Ada 'Daging Babi' di Muktamar NU
8/03/2015
Seorang kiai sepuh mengisahkan mimpinya
yang cukup mencemaskan. Ketika itu beliau baru saja pulang menghadiri Muktamar
ke-32 NU di Makassar pada 2010. Dalam mimpinya, kiai itu bertemu sang pendiri
NU Hadratus Syaikh KH M Hasyim Asy’ari di sebuah lapangan luas. Hadratus Syaikh
tampak senyum bahagia karena di lapangan itu berkumpul ribuan bahkan jutaan
warga Nahdliyin. Lalu tiba-tiba Hadratus Syaikh heran mengapa dirinya
diabaikan, sedangkan mereka berpaling dan sedang berebut sesuatu di tengah
lapangan. Dengan segera Hadratus Syaikh menuju pusat perhatian itu. Betapa
kecewanya beliau ketika didapati yang menjadi rebutan adalah “daging babi”.
Astaghfirullah wa na’udzubillah.
Penulis merupakan pihak ke-3 yang mendengar
cerita itu, bukan yang mendengar secara langsung. Tentang kebenaran mimpi dan
apa yang terjadi sesungguhnya di Muktamar NU di Makassar, penulis tidak tahu
pasti. Dari cerita mimpi tersebut, penulis menjadi penasaran hingga bermaksud
menelusuri kisah-kisah lainnya. Seorang tokoh pun menuturkan, ia merasa miris
menyaksikan apa yang terjadi di Muktamar NU di Makassar. Kata dia, pemilihan
ketua yang seharusnya dilaksanakan malam hari ditunda di keesokan hari. Dan ternyata,
malam hari menjelang pemilihan itu, uang bermobil-mobil mengalir ke peserta
muktamar. Sehingga suara muktamirin pun beralih, dan kemenangan di pihak
mereka.
Kejanggalan itu semakin kuat ketika Prof Dr
KH Tolhah Hasan berkisah. Menurut beliau, Muktamar NU di Makassar adalah
Muktamar NU paling buruk sejak NU didirikan. Karena sarat akan kepentingan
politik dengan diwarnai riswah atau money politics. Bahkan, secara
terang-terangan, KH Jamaluddin Al Hariri Rais Syuriah Pengurus Cabang Nahdlatul
Ulama (PCNU) Kabupaten Probolinggo mengaku ditelefon oleh seorang tak dikenal
saat di Makassar. Orang itu menghampiri Kiai Jamaluddin dengan memberi amplop
tebal yang berisi sekitar Rp5 hingga 15 juta-an. Kiai Jamaluddin diminta
memilih calon ketua yang ditentukan, maka dengan tegas beliau menolak ajakan
curang orang itu.
Dengan begitu, mimpi kiai sepuh di atas
nyata adanya. “Daging babi” yang dimaksud tak lain adalah uang dalam amplop
yang jelas-jelas haram. Ini sungguh memalukan sekali. Organisasi yang dihuni
alim ulama panutan umat, bermain uang di dalamnya. Penulis sadar, fakta ini
tidak pantas untuk ditulis karena “pahit”. Namun, bukankah yang “pahit” adalah
“obat”, agar generasi selanjutnya sehat dari berbagai penyakit dan virus
termasuk “daging babi” masa lalu.
Siapa
Pemimpin NU?
Penulis teringat ilmu Faraidh yang dulu
dipelajari di pesantren. Dalam ilmu yang berbicara seputar waris itu kita kenal
adanya istilah muwarits yaitu orang yang mewariskan, mauruts atau irts yaitu
benda yang diwariskan, serta warits yaitu ahli waris. Jika dianalogikan, maka
Hadratus Syaikh adalah muwarits, NU adalah mauruts. Yang menjadi pertanyaan
kini ialah, siapa yang pantas disebut warits dalam NU?
Memang NU adalah sebuah organisasi yang
tidak hanya dikelola oleh keluarga para pendiri. Namun, idealnya yang
melanjutkan estafet kepemimpinan NU adalah para keturunan NU itu sendiri. Boleh
saja orang-orang lain yang lebih berkompeten, akan tetapi tak jarang orang lain
memiliki kepentingan lain pula. Bisa jadi mereka akan memanfaatkan “harta
peninggalan” tersebut daripada mengembangakan, menjaga, dan memberikan manfaat
pada harta itu.
Penulis menduga, para kiai-kiai dahulu
enggan menjadi pemimpin NU karena di samping tawadhu’ dalam keilmuan, mereka
juga sungkan tidak ada darah nasab dengan para pendiri. Pun dalam ilmu Faraidh,
jika masih ada ashabul furudh yang dekat maka mereka yang jauh menjadi mahjub.
Dan, sebagaimana tradisi pesantren, pemimpin tertinggi adalah penerus nasab,
selagi mereka ada—bagaimana pun kondisinya—orang lain di luar itu tidak bisa
menunjukkan taringnya. Tak heran, ratusan tahun pesantren masih jaya dan abadi,
karena yang merawat, meneruskan dan mengembangkan adalah mereka para ahli
waris.
Sampai saat ini, tampaknya belum ada buku
atau sebuah penelitian yang meriset keberhasilan dan kelemahan para pemimpin NU
dari masa ke masa. Jika ada, data itu sangat berguna sekali agar NU bisa
mengaca dari yang sudah-sudah. Keberhasilan yang dicapai bisa dipertahankan,
sedangkan kekurangan yang ada bisa diperbaiki bersama.
Doa
Hadratus Syaikh
Pada tahun 2009, penulis bersama M Mansyur
diutus oleh KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah) menemui KH Abdul Muchith Muzadi di
Jember. Gus Sholah meminta kami menggali kisah-kisah Hadratus Syaikh melalui
Kiai Muchith yang merupakan santri langsung Hadratus Syaikh. Hasil dari
wawancara eksklusif dua hari itu alhamdulillah menjadi sebuah buku yang
diterbitkan oleh Pustaka Tebuireng.
Di sela-sela mewawancarai Kiai Muchith,
kami juga berdiskusi panjang dengan Kiai Nur, kiai kampung alumnus Pesantren
Lasem, Rembang. Dengan ketulusan hati, beliau mempersilakan kami menginap di
rumahnya selama kami berada di Jember. Dan, sebuah kebetulan yang sangat luar
bisa, di rumah beliau itu kami menemukan sebuah dokumen penting. Isinya adalah
doa Hadratus Syaikh yang dikhususkan untuk NU. Berikut isi lengkap doa
tersebut:
“Bismillahirrahmanirrahim. Allahumma aiqizh qulubal ‘ulamai wal muslimin min naumi ghaflatihimil ‘amiq. Wahdihim ila sabilirrasyad. Allahumma ya hayyu ya qayyum, ahyi jam’iyyatana Nahdlatal Ulamai hayatan thayyibatan ila yaumil qiyamah. Bibarakati “Falanuhyiyannahu hayatan thayyibah, waj’al afidatan minannasi tahwi ilaihim, warzuqhum minatssamarati la’allahum yasykurun”. Warzuqhum quwwatan ghalibatan ‘ala kulli bathilin wa zhalimin wa fahisyin wa su’un la’allahum yattaqun.”
Artinya: “Dengan menyebut nama Allah Yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ya Allah, bangunkanlah hati para ulama dan
orang-orang Islam dari tidur kelalaian mereka dan tunjukkan kepada mereka jalan
yang benar. Ya Allah, Dzat Yang Maha Hidup, Dzat Yang Maha Mengatasi (segala
urusan), hidupkanlah organisasi kami, organisasi Nahdlatul Ulama dengan
kehidupan yang baik, berkat (janji-Mu): “Pasti Kami akan hidupkan kepadanya
dengan kehidupan yang baik, dan jadikanlah hati setiap orang condong kepada
mereka dan anugerahilah mereka dari berbagai buah-buahan agar mereka berterima
kasih”. Dan anugerahilah mereka kekuatan yang mampu menindas atas semua
kebatilan, semua penganiayaan, semua kekejian dan keburukan, agar mereka
menjadi orang-orang yang bertaqwa.”
Doa NU Hadratus Syaikh di atas sungguh
bermakna dalam. Beliau memohon kepada Allah SWT agar ulama dan umat muslim
bangkit dari kelalaiannya selama ini, serta organisasi yang didirikannya
bersama para ulama itu benar-benar menjadi perkumpulan yang diberkahi,
memerangi kebatilan. Dengan demikian, jika kini NU dimanfaatkan oleh
oknum-oknum tertentu apalagi orang-orang besar di dalamnya, maka mereka bukan
hanya mendurhakai Hadratus Syaikh tapi juga para ulama, umat Islam dan ayat-ayat
Allah. Na’udzubillah, semoga hal ini tidak terjadi. Hadanallah…
Jakarta,
1 Agustus 2015
Penulis adalah kader muda NU dan alumnus Pesantren Tebuireng.
Sumber: tebuireng.org, edisi 2/8/15, diakses 3/8/15 pukul 13.00 wib
Sumber: tebuireng.org, edisi 2/8/15, diakses 3/8/15 pukul 13.00 wib
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload