Mengkritisi 'Islam Nusantara'
6/27/2015
Beberapa bulan ini muncul wacana “Islam Nusantara” di tengah
masyarakat. Sebelum menjelaskan, kita harus sepakat terlebih dahulu apa yang
dimaksud dengan Islam Nusantara. Kalau yang di maksud adalah pemeluk Islam di
Nusantara, maka seharusnya kalimat yang tepat adalah “Muslim Nusantara’ bukan
‘Islam Nusantara’. Sejauh ini, para pendukung gagasan ini memiliki definisi
sendiri-sendiri yang juga tidak memiliki kejelasan.
Jika dibaca sepintas, gagasan
lahirnya ‘Islam Nusantara’ hanyalah gagasan untuk melawan istilah yang sering
disebut sebagai ‘Arabisasi’ Islam di Indonesia.
Banyak Kejanggalan
Dalam sejarah pergolakan antara
Muslim tradisional dengan Muslim yang notabene dinilai non tradisional sudah
ada sejak dulu. Perbedaan pandangan antara Hamzah Fansuri dan Nuruddin
Al-Raniri, bahkan di kemudian hari antara KH. Ahmad Dahlan dan KH Hasyim
Asy`ari, apakah lantas me-Nusantarakan satu pihak secara paripurna dan
me-non-Nusantarakan yang lain? Agaknya kurang bijak dengan standarisasi semacam
ini.
Setidaknya, ada lima kejanggalan dari
gagasan wacana ‘Islam Nusantara’;
Pertama, adanya
klaim ‘Islam Nusantara’ milik satu golongan dan kelompok. Padahal Nusantara
bukan hanya milik satu golongan; bukan hanya milik NU, Muhammadiyah atau ormas
manapun. Ia lahir adalah bagian dari heterogenitas kelompok yang ada di
dalamnya.
Kedua, kelompok
yang setuju istilah ‘Islam Nusantara’ seolah-olah ingin berupaya
mempertentangkan antara Islam Nusantara dengan Islam Timur-Tengah.
Jika demikian, pertanyannya,
“Penggunaan istilah yang benar itu Islam atau Muslim?” Islam tidak ada
salahnya, kalau Muslim bisa berpotensi salah.
Kalaupun yang hendak dibandingkan
adalah antara Muslim Nusantara dengan Muslim Timur-Tengah, apakah lantas
mengunggulkan yang satu dan merendahkan yang lain?
Muslim Timur-Tengah dan Muslim
Nusantara abad berapa yang dimaksud?
Timur-Tengah pada zaman keemasan
Islam adalah soko guru peradaban dunia. Pada waktu itu mereka mampu
mengharmonikan antara manusia, negara, alam dan Tuhan. Tidak seperti
Timur-Tengah sekarang.
Kemudian, yang dimaksud Nusantara itu
sebenarnya kapan? Muslim abad ini kah? Atau sejak Wali Songo? Bahkan sejak
kerajaan Hindu-Budha kah?
Masalahnya, masuknya Islam di
Indonesia saja masih debateable kok langsung membuat formulasi ‘Islam
Nusantara’. Selama istilah belem jelas maka akan asyik berbicara di dunia
khayalan.
Para wali dan ulama-ulama besar yang lahir di Nusantara
(seperti Imam Nawawi Al-Bantani, KH. Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy`ari dll),
apakah steril dari pengaruh kebudayaan Arab? Faktanya tidak.
Secara pakaian, di antara mereka
masih menggunakan sorban dan gaya ala orang Arab. Belum lagi guru-gurunya yang
banyak berasal dari Arab. Bukankah Wali Songo yang terkenal itu kebanyakan
berasal dari Timur-Tengah?
Berapa persen yang penduduk asli
Nusantara?
Upaya untuk mengotak-kotakkan Islam
menjadi ‘Islam Nusantara’ dan ‘Islam Timur-Tengah’, menurut hemat penulis
terlalu gegabah bahkan a-historis.
Ketiga, ada
pula klaim, seolah-olah mereka yang setuju gagasan ‘Islam Nusantara’ paling
kokoh dan istiqamah menjaga kebinekaan negeri ini. Kalau satu mengklaim sebagai
pihak paling kokoh, lalu yang lain jadi apa?
Indonesia adalah negeri yang luas,
dibangun oleh banyak darah para syuhada. Mereka ada NU, ada Muhammadiyah,
Persis, Al-Irsyad, Dewan Dakwah Islamiyah dan masih banyak yang tak sedikit
perannya membangun negeri ini.
Nusantara tidak bisa dimonopoli oleh
satu pihak, apalagi hanya salah satu yang mengaku-ngaku sebagai benteng kokoh
pengawal NKRI.
Apapun wacana ini, meski seolah-olah
menggunakan Wali Songo sebagai patokan dan ukuran ‘Islam Nusantara’, tetap akan
kabur dan menemui jalan buntu.
Apakah sebelum Wali Songo mereka
tidak berkembang? Katakanlah misalkan benar sejak masa Wali Songo, lalu
pertanyaannya, “Apakah Wali Songo itu satu ritme dalam melakukan cara
dakwahnya? Apakah semuanya harus mengikuti gaya Kanjeng Sunan Kali Jogo (yang
identik dengan cara kultural) dalam melakukan dakwah?”
Anggap kita terima kalau Wali Songo
sebagai cikal-bakal pengembang ‘Islam Nusantara’. Masih juga akan menyisahkan
masalah tak sedikit.
Apakah yang mereka lakukan selama ini
itu adalah ‘me-Nusantarakan Islam’ atau ‘mengislamkan Nusantara’? Apakah mereka
menjadikan Islam sebagai obyek sedang Nusantara sebagai subyek, atau
sebaliknya?
Mereka menjadikan budaya sebagai cara
berdakwah atau menjadikannya sebagai tujuan berdakwah?
Penulis pikir, mereka sangat tahu
persis mana ranah yang boleh dirubah demi kepentingan budaya, dan mana yang
tidak bisa dirubah sebagai prinsip Islam.
Keempat, gagasan
‘Islam Nusantara’ lahir secara emosional karena harus dibenturkan Arab atau
Timur-Tengah, yang seolah-olah apa yang dating dari Arab selalu mengkafirkan,
intoleran, suka membid`ahkan, menyesatkan, anti budaya dan lain sebagainya.
Sekedar contoh, oranganisasi
Nahdhatul Ulama (NU) secara geneologi keilmuan tak bisa dipisahkan dengan
ulama-ulama yang notabene berasal dari Timur-Tengah.
Padahal dalam sejarah NU yang dikenal
dengan bermadzhab Syafi`i dan berakidah Asy`ari, keduanya ulama besar ini bukan
asli Nusantara. Mereka justru lahir dari Timur Tengah.
Adalah benar, banyak nilai-nilai di
Nusantara yang digunakan dan bisa ditawarkan pada masyarakat dunia. Misalnya,
menyimpan kearifan budaya, toleransi, kelembutan, kesopanan dan lain sebagainya.
Namun, menjadikan seolah-olah nilai kesopanan, kearifan
serta toleransi seolah-olah bisa mewakili semua nilai Islam jelas tak masuk
akal.
Kelima, klaim
“Islam Nusantara’ akan menjadi referensi bagi dunia internasional menurut
penulis adalah gagasan yang ke-pedean (terlalu percaya diri, red).
Sebagai Muslim, yang seharusnya kita
tanam dalam keyakinan kita adalah Islam berlandaskan al-Qur`an dan Hadits,
itulah referensi umat Islam seluruh dunia.
Bukankah ajaran Islam sudah meng-
cover semuanya. Islam –selama tidak bertentangan dengan prinsip- sangat
menghormati toleransi, kelembutan dan budaya.
Bukankah sejak awal Islam yang dibawa
nabi adalah Islam rahmatan lil `alamin?
Mana yang lebih menyeluruh dan
universal Islam rahmat bagi seantero alam atau sebatas Islam Nusantara?
Menurut penulis, jika diteruskan
wacana ‘Islam Nusantara’ ini, maka kelak akan pusing sendiri dan menjumpai
jalan buntu akibat mentahnya gagasan ini.
Jadi –menurut pikiran penulis-, Islam
adalah Islam. Titik!
Tidak ada embel-embel atau atribut
apa pun. Kalau pun dari masing-masing Muslim memiliki kultur dan kelebihan
berbeda, itu bukan untuk dipertentangkan, tapi untuk saling belajar dan
mengenal. Dengan saling berendah hati dan tanpa caci-maki, InsyaAllah semua
bisa teratasi. Karena –sebagaimana istilah Nabi- Islam itu mengatasi bukan
diatasi.
Jadi, masih perlukah istilah ‘Islam
Nusantara’? Wallahu
a`lam bi dzatis shudur.
Oleh: Mahmud Budi Setiawan
Sumber: Hidayatullah.com
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload