Muhammadiyah-NU: Perbedaankah atau Perpecahan?
8/04/2015
Ketika Muhammadiyah didirikan pada tahun
1912, KH. M. Hasyim Asy\'ari dari Tebuireng, Jombang, menanyakan siapa
pendirinya. Mendengar jawaban KH. Ahmad Dahlan, beliau ganti bertanya, adakah
orang itu santri yang bersama beliau mengaji pada KH. Sholeh Darat (Semarang)?
Ketika memperoleh kepastian bahwa KH. Ahmad Dahlan itu adalah orang yang
dimaksud tersebut, beliau mengatakan tentu Muhammadiyah organisasi yang baik,
karena tokoh pendiri tersebut adalah orang baik. Hal ini dapat kita benarkan,
kalau kita ikuti sejarah Muhammadiyah. Tekanan pada pendidikan, kesehatan dan kegiatan-kegiatan
sosial menunjukkan hal itu dengan nyata.
Hal ini jugalah yang tampak dari pergaulan
KH. M Bisri Syansuri, ketika beliau menjadi anggota PBNU, dan praktis menguasai
Majlis-Majlis Hukum Agama (Majaalis al-Figh) --sebelum beliau membawa
pendapat-pendapatnya ke forum tersebut, beliau selalu pergi ke Yogyakarta,
untuk memperdebatkannya dengan KH. Hadjid dari Pengurus Pusat (PP)
Muhammadiyah. Terkadang mereka bisa berdebat selama tiga hari berturut-turut
dan terkadang pula mereka bersama pergi ke rumah KH. Adzkiya di Kroya (Pak Tua
Ir. Musthofa Zuhad, dari PBNU sekarang) untuk maksud yang sama. Baru setelah
itu, KH. M. Bisri Syansuri memaparkan "pendapatnya" kepada
forum-forum di atas, yaitu setelah melalui "uji-coba" dengan kedua
orang tersebut. Kelihatan sekali, antara mereka tidak ada jarak yang harus
dijembatani, karena perbedaan pendapat di antara mereka adalah hal yang biasa,
seperti perbedaan pendapat dengan iparnya, KH. A. Wahab Chasbulah.
Penulis pernah tinggal selama tiga tahun
(1954-1957) di rumah KH. M. Djunaidi di Kauman, Yogyakarta. Di tempat itu,
penulis sering melihatnya berdebat sangat lama tentang soal-soal figh, dengan
tokoh NU KH. Ali Ma\'sum dari Pondok Pesantren Krapyak, yang belakangan menjadi
Rais ‘Am PBNU. Padahal, induk semang penulis, KH. M. Djunaidi itu belakangan
menjadi anggota Majlis Tarjih (Dewan Agama) PP. Muhammadiyah. Di sini, tampak
jelas bagi penulis, adanya keakraban antara tokoh-tokoh puncak NU dan
Muhammadiyah tersebut.
*****
Pertanyaan utamanya adalah, kita melihat
keakraban tersebutkah dalam menilai hubungan Muhammadiyah dan NU, atau justru
sebaliknya? Justru yang kita lihat sehari-hari, sikap fanatik baik dari
orang-orang NU maupun dari orang-orang Muhammadiyah sendiri, hingga terkadang
tampak sebagai pertentangan dan perpecahan, bukannya sebagai perbedaan. Ini
sangat diperlukan, karena tanpa memperoleh jawaban yang tepat, perpecahan dalam
tubuh kedua organisasi Islam terbesar di negeri kita itu tampak semakin
menjadi-jadi. Tentu ini tidak kita inginkan, sehingga kalau memang benar-benar
keduanya berpecah dan bertentangan, hendaknya dapat diarahkan kepada perbedaan
saja. Ini adalah proses pendidikan yang berlangsung lama, namun tak dapat
terhindarkan.
Salah satu sebab mengapa tampak yang
terjadi adalah pertentangan, dan bukannya perbedaan, adalah akibat tekanan
kedua-duanya atas institusi atau lembaga, dalam hal ini kedua organisasi
tersebut. Tekanan pada kelembagaan, membawakan keharusan untuk mempertahankan
kepentingan/interest kedua perkumpulan tersebut, yang masing-masing bertabrakan
satu sama lain. Pihak sendiri harus dimenangkan, dan pihak lain harus
di\"kalah\"kan. Jadilah seolah-olah mereka saling berhadapan, padahal
dalam kenyataan mereka menganut corak kehidupan yang sama yaitu mementingkan
akhlak/moralitas/etika. Terkenal dengan ucapan H. Munawir Sadzali, mantan
menteri agama kita, bahwa di Muhammadiyah ada orang NU bernama Ahmad Azhar
Basyir (Ketua Umum PP. Muhammadiyah saat itu, dan di lingkungan PBNU ada orang
Muhammadiyah bernama Abdurrahman Wahid), yang membawakan
pembaharuan-pembaharuan.
Bahwa kedua perkumpulan itu memiliki
persamaan-persamaan penting, jarang sekali diingat. Pertama, kedua-duanya
mengacu pada tujuan kemaslahatan umat, yang dalam literatur kita umumnya
disebut kesejahteraan rakyat. Pembukaan UUD kita, yang dibuat antara lain oleh
tokoh-tokoh kedua organisasi itu, merumuskan hal itu sebagai masyarakat adil
dan makmur. Jadi, tak benarlah ungkapan salah seorang Kyai NU; al-hamdulilah,
keluarga besar kita semuanya beraqidah Islam, minimal Muhammadiyah. Menanggapi
hal ini, Ahmad Azhar Basyir memberikan komentar, di Muhammadiyah juga banyak
orang yang menganggap NU minimal.
*****
Aspek lain yang jarang dilihat orang, yakni
perlakuan Keraton Hamengkubuanan di Yogyakarta. Keraton tersebut "merangkul"
kedua-duannya, dengan menyantuni NU (melalui status "Masjid Pethok Nagari"
di Mlangi dan Wonokromo) serta tetap membiarkan KH. Ahmad Dahlan menjadi
penghulu keraton setelah mengadakan pembaharuan dengan mendirikan Muhammadiyah.
Jadi, baik tradisionalisme maupun pembaharuan sama-sama memperoleh santunan
dari keraton, yang sekarang bertambah dengan kebiasaan "semaan"
al-Qur\'an yang dahulu dirintis oleh alm. Kyai Hamim Jazuli (Gus Mik).
Kedua hal yang berbeda itu, yakni
tradisionalisme Nu dan pembaharuan Muhammadiyah, seringkali melupakan kita.
Dari sesuatu yang sangat penting: Islamisasi terbatas/limited Islamization
--yang, dirintis Sultan Agung Hanyokro Kusumo, dengan pemakaian hukum-hukum
nikah figh sebagai "peraturan" di keraton dan pemakaian bulan Muharom
sebagai permulaan tahun Saka, ini dilanjutkan oleh pimpinan keraton.
Tentunya, ini harus memperhitungkan
kenyataan bahwa --untuk beberapa dasa warsa, cara kehidupan "sekuler"
yang tidak mau tahu dengan ajaran agama sempat menerapkan dominasinya atas
masyarakat kita, termasuk keraton.
Dengan demikian jelaslah, bahwa keraton
Hamengkubuanan memperlakukan Muhammadiyah dan NU, sebagai sebuah budaya, dengan
tidak mementingkan institusinya. Ini adalah tindakan yang sangat bijaksana,
yang sudah sepatutnya ditiru dan dicontoh oleh para pimpinan kedua organisasi
tersebut.
Dengan ungkapan lain, baik tradisionalisme
NU maupun pembaharuan Muhammadiyah haruslah diukur secara budaya, dan bukannya
secara kelembagaan. Bukankah kini anak-anak muda kedua belah pihak sering
dihadapkan kepada tantangan budaya modern yang menjauhkan mereka dari akar-akar
budaya masa lampau? Bukankah ini melupakan kita dari kenyataan adanya
orang-orang Muhammadinu, yang seringkali sudah tidak melihat relevansi
pemisahan keduannya. Kalau saja kita menjadi dewasa dalam hal ini, kita akan
melihat keadaan NU dan Muhammadiyah, bukannya pertentangan dan perpecahan
antara keduanya.
Oleh: KH. Abdurrahman
Wahid
Sumber: gusdur.net, edisi
16/8/02, diakses 4/8/15
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload