Antara Islam dan Kebudayaan Candi
7/21/2015
Salah satu upaya yang dilakukan
oleh orientalis dalam menyingkirkan pengaruh dan peranan Islam dalam suatu
masyarakat adalah melalui nativisasi.
Nativisasi ini secara sederhana dapat didefinisikan sebagai usaha yang
sistematis maupun tidak yang dijalankan untuk menghilangkan peran kesejarahan
Islam dan umatnya dari suatu negeri dengan cara mengangkat budaya lokal
setempat. Keberadaan “budaya lokal” setempat yang diangkat itu sendiri, dalam
arus nativisasi, bukan merupakan hal yang telah final, melainkan melalui
proses rancang ulang yang tidak jarang merupakan hasil rekayasa belaka. Tujuan
utama dari program ini adalah memarginalkan peran Islam, lantas menempatkannya
sebagai “pengaruh asing” yang diposisikan berseberangan dengan “agama asli”
pribumi. Bukan dalam rangka mengangkat budaya pribumi itu sendiri, melainkan
lebih banyak dilakukan untuk kepentingan lain yang bersifat hegemonik, termasuk
kristenisasi.
Salah satu
contoh yang jelas dari proses nativisasi misalnya adalah identifikasi Mesir
dengan peradaban Piramida. Dalam diskursus ini direkayasa bahwa Mesir menjadi
besar karena budaya Piramid dan bukannya karena kedatangan Islam. Peranan Islam
di masa lalu coba digantikan dengan peranan semu yang dilakukan oleh para
Fir’aun dari masa yang jauh lebih kuno. Dalam pada ini, Islam hanya diposisikan
telah meninggalkan peradaban yang tidak signifikan bagi kemajuan. Mesir menjadi
maju karena mewarisi kebesaran dan semangat dari Fir’aun yang berhasil membina
sejumlah bangunan monumental.
Di Indonesia,
proses nativisasi ini juga dijalankan oleh para orientalis dan misionaris.
Mulai dari pengaburan sejarah terkait peran ulama dan pahlawan Islam hingga
pemunculan sejumlah aliran kebatinan yang tidak sepenuhnya “original”. Pada
beberapa kasus bahkan bersifat mekanistis karena terbentuk melalui melalui
proses rekayasa. Sejajar dengan bangunan Piramida di Mesir, di Indonesia kaum
orientalis berusaha mengangkat kebudayaan candi sebagai kebudayaan asli
Indonesia yang dianggap jauh lebih bermakna daripada warisan tradisi Islam.
Diskursus
tentang kebudayaan candi dan upaya marginalisasi Islam dengan memanfaatkan isu
ini rasanya menarik untuk dikaji. Tulisan ini disajikan untuk menjembatani
wujud pewacanaan yang dimaksud. Pada giliran selanjutnya, besar harapan penulis
akan menjadi pemantik bagi proses pengembangan kajian selanjutnya.
KEBUDAYAAN YANG DILUPAKAN
Kebudayaan candi sebenarnya
merupakan kebudayaan yang pernah mati dan hilang dari ingatan publik masyarakat
di nusantara. Usaha mengangkat kembali, candi sebagai peninggalan leluhur yang
adi luhung seringkali tidak sepi dari motif dan kepentingan tertentu.
Diantaranya berusaha memarginalkan peran Islam di nusantara sebagai pijakan
untuk melaksanakan misi kristenisasi melalui pendekatannya untuk menemukan
titik temu antara kejawen dan Kristen. Tulisan Bambang Noorsena, tokoh Kristen
Orthodoks Syria, merupakan salah satu wujud dari karya yang bersifat demikian.
Dalam bukunya Noorsena membuat klaim sebagai berikut:
“ …. Serat Wedhatama mengistilahkan sembah
raga yang masih harus ditingkatkan pada tahapan yang lebih
halus: sembah cipta, sembah kalbu, dan sembah
rasa. Suatu penjawaan dari jalan-jalan pendakian tasawuf syari’ah, Tariqah, Haqiqah,
dan Ma’rifah, yang terlebih dahulu sudah dirasuki mistik
Hindhu-Budha.
Penggambaran tahap-tahap
pendakian mistik ini, mudah dilacak dari berbagai peninggalan bersejarah di
tanah air kita. Hal ini membuktikan betapa kuat meresapnya jejak-jejak mistik
Hindu, Buddha, dan Islam, yang berpadu dengan unsur agama asli. Monumen stupa
Borobudur dan Masjid Demak merupakan contoh pengabadian bangunan punden
berundak dari masa megalitikum. Bangunan stupa Borobudur disebut dari
bawah: Kamadatu (alam keinginan), rupadatu (alam rupa),
dan arupadatu (alam tanpa rupa) sejajar dengan masjid Demak bersusun tiga
yang melambangkan Syari’ah, tariqah, dan haqiqah. Sedangkan tujuan tertinggi
dari perjalanan mistik digambarkan dengan makuta di ujung atas masjid yang
semotif dengan stupa teratas Borobudur yang dulu kosong karena menggambarkan keabadian
alam Buddha (sunya).”[1]
Dalam kutipan
di atas, nampaknya Bambang Noorsena menggambarkan bahwa sejumlah tradisi Islam
telah mengalami penjawaan sedemikian rupa dengan masuknya unsur-unsur agama
Jawa asli setelah sebelumnya dirasuki mistik Hindhu dan Buddha. Dengan demikian
Islam dalam sejumlah karya sastra Jawa tersebut oleh Bambang Noorsena
ditempatkan sebagai entitas yang sepenuhnya tunduk terhadap agama asli Jawa.
Noorsena kemudian berusaha membuktikan bahwa jejak-jejak perpaduan agama itu
dapat dilacak pada sejumlah peninggalan sejarah di tanah air termasuk Candi
Borobudur dan Masjid Demak.
Argumentasi
Bambang Noorsena bahwa keempat jalan pendakian tasawuf Islam telah direduksi
oleh pengaruh mistik Hindu dan Buddha dengan mengambil bukti pendukung berupa
Candi Borobudur dan Masjid Demak, jelas merupakan rasionalisasi yang kurang
tepat. Tentang Borobudur, misalnya, candi yang dianggap sebagai warisan bangsa
Indonesia ini memang seringkali ditempatkan sebagai bukti bahwa Budhisme pernah
sedemikian kuat pengaruhnya bagi sebagian masyarakat Jawa. Sampai pada titik
ini tidak terlalu ada masalah. Namun kemudian justru kenyataan ini dimanfaatkan
sebagai justifikasi bahwa Budhisme masih memainkan peran hingga pada masa kini
dengan bukti Borobudur ini. Termasuk memposisikan ajaran Islam di Jawa yang
dianggap telah tereduksi oleh semangat Budhisme karena masih mengadopsi
ciri-ciri arsitektural yang sama. Jelas ini adalah proses untuk menempatkan
posisi generasi mendatang dengan “ingatan” yang dibentuk dengan sebuah
“kelupaan sejarah”.
Borobudur sendiri sebenarnya
telah pernah lenyap dari ingatan kolektif penduduk nusantara. Soediman, seorang
Pengajar di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada serta pernah
menjabat sebagai Pimpinan Harian Kantor Pelaksana Proyek Pemugaran Candi
Borobudur, mengungkapkan bahwa Borobudur baru diketemukan kembali pada tahun
1814 setelah kira-kira delapan abad dilupakan orang dan terpendam di dalam
tanah. Pada waktu diketemukan candi ini berada dalam keadaan menyedihkan.[2] Candi ini telah berujud menjadi sebuah gunung
kecil atau bukit yang ditutupi oleh semak belukar. Di gunung tersebut banyak
ditemukan potongan-potongan arca oleh penduduk setempat yang pemberani.
Sedangkan umumnya penduduk saat itu justru takut untuk datang ke gunung yang
kemudian diketahui sebagai Borobudur. Penyebabnya, masyarakat era itu menganggap
bahwa gunung tersebut sebagai tempat angker dan berbahaya. Hingga tahun1814,
Stamford Raffles, Gubernur Jendral Britania Raya di Jawa, mendengar berita
penemuan sejumlah potongan arca di gunung tersebut.
Pada tahun 1900 M di bawah pemerintah
Hindia Belanda maka dilakukan perawatan terhadap “bukit” yang ditemukan. Semak
belukar dan tanah yang mengurugnya mulai dibersihkan dan ditemukanlah struktur
bangunan candi. Sebagian besar ditemukan dalam kondisi yang sudah rusak parah.
Baru pada yahun 1907 dilakukan pemugaran yang dipimpin oleh Theodore Van Erp,
seorang perwira Zeni Angkatan Darat Kerajaan Belanda. Perbaikan di bawah
pimpinan Van Erp ini berlangsung antara 1907 sampai 1911. Pemugaran ini pun
hanya sampai memasang beberapa buah gapura, sementara dinding lorong pertama
dan kedua tetap dibiarkan miring, serta pagar langkannya masih banyak yang
menganga.[3] Pada era ini Candi Borobudur pun belum bisa
diperkenalkan kepada publik secara luas dengan alasan keamanan bangunan.
Dengan
mencermati sejarah “penemuan kembali” Candi Borobudur ini, maka muncul
pertanyaan baru, Apakah layak mendasarkan sebuah teori bahwa ajaran Buddha
sedemikian kuatnya berpengaruh dengan menggunakan contoh Candi Borobudur yang
disejajarkan dengan bangunan Masjid Demak? Sementara diketahui bahwa Candi
Borobudur telah “hilang” selama 8 (delapan) abad sebelumnya. Boleh dikatakan
bahwa “kelupaan sejarah” terhadap Candi Borobudur ini bahkan telah berlangsung
melewati masa Majapahit dan Kesultanan Demak. Belum lagi jika kita harus
memperhitungkan lagi proses pemugaran pasca ditemukan kembali hingga layak
diperkenalkan kepada publik yang memakan waktu lebih dari satu abad sendiri.
Jadi, Borobudur
sendiri sebenarnya telah “pernah mati” dalam alam pikiran orang Jawa. Hal ini
menunjukkan bahwa ingatan publik masyarakat Jawa terhadap simbol kebesaran masa
lalu berupa ajaran Budha ini tidak terlalu mendalam atau bahkan tidak ada.
Hanya merupakan sapuan cat yang mudah terkelupas dari sepotong kayu. Kebesaran
masa lalu yang terlalu diagung-agungkan dengan melupakan kenyataan sejarah yang
lebih besar. Sebuah bukti bahwa “keagungan” masa lalu bisa dibangkitkan kembali
dengan menjajah ruang kesadaran kita. Oleh karena itu menghubungkan antara
tingkatan yang ada dalam Candi Borobudur dengan tingkatan pada masjid Demak,
sebagaimana pengutipan yang dilakukan oleh Bambang Noorsena, rasanya merupakan
tindakan yang ahistoris dan mengada-ada.
Buku “Sejarah Nasional Indonesia”
yang menjadi rujukan standar dalam penulisan sejarah tentang Indonesia juga
mengungkapkan fenomena yang sama. Dikatakan bahwa beberapa masjid kuno memiliki
pola lengkung miripkalamakara dalam
mihrabnya. Beberapa bangunannya mengingatkan pada seni bangunan candi, yaitu
menyerupaimeru pada jaman Hindhu. Juga beberapa detail
lainnya. Namun buku tersebut sama sekali tidak membuat konklusi gegabah bahwa
proses adopsi maupun adaptasi bangunan fisik akan selalu diikuti dengan proses
yang sama terhadap nilai “bathin” yang dimilikinya. Menariknya, kesimpulan buku
tersebut justru mengungkapkan bahwa Islamisasi yang dilakukan melalui seni
bangunan dan seni ukir pada sejumlah bangunan Islam justru menunjukkan bahwa
proses pengislaman tersebut dilakukan dengan damai. Kecuali itu dari segi ilmu
jiwa dan taktik, menurut buku tersebut, penerusan tradisi bangunan dan seni
ukir pra Islam merupakan alat Islamisasi yang sangat bijaksana yang mudah
menarik orang-orang bukan Islam secara perlahan memeluk Islam sebagai pedoman
hidup barunya.[4] Dengan istilah lain, inilah salah satu bukti
titik temu yang sulit dibantah antara Islam dan Jawa.
Untuk lebih
mendalami persoalan ini, akan semakin menarik jika mencermati analogi yang
dikemukakan Prof. Dr. Syed Muhammad Naguib Al Attas, pakar kebudayaan Melayu,
sebagai berikut:
Sebagaimana si Ali berpakaian
chara Barat memang nampak pengaruh Barat pada zahir dirinya, dengan tiada
semestinya bererti bahwa batin dirinya itupun terpengaruh oleh kebudayaan
Barat, begitulah juga fakta-fakta sejarah yang zahir pada sesuatu masharakat dan
kebudayaannya tiada semestinya membayangkan sifat batin masharakat dan
kebudayaan itu.[5]
Jadi, sejumlah bangunan Islam di
Jawa yang menampilkan sebagian corak dari masa lalu tidak berarti mewarisi pola
“batin” yang sama. Kesamaan pada sejumlah detail pola bangunan Hindhu dan
Budha, tidak lantas menjadi bukti bahwa Islam telah mewarisi ajaran mistik
kedua agama tersebut. Kesimpulan Noorsena tersebut seperti halnya bangunan
gereja-gereja kuno, baik di Timur dan di Barat, seringkali memiliki detail
bangunan dan menggunakan simbol-simbol yang sama yang sama dengan bangunan
penganut paganisme yang ada disekitar pertumbuhan umat Kristen. Salib adalah
simbol yang sama pernah dipakai oleh sejumlah ajaran pagan sebelum masa
Kristen. Bukan hanya terbatas pada simbolnya, bahkan cerita-cerita seputar
salib dari agama penyembah berhala tersebut hampir sama dengan detail dan
ajaran dalam kekristenan. Jika didasarkan dengan hal tersebut kemudian
disimpulkan bahwa “Kristen telah mewarisi tradisi mistik kaum pagan”, dimanakah
posisi keberterimaan Bambang Noorsena ? Tetap konsistenkah ia dengan analogi
yang diyakininya?
Jika Borobudur merupakan candi
Agama Budha, maka Candi Prambanan sebagai candi bercorak Hindhu juga mengalami
nasib yang kurang lebih sama. Candi Hindhu ini ditemukan secara tidak sengaja
pada tahun 1797, ketika penguasa Belanda membangun markas di Klaten. Sebelumnya
tidak ada gambaran bahwa disekitar tempat pembangunan markas tersebut terdapat
kompleks bangunan kuno tersebut. Hal ini terjadi karena sebagian besar bangunan
telah tertutupi dengan tanaman-tanaman keras. Penduduk sekitar juga menjadikan
lokasi tersebut sebagai tempat pembuangan sampah. Sehingga kesulitan utama yang
dihadapi oleh Belanda ketika hendak membangun kembali peninggalan Hindhu
tersebut adalah menyingkirkan tanaman dan sampah yang terlanjur menutupi badan
bangunan batu tersebut. Sejumlah bangunan batu yang lain yang lebih utuh memang
ada yang digunakan oleh penduduk sekitar sebagai tempat pemujaan. Pemujaan yang
dilakukan tentu saja bukan berasal dari tradisi Hindhu, melainkan lebih mirip
ritual penyembahan terhadap batu dan pepohonan yang berasal dari kebudayaan punden berundak-undak. Sejumlah arca yang sempat
ditemukan dilokasi tersebut selalu menjadi barang dagangan yang diminati oleh
orang-orang asing. Sementara penduduk sekitar kompleks candi tersebut –
terutama yang berprofesi sebagai pedagang – cenderung mengabaikan dengan
menjadikannya sebagai “peluang” mendapatkan uang.[6]
Candi-candi
lainnya secara umum memiliki nasib yang hampir serupa. Ditemukan sebagai
reruntuhan yang diabaikan, tertutup oleh sejumlah pepohonan dengan tanpa
perawatan, terkubur dalam tanah, atau terbengkelai memuing sehingga sukar
direkonstruksi ulang hingga hari ini. Sebagian besar candi itu umumnya
ditemukan kembali setelah melalui proses penggalian. Untuk selanjutnya
dipopulerkan oleh kalangan akademisi orientalis maupun misionaris. Bukan dengan
tujuan untuk bersimpati secara penuh terhadap wujud kebudayaan ini, melainkan
untuk kepentingan lain yang akan dijelaskan selanjutnya.
ELIT YANG BERJARAK DARI RAKYAT
Saat ini kita hidup dalam era
dimana kebudayaan candi merupakan salah satu khazanah warisan masa lalu yang
dalam sejumlah aspek dianggap sebagai bagian dari kebesaran masa lalu.
Pertanyaan yang menggelitik untuk diajukan adalah “mengapa kebudayaan candi
ini kemudian pernah ditinggalkan oleh masyarakat?”. Pada tingkatan
yang lebih ekstrim bahkan budaya tutur tentang warisan kuno ini ternyata juga
tidak menjadi bagian dari budaya lesan yang berkembang di antara masyarakat
Jawa pada masa lalu. Kenyataan ini, tentu mengherankan bagi kita. Bagaimana
mungkin, jika benar kebudayaan Candi merupakan warisan budaya yang tidak
terpisah dari masyarakat, justru pada saat yang sama dilupakan oleh masyarakat
tanpa berbekas sama sekali sampai wujud bangunannya direkonstruksi ulang dan
diperkenalkan kembali kepada khalayak.
Realitas bahwa pernah terjadi
proses “kelupaan” terhadap budaya candi ini menimbulkan sejumlah spekulasi
dalam merunut peyebabnya. Dr. I. Groneman, seorang orientalis, membangun
teorinya bahwa kerusakan candi ini terjadi murni akibat kejadian alamiah
seperti gempa bumi, erupsi vulkanik, tanaman parasit yang merusak pondasi, dan
sejumlah peristiwa lainnya. Groneman juga menyalahkan kebodohan rakyat sebagai
penyebab mereka kurang menghargai produk agung warisan dari masa lampau.[7] Wacana yang dihasung Groneman ini hanya sampai
pada tataran menjelaskan bagaimana hilangnya candi akibat proses alamiah yang
berjalan, namun kurang menyentuh aspek kemanusiaan yang lebih konkret. Sebab
jika penyebabnya adalah kebodohan manusia, justru hal ini bisa menjadi lahan
subur dan sekaligus pemantik untuk pemujaan terhadap bangunan kuno. Dengan
demikian tidak mampu menjelaskan mengapa kebudayaan candi ditinggalkan oleh
masyarakat atau rakyat kerajaan Budha atau Hindhu.
Sejumlah cerita babad di Jawa
yang vulgar mendapat pengaruh pemikiran Belanda berusaha menggambarkan bahwa
terjadinya “kelupaan” sejarah terhadap kebudayaan candi ini adalah akibat
pengaruh kedatangan Islam. Islam juga dianggap turut memberikan kerusakan
terhadap sejumlah bangunan monumental di tanah Jawa. Prof. Dr. Denys Lombard,
seorang akademisi dan pakar simbologi Perancis, mengakui kenyataan bahwa
terdapat sejumlah tuduhan orientalis terhadap Islam sebagai penyebab kehancuran
sejumlah candi. Lombard sendiri membantah dengan menyatakan bahwa hampir
tidak pernah ada monumen yang dihancurkan atas prakarsa pihak Islam.
Candi-candi di Jawa secara umum telah menjadi reruntuhan sementara Hindhuisme
masih menjadi agama mayoritas. Kedatangan Islam di Indonesia memang bersamaan
waktu dengan terputusnya secara radikal tradisi-tradisi arsitektural yang telah
berkembang di Jawa selama lebih delapan abad. Beberapa sejarawan Eropa berusaha
menggarisbawahi bahwa Islam merupakan agama yang bersifat “mematikan” bagi
kebudayaan lokal ini. Namun mereka lupa bahwa di Semenanjung Indochina, tempat
dimana Islam tidak berhasil berkembang, pembangunan candi-candi besar juga
telah berhenti sebagaimana yang terjadi di Jawa.[8]
Denys Lombard menggarisbawahi
bahwa keruntuhan kerajaan-kerajaan Hindhu di Jawa dan penghentian pembangunan
gedung-gedung batu berskala besar lebih banyak disebabkan karena kerajaan Budha
dan Hindhu mengalami kemunduran karena mulai ditinggalkan oleh rakyatnya
sendiri. Hal ini terjadi karena penduduk lebih memilih untuk tinggal di
kota-kota pelabuhan atau wilayah sekitarnya.[9] Pola masyarakat agraris juga mulai bergeser
menjadi masyarakat bisnis sehingga daerah pedalaman yang menjadi pusat kerajaan
Hindhu atau Budha dinilai kurang kondusif lagi bagi gaya hidup mereka yang
baru. Dengan demikian proses “kelupaan” terhadap pembangunan dan pemeliharaan
candi di Jawa penyebab utamanya adalah kerajaan sebagai inisiator utama telah
ditinggalkan oleh sebagian besar rakyatnya.
Pertanyaan selanjutnya, mengapa
kerajaan Budha dan Hindhu itu ditinggalkan oleh masyarakatnya? Drs. R. Moh.
Ali, Kepala Arsip Nasional dan Ketua Jurusan Sejarah Fakultas Sastra
Universitas Padjadjaran (UNPAD), yang dikutip oleh Prof. Dr. Ahmad Mansur
Suryanegara, senada dengan Denys Lombard, menyatakan bahwa kebudayaan candi
justru merupakan salah satu penyebab terjadinya eksodus penduduk kerajaan Budha
atau Hindhu dari dari pusat kekuasaan menuju daerah pesisir atau pelabuhan.
Pembangunan sejumlah candi dan patung-patung besar biasanya merupakan proyek
yang melibatkan masyarakat sekitar dalam prosesnya. Masyarakat tersebut terdiri
dari kalangan petani yang mata pencahariannya lebih banyak berkutat pada bercocok
tanam dan memelihara ternak. Sedangkan proyek pembuatan candi dan patung
biasanya melibatkan rakyat yang digolongkan dalam kasta Sudra dan Pariatersebut dalam
kerja bakti. Akibatnya kerja bakti tersebut menjadikan rakyat kecil menderita
dan mata pencariannya terbengkelai. Dampaknya, mereka berusaha menyingkir dan
meninggalkan wilayah pembangunan candi karena tidak ingin waktu dan tenaganya
habis untuk memenuhi kewajiban kerja bakti kepada raja. Ketika Islam mulai
masuk ke tanah Jawa, mereka bukan hanya meninggalkan keyakinan lamanya namun
juga masuk Islam. Status sosialnya sebagai rakyat dengan kasta terendah (Sudra
dan Paria) dengan sendirinya hilang setelah menganut agama Islam.[10]Sebab dalam Islam tidak dikenal adanya pembagian
strata sosial yang diskriminatif sebagaimana terjadi dalam konsep kasta.
Jadi tanpa bermaksud meremehkan
peran candi pada masa kini sebagai bagian dari khazanah warisan masa lalu,
kebudayaan candi itu sendiri pada awalnya bukan merupakan kebudayaan yang murni
milik “jiwa” masyarakat nusantara. Candi hanya berhenti sebagai milik kalangan
elit kekuasaan yang terdiri dari kasta Brahmana dan Ksatriyasaja. Sementara bagi kalangan rakyat jelata
yang umumnya terdiri dari kasta Sudra dan Paria, candi merupakan simbol
monumental sebuah proses penindasan oleh kalangan elit politis. Oleh karenanya,
maka kebudayaan candi ini pada masa pembangunannya tidak menjadi bagian dari
jiwa dan hati rakyat jelata. Apalagi diharapkan menjadi bagian dari
kerohaniannya. Sehingga pada masa selanjutnya proses “kelupaan” terhadap
tradisi ini menjadi hal yang sangat alamiah dan wajar. Realitas tentang
penghargaan terhadap budaya candi pada era kini, sama halnya dengan bangunan
monumental Tembok Besar di Cina yang menjadi kebanggaan negara tersebut tetapi
sejarah masa lalunya –yang secara umum dilupakan orang – dibangun dengan
pertaruhan jiwa rakyat yang terlibat dalam suatu proyek kerja paksa dengan
korban yang tidak berbilang.
Sungguh tepat ungkapan Syed
Muhammad Naguib Al-Attas, seorang pakar peradaban Melayu, bahwa peninggalan
kesenian berupa tugu-tugu maupun candi-candi serta pahatan-pahatan batu yang
menunjukkan kehalusan cita rasa seni tidak selalu menjadi ciri suatu peradaban
yang bermutu tinggi. Kesenian memang merupakan salah satu ciri yang mensifatkan
peradaban, namun pandangan hidup yang berdasarkan kesenian itu adalah
semata-mata merupakan kebudayaan estetik, kebudayaan klasik, yang dalam
penelitian konsep perabadan sejarah bukan menandakan suatu masyarakat yang
memiliki sifat keluhuran budi dan akal serta pengetahuan ilmiah. Bahkan Sejarah
telah memberikan pelajaran bahwa semakin indah dan rumit gaya senirupa, maka semakin
menandakan kemerosotan aspek budi dan akal. Selanjutnya Al-Attas menunjukkan
contoh Acropolis di Yunani, Persepolis di Iran, dan Piramid-piramid di Mesir
yang sama sekali tidak menunjukkan peradaban dalam wujud ketinggian moralitas
dan kemajuan pemikiran dari sebuah peradaban. Sebaliknya, Al-Attas menegaskan
bahwa dalam menilai peranan dan kesan terhadap Islam, karakteristik yang harus
dicari oleh mereka bukan pada peninggalan yang bersifat material seperti tugu
dan candi melainkan pada bahasa dan tulisan yang sebenarnya lebih bersifat daya
budi dan akal yang merangkum kemajuan pemikiran.[11]
Akhirnya, pengakuan seorang
orientalis bernama T. Ceyler Young terkait tentang “kebudayaan asli” di
negeri-negeri berpenduduk Islam patut dicermati bersama : “Di setiap negara yang kami masuki, kami gali tanahnya untuk
membongkar peradaban-peradaban sebelum Islam. Tujuan kami bukanlah untuk
mengembalikan umat Islam kepada akidah-akidah sebelum Islam tapi cukuplah bagi
kami membuat mereka terombang-ambing antara memilih Islam atau
peradaban-peradaban lama tersebut”.[12] Praktik mendekati budaya asli dengan
kepentingan yang jauh berbeda dari sikap yang dipertunjukkan sebagaimana diakui
Ceyler Young ini bukan merupakan strategi marginalisasi Islam yang aneh. Dapat
dicatat bahwa Misionaris dan orientalis seperti Hendrik Kraemer (1888-1965)
misalnya, ia berusaha mendekati dan mengkaji serta mengembangkan kebudayaan
kejawen, namun bukan dilandasi simpati terhadap kebudayaan kejawen itu sendiri
melainkan didorong oleh “keputus asaan” pasca terantuk kesulitan untuk
menundukkan Islam di Jawa agar tersentuh oleh kegiatan misi penginjilan.[13] Hal yang sama juga berlaku pada sejumlah
kajian orientalisme yang berusaha untuk mengembangkan diskursus “pribumi” untuk
menyingkirkan peranan dan pengaruh Islam. “Pribumi” yang dimaksud tentu bukan
dalam makna yang senyatanya, sebab kebudayaan Budha dan Hindhu pada dasarnya
merupakan bagian dari proses yang oleh sejarawan disebut sebagai Indianisasi.
PENUTUP
Eksistensi
kebudayaan candi – tanpa mengabaikan peran kekiniannya- merupakan salah satu
kekayaan perbendaharaan budaya masa lalu nusantara. Akan tetapi mengangkat
kebudayaan monumental ini sebagai warisan budaya adi luhung memang seharusnya
dipaparkan kembali secara seimbang. Masyarakat seharusnya diberikan informasi
yang sebenarnya bahwa mereka selama ini telah dikondisikan dalam bahasa-bahasa
yang lebih bersifat jargon daripada menyentuh realitas. Sudah saatnya
masyarakat insyaf bahwa kekayaan budaya yang berwujud demikian tidak selalu
mewariskan cerminan kebudayaan yang menjunjung ketinggian moralitas dan
kemajuan akal pemikiran yang menjadi ciri utama peradaban mulia.
Jadi
pengembangan kebudayaan ini hendaknya diimbangi dengan informasi yang benar,
bukannya terjebak dalam bahasa-bahasa slogan yang mengedepankan sikap
manipulatif dan persuasif. Informasi yang seimbang akan membentuk
masyarakat yang kritis dalam menilai dan tegas dalam memposisikan titik tolak
pemikirannya. Termasuk dalam diskursus budaya candi yang sebenarnya merupakan
wujud jauhnya keberpihakan elit politis dengan masyarakat kelas bawah yang
menjadi tanggung jawabnya. Publikasi tentang kekayaan budaya hendaknya tidak
dibarengi dengan pengorbanan yang terlampau besar dengan menurunnya intelijensi
masyarakat akibat proses pembodohan yang berjalan sistematis tersebut. Jika
proses mengingat kembali kebudayaan lama ini dianggap menjadi bagian dari
pemahaman terhadap khazanah kekayaan budaya. Maka proses kelupaan terhadap
“masa lalu” yang pernah berjalan secara alamiah mestinya juga merupakan bagian
dari kebudayaan itu sendiri. Sehingga perlu juga dibuka secara jujur dan tidak
ditutup-tutupi.
Oleh : Susiyanto – Dosen IAIN Surakarta.
Sumber: susiyanto.com
[1] Bambang Noorsena. Menyongsong Sang Ratu Adil : Perjumpaan Iman Kristen dan Kejawen.
Cetakan II. (Penerbit Andi, Yogyakarta, 2007). Hal. 14-15
[2] Soediman. Melihat Pelaksanaan Restorasi
Candi Borobudur. Dalam Majalah Analisis Kebudayaan Tahun
I No. 1. (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1980). Hal. 103
[3] Soediman. Melihat … Ibid. Hal.
103
[4] Marwati Djoenoed Poesponegoro dan Nugraha
Natasusanto. Sejarah Nasional Indonesia III. (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan-Balai
Pustaka, Jakarta, 1993). Hal. 192-194
[5] Syed Muhammad Naguib Al-Attas. Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu. (Penerbit
Universiti Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur, 1972). Hal. 23
[6] Lihat Thomas Stamford Raffles. The History of Java. Volume II. (Printed for Black,
Parbury, and Allen, Booksellers to The Hon. East-India Company, and John
Murray- London, 1817 ). Hal. 6-7
[7] Dr. I. Groneman. Ruins of Buddhistic Temples in Praga Valley: Tyandis Barabudur,
Mendut, and Pawon. Diterjemahkan dari Bahasa Belanda ke Bahasa
Inggris oleh J. H. (Druk Van H. A. Benjamins, Semarang, 1912). Hal. 11-12
[8] Denys Lombard. Nusa Jawa
Silang Budaya 2 : Jaringan Asia. Diterjemah dari Le Carrefour
Javanais: Essai d’histoire globale II. (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008).
Hal. 189
[9] Denys Lombard. Nusa Jawa
… Ibid. Hal. 189
[10] Prof. Dr. Ahmad Mansur Suryanegara. Api Sejarah : Buku yang Akan Mengubah Drastis Pandangan Anda
Tentang Sejarah Indonesia. (Salamadani Pustaka Semesta,
Bandung, 2009). Hal. 155
[11] Syed Muhammad Naguib Al-Attas. Islam dalam … Opcit. Hal. 18-19
[12] Muhammad Quthb. Perlukah Menulis Ulang Sejarah Islam. Judul asli
: Kaifa Naktubu Attarikhal Islami?. (Darul Wathan lil
Nasyri, 1412). (Gema Insani Press, Jakarta,1995).Hal. 38
[13] Karel Steenbrink. Dutch Colonialism and Islam in Indonesia: Conflict and Contact
1596-1950. Edisi Indonesia:Kawan dalam Pertikaian: Kaum
Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942).
Penterjemah oleh Drs. Suryan A. Jamrah, MA. (Penerbit Mizan, Bandung, 1995).
Hal 164
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload