Menimba Ilmu Tanpa Batas: Tradisi Ulama Nusantara
7/21/2015
Belakangan ini berhembus kabar
dari pemerintah (Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi) mengenai
diterapkannya larangan bagi guru agama dan dosen teologi asing dari semua agama
untuk bekerja di Indonesia[1].Yang lebih
mengejutkan, larangan tersebut bertolak dari upaya melindungi lembaga
pendidikan dari benih-benih radikalisasi. Sungguh mengherankan sikap
pemerintah, terlebih jika kita hendak bercermin kepada tradisi keilmuan agama
(Islam) di tanah air yang bahkan telah teranyam hingga ratusan tahun, bahkan
sebelum kita mengenal istilah Indonesia[2].
Jika kita tak abai untuk membuka
lembaran-lembaran sejarah, maka kita akan temukan tradisi keilmuan di tanah air
yang amat erat hubungannya dengan umat Islam di seluruh dunia. Malah penyebaran
Islam di nusantara dilakukan oleh para muslim yang berasal dari berbagai bangsa
di dunia,sebut saja dari Hadramaut, India,Haramayn, hingga
negeri Cina[3]. Tidak
hanya berhenti disitu. Murid-murid para ulama tadi, kemudian menyebar,
menjelajahi seluruh pelosok negeri, menyiarkan Islam, mendidik kembali, hingga
terciptalah jaringan yang amat luas di negeri tanah Jawi (balad al Jawi) ini.
Jamaah Haji asal Maluku.
Sumber foto: Laffan, Michael Francis. 2003. Islamic Nationhood and Colonial
Indonesia, The Umma Below The Winds. RoudledgeCurzon: New York
Balad Al
Jawi ini pula yang kemudian dikenal sampai jauh di timur tengah sana. Tepatnya
di Haramayn; Mekkah dan Madinah. Banyak dari ulama-ulama
nusantara berguru ke Mekkah dan Madinah karena disanalah pusat keilmuan
Islam.Orang-orang dari segala penjuru dunia memusat di Haramayn, termasuk dari Balad Al Jawi(Tanah Jawa, yang sebenarnya meliputi
seluruh nusantara bahkan hingga ke Kamboja-Vietnam-Thailand)[4].
Di sana ulama-ulama nusantara
menimba ilmu kepada guru-guru yang dari berbagai bangsa dan mahzab. Seperti
Syekh Nawawi Al Bantani yang berguru kepada Abdul Hamid Al Dhagestani
(Dagestan)[5]; kemudian
Syekh Yusuf Al Maqassari yang berguru kepada Ibrahim Al Kurani (Kurdi)[6], ada pula ulama besar
asal Palembang, Abdushomad Al Palimbani (1704-1789) yang pernah berguru kepada
Muhammad Al Jawhari Al Mishri (Mesir), bahkan kepada Muhammad Murad seorang
mufti mazhab Hanafi[7]. Sejak
lampau pun ulama kita, tiada alergi dan sungkan berguru pada ulama-ulama dari
berbagai bangsa. Mereka menjadi bagian dari jaringan ulama internasional,
karena ilmu tidak mengenal sekat-sekat kebangsaan. Para ulama tersebut, ketika
menuntut ilmu menjadi penuntut ilmu pengembara, berkelana dari suatu daerah
kemudian ke daerah lainnya.
Perjalanan Syekh Yusuf Al
Maqassari dapat kita jadikan sebuah teladan betapa gigihnya beliau menuntut
ilmu, melintas batas geografis. Ia pernah menuntut ilmu mulai dari tanah India
(kepada Umar bin Abdullah Ba Sya’ban), Yaman (kepada Muhammad Bin Al Wajih Al
Sa’di Al Yamani), Mekkah dan Madinah (Ahmad Qusyasyi dan Ibrahim Al Kurani),
Suriah (kepada Ayyub Al Khalwati, bahkan menurut sebagian pendapat hingga ke
Turki[8].
Sebagian para ulama nusantara,
setelah menuntut ilmu ada yang kembali ke tanah air, mnyebarkan ilmu, tetapi
ada pula yang menetap di timur tengah, khususnya Mekkah dan Madinah, untuk
mengajar di sana. Seperti misalnya Syekh Nawawi Al Bantani, pada usia 15 tahun
ia menuntut ilmu ke Mekkah. Di sana ia belajar kepada Syekh Abdul Gahni (Bima),
dan Syekh Ahmad Khatib Sambas (Kalimantan)[9]. Syekh Nawawi Al
Bantani sendiri kemudian kelak menjadi ulama nusantara yang mengajar di Mekkah.
Ilmunya begitu disegani sehingga ia dijuluki Sayid Al Hijaz. Nama
lain yang dapat kita sebut adalah Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawy. Tahun
1876 ia pergi ke Mekkah, menuntut ilmu di sana hingga kemudian mencapai kedudukan
tertinggi sebagai imama mahzab syafi’I di Masjidil Haram. Kita kemudian paham,
bahwa murid-murid Syekh Ahmad Khatib adalah para ulama nusantara generasi
berikutnya, mulai dari KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, Haji Rasul (ayah
Buya Hamka), hingga Haji Agus Salim[10].
Maka para ulama-ulama kita di tanah suci sana, mereka menyebarkan ilmunya
hingga ke pelosok nusantara melalui perantara para murid-muridnya.
Tidak saja ilmu-ilmu itu menyebar
melalui murid-muridnya, tetapi juga kitab-kitab mereka yang melintas darat dan
lautan hingga ke nusantara.Sejarah kemudian mencatat bahwa kitab-kitab mereka
menjadi rujukan bagi para penuntut ilmu di nusantara. Sebut saja misalnya Syekh
Nawawi Al Bantani, yang kitab-kitabnya menjadi rujukan bagi pesantren-pesantren
di tanah air hingga kini. Misalnya kitab Tijan Al Darari. Di
kitab tersebut belau dengan bangga menyebut gurunya Syaikh Ibrahim Al Bajuri,
seseorang yang tentu saja berbeda bangsanya dari beliau. Begitu pula dengan
tafsir beliau Marah Labid Tafsir Al Nawawi[11].
Begitu pula dengan Abdushomad Al
Palimbani yang menulis banyak kitab termasuk salah satu kitab khusus
jihad yang amat dikenal di nusantara, yaitu Nasihah Al Muslimin fi Fada’il
Al Jihad. Kitab inilah yang turut mempengaruhi semangat jihad di
Aceh dan disebut-sebut menjadi rujukan Hikayat Perang Sabil.
Bahkan Abdusshomad Al Palimbani menjadi ulama nusantara di Haramayn yang turut
menggelorakan jihad di nusantara, melalui surat-suratnya kepada penguasa Jawa.
Nama lain yang turut membakar jihad melawan penjajah melalui tulisan-tulisannya
adalah Daud Fattani. Karyanya, Munya Al Musalli ditujukan
kepada muslim Patani untuk melawan kezaliman bangsa Thailand yang hendak
menjajah mereka[12].
Terang sekali bagi kita, dalam
tradisi keilmuan Islam di Indonesia, bangsa dan daerah bukanlah momok,
tetapi justru menjadi untaian hikmah. Tidak seharusnya kita menjadi alergi
dengan guru-guru yang berasal dari luar tanah air. Salah satu contoh guru asal
luar tanah air yang amat berpengaruh di Indonesia adalah Syekh Ahmad Soorkati.
Dilahirkan di Sudan tahun 1872, ia adalah salah satu guru agama penerima
sertifikat tertinggi dari pemerintah Kesultanan Usmaniyah di Istanbul. Tahun
1911 ia tiba di Jakarta atas undangan Jamiat Khair untuk mengajar. Ia kelak
dikenal sebagai salah seorang tokoh Al Irsyad yang amat berpengaruh di bidang
pendidikan.[13] Tokoh
Masyumi, Muhammad Natsir, mengakui bahwa Syekh Ahmad Soorkati adalah salah
seorang ulama yang amat berpengaruh pada dirinya.
Telah terang dan bertabur contoh
betapa tradisi keilmuan para ulama di tanah air kita ini banyak sekali
bersinggungan dan saling melengkapi dengan dunia Islam di dunia.Jejaring para
ulama dan ilmu-ilmu mereka tak bisa disekat-sekat oleh batas-batas kebangsaan atau
geografis. Ketakutan pemerintah atas pengaruh radikal adalah tidak berdasar.
Tradisi keilmuan di nusantara justru menunjukkan betapa kita amat dipengaruhi
oleh dunia Islam secara luas. Sejarah pernah mencatat bahwa IbrahimAl Kurani,
ulama di Haramayn pernah menulis sebuah kitab berjudul Ithaf Al Dzaki bagi umat Islam di Jawi, sebagai
penerang untuk kitab tasawuf, Tuhfat Al Mursalah ila Ruh
An-Nabi karya ulama India, Fadlallah Al Hindi Al Burhanpuri
(w.1620) . Tuhfat Al Mursalah yang sempat
menimbulkan kehebohan di nusantara ini, kemudian disarikan dan dikomentari pula
oleh Abdushomad Al Palimbani dalam kitab al Mulakkhas ila at Tuhfah[14].
Inilah upaya ulama nusantara yang menjembatani pengaruh sebuah kitab dari luar
untuk bangsanya sendiri. Ada pula tafsir 30 juz pertama karya ulama Nusantara, Tarjuman Al Mustafid yang ditulis oleh Abdurrauf
Al Sinkili (1615-1693) dari Aceh. Tafsir ini adalah tafsir yang terpengaruh
oleh Tafsir Jalalayn[15].Terang
terlihat adanya pengaruh dari luar. Tetapi pengaruh dari luar ini justru
memberikan makna positif bagi keilmuan di nusantara.
Tercatat pula dalam sejarah
ketika guru-guru asing membawa pengaruh negatif dalam Islam. Seperti kasus
Mirza Wali Ahmad Baig, seorang penyebar paham Ahmadiyah di awal abad ke 20.
Awalnya ia diterima sebagai pengajar di komunitas Muhammadiyah, namun seiring
perkembangan waktu, paham Ahmadiyah sendiri akhinya terkuak dan ditolak oleh
ulama-ulama Muhammadiyah (seperti Haji Rasul) dan Indonesia pada umumnya[16]. Dari contoh ini kita
dapat melihat bagaimana ulama-ulama mampu membendung pengaruh negatif di
Indonesia. Maka ketakutan pemerintah akan pengaruh buruk di tanah air adalah
sebuah paranoid berlebihan. Karena ulama-ulama kita, dari ratusan tahun silam
telah mampu untuk menyerap, menimbang dan menyaring segala pengaruh yang datang
dari luar.
Justru ketakutan pemerintah
kepada hal-hal yang berbau asing, semisal pengaruh dari timur tengah adalah
serupa dengan ketakutan pemerintah kolonial di masa lalu kepada ulama-ulama
serta haji-haji kita yang telah kembali dari Mekkah[17].
Tiada mungkin
terlebih di era ledakan informasi seperti ini, untuk mengurung diri atas dasar
ketakutan terhadap pengaruh dari luar. Melarang hadirnya guru-guru agama
dari luar Indonesia adalah sebuah ketentuan yang abai akan sejarah banngsanya
sendiri dan justru menyelisihi tradisi keilmuan para ulama kita.
Oleh : Beggy
Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa
Sumber:
jejakislam.net, edisi 14/6/2015, diakses 21/7/15
[1] http://www.tempo.co/read/news/2014/12/30/078631942/Menteri-Hanif-Tutup-Peluang-Guru-Agama-dari-Asing diunduh
pada 12 Januari 2015.
[2]Laffan, Michael
Francis. 2003. Islamic Nationhood and Colonial Indonesia, The
Umma Below The Winds. RoudledgeCurzon: New York
[3] Azra, Azyumardi.
2013. Jaringan Ulama timur tengah dan kepulauan nusantara abad
XVII dan XVIII.Kencana Prenada Media Group: Jakarta. Lihat juga Al
Qurtuby, Sumanto. 2009. The Tao of Islam: Cheng Ho and
The Legacy of Chinese Muslims in Pre Modern Java. Studia Islamika.
Volume 16. No. 1
[4]Lesus, Rizki. Catatan Penghujung Tahun: Dari Patani ke Champa, Merajut Jejak
Islam di Nusantara. http://jejakislam.net/?p=576. Diunduh pada 12
Januari 2015.
[5]Burhanuddin, Jajat.
2012. Ulama dan Kekuasaan.Pergumulan Elit Muslim dalamSejarah Indonesia.
Mizan: Jakarta.
[6] Azra, 2013.
[7] ibid
[8] Ibid
[9] Jajat,2012. Dan
Rachman, Abd. Nawawi. 1996. Al Bantani, An Intellectual
Master of the Pesantren Tradition. Studia Islamika. Volume 3.
No. 3.
[10]Noer, Deliar. 1996. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. LP3ES:
Jakarta
[11]Jajat, 2012 dan
Rachman, 1996.
[12]Jajat, 2012.
[13] Noer, 1996.
[14] Fathurrahman,
Oman. 2011. Sejarah Pengkafiran dan Marginalisasi Paham
Keagamaan Di Melayu dan Jawa (Sebuah Telaah Sumber). Analisis,
Volume XI. No. 2.
[15] Riddel, Peter.
1989. Earliest Quranic Exegetic Activity in Malay Speaking States.
Archipel volume 38.
[16]Beck, Herman L.
2005. The Rupture Between The Muhammdiyah and The Ahmadiyya dalam Bijdragen Tot de Taal,- Land en Volkenkunde (BKI) 161-2/3.
[17] Jajat, 2012.
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload