Mari Sikapi “Islam Nusantara” Secara Adil [1]
6/27/2015
Belakangan ini “Islam
Nusantara” menjadi istilah yang ramai diperbincangkan di tengah masyarakat,
khususnya di media sosial. Istilah ini ramai diperbincangkan setelah
Kementerian Agama (Kemenag) RI mengangkat wacana “Islam Nusantara” sebagai
bagian dari program besarnya untuk membangun keberagamaan masyarakat Indonesia
yang moderat, toleran, dan menghargai keberagaman.
Salah satu wujud kongkrit dari “Islam
Nusantara” yang diangkat Kementerian Agama adalah menampilkan pembacaan Al
Qur`an dengan langgam Jawa pada acara peringatan Isra` Mi’raj di Istana Negara
tanggal 16 Mei lalu.
Sebuah langkah yang kemudian
menimbulkan kontroversi di tengah umat Islam Indonesia. Berawal dari kasus
“langgam Jawa” ini wacana “Islam Nusantara” menimbulkan reaksi miring dari
sebagian umat Islam. Muncul anggapan bahwa “Islam Nusantara” hanyalah kedok
baru bagi proyek liberalisasi Islam yang sudah berlangsung sejak lama. Menurut
mereka yang kontra, wacana ini adalah suatu upaya memecah belah umat Islam
lewat perbedaan kebangsaan dan regional serta melegitimasi berkembangnya
aliran-aliran sesat dengan dalih budaya dan kearifan lokal. Di sisi lain wacana
ini mendapat tanggapan positif dari sebagian umat Islam lainnya.
Bagi kalangan yang mendukungnya,
“Islam Nusantara” justru sangat penting untuk diangkat sebagai upaya untuk
memberikan sumbangsih Islam bagi peradaban dan perdamaian dunia di saat negara-negara
Timur Tengah yang dianggap sebagai pusat Islam justru sedang dilanda konflik
berkepanjangan.
Yang menjadi pertanyaan, benarkah
wacana “Islam Nusantara” ini adalah kedok bagi liberalisasi Islam? Jikapun
benar demikian apakah wacana ini hanya semata-mata kedok liberalisasi Islam
belaka? Tidakkah ada kemungkinan lain bahwa ada pula orang-orang yang
mengangkat wacana ini tanpa memiliki agenda liberalisasi Islam?
Tulisan ini mencoba untuk meletakkan
wacana “Islam Nusantara” secara adil tanpa terjebak dalam sikap pro ataupun
kontra secara berlebihan.
Satu Istilah Beragam Definisi
Melalui penelusuran di dunia maya
penulis menemukan sejumlah definisi yang berbeda tentang “Islam Nusantara”.
Setidaknya ada tiga definisi yang penulis temukan terkait dengan wacana “Islam
Nusantara ini. Definisi pertama datang dari itu Guru Besar Sejarah Kebudayaan
Islam UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra. Ia mendefinisikan “Islam
Nusantara adalah Islam distingtif sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi,
indigenisasi dan vernakularisasi Islam universal dengan realitas sosial, budaya
dan agama di Indonesia”
(http://fah.uinjkt.ac.id/index.php/20-articles/kolom-fahim/197-islam-nusantara-adalah-kita).
Definisi kedua dikemukakan Katib
Syuriah PBNU yang juga pengajar di Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah
Syafi’iyah Asembagus Situbondo K.H. Afifuddin Muhajir mendefinsikan “Islam
Nusantara” sebagai “faham dan praktik keislaman di bumi Nusantara sebagai hasil
dialektika antara teks syariat dengan realita dan budaya setempat” (http://muktamar.nu.or.id/meneguhkan-islam-nusantara-untuk-peradaban-indonesia-dan-dunia/).
Intelektual muda NU yang produktif
menulis Ahmad Baso menyumbangkan definisi ketiga “Islam Nusantara”. Menurutnya
“Islam Nusantara” adalah “ma’rifatul
ulama-i-l-Indonesiyyin bil-ahkami-sy-syar’iyyah al-amaliyyah al-muktasab min
adillatiha-t-tafshiliyyah” atau “majmu’atu
ma’arifil -l- ulama-i-l-Indonesiyyin bil-ahkami-sy-syar’iyyah al-amaliyyah
al-muktasab min adillatiha-t-tafshiliyyah” (al-Quran, Hadits, Ijma’ dan Qiyas) (https://rmi-nu.or.id/nahdlatul-ulama/apa-itu-islam-nusantara-2748).
Ada juga Ahmad Baso juga memberikan
beberapa contoh ijtihad ulama Nusantara yang bisa dikategorikan sebagai
khazanah “Islam Nusantara” antara lain tradisi imsak di bulan Ramadhan, halal bihalal
di bulan Syawal, ta’liq thalaq, dan kaidah al-muhafazhah ‘ala qadimish shalih.
Menilik beragamnya definisi “Islam
Nusantara” tersebut di atas terlihat bahwa belum ada kesepakatan tentang apa
yang dimaksud “Islam Nusantara” di antara para pengusungnya sendiri. Dengan
kata lain, sebagai sebuah wacana “Islam Nusantara” sesungguhnya adalah wacana
yang masih kabur.
Jika definisinya saja belum jelas
jangan heran bila ketika wacana ini dilempar ke publik banyak timbul persepsi
yang beragam yang akhirnya menimbulkan perdebatan dan kegaduhan.
Sungguh tidak bijak melempar sebuah
wacana ke tengah publik yang tidak seragam dalam hal kapasitas intelektual dan
tingkat penangkapannya atas sebuah gagasan manakala wacana itu sendiri masih
diliputi kekaburan dan kerancuan.
Dalam situasi semacam ini jangan
salahkan jika sebagian publik -dalam hal ini sebagian umat Islam- menilai
“Islam Nusantara” secara negatif. Bukankah Islam itu sendiri sejatinya hanya
satu? Lantas mengapa harus ada istilah “Islam Nusantara” yang kemudian
seringkali didikotomikan atau dihadap-hadapkan dengan “Islam Arab”. Wajar bila
timbul kecurigaan ada agenda tertentu di balik pemunculan wacana ini. (bersambung
2)
Oleh: Adif Fahrizal
Sumber: hidayatullah.com
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload