Nama, 'Islamisasi', dan 'Arabisasi' di Jawa
7/21/2015
Pada hari Jum’at 29 Mei 2015
lalu, bertempat di Gedung Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta,
berlangsung sebuah diskusi yang mengambil tema “Islamization in Java. Contemporary Etnographic and Quantitative
Data on Arabic Names”. Diskusi ini diawali dengan presentasi hasil
penelitian kuantitatif oleh Joel C. Kuipers antropolog asal Universitas George
Washington Amerika Serikat. Dalam presentasi ini Kuipers memaparkan hasil
penelitian yang dilakukannya selama 10 tahun tentang nama-nama berbahasa Arab
di kalangan masyarakat Jawa. Dari penelitiannya ini banyak fakta menarik yang
berhasil digali.
Nama
sebagai Penanda
Penelitian mengenai nama ini dilakukan dalam rangka
memahami proses Islamisasi yang berlangsung di tengah masyarakat Jawa selama
satu abad terakhir. Mengapa nama menjadi obyek penelitian? Dan apa kaitan
antara nama berbahasa Arab dengan Islamisasi? Tidak banyak orang yang menyadari
bahwa perubahan atau pergeseran dalam hal pemberian nama sesungguhnya bisa
mencerminkan perubahan yang terjadi dalam sebuah masyarakat. Dalam kaitannya
dengan Islamisasi, diasumsikan bahwa semakin meningkatnya pengaruh Islam di tengah
masyarakat Jawa bisa dilihat dari semakin banyaknya orang yang menggunakan
nama-nama Arab. Mengapa demikian? Dalam konteks kehidupan masyarakat Muslim di
Jawa bahasa Arab erat kaitannya dengan aktivitas ibadah, bahasa Arab juga
merupakan bahasa Al Qur`an. Dengan demikian menyandang nama yang diambil dari
bahasa Arab identik dengan -setidaknya harapan- menjadi Muslim yang taat.
Nama-nama
Arab di Tiga Daerah Jawa
Untuk mengeksplorasi penggunaan nama Arab di Jawa,
Kuipers dibantu asistennya yang terdiri dari para peneliti lokal mengumpulkan
data nama yang tercatat dalam database kependudukan di tiga daerah di Jawa
yaitu Kabupaten Bantul (DI Yogyakarta), Lamongan, dan Lumajang (keduanya di
Jawa Timur). Ketiga daerah itu dipilih sebagai sampel untuk mewakili tiga area
kebudayaan Jawa yaitu Mataraman (Bantul), Pasisiran (Lamongan), dan Brang Wetan
(Lumajang). Kuipers beserta timnya mengumpulkan data nama yang tercatat dalam
kurun waktu satu abad lebih yaitu dari tahun 1900-2010. Tim Kuipers lalu
mengklasifikasikan nama-nama yang diperoleh ke dalam enam kategori yaitu nama
Jawa murni, nama Arab murni, nama Barat murni, nama Jawa campuran, nama Arab
campuran, dan nama Barat campuran.
Berdasarkan data-data yang telah diklasifikasikan
tersebut dapat dianalisis bagaimana pergeseran yang terjadi dalam pola
pemberian nama di kalangan masyarakat di ketiga daerah itu selama satu abad
terakhir. Hasilnya, Kuipers menemukan fenomena yang sama di ketiga daerah yang
diteliti yaitu semakin berkurangnya penggunaan nama-nama Jawa murni dan
meningkatnya penggunaan nama-nama Arab -baik nama Arab murni maupun campuran-
dari masa ke masa. Di Bantul yang mewakili daerah Mataraman ditemukan bahwa
sampai dekade 1980-an nama-nama Jawa murni masih mendominasi, sebaliknya
nama-nama Arab murni hanya sedikit jumlahnya. Namun memasuki dekade 1980-an
sampai 2000-an nama-nama Arab murni semakin banyak ditemukan sementara
nama-nama Arab campuran -dengan nama Jawa, Barat, atau keduanya- perlahan-lahan
menjadi nama yang paling banyak ditemukan pada periode tersebut. Sementara itu
di Lamongan dan Lumajang nama-nama Arab -murni dan campuran- sudah banyak
ditemukan sejak awal abad lalu, melebihi nama-nama Jawa murni. Memasuki
dasawarsa 1990-an-2000-an nama-nama Arab semakin jamak ditemukan di kedua daerah
ini sedangkan nama-nama Jawa murni hanya tinggal sedikit sekali. Satu hal yang
menarik bahwa di ketiga daerah yang diteliti nama-nama khas Jawa dengan awalan
“Su-” (seperti Sumarno, Sunarto (untuk laki-laki) atau Sumarni dan Sunarti
(untuk perempuan)) sudah hilang sama sekali pada dekade 2000-an. Padahal di
Bantul pada dasawarsa 1950-an-1970-an nama-nama berawalan “Su-” sangat jamak
ditemukan bahkan boleh dibilang menjadi nama yang dominan. Sebaliknya nama
“Muhammad” semakin lazim dijumpai di ketiga daerah itu pada dekade
1980-an-2000-an.
Temuan lain dari penelitian ini adalah adanya
kecenderungan standarisasi nama yang digunakan. Nama “Muhammad” misalnya, pada
dasawarsa 1980-an-1990-an makin banyak ditulis dengan ejaan “Muhammad”
sementara pada periode-periode sebelumnya ada sejumlah variasi dari nama
“Muhammad” antara lain “Mohammad”, “Mochammad”, “Mohamad”, “Mochamad”,
“Mochamat”, atau disingkat “Moch.”, “Moh.”, dan “Much.”. Demikian pula dengan
nama “Aisyah”, pada akhir abad ke-20 dan awal abad ini semakin banyak ditulis
dengan “Aisyah” atau bahkan “A’isyah” sementara makin mundur ke belakang
penulisan nama “Aisyah” lebih bervariasi antara lain “Aisah”, “Ngaisah”, atau
bahkan tertukar dengan “Asiyah”. Di sisi lain ada pula kecenderungan
meningkatnya hibridisasi nama Arab, yaitu pencampuran nama Arab dengan nama
Jawa atau -dalam kuantitas yang lebih rendah- Barat atau campuran ketiganya
(Arab, Jawa, dan Barat) di ketiga daerah dalam kurun waktu beberapa dekade
terakhir. Perlu pula dicatat bahwa sepanjang periode yang diteliti nama-nama
Barat di tiga daerah tersebut selalu sangat jarang ditemukan.
Nama
Arab: Penanda Identitas Keislaman
Meningkatnya pemakaian nama-nama Arab di Bantul,
Lamongan, dan Lumajang dalam beberapa dasawarsa terakhir ini tentu saja bukan
suatu kebetulan. Mengingat bahasa Arab identik dengan Islam tidak berlebihan
jika dikatakan bahwa meningkatnya pemakaian nama-nama Arab di tiga kabupaten
Jawa ini mengindikasikan meningkatnya kesadaran akan identitas keislaman di
tengah masyarakat ketiga daerah tersebut. Menyandang nama Arab membuat
seseorang terlihat lebih Islami -atau setidaknya demikianlah harapan orang tua
yang memberi nama anaknya. Tentang apa yang mendorong timbulnya kesadaran
identitas ini, Kuipers menyatakan bahwa perlu diadakan penelitian lebih
lanjut, akan tetapi ia mengajukan sekurang-kurangnya dua hipotesis untuk
menjawab pertanyaan ini, yaitu timbulnya gelombang “kebangkitan Islam”
mulai dekade 1980-an menyusul keberhasilan Revolusi Iran dan semakin meratanya
penyebaran pengetahuan Islam di Jawa, menyusul dimasukkannya pelajaran agama
Islam sebagai mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah umum. Semakin
terstandarisasinya ejaan nama-nama Arab -seperti pada kasus “Muhammad” dan
“Aisyah”- juga bisa menjadi indikasi meningkatnya pengetahuan tentang bagaimana
penulisan nama Arab secara tepat yang tampaknya berbanding lurus dengan
meratanya penyebaran pengetahuan agama di tengah masyarakat.
Yang menjadi pertanyaan kemudian,
apakah meningkatnya pemakaian nama-nama Arab berbanding lurus dengan
meningkatnya kesalehan masyarakat tersebut -baik dalam dimensi hablum minallah maupun hablum minannaas? Penelitian Kuipers tidak berpretensi meneliti
sampai sedalam itu, namun tentu saja kita bisa menjawab bahwa belum tentu
meningkatnya pemakaian nama-nama Arab sama artinya dengan meningkatnya
kesalehan masyarakat.
“Islamisasi”
dan “Arabisasi”
Mencermati hasil penelitian Joel Kuipers tentang
pemakaian nama-nama Arab ini menjadi menarik jika dikaitkan dengan perdebatan
di seputar wacana “Islamisasi” dan “Arabisasi”. Pembicaraan tentang
“Islamisasi” dan “Arabisasi” memang kerap diwarnai silang sengkarut yang
berpangkal pada ketidakjelasan dan tidak adanya kesepakatan tentang pengertian
konsep-konsep tersebut. Apakah pemakaian nama-nama Arab mencerminkan
Islamisasi, Arabisasi, atau keduanya sangat tergantung dari makna konsep
“Islamisasi” atau “Arabisasi” yang dimaksud. Kita pun harus kritis melihat
makna “Islamisasi” yang dipakai Joel Kuipers, yang hanya memakai ukuran-ukuran
material dalam menilai gejala “Islamisasi.”
Di satu sisi memang mustahil melepaskan Islam sama
sekali dari kearaban. Bagaimanapun bahasa Arab -dengan segala nalar dan cita
rasa bahasanya- sebagai bahasa Al Qur`an adalah kunci untuk memahami khazanah
ajaran Islam. Untuk bisa menyelami kedalaman isi Al Qur`an seseorang wajib
betul-betul memahami bahkan juga menghayati bahasa Arab. Sementara kita ketahui
bahwa bahasa adalah salah satu unsur dari kebudayaan. Dengan demikian
maka secara tidak langsung untuk bisa memahami kandungan Al Qur`an secara
mendalam seorang Muslim memang harus “mengarabkan” dirinya, bukankah dengan
menghayati sebuah bahasa maka sesungguhnya kita -sadar ataupun tidak-
mencelupkan diri kita dalam suatu budaya tertentu? Dahulu sebelum masuknya
Islam negeri-negeri di kawasan Asia Barat dan Afrika Utara yang kini menjadi
negeri-negeri Arab -karena penduduknya berbahasa Arab- bukanlah negeri Arab.
Namun setelah penduduk negeri-negeri itu berbondong-bondong masuk Islam secara
berangsur-angsur akhirnya negeri-negeri itu menjadi negeri Arab sebagaimana
kita kenal sekarang. Mengapa demikian? Itu karena penduduk negeri-negeri
tersebut ingin memahami Al Qur`an dan untuk itu mereka harus belajar bahasa
Arab. Oleh karena cara paling mudah mempelajari suatu bahasa adalah dengan
mengadopsinya sebagai bahasa sehari-hari maka merekapun mengadopsi bahasa Arab
dan akhirnya mereka beserta anak cucunya menjadi orang Arab sampai sekarang.
Berkaca pada kasus ini maka sampai batas-batas tertentu Islamisasi memang
identik dengan Arabisasi.
Dalam tataran yang sederhana, pengadopsian nama-nama
Arab bisa dilihat sebagai suatu bentuk upaya masyarakat untuk menjadi lebih
Islami. Secara gamblang Kuipers mengaitkan meningkatnya pemakaian nama-nama
Arab di Jawa dengan Islamisasi, dalam artian semakin banyaknya orang di dalam
masyarakat Jawa yang memandang penting identitas keislaman yang lalu
disimbolkan dengan penggunaan nama-nama Arab. Apakah ini bisa disebut sebagai
Arabisasi? Ya, ia adalah suatu bentuk Arabisasi namun sekaligus juga
Islamisasi. Hanya saja apakah semua bentuk Arabisasi adalah juga -atau sejalan
dengan- Islamisasi? Jawabannya belum tentu. Dalam sesi diskusi, sejumlah
peserta mengungkapkan bahwa seringkali terjadi orang-orang memberikan nama Arab
kepada anaknya tanpa mengetahui arti nama tersebut. Mereka berdasarkan
pengalamannya menemukan bahwa terkadang justru nama Arab yang diberikan
memiliki arti yang jelek -misalnya “Khoirul Munafiqin” (sebaik-baik orang
munafiq), “Mar`atul Jahiliyah” (perempuan jahiliyah), atau Parjiyatun (dari
kata “farji”, artinya kemaluan perempuan). Tentu saja pemberian nama-nama
semacam itu bertentangan dengan perintah Rasulullah agar orang tua memberi nama
anak-anaknya dengan nama yang baik. Dalam keterangan para ulama tidak
disebutkan bahwa nama yang baik itu harus dalam bahasa Arab meskipun tentu saja
dalam bahasa Arab sendiri ada sangat banyak kata yang baik yang bisa dijadikan
sebagai nama orang. Terlepas dari itu adanya kasus orang-orang bernama Arab
dengan arti yang jelek jelas timbul dari salah kaprah bahwa segala hal yang
berbau Arab itu pasti baik dan Islami tanpa memahaminya lebih dalam. Dalam
kasus ini jelas Arabisasi tidak sama dan sebangun dengan Islamisasi.
Nama
Arab Rasa Nusantara
Oleh sebagian orang, merebaknya hal-hal berbau Arab
-yang sedikit banyak berhubungan dengan Islamisasi, walau tidak selalu
demikian- dipandang secara negatif, bahkan sinis. Putri mantan Perdana Menteri
Malaysia Mahathir Muhammad, Marina Muhammad misalnya menyatakan bahwa Arabisasi
adalah suatu bentuk “penjajahan budaya”. Sesungguhnya tuduhan ekstrim semacam
ini hanyalah suatu ungkapan emosional belaka yang sangat subyektif dan tidak
memiliki dasar ilmiah yang kuat. Apakah masuknya pengaruh asing dalam budaya
suatu bangsa bisa begitu saja dipahami sebagai penjajahan budaya? Bagaimana
jika bangsa tersebut secara kreatif menggunakan pengaruh luar itu sedemikian rupa
sehingga menjadi suatu hal yang otentik? Suatu hal yang meskipun datang dari
luar namun justru berbeda dengan bentuk di tempat asalnya dan akhirnya menjadi
milik mereka sendiri.
Ini dapat dilihat dari kasus
banyaknya nama-nama Arab di Jawa yang mengalami hibridisasi dengan nama-nama
Jawa (misal Ahmad Purnomo, Anwar Haryono, Nur Aini Setiawati, Sinta Nuriyah
dsb). Hibridisasi ini menunjukkan bahwa Muslim Jawa memiliki kreativitas untuk
memadukan pengaruh luar dan “budaya lokal” yang kemudian menghasilkan sesuatu
yang otentik alias khas Jawa. Di sisi lain nama-nama Arab murni yang
beredar di kalangan Muslim Jawa sekalipun kerap terdengar asing di telinga
orang Arab sendiri walau artinya baik. Di kalangan Muslim Jawa -dan Muslim
Indonesia pada umumnya- nama-nama seperti Burhanuddin (bukti agama), Zainuddin
(perhiasan agama), atau Syamsul Arifin (matahari orang-orang arif) sering
dipakai sebagai nama diri yang disandang seseorang sejak lahir namun bagi orang
Arab nama-nama semacam itu bukanlah nama diri (asma). Di negeri-negeri Arab nama-nama tersebut adalah laqob (gelar) yang diberikan kepada seseorang yang
memiliki sifat atau kelebihan tertentu yang menonjol pada dirinya.
Yang juga menarik di kalangan
Muslim Jawa berlatar belakang pesantren banyak yang menggunakan nisbah
nama-nama para ulama sebagai nama diri (misal Bukhori, Nawawi, Ghozali,
Dimyathi, Suyuthi, dll), hal mana tidak akan kita temukan dalam masyarakat
Arab. Yang lebih unik lagi, tidak jarang kaum Muslim Jawa berlatar belakang
pesantren menamai anaknya dengan judul kitab-kitab kuning seperti “Sullamut
Taufiq” (kitab akidah dan fikih dasar), “Fathul Qorib” (salah satu kitab fikih
mazhab Syafi’i), “Fathul Bari” (kitab syarah Shahih Bukhari), dan sebagainya.
Ini pun tidak dikenal dalam masyarakat Arab sendiri. Mereka yang menamai
anak-anaknya dengan judul kitab kuning biasanya beralasan bahwa itu adalah
suatu bentuk tabarrukan atau ngalap barokah dengan harapan berkah ilmu yang terkandung dalam
kitab-kitab itu mengalir pada anak-anak mereka.
Jika
dikaitkan dengan tradisi masyarakat Jawa, memang biasanya orang-orang Jawa yang
terdidik menamai anak-anaknya dengan nama-nama yang mengandung nilai harapan
yang sangat tinggi. Ini bisa dilihat dari nama-nama kaum priayi seperti
Joyokusumo, Joyodiningrat, Atmokusumo, Singonegoro, dan sebagainya yang
mencerminkan harapan akan kehormatan dan ketinggian martabat. Dalam konteks
ini, penggunaan nama-nama Arab yang diambil dari laqob, nisbah nama ulama, atau
judul kitab kuning di kalangan santri Jawa sesungguhnya paralel dengan
penggunaan nama-nama Sansekerta atau Kawi (Jawa kuno) di kalangan priayi.
Kedua-duanya sama-sama menunjukkan persepsi orang Jawa tentang arti penting
nama sebagai sebuah harapan. Menurut Kuipers ini adalah fenomena khas Jawa yang
tidak selalu ditemukan di tempat lain. Ia mencontohkan di Pulau Sumba dan
bahkan di Barat orang tua memberi nama anaknya tanpa terlalu memikirkan apa
arti nama tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pola pemakaian nama
Arab di tengah masyarakat Jawa sesungguhnya memiliki kekhasan yang
membedakannya dengan pola pemakaian nama Arab di masyarakat Arab sendiri. Pola
pemakaian ini bisa disebut sebagai ragam bahasa Arab ala Jawa atau ala
Nusantara.
Pada
akhirnya fakta bahwa banyak orang Jawa menamai anaknya dengan nama-nama Arab
yang memiliki arti yang baik -betapapun nama itu terdengar asing di telinga
orang Arab- menunjukkan bahwa Islamisasi dan Arabisasi memang berjalin
berkelindan satu sama lain sehingga mustahil memisahkan keduanya. Di sisi lain
fakta bahwa orang Jawa mengadopsi, mengadaptasi, dan juga menghibridisasi
nama-nama Arab menunjukkan bahwa apa yang disebut Arabisasi itu tidak berjalan
satu arah. Alih-alih sekadar menjadi konsumen pasif -yang bisa ditafsirkan
sebagai suatu bentuk “keterjajahan budaya”- Muslim Jawa mengolah sedemikian
rupa nama-nama Arab menjadi suatu pengungkapan diri yang otentik. Arabisasi
-yang berkelindan dengan Islamisasi- tidak dipandang secara paranoid dan
alergik sebagai ancaman bagi identitas dan “budaya asli” Jawa melainkan sesuatu
yang justru memperkaya identitas dan budaya itu sendiri.
Oleh : Adif Fahrizal – Mahasiswa
S2 Sejarah Universitas Gajah Mada
Sumber: jejakislam.net, edisi 8/6/15,
diakses 21/7/15
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload