Mari Sikapi “Islam Nusantara” Secara Adil [2]
6/27/2015
Agenda
Liberalisasi?
Berangkat dari sini kita bisa
mengasumsikan bahwa “Islam Nusantara” yang diwacanakan belakangan ini
sesungguhnya ada pada ranah kebudayaan yaitu kebudayaan Islam khas Nusantara
yang berbeda -meskipun juga memiliki persamaan- dengan kebudayaan Islam di
wilayah-wilayah Dunia Islam lainnya.
Walaupun sama-sama berbicara tentang
Islam dalam ranah kebudayaan, jika kita cermati definisi-definisi “Islam
Nusantara” di atas ada perbedaan signifikan antara definisi “Islam Nusantara”
dari intelektual kampus (UIN) yang diwakili Azyumardi Azra dengan definisi
“Islam Nusantara” dari intelektual pesantren yang diwakili K.H. Afifuddin
Muhajir dan Ahmad Baso.
Dalam definisi Azyumardi “Islam
Nusantara” didefinisikan pertama-tama sebagai “Islam yang distingtif” yang
dibedakan dengan “Islam universal”. Menilik definisi ini tampak adanya asumsi
bahwa ada dua jenis Islam, yaitu “Islam yang distingtif” -dengan “Islam
Nusantara” sebagai bagian darinya- dan “Islam universal” yang kedua-duanya
diposisikan secara -kurang lebih- setara.
Terlihat bahwa tidak ada dimensi
normatif dalam definisi ini. Tidak ada tendensi untuk membedakan antara ajaran
Islam yang sebenarnya atau seharusnya sebagaimana yang dijelaskan dalam Al
Qur`an, Sunnah, dan kitab-kitab para ulama dengan praktik keberislaman
masyarakat, seolah kedua-duanya sama-sama sah disebut sebagai “Islam”.
Jika mengikuti cara berfikir ini maka
tidak ada bedanya antara masyarakat yang menjalankan shalat lima waktu dengan
masyarakat yang menganggap shalat bisa diganti dengan sekadar mengingat Allah
misalnya, karena kedua-duanya sama-sama perwujudan dari “Islam” dan tidak ada
yang boleh disebut lebih benar dari yang lain. Baik keyakinan bahwa shalat lima
waktu wajib hukumnya maupun keyakinan bahwa shalat lima waktu bisa diganti
dengan sekadar dzikir saja sama-sama dianggap sebagai penafsiran semata yang
tidak mutlak kebenarannya (Untuk kritik lebih lanjut atas wacana “Islam
Nusantara” versi intelektual kampus ini ada di artikel saya sebelumnya “Islam Nusantara”. Makhluk Apakah Gerangan?).
Berbeda dengan definisi dari
Azyumardi yang mewakili kalangan intelektual kampus, definisi “Islam Nusantara”
dari Kiai Afifuddin dan Ahmad Baso sebagai wakil dari kalangan intelektual
pesantren masih memiliki dimensi normatif. Kiai Afifuddin membatasi “Islam
Nusantara” sebagai “faham dan praktik keislaman di bumi Nusantara” sedangkan
Ahmad Baso membatasi “Islam Nusantara” sebagai “ma’rifatul
ulama-i-l-Indonesiyyin” atau “majmu’atu
ma’arifil -l- ulama-i-l-Indonesiyyin”. Kedua-duanya tetap
disandarkan pada teks syariat (Kiai Afifuddin) atau adillatihat
tafshiliyyah (dalil-dalil
yang terperinci) (Ahmad Baso) hanya saja ia merupakan usaha untuk menjawab
permasalahan yang timbul dari realitas historis dan sosial-budaya Nusantara.
Dengan demikian tersirat asumsi dasar
bahwa “Islam Nusantara” dalam pengertian ini tidak setara dengan Islam itu
sendiri sebagaimana yang terkandung dalam nash. “Islam Nusantara” hanyalah
pengejawantahan dari teks syariat atau dalil-dalil terperinci yang meliputi Al
Qur`an, hadits, ijma’, dan qiyas dengan mempertimbangkan realitas Nusantara
yang bisa jadi berbeda dengan realitas di negeri-negeri lainnya.
“Islam Nusantara” adalah sekadar
produk ijtihad yang bisa benar dan bisa salah, yang penilaian benar atau
salahnya harus dikembalikan pada hal-hal yang sifatnya ushul (pokok) dalam agama.
Melihat perbedaan definisi tersebut
kita bisa melihat bahwa wacana “Islam Nusantara” yang diusung satu kalangan
bisa berbeda secara signifikan dengan wacana “Islam Nusantara” yang diusung
kalangan lainnya sekalipun menggunakan istilah yang sama. Di sinilah perlunya
kita menyikapi wacana ini dengan bijak. Anggapan bahwa “Islam Nusantara” hanya
kedok bagi agenda liberalisasi Islam memang ada benarnya jika yang dimaksud
adalah “Islam Nusantara” dalam versi intelektual kampus. Akan tetapi jika
anggapan ini dialamatkan kepada wacana “Islam Nusantara” menurut versi
intelektual pesantren maka ia menjadi tidak tepat.
Dengan kata lain mencap “Islam
Nusantara” sebagai sebuah proyek liberalisasi Islam adalah kesimpulan yang
terburu-buru hasil dari over-generalisasi dan simplifikasi masalah.
Pentingnya
Tabayyun dan Silaturahim
Di satu sisi timbulnya anggapan yang
demikian sebenarnya wajar saja karena memang istilah “Islam Nusantara” itu
sendiri masih terdengar rancu di telinga banyak orang. Justru di sinilah letak
kewajiban para pengusung wacana ini dari kalangan intelektual pesantren untuk
menjelaskan “Islam Nusantara” kepada khalayak umat Islam Indonesia secara luas
sehingga syubhat bahwa “Islam Nusantara” adalah kedok liberalisasi dapat
ditepis. Terkait dengan hal ini, menurut hemat penulis akan lebih baik jika
para intelektual pesantren yang mengusung “Islam Nusantara” menggunakan istilah
yang lebih jelas maknanya misalnya “kebudayaan Islam Nusantara”, “peradaban
Islam Nusantara”, atau “khazanah keilmuan ulama Nusantara” agar terhindar dari
kerancuan pemahaman dan su`uzhon dari sebagian umat Islam.
Di sisi lain penting pula bagi umat
Islam yang terlanjur mengambil sikap kontra terhadap wacana “Islam Nusantara”
untuk melakukan tabayyun atas wacana ini. Hendaknya kita tidak
terburu-buru mengambil kesimpulan apalagi memvonis suatu wacana tanpa memahami
duduk persoalan yang sebenarnya. Adanya kritik tentu sah-sah saja namun sudah
seharusnya bila penilaian dan penyikapan atas wacana “Islam Nusantara”
dilandasi sikap adil, obyektif, dan pikiran yang jernih. Untuk itu silaturahim
antara pihak-pihak yang selama ini kontra terhadap “Islam Nusantara” dengan
kalangan intelektual pesantren yang mengusungnya juga menjadi penting.
Lagi-lagi menurut hemat penulis kontroversi di seputar wacana “Islam Nusantara”
ini sesungguhnya terjadi karena salah paham dan gagal paham di antara kedua
belah pihak yang hanya bisa diselesaikan dengan duduk bersama dalam semangat
ukhuwwah.
Menyambung Kembali Hubungan Islam dan
Kebudayaan Nusantara
Terlepas dari kontroversi yang
meliputinya, sepanjang dipahami secara tepat wacana “Islam Nusantara” sejatinya
bisa menjadi sarana untuk menyambung kembali hubungan Islam dan kebudayaan
Nusantara yang selama ini terputus atau sengaja hendak diputus oleh segelintir
orang. Selama ini para orientalis kerap menganggap bahwa Islam hanyalah lapisan
tipis di atas kebudayaan Nusantara yang intisarinya adalah animisme, dinamisme,
Hinduisme, dan Buddhisme. Seolah-olah Islam yang dianut sebagai agama mayoritas
penduduk kepulauan ini tidak mempunyai pengaruh besar bagi kehidupan masyarakatnya.
Dalam wacana kebudayaan nasional
khazanah kebudayaan Islam ditutupi oleh penonjolan warisan zaman Hindu-Buddha.
Peninggalan-peninggalan Hindu-Buddha seperti candi dan naskah-naskah kuno dari
masa itu ditampilkan sebagai representasi kebudayaan Nusantara sementara sekian
banyak masjid, kitab-kitab ulama dalam bahasa lokal, dan karya-karya sastra
bernuansa Islam yang begitu melimpah seolah dikesampingkan begitu saja. Tanpa
harus menafikan adanya sisa-sisa pengaruh atau kesinambungan budaya dari masa pra-Islam,
sikap menafikan pengaruh Islam dalam kebudayaan Nusantara jelas merupakan sikap
yang tidak adil dan ahistoris.
Dalam konteks ini maka kehadiran
wacana “Islam Nusantara” menjadi suatu hal yang tepat untuk menunjukkan bahwa
Islam mempunyai sumbangsih yang besar bagi pembentukan kebudayaan Nusantara
bahkan boleh dikatakan Islam adalah ruh dari kebudayaan sebagian besar
masyarakat Nusantara. Diperlukan upaya serius untuk menggali kekayaan budaya
Islam di Nusantara ini dan bila perlu merevitalisasinya untuk menjawab
tantangan yang dihadapi umat Islam dan bangsa Indonesia umumnya hari ini. Untuk
itu kerja-kerja intelektual dan kerja-kerja kebudayaan lainnya yang lebih luas
menjadi sebuah keniscayaan. Di sinilah potensi sumber daya umat Islam perlu disalurkan.
Sangat sayang jika energi umat dihabiskan untuk memperdebatkan suatu wacana
namun kita lupa akan pokok permasalahan sesungguhnya yang perlu dijawab.
Wallahu a’lam bish shawab.
Oleh: Adif Afrizal
Sumber: Hidayatullah.com
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload