Titik Temu Wahabi-NU
5/12/2015
Banyak orang terkejut ketika seorang ulama Wahabi
mengusulkan agar kitab-kitab Imam Muhammad Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul
Ulama, diajarkan di pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah Islam di
Indonesia. Hal itu karena selama ini dikesankan bahwa paham Wahabi yang dianut
oleh pemerintah dan mayoritas warga Arab Saudi itu berseberangan dengan ajaran
Nahdlatul Ulama yang merupakan mayoritas umat Islam Indonesia.
Tampaknya selama ini ada kesalahan informasi tentang
Wahabi dan NU. Banyak orang Wahabi yang mendengar informasi tentang NU dari
sumber-sumber lain yang bukan karya tulis ulama NU, khususnya Imam Muhammad
Hasyim Asy’ari. Sebaliknya, banyak orang NU yang memperoleh informasi tentang
Wahabi tidak dari sumber-sumber asli karya tulis ulama-ulama yang menjadi
rujukan paham Wahabi.
Akibatnya, sejumlah orang Wahabi hanya melihat sisi
negatif NU dan banyak orang NU yang melihat sisi negatif Wahabi. Penilaian
seperti ini tentulah tidak objektif, apalagi ada faktor eksternal, seperti yang
tertulis dalam Protokol Zionisme No 7 bahwa kaum Zionis akan berupaya untuk
menciptakan konflik dan kekacauan di seluruh dunia dengan mengobarkan
permusuhan dan pertentangan.
Untuk menilai paham Wahabi, kita haruslah membaca
kitab-kitab yang menjadi rujukan paham Wahabi, seperti kitab-kitab karya Imam
Ibnu Taymiyyah, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, dan termasuk kitab-kitab karya
Syekh Muhammad bin Abdul Wahab yang kepadanya paham Wahabi itu dinisbatkan.
Sementara untuk mengetahui paham keagamaan Nahdlatul Ulama, kita harus membaca,
khususnya kitab-kitab karya Imam Muhammad Hasyim Asy'ari yang mendirikan
Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.
Kami telah mencoba menelaah kitab-kitab karya Imam
Muhammad Hasyim Asy’ari dan membandingkannya dengan kitab-kitab karya Imam Ibnu
Taymiyyah dan lain-lain. Kemudian, kami berkesimpulan bahwa lebih dari 20 poin
persamaan ajaran antara Imam Muhammad Hasyim Asy’ari dan imam Ibnu Taymiyyah.
Bahkan, seorang kawan yang bukan warga NU, alumnus Universitas Islam Madinah,
mengatakan kepada kami, lebih kurang 90 persen ajaran Nahdlatul Ulama itu sama
dengan ajaran Wahabi.
Kesamaan ajaran Wahabi dan NU itu justru dalam hal-hal
yang selama ini dikesankan sebagai sesuatu yang bertolak belakang antara Wahabi
dan NU. Orang yang tidak mengetahui ajaran Wahabi dari sumber-sumber asli
Wahabi, maka ia tentu akan terkejut. Namun, bagi orang yang mengetahui Wahabi
dari sumber-sumber asli Wahabi, mereka justru akan mengatakan, "Itulah
persamaan antara Wahabi dan NU, mengapa kedua kelompok ini selalu
dibenturkan?"
Di antara titik-titik temu antara ajaran Wahabi dan NU
yang jumlahnya puluhan, bahkan ratusan itu adalah sebagai berikut. Pertama,
sumber syariat Islam, baik menurut Wahabi maupun NU, adalah Alquran, hadis,
ijma, dan qiyas. Hadis yang dipakai oleh keduanya adalah hadis yang sahih
kendati hadis itu hadis ahad, bukan mutawatir. Karenanya, baik Wahabi maupun
NU, memercayai adanya siksa kubur, syafaat Nabi dan orang saleh pada hari
kiamat nanti, dan lain sebagainya karena hal itu terdapat dalam hadis-hadis
sahih.
Kedua, sebagai konsekuensi menjadikan ijma sebagai
sumber syariat Islam, baik Wahabi maupun NU, shalat Jumat dengan dua kali azan
dan shalat Tarawih 20 rakaat. Selama tinggal di Arab Saudi (1976-1985), kami
tidak menemukan shalat Jumat di masjid-masjid Saudi kecuali azannya dua kali,
dan kami tidak menemukan shalat Tarawih di Saudi di luar 20 rakaat. Ketika kami
coba memancing pendapat ulama Saudi tentang pendapat yang mengatakan bahwa
Tarawih 20 rakaat itu sama dengan shalat Zhuhur lima rakaat, ia justru
menyerang balik kami, katanya, "Bagaimana mungkin shalat Tarawih 20 rakaat
itu tidak benar, sementara dalam hadis yang sahih para sahabat shalat Tarawih
20 rakaat dan tidak ada satu pun yang membantah hal itu." Inilah ijma para
sahabat.
Ketiga, dalam beragama, baik Wahabi maupun NU, menganut
satu mazhab dari mazhab fikih yang empat. Wahabi bermazhab Hanbali dan NU
bermazhab salah satu dari mazhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.
Baik Wahabi (Imam Ibnu Taymiyyah) maupun NU (Imam Muhammad Hasyim Asy’ari), sama-sama
berpendapat bahwa bertawasul (berdoa dengan menyebut nama Nabi Muhammad SAW
atau orang saleh) itu dibenarkan dan bukan syirik.
Kendati demikian, Imam Muhammad Hasyim Asy’ari dalam
kitabnya, al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin, mensyaratkan bahwa
dalam berdoa dengan tawasul menyebut nama Nabi Muhammad SAW atau orang saleh,
kita tetap harus yakin bahwa yang mengabulkan doa kita adalah Allah SWT, bukan
orang yang namanya kita sebut dalam tawasul itu. Wahabi dan NU sama-sama
memercayai adanya karamah para wali (karamat al-awliya) tanpa mengultuskan
mereka.
Memang ada perbedaan antara Wahabi dan NU atau antara
Imam Ibnu Taymiyyah dan Imam Muhammad Hasyim Asy’ari. Namun, perbedaan itu
sifatnya tidak prinsip dan hal itu sudah terjadi sebelum lahirnya Wahabi dan
NU.
Dalam praktiknya, baik Wahabi maupun NU, tidak pernah
mempermasalahkan keduanya. Banyak anak NU yang belajar di Saudi yang
notabenenya adalah Wahabi. Bahkan, banyak jamaah haji warga NU yang shalat di
belakang imam yang Wahabi, dan ternyata hal itu tidak menjadi masalah. Wahabi
dan NU adalah dua keluarga besar dari umat Islam di dunia yang harus saling
mendukung. Karenanya, membenturkan antara keduanya sama saja kita menjadi
relawan gratis Zionis untuk melaksanakan agenda Zionisme, seperti tertulis
dalam Protokol Zionisme di atas. Wallahu al-muwaffiq.
Oleh: KH. Ali Mustafa Ya’qub, Imam Besar Masjid Istiqlal, Rais Syuriah PBNU
bidang Fatwa
Sumber: Harian Republika, edisi 13 Pebruari 2015
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload