Sang Pemimpin: Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy'ari
8/04/2015
Ahmad Dahlan lahir menjadi sang pencerah.
Dia pembaru yang mengguncang kesadaran umat pada zamannya. Lahir di Kauman,
Yogyakarta, dan wafat dalam usia muda, 54 tahun.
Karya pembaruan terbesarnya ialah
Muhammadiyah yang didirikan pada 18 November 1912. Kini, Muhammadiyah telah
mengukir kisah sukses untuk memajukan kehidupan bangsa. Charles Kurtzman bahkan
menjulukinya sebagai sosok kebangkitan Islam yang liberal.
Di Jombang, Jawa Timur, lahir tokoh besar
Islam yang lain, Hasyim Asy’ari. Tokoh pembaruan dunia pesantren itu memberi
teladan akan kebesaran hati yang tulus. Suatu ketika, seseorang mengadu kepada
Hasyim Asy’ari tentang pemikiran kontroversial Ahmad Dahlan.
Apa reaksi Hadlratus Syekh? “Ahmad Dahlan
punya dalil, jangan memusuhinya dan bantulah dia,” ujar pendiri Nahdlatul Ulama
itu. Kiai Hasyim Asy’ari tak pernah menyerang Kiai Dahlan dengan Muhammadiyah
yang didirikannya. Begitu pula sebaliknya.
Kedua tokoh besar umat Islam itu memiliki
hubungan dekat. Putra Kauman Yogya dan Jombang itu pernah menimba ilmu agama
kepada KH Sholeh Darat di Semarang. Ketika bermukim di Makkah, keduanya bahkan
sama-sama berguru kepada tokoh utama pembaru Islam, Syekh Khatib al-Minangkabawi.
Dua ulama besar itu lama hidup di negeri
Wahabi dan memiliki jiwa toleransi yang melintasi. Tidak ada sepercik pun sikap
arogansi dan ananiyah untuk saling menegasikan hanya karena berbeda paham dan
jalur perjuangan yang dipilih.
Ahmad Dahlan juga berkawan dekat dengan
Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, tokoh sentral pergerakan kemerdekaan
Indonesia. Ahmad Dahlan beberapa kali diundang ketua Sarekat Islam (SI) itu
untuk memberikan pencerahan Islam yang berkemajuan di hadapan anak-anak muda haus
ilmu, seperti Sukarno, Semaun, dan kawan-kawan di kediamannya di Paneleh,
Surabaya.
Keduanya bahkan pernah turun ke daerah,
tabligh bersama di hadapan umat. Di luar itu, Ahmad Dahlan bersahabat dengan
tokoh-tokoh Boedi Oetomo, kalangan sosialis, serta berinteraksi baik dengan
tokoh agama lain tanpa rasa canggung.
Memajukan
kehidupan
Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari,
Tjokroaminoto, serta tokoh lainnya telah memberi uswah hasanah (teladan yang
baik) tentang jiwa besar yang tulus, selain visi besar tentang Islam dan
kemajuan hidup. Para tokoh Islam pada kemudian hari melanjutkan tradisi ukhuwah
dan toleransi itu.
Mas Mansur dari Muhammadiyah dan Wahab
Hasjbullah dari Nahdlatul Ulama bergandengan tangan membidani Partai Islam
Indonesia (1937) dan Majelis Islam ‘Ala Indonesia (1938) yang menghimpun
kekuatan politik Islam. Kedua wadah umat inilah yang kelak menjadi embrio
lahirnya Partai Islam Masyumi pada 1946 hingga 1962. Visi utamanya agar umat
bersatu dan berjaya secara politik.
Para pemimpin umat yang berjiwa besar
sepanjang sejarah itu berpikir dan bekerja keras untuk kemajuan umat dan
bangsanya tanpa pamrih. Mereka hidup bersahaja, tetapi pikiran-pikiran cerdas
dan jiwa besarnya telah membangkitkan kesadaran umat untuk hidup berkemajuan.
Mobilitas tinggi para tokoh Islam itu
bahkan dikhidmatkan untuk mengurus hajat hidup umat dan negerinya hingga lupa
mengurus diri dan keluarganya. Jasa mereka untuk bangsa dan negara bahkan luar
biasa tanpa mengharapkan balasan, ada di antaranya, Ki Bagus Hadikusuma, Mr Kasman
Singodimedjo, dan Prof Kahar Mudzakir—Allahumma yarham—hingga kini belum
dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah.
Kini, umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan
sejagad hidup pada fase baru abad modern. Masalah dan tantangan mengadang di
depan yang sarat beban dan harapan. Umat dan bangsa ini harus dipacu untuk maju
di segala bidang kehidupan agar sejajar dan bahkan unggul dibanding umat dan
bangsa lain.
Kemajuan menjadi jantung strategis bagi
tegaknya peradaban sebagai manifestasi kekhalifahan dan risalah rahmatan lil
‘alamin. Tanpa kemajuan, suatu umat dan bangsa hanya mampu bertahan hidup,
bahkan lama-kelamaan punah.
Islam itu sungguh agama yang berkemajuan,
din al-hadlarah. Islam mengajarkan agar umatnya menjadi khayra ummah (QS Ali
Imran [3]: 110). Menjadi generasi ulul albab (QS Ali Imran [3]: 190-191) dan
pandai membaca tanda-tanda zaman (QS Iqra [96]: 1-5).
Islam juga mengajarkan umatnya agar menjadi
khalifah di muka bumi (QS al-Baqarah [2]: 30 dan Hud: 60), menjadi pelaku
perubahan (QS al-Ahzab: 21), menjadi kelompok yang sadar akan masa depan (QS
al-Hasyr: 18). Pendek kata, Islam mengajarkan umatnya hidup jaya di dunia dan
bahagia di akhirat.
Nabi Muhammad SAW mengisyaratkan, pada
setiap pergantian abad, lahir para mujadid di muka bumi yang memperbaiki
agamanya. Nabi dan kaum Muslimin yang dipimpinnya bahkan hadir untuk takhrij
min al-zhulumat ila al-nur, mengeluarkan umat manusia dari kegelapan menuju
pencerahan.
Nabi akhir zaman itu bahkan mengubah
Yatsrib yang semula komunal pedesaan menjadi pusat peradaban yang cerah dan
mencerahkan, al-Madinah al-Munawwarah. Dari Madinah itulah, kemudian Islam
menguasai dunia dan melahirkan era kejayaan berabad-abad lamanya ketika
bangsa-bangsa lain tertidur lelap pada abad kegelapan.
Jihad
pemimpin
Kemajuan merupakan keniscayaan bagi umat
dan bangsa ini. Meraih kemajuan merupakan jalan jihad yang melintasi. Berlomba
dengan bangsa-bangsa lain harus menjadi etos fastabiq al-khayrat.
Di sinilah keniscayaan para tokoh atau
pemimpin umat yang sesungguhnya, yakni menjadi lokomotif jihad meraih kenggulan
dan kemajuan. Menjadi penggerak pencerahan yang membebaskan, memberdayakan, dan
memajukan kehidupan. Bukan sebaliknya, menjadi pemimpin umat yang membelenggu,
memperdaya, dan membodohi umat demi mengawetkan kemapanan dirinya.
Umat Islam di negeri ini banyak yang masih
rentan secara ekonomi. Mereka berhadapan dengan berbagai tekanan hidup yang
sangat berat. Apa yang dapat diperbuat jika umat masih dhuafa-mustadh’afin?
Kondisi umat yang ringkih cenderung yadus-sufla (tangan di bawah, penerima)
ketimbang yadul-'ala (tangan di atas, pemberi).
Lebih banyak menjadi objek ketimbang
subjek. Umat yang lemah tentu tidak akan menjadi pilar peradaban Islam yang
berkemajuan. Jangankan untuk menjadi rahmatan lil-‘alamin, bahkan untuk
mengurusi dirinya pun tertatih-tatih.
Para tokoh Islam perlu siuman secara
berjamaah atas kenyataan hidup umat yang rentan dan ringkih itu. Seraya
berpikir dan bekerja keras bagaimana membebaskan, memberdayakan, dan memajukan
kehidupan mereka menuju kondisi yang berkeunggulan.
Menjadikan umat mencapai derajat kehidupan
yang maju, bersatu, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat di hadapan umat
dan bangsa lain. Itulah jihad pencerahan yang berada di pundak para tokoh Islam
lintas gerakan di negeri ini. Baik jihad bi al-fikri maupun jihad bi al-fi'li
secara total.
Pemimpin umat Islam saat ini niscaya agar
progresif dan membumi, plus bekhidmat sepenuh hati. Antarpemimpin umat harus
tasamuh dan tanawu’ seraya saling mendekat dan bergandengan tangan setulus
hati.
Cerahkan umat dengan pikiran-pikiran jernih
yang mencerdaskan kehidupan dan tegaknya akhlak mulia. “Para pemimpin perlu
memudakan pemikiran dan mengembangkan Islam progresif,” kata Sukarno. “Jadilah
pemimpin umat meneladani Nabi yang tidur di atas alas tikar, tetapi jelajahnya
mengguncang tahta Kisra,” tulis Iqbal.
Maka, sungguh ironis manakala masih dijumpai
pemimpin umat alergi pikiran-pikiran maju dan tidak membumi pada realitas
kehidupan. Apabila mereka lebih banyak bicara ketimbang bekerja. Ketika
bargairah tinggi dalam mobilitas masing-masing tanpa menyatukan pikiran dan
langkah kolektif yang sinergis.
Para pemimpin politiknya lebih sibuk
mengurus diri ketimbang melayani umat. Tatkala para ulamanya terus memproduksi
fatwa, pendapat, dan pandangan yang kontraproduktif serta mengandung antmosfir
saling menyesatkan.
Apalagi, kalau para tokoh umat itu saling
berseberangan dan menunjukkan gestur permusuhan diam-diam. Hasil akhirnya mudah
ditebak bahwa korbannya ialah umat. Umat Islam akan tetap hidup tertinggal di
zona dhuafa-mustadhafin.
Oleh:
Haedar Nashir
Sumber: Mozaik Tokoh Islam, republika.co.id, edisi 19/11/13, diakses 4/8/15
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload