Tanpa Pancasila, China dan India Maju
8/07/2015
“Tanpa Pancasila, China dan India bisa maju.” Ungkapan itu
diucapkan seorang brigjen (Purn) kepada sejumlah jenderal (Purn) lain dalam
dialog tentang kondisi bangsa kita yang tidak kunjung membaik setelah reformasi
berjalan delapan tahun.
Hampir semua peserta dialog berpendapat, kita hanya
akan bisa keluar dari kondisi menyedihkan ini bila kembali ke UUD 45 yang asli
dan Pancasila.
Kawan itu mengatakan, China, India, Korsel, dan banyak
negara lain tidak punya Pancasila tetapi mereka telah membuktikan, mereka bisa
maju dalam banyak bidang kehidupan, teknologi, pendidikan, industri, dan
ekonomi. Mungkin banyak pihak yang punya pendapat sama. Apakah pendapat kawan
itu benar?
Kurang tepat
Pendapat kawan itu kurang tepat. Yang tepat, tanpa bicara
Pancasila banyak negara bisa mencapai kemajuan. Tetapi mereka menerapkan dan
mengamalkan konsep “negara-ideal mereka”. Mereka tidak sibuk bicara masalah
ideologis yang terlalu abstrak, tetapi menerapkan cita-cita negara ideal yang
akan dibentuk, ke dalam kehidupan nyata.
Mungkin hanya sila Ketuhanan yang tidak terkandung
dalam konsep negara ideal dari negara-negara itu. Sila lain, saya yakin,
tercakup dalam konsep negara ideal mereka, meski dalam rumusan lain. Prinsip
persatuan nasional, keadilan sosial, dan kemanusiaan tentu tercakup sesuai
persepsi negara itu pada suatu era tertentu sejalan dinamika sosial politik
negara itu dalam perjalanan kesejarahannya, tentu dengan memerhatikan tuntutan
perkembangan global.
Apalagi prinsip kerakyatan atau demokrasi, setiap
negara punya pendapat sendiri tentang demokrasi macam apa yang mereka butuhkan
pada era tertentu. Kini banyak wacana tentang adanya pilihan antara demokrasi
dan ekonomi. Kita masih ingat pernyataan Dr Mahathir Mohamad, Malaysia
mengutamakan pembangunan ekonomi lebih dulu sebelum pembangunan demokrasi.
Adapun kita di era Reformasi lebih mengutamakan
pembangunan demokrasi dibanding pembangunan ekonomi. Kecenderungan itu terjadi
karena Orde Baru lebih mengutamakan pembangunan ekonomi dibanding politik, yang
berakibat tersumbatnya aspirasi rakyat sehingga demokratisasi menjadi tuntutan
utama reformasi.
Ironinya, kita melihat demokrasi yang lebih bersifat
prosedural daripada substansial. Kita saksikan anggota DPR lebih mengutamakan
diri dan partai dibanding pemilihnya.
Sila Keadilan Sosial sungguh diabaikan dengan
kenyataan adanya kesenjangan antarwilayah barat dan timur, kesenjangan antara
desa dan kota, kesenjangan yang mencolok antara sekelompok kecil yang kaya dan
sejumlah besar warga miskin.
Over dosis
Itu semua akibat kebijakan kekuasaan yang
sentralistis dan otoriter. Ketidakadilan itu merusak sendi-sendi dari persatuan
nasional. Kekuasaan sentralistis itu di era reformasi diberi obat otonomi
daerah yang over-dosis yaitu otonomi pada tingkat kabupaten/kota.
Kelima sila itu tidak kita laksanakan dengan baik.
Persatuan Indonesia selalu didengungkan tetapi syarat utamanya, yaitu keadilan
sosial sama sekali tidak diperhatikan. Tanpa keadilan sosial, sila kemanusiaan
terasa hampa dan hanya menjadi retorika. Keadilan hukum tidak mampu diwujudkan
meski negara kita adalah negara hukum.
Perhatikan wacana yang berkembang belakangan ini,
jika kita bicara tentang mempertahankan Pancasila, hemat saya asosiasi kita
terutama tertuju pada sila Ketuhanan YME. Tampaknya sila lain terabaikan.
Ironinya, kita sibuk bicara tentang pentingnya sila
pertama, tetapi tidak mampu menjawab mengapa sila pertama tidak ada bekasnya
dalam kehidupan nyata kita. Korupsi—penyakit kanker kita di era Orde Baru dan
amat dilarang oleh agama mana pun—tidak segera diperangi, hingga penyakit itu
terus menggerogoti dan menjadi ancaman utama eksistensi negara.
Alih-alih menjadi sesuatu yang membawa berkah,
adakalanya terjadi, agama justru menjadi bencana akibat konflik antaragama. Hal
ini juga tidak lepas dari ketidakadilan sosial, ekonomi, dan hukum yang tidak
mampu kita wujudkan.
Pendidikan yang menjadi syarat utama untuk membangun
bangsa, kita abaikan selama puluhan tahun. Penerapan kelima sila dalam
kehidupan nyata harus dilakukan bersama dengan keseimbangan yang relatif
terjaga.
Sekali lagi ditegaskan, tidak betul bahwa China,
India, Korsel dan banyak negara lain bisa maju tanpa Pancasila. Mereka punya
“Pancasila” sendiri, yaitu prinsip-prinsip dasar tentang negara ideal yang
mereka cita-citakan. Bedanya, kita hanya bicara tentang Pancasila, sedang
mereka tidak membicarakannya, tetapi menerapkannya dalam kehidupan nyata.
Oleh : Dr. Ir. KH. Salahuddin Wahid
Sumber: tebuireng.org, edisi 18/4/15,
diakses 7/8/15 pukul 13.00 wib
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload