Tadarus Warna-Warni Pemikiran Islam Nusantara
7/14/2015
Mencari Islam original hari ini sama
halnya mencari intan berlian di dasar lautan. Islam yang ada hari ini adalah
ijtihad Islam original yang disampaikan oleh Nabi Muhammad. Namun demikian,
bukan berarti Islam yang ada hari ini bukan original. Islam tetap original
sebagai sebuah ajaran suci dan agama yang memberikan pengayoman dunia dan
akhirat. Sedang umatnya melakukan ijtihad mencari originalitas agamanya.
Yang perlu dibahas dalam paper
singkat ini adalah sebuah definisi makro tentang Islam. Penulis merasa memiliki
tanggung jawab untuk ikut memberikan penjelasan akademik terhadap respon
pemikiran Islam. Pendapat "Islam ya Islam" tidak ada embel-embel,
bukanlah salah. Definisi itu adalah sunnatullah. Sebab itu pendapat yang
didasari atas argumentasi yang kuat menurut keyakinannya.
Di sisi lain, pendapat yang menyebutkan
bahwa Islam masih butuh embel-embel. Seperti Islam Nusantara, Islam Jawa, Islam
rahmatan lil 'alamin, Islam toleran dan lain-lain. Pendapat demikian juga punya
dasar argumentasi, bahwa embel-embel itu sebagai pelengkap dan penjelas atas
luasnya makna Islam. Sama dengan istilah kopi. Ada kopi tubruk, kopi item, kopi
susu dan kopi-kopi lainnya.
Dalam kajian Islamic studies (dirasah
islamiyyah) selalu dibahas Islam normatif dan Islam historis. Perbedaan
pandangan antara dua pendapat di atas merupakan aplikasi dari pemahaman dua
model kajian Islam itu. Islam normatif hadir memberi jawaban Islam original,
sesuai aturan dan sangat syar'i sehingga Islam ya Islam (tidak butuh
embel-embel). Sedangkan Islam historis adalah realitas Islam yang melalui
perjalanan sejarah, maka lahir istilah Islam Nusantara, Islam Jawa, Islam
rahmatan lil 'alamin dan lainnya.
Penulis masih ingat betul ketika
mengambil mata kuliah Metodologi Studi Islam di Program Doktor UIN Walisongo.
Mata kuliah yang fantastis ini diajar oleh Prof Dr H Mujiyono MA, seorang guru
besar fiqh lingkungan dan aktivis Muhammadiyah. Begitu luasnya pemahaman yang
membuat penulis tercengang dalam memahami Islam. Walau pun organisasi
Muhammadiyah yang dianutnya, ia tak segan membuka wawasan terhadap semua ajaran
dan keanekaragaman Islam. Sebab itu adalah realitas Islam di Indonesia.
Satu buku tebal 571 halaman karya
Abuddin Nata berjudul Studi Islam Komprehensif tak boleh lepas untuk
dibaca. Abuddin Nata (2011) menyebutkan ada dinamika pemikiran Islam yang sangat
dinamis muncul. Sehingga Islam yang lahir dalam dataran empiris ada 31
warna-warni, antara lain: Islam normatif, Islam ideologis, Islam politik, Islam
formalistis, Islam dogmatis, Islam ekslusif, Islam tekstualis-literalis, Islam
radikal, Islam fundamentalis, Islam tradisionalis, Islam historis dan kultural,
Islam rasional dan intelektual.
Warna-warni lainnya adalah: Islam
substantif, Islam moderat, Islam humanis, Islam transformatif, Islam nusantara,
Islam dinamis, Islam aktual, Islam reformis, Islam alternatif, Islam
interpretatif, Islam inklusif-pluralis, Islam modernis, Islam kosmopolitan,
Islam esoteris, Islam liberal, Islam warna-warni, Islamku Islam Anda dan Islam
kita, Islam mazhab HMI dan Islam rahmatan lil alamin.
Dengan demikian, cukup tegas bahwa
Islam dengan embel-embel bukan "agama" baru dan bukan "ijtihad
baru, melainkan dinamika pemikiran yang berkembang dalam merespon keberislaman.
Alhasil, jika ini yang dimaksudkan, maka melihat Islam sebagai agama dengan
Islam sebagai pemikiran juga terjadi perbedaan.
Islam sebagai agama selalu dilihat
dengan kacamata doktrin ketuhanan. Doktrin ketuhanan ini yang melahirkan
kebenaran mutlak. Saking yakinnya dengan kemutlakan kebenaran dimaksud, semua
orang terkadang berubah wujud menjadi "tuhan-tuhan" kecil yang
menyebut ini kebenaran dan itu kesalahan. Kebenaran manusia (yang disebut
kebenaran Tuhan) tadi itu yang membuat awal dari pintu masuk perbedaan. Oleh
sebab itu, Islam normatif ternyata juga melahirnya persepsi beda dalam sisi
agama.
Oleh sebab itu, Nabi Muhammad telah
memberikan orientasi matang di dalam melihat agama. Bahwa agama adalah
keyakinan yang harus didialogkan. Keyakinan orang terhadap Islam, Allah, Nabi
dan Al Qur'an sebagai kitab suci merupakan tanggung jawab individu.
Dan isi dari ajaran Islam itu
kemudian menjadi tanggung jawab sosial yang perlu didialogkan. Dalam dialog
(sebut saja dialog teologi) inilah lahir fanatisme. Tinggal siapa yang
mengajarkan fanatisme ini. Jika yang melatih fanatis adalah anti dialog, maka
lahir ilmu itu. Tapi jika belajar fanatisme dengan cara dialogis, maka lahir
dialog teologi (bukan tukar menukar teologi/keimanan).
Sebagai pemikiran, Islam tentu saja
lahir dengan beragam pola pikir. Jelas saja, namanya juga pemikiran. Jadi
pikiran satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Untuk membuat identitas
pemikiran itu, maka muncul penamaan-penamaan yang ada setelah kata Islam.
Apapun namanya, itulah identitas (entah disebut identitas ideologi, budaya,
kelompok atau apapun) yang jelas untuk membuat orang semakin bermana.
Sebab nama itu sangat penting. Sama
halnya, santri ketika belajar Alfiyyah Ibnu Malik bab 'alam:
Ismun yu'ayyinul musamma muthlaqa, 'alamuhu kaja'farin wa hirniqa. Bahwa nama itu hal yang sangat mutlak
disandarkan pada yang diberi nama. Memang agak kaget, ketika Islam yang
sebegitu suci kok kemudian disempitkan dengan identitas sosiologis. Namun akan
tidak jadi aneh kalau kita mau melihat Islam itu adalah Islam empirik, Islam
bumi dan Islam nyata di dunia.
Batasan Islam sebagai pemikiran ini nampaknya
tidak bisa dibendung. Akan lahir ribuan istilah yang tentang Islam. Termasuk
ada Islam negeri dan Islam swasta—sebagai simbolisasi Islam versi negara dan
Islam versi sipil. Maka, dapat diambil benang merah, bahwa keanekaragaman Islam
Nusantara (Indonesia) adalah rahmat Tuhan. Dan ini menjadi bukti, bahwa kajian
keislaman masih sangat menarik untuk didialogkan.
Yang paling penting dipegang adalah,
jika mendialogkan Islam sebagai pemikiran perlu pikiran yang jernih dan tidak
boleh emosi. Sebab ini adalah bagian dari kajian pemikiran yang menggunakan
akal—bukan menggonakan okol (kekuatan emosi dengan pukulan). Akan lebih menarik
jika kajian-kajian semacam ini menghadirkan khazanah-khazanah khas pesantren
yang cukup unik dengan siraman Kiai-Kiai.
Oleh:
M. Rikza Chamami,
MSI, Dosen FITK,
Mahasiswa Program Doktor Islamic Studies UIN Walisongo dan Mantan Pjs Ketua
Umum PP IPNU
Sumber: nu.or.id
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload