Makna Fi Sabillah dalam Mustahik Zakat
7/15/2015
Sahabat Pustama
Perlu diketahui, memang mustahik zakat tidak harus orang yang
miskin. Orang yang kaya pun jika masuk dalam kategori mustahik zakat, seperti
muallaf; berhak menerima zakat. Namun kadang kita dapati dalam kehidupan
sehari-hari, seorang ustadz sudah dalam keadaan mapan hidupnya, namun ternyata
masih mendapatkan zakat. Tentu keadaan ini kadang membuat orang awam
bertanya-tanya, dalam kategori apakah seorang ustadz itu dalam mustahik zakat?
Jika dicermati lebih dalam, seorang ustadz bisa dimasukkan dalam
kategori fi sabilillah. Namun tentu ini membutuhkan penjelasan yang lebih
komplek. Maka pada kesempatan ini, Pustaka Madrasah sebagai Media Belajar
Bersama akan berbagi kepada sahabat Pustama semua makna fi sabilillah tersebut,
sebagaimana penjelasan Ahmad Sarwat, Lc dalam rumah fikih tentang makna fi
sabilillah.
Para ulama memang berbeda pendapat tentang makna mustahik zakat
yang satu ini, yaitu fi sabilillah. Perbedaan ini berangkat dari ijtihad mereka
yang cenderung muwassain (meluaskan makna) dan mudhayyiqin (menyempitkan makna).
Sebagian ulama beraliran mudhayyiqin bersikeras untuk tidak
memperluas maknanya, fi sabilillah harus diberikan tetap seperti yang
dijalankan di masa Rasulullah saw. dan para shahabat, yaitu untuk para
mujahidin yang perang secara pisik.
Sebagian ulama yang beraliran muwassa'in cenderung untuk memperluas
maknanya sampai untuk biaya dakwah dan kepentingan umat Islam secara umum.
1. Pendapat Pertama
Jumhur ulama termasuk di dalamnya 4 imam mazhab (hanafi, maliki,
syafi'i dan hanbali) termasuk yang cenderung kepada pendapat yang pertama (mudhayyiqin), mereka mengatakan
bahwa yang termasuk fi sabilillah adalah para peserta pertempuran fisik
melawan musuh-musuh Allah dalam rangka menegakkan agama Islam.
Di kalangan ulama kontemporer yang mendukung hal ini adalah Syeikh
Muhammad Abu Zahrah.
Perbedaannya bukan dari segi dalil, tetapi dari segi manhaj atau
metodologi istimbath ahkam. Yaitu sebuah metode yang merupakan logika
dan alur berpikir untuk menghasilkan hukum fikih dari sumber-sumber Al-Quran
dan Sunnah.
Mereka yang termasuk ke dalam pendapat ini adalah Jumhur Ulama. Dalilnya
karena di zaman Rasulullah saw. memang bagian fi sabilillah tidak pernah
digunakan untuk membangun masjid atau madrasah. Di zaman itu hanya untuk mereka
yang jihad secara fisik saja.
Para ulama jumhur mengatakan bahwa para mujahidin di medan tempur
mereka berhak menerima dana zakat, meskipun secara materi mereka cukup berada.
Sebab dalam hal ini memang bukan sisi kemiskinannya yang dijadikan objek zakat,
melainkan apa yang dikerjakan oleh para mujahidin itu merupakan mashlahat umum.
Adapun para tentara yang sudah berada di dalam kesatuan, di mana
mereka sudah mendapatkan gaji tetap dari kesatuannya, tidak termasuk di dalam
kelompok penerima zakat.
Namun seorang peserta perang yang kaya, tidaklah berperang dengan
menggunakan harta yang wajib dizakati dari kekayaannya. Sebagai seorang yang
kaya, bila kekayaannya itu mewajibakan zakat, wajiblah atasnya mengeluarkan
harta zakat dan menyerahkannya kepada amil zakat.
Adapun bila kemudian dia ikut perang, dia berhak mendapatkan harta
dari amil zakat karena ikut sertanya dalam peperangan. Tapi tidak boleh
langsung di-bypass. Dia harus bayar zakat dulu baru kemudian menerima dana
zakat.
Namun Abu Hanifah mengatakan bahwa seorang kaya yang ikut serta
dalam peperangan, maka dia tidak berhak menerima dana dari harta zakat.
2. Pendapat Kedua
Sedangkan para ulama yang lain cenderug meluaskan makna fi
sabilillah, tidak hanya terbatas pada peserta perang pisik, tetapi juga
untuk berbagai kepentingan dakwah yang lain.
Di antara yang mendukung pendapat ini adalah Syeikh Muhammad
Rasyid Ridha, Dr. Muhammad `Abdul Qadir Abu Faris, dan Dr. Yusuf Al-Qradawi.
Dasar pendapat mereka juga ijtihad yang sifatnya agak luas serta
bicara dalam konteks fikih prioritas. Di masa sekarang ini, lahan-lahan jihad
fi sabilillah secara fisik boleh dibilang tidak terlalu besar. Sementara
tarbiyah dan pembinaan umat yang selama ini terbengkalai perlu pasokan dana
besar. Apalagi di negeri minoritas muslim seperti di Amerika, Eropa dan
Australia.
Siapa yang akan membiayai dakwah di negeri-negeri tersebut, kalau
bukan umat Islam. Dan bukankah pada hakikatnya perang atau pun dakwah di negeri
lawan punya tujuan yang sama, yaitu menyebarkan agama Allah swt. dan
menegakkannya.
Kalau yang dibutuhkan adalah jihad bersenjata, maka dana zakat itu
memang diperluakan untuk biaya jihad. Tapi kalau kesempatan berdakwah secara
damai di negeri itu terbuka lebar, bagaimana mungkin biaya zakat tidak boleh
digunakan. Bukankah tujuan jihad dan dakwah sama saja?
Oleh karena itu, dalam kitab Fiqhuz Zakah, Dr. Yusuf
al-Qaradawi menyebutkan bahwa asnaf fi sabilillah, selain jihad secara fisik,
juga termasukdi antaranya adalah:
a.
Membangun pusat-pusat
dakwah (al-Markaz Al-Islami) yang menunjang program dakwah Islam di wilayah
minoritas, dan menyampaikan risalah Islam kepada non muslim di berbagai benua
merupakan jihad fi sabilillah.
b.
Membangun pusat-pusat
dakwah (al-Markaz Al-Islami) di negeri Islam sendiri yang membimbing para
pemuda Islam kepada ajaran Islam yang benar serta melindungi mereka dari
pengaruh ateisme, kerancuan fikrah, penyelewengan akhlaq serta menyiapkan
mereka untuk menjadi pembela Islam dan melawan para musuh Islam adalah jihad fi
sabilillah.
c.
Menerbitkan tulisan
tentang Islam untuk mengantisipasi tulisan yang menyerang Islam, atau
menyebarkan tulisan yang bisa menjawab kebohongan para penipu dan keraguan yang
disuntikkan musuh Islam, serta mengajarkan agama Islam kepada para pemeluknya
adalah jihad fi sabilillah.
d.
Membantu para du'at
Islam yang menghadapi kekuatan yang memusuhi Islam di mana kekuatan itu dibantu
oleh para thaghut dan orang-orang murtad, adalah jihad fi sabilillah.
e.
Termasuk di antaranya
untuk biaya pendidikan sekolah Islam yang akan melahirkan para pembela Islam
dan generasi Islam yang baik atau biaya pendidikan seorang calon kader dakwah/
da`i yang akan diprintasikan hidupnya untuk berjuang di jalan Allah melalui
ilmunya adalah jihad fi sabilillah
Apakah
pergi haji termasuk kategori fi sabilillah?
Al-Hanabilah dan sebagian Al-Hanafiyah mengatakan bahwa pergi haji
ke baitullah itu masih termasuk kategori fi sabilillah. Mereka menggunakan
dalil berikut ini:
Dari Ibnu Abbas ra bahwa seseorang menyerahkan seekor hewan untuk
fi sabilillah, namun isterinya ingin pergi haji. Nabi SAW bersabda,
"Naikilah, karena hajji itu termasuk fi sabilillah". (HR
Abu Daud)
Maka seorang miskin yang berkewajiban haji berhak atas dana zakat,
menurut pendapat ini. Asalkan hajinya haji yang wajib, yaitu haji untuk pertama
kali. Sedangkan untuk haji yang sunnah, yaitu haji yang berikutnya, tidak
termasuk dalam kategori ini.
Demikian sahabat Pustama semua, makna fi
sabilillah dalam mustahik zakat. Semoga bermanfaat dan dapat dipraktikkan
dalam kehidupan sehari-hari.
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload