Pancasila dan Perspektif Islam Nusantara
6/11/2015
Dalam diskusi kecil
bersuasana akrab akhir pekan lalu, Dekan Ilmu Keislaman untuk Mahasiswa
Internasional Al Azhar Kairo, Mesir, Prof Dr Abdel Moneem Fouad mengeja
Bansyasila tanpa kesulitan. Yang dia maksudkan adalah Pancasila. Moneem
menyebut Pancasila sebagai benang utama yang menyulam kehidupan Islam di
Indonesia. Islam Nusantara, menurut dia, tak akan terwujud tanpa deretan
kata-kata magis itu.
Melalui pandangan
objektif Moneem itu, agaknya kita bisa makin menyadari betapa istimewanya
Pancasila bagi keindonesiaan kita. Dan merenungkan Pancasila hari ini, 70 tahun
setelah hari lahirnya, mau tak mau ingatan kita akan dipaksa untuk kembali ke
momen penting pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945, hari penutupan sidang pertama
BPUPKI, yang menjadi tumpuan bagi para bapak bangsa kita untuk menyepakatinya
sebagai hari kelahiran Pancasila.
Bagi Bung Karno,
Pancasila soal hidup mati. Bahkan, dia tidak sertamerta menjadikannya wacana
resmi dalam proses membentuk republik. Dia bersabar untuk sesuatu yang mulia.
Berpuluh-puluh tahun lamanya, untaian filosofis itu menyita waktu-waktu
perjuangannya. Bung Karno merenung tiada henti sampai akhirnya angka-angka
kalender Masehi menunjukkan 1 Juni 1945. Jumat pagi, pada hari yang mulia itu,
matahari belum jauh mengedar.
Para anggota Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) mengambil tempat
masing-masing. Sidang dibuka! Agendanya membahas Pancasila. Bung Karno berusaha
menghindari celah terjadinya debat semantik. ”Jikalau saya peras yang lima
menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah satu perkataan
Indonesia yang tulen, yaitu perkataan ’gotong royong’. Negara Indonesia yang
kita dirikan haruslah negara gotong royong. Alangkah hebatnya! Negara gotong
royong,” kata Bung Karno saat itu.
”Gotong royong adalah
pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan
bantu-membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat
kebahagiaan semua,” sambung Bung Karno.
Banyak hal yang bisa
dipelajari dari Bung Karno. Keterbukaan sikapnya, kegigihan memperjuangkan
filosofi hidup, ketulusan menerima masukan, kepekaan menyelami gemuruh
perbedaan perspektif, hatta hal-hal kecil seperti beda semantik.
Bung Karno menggali, merenungkan,
dan memperkaya pandangannya tentang negara dari beragam perspektif hingga
mengadu wawasan dengan the founding fathers lainnya. Yang membuat kita kian
kagum adalah sense of belonging- nya yang tinggi terhadap kata Indonesia tulen:
gotong royong. Dalam keseharian, amaliah gotong royong diyakini Bung Karno akan
berujung pada tegaknya keadilan. Keadilan akan bermuara pada kebahagiaan
bersama.
Kalau keringat diperas,
ujungnya harus kebahagiaan bersama. Sikap saling bantu diamalkan hanya untuk
kebahagiaan bersama. Inilah Pancasila, yang lalu menjadi Trisila dan berujung
Ekasila. Gotong royong dan berkeadilan dalam tradisi NU termasuk qath’iyyat,
yang pamali dibatalkan dengan nalar apa pun. Ia berkedudukan sejajar dengan
sikap tawassuth (moderat), tawaazun (berimbang),i’tidaal (tegak
lurus dalam prinsip), dan tasaamuh (toleransi).
Karena qath’iyyat, sikap
berlaku gotong royong dan hidup berkeadilan bersifat universal, borderless, dan
mesti shalih likulli zamaanin wa makaan (sesuai pada setiap waktu dan di semua
tempat). Gotong royong dan hidup berkeadilan harus diamalkan oleh semua orang
kapan saja dan di mana saja. Meminjam istilah Abd. Moqsith Ghazali,
prinsip-prinsip ajaran inti itu bersifat transhistoris, transideologis, bahkan
trans keyakinan agama.
Pada faktor
transideologi dan trans keyakinan agama itu, cendekiawan muslim Azyumardi Azra
menemukan, sikap gotong royong telah menjadi amalan harian pada kehidupan umat
Islam Indonesia. Di hampir semua daerah rural yang menjadi tempat tinggal umat
Islam (istilah lain Islam moderat), sikap dermawan dan saling bantu selalu
dijaga. Jangan heran, papar Azra, jika umat Islam Indonesia dikenal sebagai
umat Islam yang paling dermawan.
Hal itu dapat dilihat
dari rentetan upacara keagamaan yang selalu beriringan dengan upacara tradisi.
Seorang yang akan meminang calon istri/suami dikukuhkan dengan acara walimahan
–membaca wirid, zikir, dan ibadah lain, lalu diakhiri dengan acara makan-makan.
Selain karena memang gemar bersilaturahmi, para undangan akan pulang dengan
membawa berkat (makanan yang bisa dibawa pulang). Itulah berkah kebersamaan.
Kegiatan keagamaan
berbaju tradisi akan mengiringi semua tahap kehidupan setiap orang Islam
Indonesia, sejak dia dikandung, dilahirkan, dikhitankan, dinikahkan, pindah rumah,
naik haji, hingga masuk ke kubur. Belum lagi acara-acara yang murni keagamaan
seperti mauludan, muharaman, Isra Mikraj, khataman, rajaban, syakbanan, hingga
kegiatan ibadah sepanjang Ramadan seperti takjilan. Nyaris semuanya dengan
makan.
Semua kegiatan itu
merupakan amaliah dari Ekasila, yang tak lain adalah gotong royong ajaran Bung
Karno. Karena banyak pikirannya yang berkesesuaian dengan amaliah keseharian
umat Islam, ada yang menyebut Bung Karno sebagai seorang mujadid (pembaru
kehidupan keagamaan). Karakter Islam Nusantara yang guyub akan menjadi
penyangga utama tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Giora Eliraz (2004)
dalam Islam in Indonesia: Modernism, Radicalism, and the Middle East
Dimension menyebut, ”…watak kebangkitan Islam di Indonesia
adalah unik, ditandai dengan peningkatan toleransi dan penerimaan gagasan dasar
tentang pluralitas keagamaan. Berbeda dengan Timur Tengah yang ditandai dengan
peningkatan konservatisme berbarengan dengan penguatan Islam politik dengan
ideologi fundamentalis –dan bahkan militansi dan radikalisme.”
Sikap toleran dan penuh
penerimaan umat Islam terhadap gagasan kebinekaan sudah muncul sejak awal-awal
proses mendirikan republik. Figur seperti KH A. Wahid Hasyim, KH A. Wahab
Hasbullah, KH Masjkoer, KH Ahmad Dahlan, KH Mas Mansoer, dan Ki Bagus
Hadikusumo mengambil peran penting menjaga keutuhan untaian mutu manikam
Nusantara. Dengan gotong royong demi keadilan, keutuhan bangsa jadi taruhan. Dirgahayu
Pancasila!
__________________
Oleh: Syaifullah Yusuf,
ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
Jawa Pos, 2 Juni 2015
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload