Pesantren, Basis Toleransi Beragama
6/11/2015
KEHADIRAN kaum santri
yang lahir dari poros pondok pesantren selalu mewarnai dinamika kehidupan
berbangsa. Kehidupan bermasyarakat. Kemampuan para santri mewarnai dalam
berbagai jengkal ruang hidup inilah akibat hasil olah pendidikan pesantren yang
penuh dengan vitalitas. Penuh warna.
Pondok pesantren yang
ada di Nusantara ini beragam cirinya, karena setiap kiai memiliki otonomi yang
sangat luas dan kewenangan besar ke arah mana pesantrennya dikembangkan. Ada
pondok pesantren yang mendalami ilmu hadis, tafsir, ilmu alat, dan pada awal
70-an berkembang pondok pesantren yang diarahkan pada pengembangan keterampilan
dan pertanian.
Namun, di antara
keragaman pondok pesantren di Indonesia ini, ada ciri khusus yang dengan mudah
untuk mengidentifikasi, apakah bangunan pendidikan Islam itu masuk kategori
pesantren atau bukan pesantren.
Tiga ciri khusus
Ciri pertama yang bisa
mengidentifi kasi jati diri pondok pesantren itu bahwa setiap pondok pesantren
dalam mengembangkan Islam selalu mengajarkan paham Islam yang moderat, tasamuh,
Islam wasatiyah yang dikenal dengan Islam ahlussunnah
waljamaah.
Tasamuh atau toleransi ini menyandarkan pada satu
sikap ‘sama-sama berlaku baik, lemah lembut, dan saling pemaaf.’ Dalam makna
yang umum, tasamuh adalah ‘sikap akhlak terpuji dalam pergaulan, yakni terdapat
rasa saling menghargai antara sesama manusia dalam batas-batas yang digariskan
ajaran Islam.'
Itulah salah satu ciri
pokok dari tradisi yang dikembangkan dari lorong pondok pesantren. Sikap tasamuh ini
berjalan berkelindan dengan laku lampah kehidupan sehari-hari. Artinya, jika
ada pondok pesantren yang mengabaikan sikap tasamuh, ia telah mengabaikan
ajaran substantif dari nilai-nilai dasar pondok pesantren itu sendiri.
Dalam lajur sejarah,
jauh sebelum PBB mendesain Declaration of Human Rights, Islam telah
mengajarkan jaminan kebebasan beragama melalui `Piagam Madinah' pada 622
Masehi. Pada Piagam Madinah itu, Nabi Muhammad SAW meletakkan pilar-pilar dasar
bagi keragaman hidup antarumat agama di antara warga negara yang berlainan
agama, serta mengakui eksistensi kaum nonmuslim dan menghormati peribadatan
mereka.
Di tepi lain, ketika
umat Islam berkuasa hampir 700 tahun, pijakan toleransi menjadi kerangka acuan
paling menonjol dalam memperlakukan penduduk pribumi, baik yang beragama
Nasrani maupun Yahudi.Pada titik inilah, toleransi menjadi agregat umat Islam
di masa itu. Tentunya itu harus dijadikan sandaran bagi kehidupan umat Islam
masa kini.
Ciri kedua, pondok
pesantren bisa dideskripsikan bahwa dalam melihat, memahami, lalu menghukumi
(membuat hukum) sesuatu dilandasi kesadaran diri bahwa sesungguhnya kita tidak
memiliki suatu yang hak mengatakan yang paling benar.
Poin kedua ini ingin
menegaskan kembali identifikasi pondok pesantren, ada jiwa besar yang
dikembangkan meskipun kita meyakini bahwa yang kita pegang itu benar, tapi
tetap terbuka kemungkinan pendapat lain di posisi yang berbeda dan ada potensi
kebenaran juga. Ada jiwa besar dan nilai yang ditanamkan bahwa kebenaran itu
tidak mutlak milik kita saja.
Sikap kebesaran jiwa ini
dapat ditilik dari sosok Imam Syafi'i, ketika ia mengatakan `meskipun aku
meyakini pendapatkulah yang benar', tapi dengan rendah hati ia mengatakan
`boleh jadi pendapat yang aku yakini mengandung hal-hal yang boleh jadi salah.
Sebaliknya, meskipun pendapat orang lain itu salah, tapi boleh jadi yang aku
anggap salah itu di sana termuat ada potensi kebenaran.’
Ciri kedua inilah yang
dibangun dan menjadi tradisi pondok pesantren sehingga para santri dan kiainya
tidak mudah menyalahkan orang lain, mengafirkan sesama. Itulah sesungguhnya yang
dibangun karena pada setiap manusia ada keterbatasan diri, sehingga Allah
menciptakan keberagaman. Keberagaman ialah anugerah Tuhan, dan karena
keterbatasan sehingga bisa saling melengkapi.
Hikmah lain yang bisa
dipetik dari ciri kedua ini bahwa di balik keragaman, ialah salah satu cara
memudahkan kita mencari pandangan lain. Cara kita menyikapi keragaman dengan
cara tawasut, tawazun bukan saling menegasikan satu sama lain.
Keragaman harus dilihat dengan kelembutan dan kasih sayang. Pondok pesantren
memiliki kontribusi dalam pembentukan karakter Islam.
Ciri ketiga, pondok
pesantren mengajarkan santrinya untuk wajib mencintai Tanah Air. Sikap cinta
Tanah Air ini sebagai representasi dari ajaran hubbul wathan minal iman, cinta
Tanah Air itu sebagian dari iman. Hanya di daerah atau negara yang tidak bergolak,
yang penuh damai, nilai dalam syariat Islam bisa ditegakkan.
Jadi, syarat untuk
menunaikan ajaran Islam ialah kondisi negara yang aman. Itulah mengapa cinta
Tanah Air bagian dari iman. Nasionalisme ditanamkan di pondok pesantren.
Ketiga ciri inilah menjadi
bagian integral dari kehidupan dunia pesantren. Tentu saja, tiga ciri tersebut
akan memperkuat para santri menghadapi dunia luar. Para santri perlu membuka
keran-keran dunia luar untuk beradaptasi secara alamiah demi kemajuan bernegara
dan berbangsa.
Seperti ditegaskan
intelektual Islam, Azyumardi Azra dalam kata pengantar buku Nurcholish Madjid,
Bilik-bilik Pesantren, bahwa pembaruan pesantren dalam masa ini mengarah pada
pengembangan pandangan dunia dan substansi pendidikan pesantren agar lebih responsif
terhadap kebutuhan tantangan zaman. Pikiran yang dikembangkan Azyumardi
menegaskan kembali bahwa pondok pesantren dengan tiga ciri khusus tersebut
harus terus-menerus merespons perubahan zaman di luar dirinya.
Kemampuan merespons
pengembangan dunia dan substansi pendidikan pesantren dengan tiga ciri
khususnya, tampak tumbuh subur dalam Perkemahan Pramuka Santri Nusantara, di
Tambang Ulang, Tanah Laut, Pelaihari, Kalimantan Selatan, awal bulan ini. Itu
artinya, apa yang pernah diungkap Clifford Geertz bahwa santri selalu ditandai
ketaatan pada ajaran agama Islam serta keterlibatan dalam berbagai organisasi
di luar dirinya, menemukan bentuknya.
Untuk itu, seruan #AyoMondok yang
pernah menjadi booming dua pekan silam di ranah media sosial
bukanlah sekadar basa-basi. #AyoMondok adalah satu seruan
bahwa dunia pesantren adalah hutan belantara ilmu pengetahuan dan satu bentuk
nyata penanaman pada diri untuk bersikap tasamuh, toleran,
menghargai perbedaan pandangan, dan menabur semangat nasionalisme.
_________________________
Oleh: Lukman Hakim
Saifuddin, Menteri Agama
Media Indonesia, 9 Juni
2015
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload