuk memperkuat
keberadaan piagam Gulhane, namun jika diperhatikan lebih jauh piagam ini
memberikan hak dan jaminan kepada bangsa Eropa untuk semakin memantapkan
keberadaan di Turki Usmani. Sikap pro-Barat ini pada akhirnya membawa kelemahan
terhadap kerajaan Turki Usmani dalam menghadapi Eropa.
Dapat dipahami bahwa perkembangan tasyri’
pada masa tanzimat di kerajaan Turki Usmani banyak dipengaruhi oleh hukum dari
Barat, artinya telah bercampur hukum Islam dengan hukum Barat. Sedangkan Piagam
Gulhane menyatakan penghargaan tinggi pada syari’at Islam tetapi juga mengakui
perlunya diadakan sistem baru. Hukum baru yang disusun banyak dipengaruhi oleh
hukum Barat. Apalagi piagam Humayun yang secara tegas diperlakukan untuk non
Islam dan Eropa. Pada masa ini telah ditetapkan pedoman hakim dalam menetapkan
hukum, yaitu dengan dikeluarkannya Undang-undang Dusturiyah pada tahun 1293
H/1877 M. Sehingga terhindar dari hawa nafsu dan keinginan pribadi dalam
menetapkan hukum. Dan juga didirikan Mahkamah al-Tamyiz (al-Naqdu) yang
merupakan lembaga yang diberi wewenang untuk memecat para qadhi yang melakukan
perbuatan yang melanggar hukum, karena dianggap tidak melaksanakan tugas sesuai
yang ditetapkan.28 Namun pada akhirnya lembaga yang didirikan serta
undang-undang yang berlaku sebagaimana mestinya karena ada unsur korupsi dan
kolusi dalam pemerintahan. Kondisi ini menjadikan peradilan seperti barang
dagangan yang diperjualbelikan.
E.
MAJALLAH AL-AHKAM AL-ADLIYAH
Munculnya Majallah al-Ahkam al-Adliyah
merupakan bentuk aplikasi dari ide taqnin (kodifikasi hukum) yang muncul pada
masa pemerintahan Abu Ja’far al-Mansur ketika masa Daulat Abbasiyah, atas
inisiatif dari Ibn Muqaffa’. Namun ide ini belum terwujud karena penolakan dari
para ulama seperti Imam Malik dengan alasan, bahwa perbedaan pendapat ulama
dalam persoalan furu’ merupakan suatu hal yang positif.29
Hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an tidak membutuhkan intervensi
pemerintahan dalam menetapkannya. Di saat kemajuan kebudayaan Islam, ilmu
pengetahuan berkembang pesat yang melahirkan para ilmuan dan imam-imam mazhab
yang tersebar di seluruh pelosok daerah, sehingga dalam perkembangan
selanjutnya muncul rasa fanatisme mazhab, yang cendrung membawa turunnya
semangat ijtihad, kejumudan dan ketertutupan ijtihad. Kondisi ini berimplikasi
kepada perbedaan dalam menetapkan hukum karena beragamnya mazhab yang mereka
pakai. Berdasarkan kondisi tersebut muncul ide dari Daulah Usmaniyah untuk
mewujudkan kodifikasi hukum Islam agar tidak terjadi keberagaman hukum dalam
satu perkara pada lembaga peradilan. Pada akhir abad ke-13 H pemerintah Turki
Usmani mengeluarkan pemerintah untuk membentuk panitia yang bertugas
mengumpulkan ketentuan hukum syara’ terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi
yang berkaitan dengan hukum muamalat (perdata). Panitia menetapkan hukum
berpegang pada mazhab Hanafi, dengan memperhatikan kemaslahatan umat dan
perkembangan zaman tanpa harus terikat dengan pendapat yang kuat dalam mazhab
ini.30 Maksudnya pendapat yang lain juga diperhatikan dalam
menetapkan hukum. Panitia yang terdiri dari fuqaha ini melaksanakan tugasnya
selama 7 ( tujuh) tahun mulai dari tahun 1280-1293 H / 1869-1876 M. Pada tahun
1293 H/1876 M panitia berhasil merampungkan tugasnya dengan melahirkan
peraturan yang bernama Majallah al-Ahkam al-Adliyah yang diundangkan pada
tanggal 26 Sya’ban 1293 H, dan bersamaan dengan ketetapan pemerintah Turki
Usmani untuk menerapkanmajallah ini di pengadilan-pengadilan di Turki dan
negeri-negeri yang berada di bawah kekuasaannya, seperti Libanon dan Siria.31
Peraturan Undang-undang ini terdiri dari 1851 pasal yang berisikan:
1.
Muqaddimah, tentang
defenisi ilmu fiqh pembahagiannya serta penjelasan kaidah-kaidah fiqhiyah.
2.
Bab-bab Muamalah
yang dibedakan untuk setiap kitab dan terdiri dari 16 kitab. Pada muqaddimah
setiap bab berisikan istilah-istilah fiqh yang berkaitan dengan setiap kitab.32
Majallah al-Ahkam al-Adliyah merupakan
kitab undang-undang perdata pertama yang diambil dari ketentuan-ketentuan
Islam, yang berasal dari mazhab Hanafi di samping pendapat lain33
dengan melihat perkembangan dan kondisi umat. Artiya dalam majallah ini tidak
ditemukan perbedaan pendapat sehingga produk hukum yang dihasilkan beragam. Di
samping itu juga ada undang-undang lain yang ditetapkan yaitu Undang-undang
Keluarga (Qanun al-Ailat) tahun 1326 H. Undang-undang ini khusus menyangkut
persoalan pernikahan dan perceraian yang berasal dari mazhab selain Hanafi.34
Dengan adanya undang-undang ini membawa umat keluar dari taqlid buta, dan tidak
hanya terikat dengan satu mazhab. Kodifikasi ini membantu para hakim (qadhi)
dalam memutuskan perkara yang dihadapi, sehingga adanya keseragaman hukum dalam
satu perkara. Namun kodifikasi ini juga mempunyai kelemahan yang mengakibatkan
lemahnya ruh dan semangat ijtihad ulama. Begitu juga kurangnya ketelitian dalam
memutuskan perkara, karena mereka sudah dipola dengan acuan yang sudah baku dan
adanya keharusan pengawasan terhadap produk hukum yang dihasilkan. Terbatasnya
hukum yang ada menyebabkan kurang fleksibel hukum yang dihasilkan, sementara
peristiwa kehidupan masyarakat senantiasa berubah.
F.
TASYRI’ SETELAH TANZIMAT
Pada akhir periode Turki Usmani, persoalan
peradilan semakin banyak dan sumber hukum yang dipegang tidak hanya terbatas
pada syari’at Islam saja, tapi juga diambil dari sumber non syari’at Islam, dan
pada masa ini banyak muncul lembaga peradilan yang sumber hukumnya saling
berbeda, yaitu:35
1.
Mahkamah al-Thawaif
atau Qadha al-Milli, yaitu peradilan untuk suatu kelompok (agama), sumbernya
dari agama masing-masing.
2.
Qadha al-Qanshuli,
yaitu peradilan untuk warga negara asing dengan sumber undang-undang asing
tersebut.
3.
Qadha Mahkamah
Pidana, bersumber dari Undang-undang Eropa.
4.
Qadha Mahkamah
al-Huquq, (Ahwal al-Madaniyah),mengadili perkara perdata, bersumber dari
Majallah al-Ahkam al-Adliyah.
5.
Majlis al-Syari’
al-Syarif, mengadili perkara umat Islam khusus masalah keluarga
(al-Syakhsyiyah), sumbernya fiqh Islam.
Begitu pula dengan pengadilan sudah
terdapat Mahkamah Biasa, Banding dan Mahkamah Agung.36 Dengan
demikian kondisi qadha pada masa ini sudah beragam, dan ini merupakan
pembaharuan yang dicapai pada periode sebelumnya atau masatanzimat. Pembaharuan
yang diadakan pada masa tanzimattidak seluruhnya mendapat penghargaan dari
pemuka masyarakat Islam, bahkan mendapat kritikan dari para cedikiawan Islam Kerajaan
Turki Usmani. Kritikan ini timbul dari tokoh nasionalis Turki, Mustafa Kemal
al-Taturk (Bapak Turki),37 yang dipengaruhi oleh ide golongan
nasionalis Turki dan nasionalis Barat. Westernisme, sekularisme38 dan
nasionalisme menjadi pola dan dasar pemikirannya. Ia berpendapat Turki hanya
dapat maju dengan meniru Barat. Untuk mencapai ide tersebut, ia memproklamirkan
Republik Turki Sekuler tahun 1942M Mustafa Kemal selanjutnya menghilangkan
institusi keagamaan dalam pemerintahan dengan menghapuskan Syaik al-Islam,
Kementrian Syari’at danMahkamah Syari’at serta hukum syari’at dan hukum adat
dihapuskan diganti dengan hukum Barat, dalam soal perkawinan diganti dengan
hukum Swiss yaitu menurut hukum sipil. Wanita mendapat hak cerai yang sama
dengan kaum pria, dan banyak lagi yang sudah diubah menjadi hukum Barat.
Mustafa Kemal sebagai seorang nasionalis dan pengagum peradaban Barat tidak
menentang Agama Islam, ini terbukti bahwa dalam mengurus persoalan agama
diadakan Derpertemen Urusan Agama, dan masih memberikan kebebasan beragama
kepada rakyat. Sekolah-sekolah pemerintah untuk mencetak imam dan khatib di
FakultasIllahiyat Istambul sampai saat ini masih eksis. Ia beranggapan agama
Islam merupakan agama rasionalis, namun dirusak oleh pemahaman yang sempit, untuk
itu perlu disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan Negara Turki. Al-Qur’an
perlu diterjemahkan ke dalam Bahasa Turki. Azan harus diberikan dalam bahasa
Turki. Azan dalam bahasa Turki ini mulai diterapkan pemakaiannya tahun 1931 M.
Modernisme dan westernisme Mustafa Kemal
bukanlah bertujuan menghilangkan agama, namun yang dimaksudkan adalah
menghilangkan kekuasaan agama dari bidang politik dan pemerintahan tetapi hal
ini sangat membawa pengaruh pada perkembangan hukum Islam dan nampaknya
sekularisme Mustafa Kemal sangat berpengaruh sampai saat ini.
G.
KESIMPULAN
Perkembangan hukum Islam pada masa kerajaan
Turki Usmani mengalami dinamika yang beragam pada mula kekuasaan hukum dipegang
oleh syari’at Islam yang diintervensi oleh pemerintah. Kemudian perkembangan
hukum selanjutnya tidak hanya dipegang oleh syari’at Islam tetapi juga hukum
selain Islam yaitu orang non Islam Eropa dan mereka mendapatkan kedudukan yang
sama dalam hukum. Ini terjadi pada masatanzimat, dan pada akhirnya muncul hukum
sekuler yang dipelopori oleh Mustafa Kemal yang banyak membawa perubahan dalam
syari’at Islam yang kalau diperhatikan ini diwariskan sampai saat sekarang.
Oleh: Jumni
Nelli, Dosen Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum UIN Sultan Syarif Kasim Riau
Pekanbaru. Alumni Program Pascasarjana (S2) IAIN Imam Bonjol Padang (2000)
Footnote
1 Kerajaan Turki Usmani
muncul setelah kehancuran kerajaan Mamalik di Mesir. Menurut sejarahwan dan
beberapa penulis kerajaan Turki Usmani lahir pada tahun 1290 M dan berakhir
1923 M, lihat Athur Goldscmidt, A Concise History of the Midle Sast, Edisi
ke-4, (USA: Westview Press, 1991), h. 124.
2. Harun Nasution, Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1985), Jilid I, h. 82-83.
3 Philip K. Hitti, History
of the Arabs, (London: The Mac Millan Press, 1974), h. 710.
4 Para ahli sejarahwan
mensistimatir periode perkembangan kerajaan Turki Usmani menjadi 5 periode.
Pertama, (1299-1140), masa pembentukan kerajaan dan penalikan pertama hingga
kekalahannya atas Timur Lenk. Kedua, (1403-1566), masa puncak kejayaan yang
ditandai dengan kembalinya kerajaan dari tangan Timur Lenk dan takluknya
Konstantinopel. Ketiga, (1566-1703) Sultan Salim sampai Mustafa II, yang
ditandai dengan terjadinya penaklukan-penaklukan dan jatuhnya Hongaria di
tangan musuh. Keempat, (1703-1839), Masa Ahmad III sampai Mahmud II, merupakan
masa kemunduran yang ditandai dengan banyaknya perjanjian dengan para penguasa
di luar Islam. Kelima,(1839-1922), masa Abdul Majid I sampai Muhammad VI,
merupakan masa kebangkitan yang ditandai dengan bangkitnya kebudayaan dan
administrasi setelah terjadinya konflik dengan Barat. Lihat Syafiq A.
Mughni,Sejarah Kebudayaan Islam Turki, (Jakarta: Logos, 1997), h. 54-66. Lihat
juga Ahmad Syatanawiy, Dirasah al-Ma’aruf al- Islami, (Kairo: Al-Syu’b t.t), h.
162-164.
5. C.E.
Bosworth,Dinasti-dinasti Islam,(Bandung: Mizan, 1980), h. 163.
6 Ahmad Syalabi, Sejarah
dan Kebudayaan Islam Imperium Turki Usmani, (Jakarta: Kalam Mulia, 1988), h. 2.
7 Harun Nasution, op.cit.,
h. 84.
8 Harun Nasution,
Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1996), h. 92.
9 Abdurrahman Ibn Hayyin
Abdul Aziz al-Humaidi, Al-qadha wa Nizamuhu fi al-Kitab al-Sunnah,(Kairo:
Ma’had al-Mabhas al-Ilah, t.t), h. 298.
10 Su’ud Ibn Ali Duraib,
Al-Tanzhim fi Mamlakah al-Arabiyah al-Su’udiyah,(Riyadh: Maktab al-Wazir,
1983), h. 278.
11 Ibid., h. 299-384.
12 Lois Ma’luf, Al-Munjid
fi Lughah wa al- A’lam, (Beirut: Dar al-Masyriq), h. 818.
13 Kafrawi Ridwan (ed),
Ensiklopedi Islam, jilid III, (Jakarta: Ihktiar Van Hoeve, 1994), h. 113. Lihat
juga Harun Nasution,Pembaharuan, op.cit., h. 97. Arthur Goldschmidh menuliskan
bahwa tanzimat terpusat setidak-tidaknya pada tiga persoalan pokok yaitu:
tentang pemilikan tanah, kodifikasi hukum-hukum, dan reorganisasi militer.
Lihat Arthur Goldschmidh, A concise History of the Midle East, (USA: Westview
Press, 1991), h. 124.
14 Arthur, Ibid., h. 156.
15 Tasyri’ Madani, pada masa
selanjutnya membawa kepada adanya hukum sekuler, Harun nasution, op.cit., h.
93.
16 Abdurrahman, loc.cit.
17 Tokoh yang muncul pada
masa tanzmat dominan memiliki latar belakang pemikiran Barat, diantaranya,
Musytafa Rasyid Pasya (1800-1858 M). Ia mengemukakan kemajuan Turki Usmani
harus diupayakan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti orang-orang
Eropa. Mahmud Sadik Pasya (1807-1856M) ia mengemukakan kesewenangan pemerintah
akan menimbulkan permusuhan di kalangan rakyat. Untuk itu harus dihapuskan.
Mustafa Sawi melontarkan ide yang sama dengan Mustaf Rasyid Pasya namun ia
menambahkan disamping ilmu-ilmu teknologi harus ada toleransi beragama, adanya
kesinambungan budaya lama dan budaya baru serta ada pendidikan pria dan wanita,
Ali Pasya dan Fuad Pasya, kedua tokoh ini memunculkan ide dalam hukum yaitu
Piagam Humayun, Lihat Syafiq A. Mughni, op.cit., h. 127-128. Lihat juga
Ensiklopedi Islam, loc.cit.
18 Ibid.
19 Taufiq Adnan Amal,Islam
dan Tantangan Modernitas Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, (Bandung:
Mizan, 1993), h. 107-110.
20 Albert Hourani, dkk,
(ed), The Midle East, (California: The University of California Press, 1993),
h. 62-68. Lihat juga Abdurrahman, loc.cit.
21 Harun Nasution,
op.cit., h. 99-100.
22 Ibid.
23 Albert, op.cit., h. 63.
24 Kodifikasi ini dikenal
denganMajallah al-Ahkam Al-Adliyah. Yang akan dibicarakan lebih lanjut pada
poin E.
25 Albert, op.cit., h.
352. Lihat Harun Nasution, op.cit., h. 101.
26 Bertepatan dengan
tanggal 28 Zulhijjah 1273 H. Abdurrahman, loc.cit.
27 Piagam Humayun
dikeluarkan atas desakan negara-negara Eropa pada Kerajaan Turki Usmani yang
pada waktu itu dalam keadaan lemah dan selalu mengalami kekalahan dalam
peperangan. Negara Eropa menjamin keutuhan Kerajaan Turki Usmani kalau mereka
diberi hak yang sama dengan orang Islam.
28 Duraib, op.cit. h. 384.
29 Abdurrahman, op.cit. h.
302. Muhammad Salam Madkhur, al-Qadha fi al-Islam, (Kairo: Dar al-Nadhah, t.t),
h. 115.
30 Abdurrahman, loc.cit.
Salam Madkhur, op.cit., h. 116.
31 Manna’ al-Qaththan,
Tarikh al-Tasyrik al-Islamy, (Riyad: Maktabah al-Ma’arif, t.t), h. 404.
32 Diantara kitab tersebut
adalah al-Bai’ah, alIijarah, al-Kafalah, al-Hiwalah, al-Rahnu al-Ghasab wa
al-Ittilaf, al-Hajru, al-Syirku, al-Wakalah, al-Shulhu wa al-Ibra’, al-Ikrar,
al-Da’wa, al-Bayyinat wa al-Taklif, lihat Abdurrahman, loc.cit. Salam Madkhur,
loc.cit. Manna Qaththan, loc.cit. Ali Haidar, Dar al-Hukkam Syarh Majallah
al-Ahkam, jilid I, (Beirut: Dar Maktab ‘Ilmiyah, t.t). h. 13-17.
33 Diantara pendapat yang
sesuai dengan kondisi ketika itu adalah persoalan al-Hajru diambil dari
pendapat Abu Yusuf dan Ibn Hasan al-Syaibani, demikian juga Muhammad Ibn Subhi
Mahsani, Falsafah Tasyri’ fi al-Islam, alih bahasaFilsafat Hukum Dalam Islam,
(Bandung: PT al-Ma’arif, 1981), h. 71.
34 Salam Madkhur, loc.cit.
35 Duraib, op.cit. h. 284.
36 Ibid., h. 299-384.
37 Harun Nasution,
op.cit., h. 147-152.
38 Westernisme yaitu
proses penyerapan kebudayaan atau adat istiadat (gaya hidup) Barat oleh Timur
karena dibawa orang barat yang datang ke timur atau orang-orang Timur yang
pernah menetap ke negeri Barat. Sekularisme adalah proses melepaskan diri dari
ikatan agama tertentu, namun tidak mutlak berasal dari Barat dan bukan dari
syari’at Islam. Adi Gunawan, Kamus Praktis Ilmiah Popular, (Surabaya: Penerbit Kartika,
t.t), h. 523 dan 467.sumber: luqmanaisyah.blogspot.com
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload