Sikap Kaum Sufi terhadap Karamah
5/28/2015
Pembaca
Pustama
Pada
kesempatan ini, Pustaka Madrasah akan membahas sedikit tentang dunia tasawuf
dan karamah. Sebagaimana diketahui bahwa dunia tasawuf tentu tidak bisa
dipisahkan pembahasannya dari orang sufi sebagai orang yang menapaki di
dalamnya. Permasalahan ini banyak sekali menimbulkan kontroversi dan sikap
saling ‘sikut’ di antara orang-orang yang berbeda. Namun pada kesempatan ini,
Pustaka Madrasah akan mencoba menyodorkan perkataan-perkataan dari tokoh-tokoh
sufi legendaris terhadap masalah karamah.
Namun
sebelum masuk pembahasan, perlu diketahui bahwa karamah adalah sesuatu yang luar
biasa yang diberikan kepada wali Allah. Sebagian para sahabat, tabi’in, ulama,
dan orang-orang saleh banyak mengalaminya. Oleh karena itu, sudah sepantasnya umat Islam
pun harus mempercayainya.
Berikut
perkataan-perkataan orang-orang sufi yang bergelut dalam dunia tasawuf tentang karamah.
1.
Syeikh Abu Abdullah
al-Qurasi berkata, “Barangsiapa tidak membenci terlihatnya hal-hal yang luar
biasa dari dirinya, sebagaimana kebencian makhluk terhadap terlihatnya maksiat,
maka tampaknya hal-hal tersebut baginya adalah hijab dan ditutupinya semua itu
adalah rahmat. Sesungguhnya, barangsiapa dapat melampaui kebiasaan-kebiasaan
jiwanya, maka dia tidak akan menginginkan terlihatnya sesuatu dari tanda-tanda
dan hal-hal yang luar biasa padanya. Akan tetapi, dia akan merasakan bahwa
dirinya lebih kecil dan lebih hina dari semua itu. Jika kehendaknya telah
hilang dari dirinya secara keseluruhan, dan dia dapat memandang dirinya dengan
pandangan kehinaan dan kerendahan, maka dia berhak untuk mendapatkan
sumber-sumber kelembutan dan masuk ke dalam tingkatan orang-orang yang siddiq.”
2.
Ali al-Khawwash
berkata, “Orang-orang yang sempurna takut memperoleh karamah. Dan karamah
membuat mereka semakin takut karena bisa saja itu adalah istidraj.”
3.
Syeikh Muhyiddin
berkata, “Tidak diragukan lagi bahwa para pembesar menganggap memperlihatkan
karamah sebagai bagian dari kebodohan jiwa, kecuali untuk membela agama atau
untuk memperoleh suatu manfaat. Sebab, Allah-lah yang menentukan sesuatu bagi
mereka, bukan mereka. Tidak ada kekhususan bagi mereka kecuali terjadinya hal
luar biasa tersebut pada mereka, bukan pada orang lain. Apabila seorang di
antara mereka menghidupkan seekor kambing atau ayam, misalnya, maka itu adalah
berdasarkan kodrat Allah, bukan karena kekuasaan mereka. Dan, apabila semua
urusan telah dikembalikan kepada kodratNya, maka tidak aka nada hal yang aneh.”
4.
Abu Qasim
al-Qusyairi berkata, “Dan ketahuilah bahwa karamah yang paling mulia yang
ada pada diri para wali adalah kesinambungan taufik dalam menjalankan ketaatan
dan dalam menjaga diri dari segala maksiat dan pelanggaran.” Beliau juga berkata,
“Sekiranya wali tidak memiliki karamah yang nyata di dunia, itu tidak
mengurangi keberadaannya sebagai wali.”
5.
Ketika seseorang
menyebutkan keramah di hadapan Sahal ibn Abdullah at-Tastari, ia berkata, “Apakah
mukjizat dan karamah itu? Sesuatu yang sirna pada waktunya. Karamah yang paling
besar adalah mengubah akhlak tercela yang ada pada dirimu dengan akhlak terpuji.”
6.
Syeikh Abu Hasan
asy-Syadzili berkata, “Karamah yang hakiki adalah tercapainya istikamah dan
sampai pada kesempurnaannya. Hal itu kembali kepada dua hal. Pertama, iman yang
benar kepada Allah, dan kedua, mengikuti apa-apa yang dibawa oleh Rasulullah
saw., baik yang secara lahiriyah maupun batin. Jadi, yang wajib bagi seorang
muslim adalah menjaga keduanya dan tidak memiliki keinginan kecuali untuk
mencapai keduanya. Adapun karamah yang berarti kejadian yang luar biasa, hal
itu tidaklah dianggap sejati oleh para sufi. Sebab, dia bisa jadi diberikan
kepada orang yang istikamahnya belum sempurna dan diberikan kepada orang
sebagai istidraj dari Allah.”
7.
Syeikh Abdullah al-Yafii
berkata, “Tidak mesti seorang wali yang memiliki karamah lebih utama dari
yang tidak memilikinya. Bahkan bisa jadi yang tidak memiliki karamah lebih
utama daripada yang memilikinya. Sebab, karamah bisa jadi ada untuk menguatkan
keyakinan orang yang diberi karamah tersebut, serta sebagai bukti atas
kebenaran dan kemuliaannya, dan bukan atas keutamaannya. Sebab, keutamaan
diukur dengan kuatnya keyakinan dan kesempurnaan makrifat kepada Allah.”
Demikian
pembaca Pustama, perkataan-perkataan tokoh-tokoh sufi terhadap karamah. Semoga bermanfaat.
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload