Metodologi Islam Nusantara
7/14/2015
Ide Islam Nusantara datang bukan
untuk mengubah doktrin Islam. Ia hanya ingin mencari cara bagaimana melabuhkan
Islam dalam konteks budaya masyarakat yang beragam. Upaya itu dalam ushul fikih
disebuttahqiq al-manath yang
dalam praktiknya bisa berbentuk mashlahah
mursalah, istihsan dan`urf.
Dengan merujuk pada dalil, “apa yang
dipandang baik oleh kebanyakan manusia, maka itu juga baik menurut Allah” (ma ra’ahu
al-muslimuna hasanan fahuwa `inda Allah hasanun), ulama Malikiyah
tak ragu menjadikan istihsan sebagai dalil hukum. Dan kita tahu, salah satu
bentuh istihsan adalah meninggalkan hukum umum (hukm kulli) dan
mengambil hukum pengecualian (hukm juz’i).
Sekiranya istihsan banyak membuat hukum pengecualian,
maka `urf sering mengakomodasi kebudayaan lokal.
Sebuah kaidah menyatakan, al-tsabitu
bil `urfi kats tsabiti bin nash (sesuatu
yang ditetapkan berdasar tradisi “sama belaka kedudukannya” dengan sesuatu yang
ditetapkan berdasar al-Qur’an-Hadits). Kaidah fikih lain menyatakan, al-`adah muhakkamah (adat bisa dijadikan sumber hukum).
Ini menunjukkan, betapa Islam sangat menghargai kreasi-kreasi kebudayaan
masyarakat. Sejauh tradisi itu tak menodai prinsip-prinsip kemanusiaan, maka ia
bisa tetap dipertahankan. Sebaliknya, jika tradisi itu mengandung unsur yang mencederai
martabat kemanusiaan, maka tak ada alasan untuk melestarikan. Dengan demikian,
Islam Nusantara tak menghamba pada tradisi karena tradisi memang tak kebal
kritik. Sekali lagi, hanya tradisi yang menghormati nilai-nilai kemanusiaan
yang perlu dipertahankan.
Penghormatan pada nilai-nilai
kemanusiaan adalah soko guru hukum Islam. Izzuddin ibn Abdis Salam dalam Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam menyatakan, tercapainya kemaslahatan
manusia adalah tujuan dari seluruh pembebanan hukum dalam Islam (innama
al-takalif kulluha raji’atun ila mashalihil `ibad). Demikian
pentingnya kemaslahatan tersebut, maka kemaslahatan yang tak diafirmasi oleh
teks al-Qur’an-Hadits pun bisa dijadikan sebagai sumber hukum. Tentu dengan
catatan, kemaslahatan itu tak dinegasi nash al-Qur’an-Hadits. Itulah mashlahah mursalah.
Dengan demikian, jelas bahwa dalam
penerapan al-Qur’an dan Hadits, Islam Nusantara secara metodologis bertumpu
pada tiga dalil tersebut, yaitu mashlahah
mursalah, istihsan, dan `urf.
Tiga dalil itu dipandang relevan karena sejatinya Islam Nusantara lebih
banyak bergerak pada aspekijtihad tathbiqi ketimbang ijtihad istinbathi. Jika ijtihad istinbathi tercurah pada
bagaimana menciptakan hukum (insya’ al-hukm), maka ijtihad tathbiqi berfokus pada aspek penerapan hukum (tathbiq
al-hukm). Sekiranya ujian kesahihan ijtihad istinbathi dilihat salah satunya dari segi
koherensi dalil-dalilnya, maka ujian ijtihad
tathbiqi dilihat dari
korespondensinya dengan aspek kemanfaatan di lapangan.
Contoh terang dari ijtihad tathbiqi
adalah kebijakan Khalifah Umar ibn Khattab yang tak memotong tangan para
pencuri saat krisis, tak membagi tanah hasil rampasan perang, tak memberi zakat
pada para muallaf. Ketika Khalifah Umar dihujani kritik karena kesukaannya
mengubah-ubah kebijakan, ia menjawab, “dzaka
`ala ma qadhaina, wa hadza `ala ma naqdhi” (itu keputusanku yang dulu, dan
ini keputusanku yang sekarang). Perubahan kebijakan ini ditempuh Khalifah Umar
setelah memperhatikan perubahan situasi dan kondisi di lapangan. Sebuah kaidah
fikih menyebutkan, “taghayyur
al-ahkam bi taghayyur al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwal wa al-`adat” (perubahan hukum mengikuti perubahan
situasi, kondisi, dan tradisi).
Mengambil inspirasi dari kasus
Sayyidina Umar ibn Khtattab tersebut, Islam Nusantara datang bukan untuk
mengubah hukum waris al-Qur’an misalnya. Namun, bagaimana hukum waris itu
diimplementasikan sekarang. Dalam kaitan implementasi itu, di Indonesia
misalnya dikenal harta gono-gini, yaitu harta rumah tangga yang diperoleh
suami-istri secara bersama-sama. Harta gono-gini biasanya dipisahkan terlebih
dahulu sebelum pembagian waris Islam dilakukan. Penyesuaian hukum ini
dijalankan masyarakat secara turun-temurun karena rupanya narasi keluarga Islam
di Indonesia berbeda dengan narasi keluarga Islam di Arab sana.
Begitu juga, tak ada yang membantah
bahwa menutup aurat adalah perintah syariat. Namun, di kalangan para ulama
terjadi perselisihan mengenai batas aurat. Ada ulama yang longgar, tapi ada
juga ulama yang ketat dengan menyatakan bahwa seluruh tubuh perempuan bahkan
suaranya adalah bagian dari aurat yang harus disembunyikan. Keragaman pandangan
ulama mengenai batas aurat tersebut tak ayal lagi berdampak pada keragaman
ekspresi perempuan muslimah dalam berpakaian. Beda dengan pakaian istri para
ustadz sekarang, istri tokoh-tokoh Islam Indonesia zaman dulu terlihat hanya
memakai kain-sampir, baju kebaya, dan kerudung penutup kepala. Pakaian seperti
itu hingga sekarang dilestarikan salah satunya oleh istri almarhum Gus Dur, Ibu
Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid.
Dengan mengatakan ini semua, maka
janganlah salah sangka tentang Islam Nusantara. Sebab, ada yang berkata bahwa
Islam Nusantara ingin mengubah wahyu. Ketauhilah bahwa kita tak hidup di zaman
wahyu. Tugas kita sekarang adalah bagaimana menafsirkan dan mengimplementasikan
wahyu tersebut dalam konteks masyarakat yang terus berubah. Dalam kaitan itu,
bukan hanya pluralitas penafsiran yang merupakan keniscayaan. Keragaman
ekspresi pengamalan Islam pun tak terhindarkan. Itu bukan sebuah kesalahan,
asal tetap dilakukan dengan menggunakan metodologi yang bisa
dipertanggungjawabkan.
Oleh: Abdul Moqsith Ghazali, Dosen
Pascasarjana Islam Nusantara STAINU Jakarta
Sumber: nu.or.id
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload