Menyingkap Kembali Asbabul Wurud Kelahiran Muhammadiyah
8/07/2015
Seperti kita ketahui bahwa,
secara lughat atau bahasa (etimologi) Muhammadiyah bermakna umat Muhammad atau
pengikut Muhammad. Maksudnya, semua orang yang memagut Dinul Islam secara
kaffah dan haqqul yakin bahwa Nabi Muhammad Saw adalah hamba dan Rasul terakhir
(khataman nabiyyin wa la nabiyya ba’dah).
Dalam konteks ini, siapa saja
yang mengaku dan memproklamirkan diri beragama Islam serta punya segenggam
commitment (istiqamah) dengan kredo syahadah (dua kalimah syahadat) pada
hakikatnya ia–baik individual maupun komunal–adalah Muhammadiyah tanpa dibatasi
oleh dimensi ruang dan dimensi waktu.
Sedangkan pada ranah
terminologi (istilahan) Muhammadiyah berarti: “Gerakan Islam yang dibidani KH.
A. Dahlan pada 8 Dzulhijjah 1330 H bertepatan dengan 18 November 1912 M di
Kauman Yogyakarta. Dengan begitu, bertumpu pada perhitungan tahun hijriyyah,
berarti Muhammadiyah telah berumur 102 tahun. Sedangkan bertolak-dasar dari
tahun masehi, Muhammadiyah berusia 99 tahun. Memiliki tujuan ideal-konsepsional
yang diusungnya: “Menegakkan dan menjunjung tingga agama Islam, sehingga
terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” (unggul, bernas,
berkualitas/khaira ummah)
Menggeliat dalam qalbu Dahlan
menamakan gerakan ini Muhammadiyah dengan secercah harapan (ber-tafa’ul) kiranya
umat yang merayap di pelbagai komunitas mau dan mampu menauladani sepak terjang
perjuangan, moralitas dan integritas (akhlaqul karimah) yang bergayut kukuh
pada diri Nabi Muhammad Saw.
Obsesi (baca: nawaitu) lain
yang bertengger di jiwa Dahlan agar semua pemuka, pimpinan (sejak pusat hingga
ranting), anggota dan simpatisan Muhammadiyah satu ketika benar-benar punya
sense of belonging and sense of responsibility terhadap doktrin dan ajaran
Islam dalam lingkup orientasi maksimal, substansial, esensial plus universal
(rahmatan lil ‘alamin).
Dan, bila ditelusuri ke
belakang, niat dan ikhtiar Dahlan menegakkan tinag-pancang Muhammadiyah telah
diawali sejak 1905. Enam tahun kemudian – tepatnya paruh 1911, Dahlan
memelopori pendirian satu sekolah bercorak modern. Terpaut setahun setelah itu,
dibantu para murid dan sahabat karib, Dahlan mendeklarasikan tegak berdirinya
persyarikatan Muhammadiyah.
Melacak lebih menukik,
setidaknya ada empat sebab-musabab (asbabul wurud), pendirian organisasi yang
mengusung visi-misi tajdid ini.
Pertama, dalam kacamata
Dahlan faham plus pengamalan ke-Islaman umat di bumi Indonesia masih terjebak
ke dalam kepompong sempit tradisionalisme, konservatisme, vandalisme,
sekulerisme, dikotomisme dan bahkan sinkretisme – sebagai sisa-sisa kepercayaan
Hindu sekitar abad ke-7 M silam!
Indikasinya, yang namanya
syirik dalam berbagai corak kian berkecambah di komunitas umat Islam – di kota
dan di desa. TBC alias tahyul, bid’ah dan churafat dengan segala bentuk dan
manifestasinya benar-benar telah merusak kemurnian iman dan orisinalitas tauhid
umat – tidak saja tauhid Uluhiyah, lebih-lebih lagi tauhid Rububiyah.
Padahal, dalam pandangan
Muhammadiyah – syirik dan TBC tidak saja membuat umat terbenam di kubangan
jumud (stagnasi) yang bernuansa apatis – lebih parah dari itu, dosa yang
digoreskanya tidak diampuni Allah Swt: “Sesungguhnya Allah tidak akan
mengampuni dosa syirik. Dan, Dia mengampuni segala dosa yang selain syirik,
yaitu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang syirik kepada Allah,
maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” (QS. An-nisa’ ayat 48).
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik. Dan, Dia mengampuni
segala dosa yang selain syirik, yaitu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang
siapa yang syirik kepada Allah, maka sungguh ia telah tersesat sejauh-jauhnya
(QS. An-nisa’ ayat 116)
Kedua, lembaga pendidikan,
terbelah menjadi dua kutub, dan jauh panggang dari api dalam konteks semangat
dan universalitas Islam (Islam kaffah). Satu sisi, lembaga pendidikan yang ada
sepertinya hanya menggiring objek didik menggumuli kitab-kitab kuning dengan
sistem hafalan. Sedang pada sisi lain, sistem pendidikan Belanda hanya
bersentuhan dengan aspek kognitif dan skill pisikomotorik tok!
Berpijak dari realitas
objektif yang menggalaukan itu, Dahlan justru mensenyawakan kedua unsur baik
dari kedua sistem bertolak belakang itu. Kepada peserta didik ditransformasikan
kitab-kitab kuning – dengan sistem klasikal – untuk kemudian menggiringnya ke
kitab-kitab putih (realitas sosial umat) sesuai semangat zaman yang terus
merangkak maju.
Sepertinya, yang dirakit dan
dikemas Dahlan tak cuma integrasi dua habitat pendidikan yang berseberangan
itu. Tapi, sedari dulu Muhammadiyah telah menjamah apa yang disebut dengan
reposisi dan revitalisasi ajaran dan nilai Islam dalam kerangka pendidikan
ideal. Menyemburat dalam fikiran Dahlan bahwa, Islam yang bersumber pada Al
Qur-an dan Sunnah Rasul—yang shahih dan mutawatir, sama sekali tidak mengenal
dikotomi ke-ilmuan – seperti yang disemai bahkan diindoktrinasikan kolonial
Belanda demi memperkuat cengkraman kukunya di bumi nusantara.
Ketiga, yang tidak kalah
pentingnya – kehadiran Muhammadiyah justru membendung bahaya westernisasi yang
amat merugikan Islam dan umat Islam. Soalnya, tidak bisa dihitung dengan jari
kaum terpelajar yang terkontaminasi oleh kebudayaan dan peradaban Barat.
Sehingga Islam dijauhi, dimusuhi dan bahkan dipandang penghambat kemajuan.
Bergelayut di alam fikir mereka bahwa, yang penting meraup iptek dan budaya
Barat – tanpa ditapis nilai-nilai ketimuran. Pokoknya, untuk membeli kacamata –
mereka tega menggadaikan kedua-belah mata. Rumit memang!
Kondisi runyam ini
menyadarkan Dahlan untuk merancang bangun satu organisasi dakwah ber-kredoamar
ma’ruf nahi mungkar, yaitu Muhammadiyah itu tadi. Kalaupun belum mampu menekan
hingga ke titik nadir virus westernisasi – yang berimbas ke program yahudisasi
– paling tidak Muhammadiyah bisa mengimbangi dan meminimalisir – yang pada
gilirannya memang diharapkan virus itu tenggelam dan punah bagai daun dimamah
ulat (faja’a lahum ka ashfim ma’kul).
Keempat, secara eksternal
kelahiran Muhammadiyah di bumi Indonesia punya persentuhan berjalin-berkelindan
dengan ide dan gagasan pembaruan yang digelindingkan reformis Islam di Timur
Tengah. Sebutlah misalnya, Ibnu Taimiyah (1263 – 1328), Jamaluddin Al Afghani
(1838 – 1897), Muhammad Abduh (1849 – 1905), Rasyid Ridha (1856 – 1935) dan
sederet mujtahid lainnya yang anti syirik dan taqlid – tidak terkecuali taqlid politik,
taqlid budaya plus taqlid alam pikiran (rasionalitas).
Sebagai seorang mufassir
lafzhiyah wal ma’nawiyah (tekstual dan kontekstual), Dahlan yang dinobatkan
pemerintah sebagai pahlawan nasional ini amat terkesan dengan pesan dan
semangat pembaruan yang “disipongangkan” dari belahan Timur Tengah tersebut –
yang kemudian diaplikasikannya dengan mengibarkan bendera Muhammadiyah di tanah
air.
Apalagi sebelumnya, Dahlan
telah belajar banyak seputar kiat dan seni organisasi dari pergerakan Boedi
Oetomo – sebuah organisasi kebangsaan yang diarsiteki Dr. Soetomo pada 1905.
Yang membuat kita kini berdecak-kagum, segudang pengalaman organisasi yang
didulang Dahlan dalam kancah Boedi Oetomo disinergikan dengan firman Allah yang
terpaut penuh zauq/getaran dalam Surah Ali Imran ayat 104 dan 110 – yang
intinya memfardhukan umat menyusun barisan guna menyemai benih kebajikan dan
membasmi kezaliman.
Amma ba’du! Bernostalgia,
berdendang panjang, dan tenggelam dengan kehebatan Muhammadiyah tempo doeloe,
bukanlah budaya Muhammadiyah. Makanya, dalam menjalani usia Muhammadiyah yang
sudah 102 dan 99 tahun kini—agenda akbar yang terbentang di pelupuk mata antara
lain: Pertama,sebagai gerakan Islam dan gerakan budaya – Muhammadiyah mesti
sadar betapa kritisnya situasi keadaban anak manusia sekarang. Muhammadiyah
sejatinya meneropong abad kini dan abad mendatang – tak boleh dibiarkan
“tersungkur” lebih dalam lagi ke dalam kawah kerancuan moral, kerancuan
spritual, kerancuan transendental dan juga kerancuan kultural.
Lebih dikerucutkan, sebagai
gerakan yang selalu mengusung kredo amar ma’ruf nahi mungkar dalam pelataran
makro – Muhammadiyah ikut bertanggung-jawab (bukan menjawab tanggung-tanggung)
menyelamatkan negeri ini dari bahaya KKN alias korupsi, kolusi dan nepotisme –
baik pribadi apalagi berjama’ah. Sebab, modus operandi mempergemuk pundi di
bumi Indonesia kini – bukanya kian berkurang, tapi malah semakin menggila.
Sampai-sampai dana haji, dana madrasah, dana zakat dan uang sakral lainya pun
dikorup tangan-tangan jahil tak bertanggung jawab. Na’udzubillahi min dzalik!
Apalagi segenggam political
will (baca : nawaitu) yang menyembul di jiwa Presiden SBY – panggilan akrab
Susilo Bambang Yudhoyono, akan menerabas korupsi sampai ke akar tunggangnya –
nyaris tidak berhasil secara signifikan. Bagaimana benar mewabahnya virus KKN
di negeri kita akan lebih afdhal dibaca ulangMajalah Tabligh, Edisi 21/IX
Dzulhijjah 1432 H—Muharram 1433 H. Dalam konteks ini, agaknya kerjasama
Muhammadiyah – NU (Nahdatul Ulama) yang dideklarasikan di Padang beberapa tahun
yang lalu sejatinya ditelusuri dan dijemput kembali.
Kedua, Islam hingga kini
belum berhasil maksimal meletakkan dasar-dasar moral yang kokoh bagi bangunan
bangsa yang tengah terhuyung akibat dihantam krisis multi-dimensional sejak
1998 lalu. Maka,gawe akbar yang mesti digelindingkan ke depan bagaimana merakit
substansi plus metodologi jitu, strategis dan aplikatif terhadap seruan:
“kembali pada Al Qur-an dan Sunnah” yang digaungkan Muhammadiyah ke-sana
ke-mari sejak awal berdirinya.
Soalnya, seruan semata tanpa
dibarengi gerakan intelektual dan membumi, umat Islam pada giliranya tidak akan
pergi ke mana-mana (jumud alias statis). Langkah pembaruan Muhammadiyah hanya
akan beringsut di kawasan marjinal, kawasan internal dan kawasan formalistik
dari universalitas doktrin Islam (kaffah wa rahmatan lil’alamin).
Konkretisasi untuk menggapai
tujuan mulia ini, bagaimana menganyam apik Perguruan Tinggi Muhammadiyah lewat
kerjasama dengan berbagai stakeholders dan Perguruan Tinggi lain sebagai sentral
keunggulan dalam bidang ilmu, teknik, moral, spritual dan budaya. Diharapkan,
kepada para Rektor Universitas Muhammadiyah, kiranya berfikir secara strategis
guna menjuluk tujuan ideal konsepsional itu.
Akhirul kalam! Guna melecut
kembali semangat ke-Muhammadiyahan warga yang belakangan ini nyaris pudar, mari
direnungkan sebait syair yang diwariskan reformis Islam M. Iqbal (1876 – 1938):
“Jangan ditiru deburan ombak – yang hanya berdendang bila terhempas ke tepi
pantai. Tapi, jadilah bagai air bah! Ubah dunia dengan kalam-mu – sinari zaman
dengan cahaya imanmu.” Wallahu a’lam bish shawab.
Oleh: Drs.
H. Marjohan, MM (Wakil Ketua PDM Pasaman, Sumatera Barat)
Sumber:
tabligh.or.id
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload