Sejarah Tafsir Klasik dan Modern
5/11/2015
Alquran merupakan salah satu dari sejumlah kecil kitab
suci yang telah memberikan pengaruh begitu luas dan mendalam dalam jiwa dan
tindakan manusia. Bagi kaum muslimin Alquran bukan saja sebagai kitab suci
(scripture) melainkan juga petunjuk (hudâ) yang menjadi pedoman sikap dan
tindakan mereka dalam memainkan peran sebagai khalifatullah di muka bumi.
Ibarat katalog sebuah produk barang, Alquran adalah guide bagi pengelola alam
ini sehinga dapat berfungsi dengan baik. Maka baik buruknya pengelolaan dan
pendayagunaan alam sangat tergantung kepada tinggi rendahnya intensitas
komitmen manusia terhadap petunjuk Alquran. Karena itu, tafsir dan yang
berkaitan dengannya telah mendapat perhatian besar sejak masa awal perkembangan
Islam sampai masa kini hingga masa mendatang mengingat posisi sentral yang
dimilikinya sebagai hudan.
Sejarah Tafsir Klasik
Kendati pada mulanya berkembang secara lisan, tetapi
kodifikasi ilmu tafsir telah dimulai sejak dini. Dalam kitab Thabaqât Ibnu Sa`d
(5/216) di sinyalir, sejarawan Musa bin Uqbah dititipi oleh Kurayb bin Muslim
(w 97 H) ‘sepikulan’ onta karangan gurunya, Tarjumân al-Qur`ân, Ibnu Abbas (w.
68 H). Disebutkan, Ali bin Abdullah bin Abbas (w 118 H) berkali-kali berkirim
surat kepada Musa bin `Uqbah untuk mendapatkan kumpulan karya ayahnya guna
ditulis ulang. Fuat Sezgin, pakar bibliografi turats Islam, mengomentari,
“tidak ada yang menghalangi untuk mengatakan Ibnu Abbas telah menulis sendiri
karya tafsirnya yang sekarang banyak berserakan dalam bentuk kutipan di
buku-buku tafsir”.
Buah pikiran Ibnu Abbas dalam tafsir banyak yang sampai
kepada kita melalui riwayat yang shahih, terutama yang melalu jalur Ali bin Abi
Thalhah. Dalam tafsir Thabary terekam sekitar 1000 riwayat yang melalui jalur
ini. Sebagian pakar menilai riwayat tersebut mengandung kelemahan karena Ali
bin Abi Thalhah tidak meriwayatkannya langsung dari Ibnu Abbas. Tetapi dengan
diketahui ‘perantara’ antara Ali bin Abi Thalhah dan Ibnu Abbas seorang yang
tsiqah yaitu Mujahid (w 104 H) dan Ikrimah (w. 105 H) maka tuduhan tersebut
menjadi tidak relevan (Musykil al-Atsar, Thahawi 3/186). Ahmad Ibnu Hanbal
sering memuji karya tersebut yang pada masanya masih dapat dilihat dan
tersimpan di Mesir (Tarikh Turats `Arabiy, Sezgin 1/180).
Tafsiran Ibnu Abbas tidak selalu melalui periwayatan
dari Rasulullah dan para sahabat (tafsir bil ma`tsur), tetapi telah ada
terobosan baru yaitu tafsir melalui pendekatan bahasa. Nafi` Ibnu al-Azraq (w.
65 H), pemimpin Khawarij saat itu, pernah mengajukan 200 kata yang maknanya
tidak jelas dalam Alquran kepada Ibnu Abbas. Dengan piawainya Ibnu Abbas
menjelaskan maknanya satu per satu dengan disertai argumentasi pendukung dari
syair Arab jahily.
Tafsir dengan pendekatan bahasa dan logika secara umum
semakin berkembang di tangan para murid Ibnu Abbas seperti Said bin Jubair (w
95 H), Mujahid, Ikrimah, Al-Dhahhak (w 105 H) dan Atha` bin Rabah (w. 114 H).
Upaya menghimpun kembali karya-karya ulama masa lalu
(abad ke 1 dan ke 2 H) telah dilakukan pada paruh pertama abad ke 3 H. Imam
Bukhari, penyusun kitab hadis shahih, dalam karyanya banyak memuat penjelasan
makna kosa kata Alquran yang kemudian dikumpulkan dalam bentuk buku tersendiri
oleh M. Fuad Abdul Baqy. Selain memuat beberapa riwayat tafsir, meski terkadang
tidak disertai sanad, karya Imam Bukhari itu banyak memuat pandangan ulama
bahasa sebelumnya terutama Abu Ubaidah.
Usaha pengumpulan ini mencapai puncaknya dalam karya
Imam Thabary (w. 310 H), Jâmi` al-Bayân fi Ta`wîl al-Qur`ân. Selain memuat
tafsir secara utuh karya tersebut juga dilengkapi dengan sanad periwayatannya.
Karena itu tidak berlebihan jika dikatakan karya Thabari tersebut sebagai
puncak karya tafsir bil ma`tsur meskipun juga banyak memuat pandangan ahli
bahasa.
Tafsir Thabary dikatakan sebagai karya utuh tafsir
karena pada umumnya karya yang muncul sampai pada akhir abad ke 4 H lebih
menekankan pada satu kajian tertentu semisal Gharîb al-Qur`ân dan Musykil
al-Qur`ân karya Ibnu Qutaybah (w 276 H), Fadhâ`il al-Qur`ân karya Abi Ubayd
al-Qasim bin Salam (w 224 H), Ma ittafaqa lafzhuhu wa ikhtalafa ma`nâhu min
al-Qur`ân al-Majîd karya al-Mubarrad (w 285 H), Al-Nasikh wa al-Mansûkh karya
Abu Ja`far al-Nahhas (w 338 H), dan juga tidak menafsirkan seluruh ayat seperti
terlihat pada karya al-Zajjaj (w 311 H), Ma`ani al-Qur`an wa I`râbuhu dan Abu
al-Laits al-Samarqandiy (w 373 H), Tafsir al-Qur`ân.
Tradisi periwayatan dalam tafsir model Thabariy kemudian
diikuti selanjutnya pada abad ke 5 H oleh al-Tsa`labiy (w 427 H) dalam karyanya
al-Kasyf wa al-Bayân dan al-Wahidiy (w 468 H) yang memiliki tiga karya tafsir;
al-Wajîz, al-Wasîth dan al-Basîth.
Catatan negatif yang sering diberikan kepada model
tafsir periwayatan adalah bercampurnya antara riwayat yang shahih dengan yang
dha`îf (lemah) bahkan mawdhu` (palsu). Tak ubahnya mereka seperti pencari kayu
bakar di malam hari (hâthib laylin) yang tidak bisa membedakan antara ular dan
batang kayu bakar. Karena itu pada awal abad ke 6 H, seorang pakar hadis,
al-Baghawiy (w 510 H) mencoba membersihkan karya al-Tsa`labiy yang dinilainya
cukup banyak memuat informasi tafsir masa lalu dari dalam karyanya Ma`âlim
al-Tanzîl. Selain memuat pikiran tafsirnya, al-Baghawi mendasari banyak
tafsirannya dari karya Tsa`labiy, al-Kasyf wa al-Bayân. Karya Al-Baghawiy
tersebut kemudian diringkas pada awal abad ke 8 H oleh Imam al-Khazin (w 725 H)
dalam karyanya Lubâb al-Ta`wîl. Kepribadian al-Khazin sebagai seorang sufi yang
menyenangi kisah-kisah aneh dalam nasihat-nasihatnya membuatnya tertarik untuk
menukil kembali kisah-kisah yang ditulis Tsa`labiy dan telah dibuang oleh
al-Baghawiy dari karyanya.
Di sisi lain penafsiran dengan pendekatan bahasa yang
lebih rasional berkembang di kalangan mu`tazilah melalui tokoh-tokohnya seperti
Abu Ishaq al-Nazhzham (w 231 H), al-Jahizh (w 255 H), dan mencapai puncaknya
dalam karya Zamakhsyari (w 538 H), Al-Kasysyâf.
Jika tafsir Zamakhsyari muncul dari belahan timur dunia
Islam saat itu, di belahan barat, tepatnya Andalusia, muncul karya tafsir yang
tidak kalah kuatnya yaitu Al-Muharrar al-Wajîz karya Ibnu Athiyyah (w 546 H).
Selain menghimpun banyak riwayat tafsir dan mengkritisinya, karya Ibnu Athiyyah
pun cukup kuat dalam pendekatan bahasa dan logika.
Pada abad ke 6 H karya Zamakhsyari mendapat tempat
terhormat di kalangan umat Islam. Pesona keindahan balaghah Aquran yang
mewarnai tafsir Zamakhsyari membuat banyak orang terkesima dan tertarik untuk
mengkajinya sehingga lahir beberapa karya yang berkhidmat kepadanya. Bentuk
kajian tersebut antara lain membersihkan pengaruh aliran mu`tazilah yang ada di
dalamnya seperti dilakukan oleh Ibnu al-Munayyir (w 683 H) dalam ‘al-Intishâf
fi mâ tadhamanahu al-Kasysyâf min al-I`tizâl, atau menjelasakan kata atau ungkapan
sulit yang ada di dalamnya seperti terlihat dalam karya Quthbuddin al-Tahtaniy
(w. 766 H) dan al-Thibiy (w. 786 H), Futûh al-Ghayb fi al-Kasyf `a Qinâ`
al-Rayb yang kemudian diringkas lagi oleh Al-Taftâzani (w 792 H) dalam
hâsyiyah-nya.
Sementara pakar menduga, kelahiran karya al-Raziy (w 604
H), Mafâtîh al-Ghayb atau al-Tafsîr al-Kabîr, yang mewakili ulama ahlussunnah,
juga dilatarbelakangi oleh pesona al-Kasysyaf. Khawatir umat terpengaruh oleh
muatan i`tizâl di balik pesona keindahan balaghah, al-Razi menyusun karyanya
tersebut dengan mengembangkan uraian balaghah Zamakhsyari dan memberi warna
sunniy dalam beberapa masalah yang menyangkut akidah dan ilmu kalam.
Tak ayal kedua karya tersebut kemudian menjadi karya
yang sangat kuat sehingga mendasari banyak karya setelahnya. Sebut saja
misalnya Anwâr al-Tanzîl karya al-Baydhawiy (w 685 H). Seperti kebanyakan karya
yang muncul sejak awal abad ke 7 H Baidhawi menulis karyanya secara ringkas,
tetapi memuat keindahan pesona balaghah Alquran seperti dalam al-Kasysyâf dan
mewakili aliran sunniy asy`ari yang mencapai puncak kematangannya saat itu di
tangan al-Ghazali, Imam al-Haramain, dan al-Raziy. Penjelasan makna kata,
kalimat dan ungkapan Alquran didapatinya dari al-Kasysyâf, sementara uraian
hikmah Alquran, filsafat, pokok-pokok akidah dan syariah dirangkum dari Mafâtîh
al-Ghayb. Al-Baidhawi berhasil melakukan itu dengan sangat memuaskan.
Dominasi Sunni di dunia Islam saat itu membuat karya
al-Baidhawi menjadi sangat populer. Boleh dikata, karya al-Baidhawi lah yang
membuat karya Zamakhsyari terus mendapat tempat di hati muslim sunni. Sebagai
karya yang cukup kuat, Anwâr al-Tanzîl melahirkan banyak karya dalam bentuk
syarh dan hâsyiyah. Sampai pada masa Mulla Katib al-Jalabiy (terkenal dengan
sebutan Haji Khalifah/ w. 1017 H), penyusun bibliografi literatur Islam (Kasyf
al-Zhunûn) tercatat 50 karya hasyiyat atas karya al-Baydhawi tersebut. Sebut
saja misalnya Hâsyiyat Syeikh Zâdah (w 951 H), Hâsyiyat Ibnu Tamjid (w 880 H),
Nawâhid al-Abkâr karya al-Suyuthi dan lainnya. Jika ditambah dengan karya
hasyiyah yang muncul setelah Kasyf al-Zhunûn, seperti Hâsyiyat Al-Siyalakuti
(w. 1067 H), Hâsyiyat al-Syihab (w 1069 H) yang berjudul `Inâyat al-Qâdhi wa
Kifâyat al-Râdhi dan Hâsyiyat al-Qunawiy (w 1169 H) maka paling tidak terdapat
53 hasyiyah yang ditulis untuk menjelaskan karya al-Baidhawi tersebut.
Kemiripan antara karya Zamakhsyari dan Baidhawi dapat
dilihat dengan membandingan hasyiyat keduanya. Imam Suyuthi yang menulis
hasyiyat atas karya al-Baidhawi dalam karyanya banyak menukil penjelasan
Al-Thibiy dan Al-Taftazaniy yang menulis hasyiyat atas karya Zamakhsyari.
Tradisi meringkas dan mensyarah karya-karya terdahulu
masih terus berlanjut di belahan timur dunia Islam sampai akhir abad ke 9 H dan
seterusnya. Dengan dominasi Dinasti Ottoman tradisi tersebut melebar sampai ke
Persia dan Turki. Seorang ulama saat itu yang menguasai tiga bahasa; Arab,
Persi dan Turki, Abu Al-Su`ud (w. 982 H) melanjutkan tradisi tersebut dengan
menulis Irsyâd al-`Aql al-Salîm ilâ Mazâyâ al-Kitâb al-`Azhîm. Karya tafsir
tersebut mengikuti metode yang dikembangkan dalam karya Zamakhsyari dan
Baidhawi.
Tradisi keilmuan yang berbeda berkembang di belahan
barat dunia Islam seperti Andalusia, Tunisia, Fas, Granada dan lainnya. Jika di
timur yang berkembang adalah syarah dan komentar (ta`liq/hasyiyat) maka di
barat tradisi anilitik tanpa melupakan uraian kata dan ungkapan berkembang
dengan baik. Di antara karya tafsir yang muncul di sana adalah karya Ibnu Arfah
(w 803 H) dan al-Jâmi` li Ahkâm al-Qur`ân karya al-Qurthubiy (w 671 H).
Pada masa Ottoman, sampai awal abad ke 13 H literatur
tafsir yang mendominasi dunia Islam dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian;
pertama: tafsir ilmiah sunni yang diwakili oleh tafsir al-Baidhawi dan Abu
Su`ud; kedua : tafsir ilmiah syiah seperti karya Al-Thusi, al-Qummiy dan
al-Thabarsiy (Majma` al-Bayân), ketiga : tafsir sufi yang tidak terikat dengan
istilah teknis ilmiah dan bahasa yang diwakili oleh Rûh al-Bayân karya Ismail
Haqqi al-Barsawiy. Ketiga tradisi keilmuan; sunnah, syiah dan sufi tersebut
mempengaruhi kehidupan Al-Alusiy (w. 1270 H) yang melahirkan karya Rûh
al-Ma`âniy. Suatu karya yang cukup kuat dengan menghimpun ketiga tradisi
keilmuan yang berkembang pada masa Ottoman. Al-Alusi berhasil menunjukkan
kemampuan intelektualnya dalam menggali pesan-pesan Alquran dengan perangkat
keilmuan yang memadai, selain juga menampilkan kepribadian sufi dalam dirinya
dalam bentuk capaian makna-makna isyarat di balik lafal Alquran.
Sampai pada al-Alusi penafsiran Alquran lebih merupakan
suatu masalah akademis. Memahami sebuah tafsir memerlukan pengetahuan yang
detil terhadap kata-kata teknis dan istilah-istilah bahasa Arab, hukum dan
dogma, sunah Nabi dan para Sahabat serta bigrafi Nabi. Tafsir-tafsir Alquran
merupakan ensiklopedi-ensiklopedi dari ilmu-ilmu tersebut atau lebih merupakan
kutipan dari ensiklopedi tersebut.
Tafsir di Era Modern
Terobosan Abduh dalam tafsir Alquran seperti tercermin
dalam karya yang dikumpulkan dan dilengkapi oleh muridnya Rasyid Ridha boleh
dibilang sebagai sesuatu yang baru dan orisinil. Kebaruannya dapat dilihat pada
penekanannya yang baru dalam melihat Alquran, yakni sebagai sumber hidayah,
petunjuk keagamaan dan spritual. Hemat penulis, pandangan Abduh yang menekankan
perlunya rekonstruksi pemahaman Alquran, sedikit banyaknya, dipengaruhi oleh
keberhasilan gerakan renaissance yang menitikberatkan pada pemahaman ulang
terhadap kitab suci. Di sinilah terdapat titik temu gerakan pembaruan di Barat
dan Timur.
Seruan Abduh tersebut mendapat sambutan hangat dari para
reformis islam. Secara umum terdapat beberapa kecenderungan (trend) dan
metodologi dalam tafsir modern. Kecenderungan dimaksud, yang dalam bahasa Arab
disebut Ittijâh, adalah kumpulan pandangan dan pemikiran yang mewarnai sebuah
karya tafsir, sekaligus mencerminkan latar belakang intelektual penafsirnya.
Dengan kata lain, kesan umum tentang pemikiran penulis. Tafsir Thabari sering
diklasifikasikan dalam kategori bi-l-Ma’tsur, padahal tidak sedikit kita
temukan penggunaan nalar dalam karya tersebut. Al-Kasysyâf, karya Zamakhsyari,
sering disebut bercorak tafsir aliran atau dogmatis seperti kata I. Godziher.
Padahal Zamkhsyari, seperti dikatakan Jansen, dengan karyanya itu dapat disebut
sebagai tokoh yang menyempurnakan analisis sintaksis terhadap Alquran setelah
Abu Ubaydah, peletak dasar tafsir filologi modern. Ini menjelaskan bahwa
klasifikasi yang sering didengar itu hanya sekadar kesan umum yang ditangkap
dari kecenderungan penulisnya. Sedangkan metodologi yang dimaksud di atas
adalah cara yang digunakan mufasir untuk mewujudkan kecenderungan tadi. Dengan
kata lain wadah yang berisikan kecenderungan pemikiran mufasir. Dua istilah ini
sering dipahami rancu dalam beberapa kajian tafsir.
A. Beberapa Tren Penafsiran Modern
A.1. Tren Sosial Kemasyarakatan
Problem utama yang dihadapi umat
islam di awal abad ini, setelah mengalami kemunduran dan terpecah belah, adalah
mengatur siasat untuk melawan dominasi Barat dalam berbagai sektor kehidupan;
militer, ekonomi dan budaya. Sudah barang tentu diperlukan cara pandang baru
dalam melihat kehidupan. Diharapkan umat islam dapat memilih dan memilah produk
nilai dan norma kehidupan modern. Kritik intrinsik (naqd dzâtiy) ini
mengharuskan para reformis islam untuk mengkaji ulang Alquran dan sunnah. Hal
yang sama juga dilakukan para reformis islam dalam sepanjang sejarah setiap kali
umat menghadapi tantangan, baik dari dalam maupun luar.
Apa yang dilakukan mufasir modern
sebenarnya hanyalah kepanjangan dari karya-karya mufasir klasik. Bedanya,
mufasir klasik, seperti dikatakan Iffat, dalam banyak hal sering menggunakan
pendekatan filosofis dalam menghadapi tantangan zamannya. Sementara mufasir
modern lebih menekankan pada gagasan-gagasan praktis yang langsung menyentuh
persoalan umat. Yang patut dikagumi, para mufasir modern berhasil
mengkompromikan temuan-temuan mufasir klasik dan mengemasnya dengan baik
sehingga tepat dan jitu dalam menyelesaikan masalah. Tema-tema politik,
persatuan, ekonomi, dan masalah-masalah sosial lainnya kerap kali ditemukan
dalam karya-karya seperti Abduh, Rasyid Ridha, al-Maraghy, Syaltout dan
lainnya.
Upaya tersebut paling tidak telah
mampu menyaring dan mengerem laju peradaban Barat. Bila tidak, dapat
dibayangkan peradaban islam akan kehilangan identitasnya. Di sisi lain, usaha
tersebut berhasil mengobati kebimbangan umat dalam dua hal; produk baru peradaban
Barat yang sangat asing bagi umat, dan keinginan hati untuk mengembalikan
kejayaan turats peradaban islam. Satu hal yang patut disayangkan, penganut
aliran in seringkali terkesan reaksioner dan lamban dalam mengantisipasi
persoalan. Sehingga yang terkesan, hanya mengekor dan sekadar menjustifikasi
gelombang pembaruan yang tengah terjadi.
A.2. Penafsiran Saintifik (ittijah ‘ilmy)
Kecenderungan menafsirkan Alquran
dengan teori-teori ilmu pengetahuan sebenarnya telah lama dikenal. Benihnya
bermula pada masa Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa pemerintahan Khalifah
al-Ma’mun (w. 853 M) akibat penerjemahan kitab-kitab ilmiah. Kecenderungan ini
muncul sebagai upaya kompromi dalam polemik hubungan antara Alquran dan ilmu
pengetahuan. Karya al-Ghazali, Jawâhir al-Qur’ân, seringkali dikutip dalam
membela keabsahan tafsir ilmiah. Dalam buku kecilnya itu, al-Ghazali
mengajarkan bahwa Alquran hanya akan menjadi jelas bagi mereka yang mempelajari
ilmu penegetahuan yang digali darinya. Seseorang tidak bisa memahami Alquran
tanpa pengetahuan tata bahasa Arab dan orang tidak bisa memahami apa yang
dimaksud oleh ayat seperti “dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan
aku”, jika ia tidak mengerti kedokteran.
Pro-kontra tentang tafsir ilmiah
selalu terjadi di kalangan tokoh-tokoh klasik dan modern. Selain al-Ghazali,
al-Razi, al-Mursi dan Al-Suyuthi juga dikelompokkan sebagai pendukung tafsir
ini. Berseberangan dengan mereka, al-Syathibi menentang keras penafsiran model
seperti ini. Dalam barisan tokoh-tokoh modern, para pendukung tafsir ini
seperti, M. Abduh, Thanthawi Jauhari, Hanafi Ahmad berseberangan dengan
tokoh-tokoh seperti M. Syaltout, Amin al-Khuli dan Abbas Aqqad.
Polemik-polemik tersebut
menghasilkan formula kompromistik yang mengatakan bahwa Alquran memang berisi
kebenaran ilmu pengetahuan. Namun demikian Alquran tidak bisa diperlakukan
sebagai sebuah buku teks ilmu pengetahuan. Alquran lebih merupakan buku
petunjuk (hidayah) daripada teori-teori ilmu. “Memahami ayat-ayat Alquran
sesuai penemuan-penemuan baru adalah ijtihad yang baik, selama paham tersebut
tidak dipercayai sebagai aqidah Qur’aniyah dan tidak beretentangan dengan
prinsip-prinsip dan ketentuan bahasa”, demikian Quraish mencoba menengahi.
Munculnya tafsir ilmiah modern,
menurut Jansen, berhubungan dengan awal pengaruh Barat terhadap dunia Arab dan
kawasan Muslim. Terlebih-lebih dalam paruh kedua abad kesembilan belas dunia
islam berada di bawah pemerintahan Eropa. Kekuasaan Eropa atas kawasan Arab dan
Muslim ini hanya dimungkinkan oleh superioritas teknologi Eropa. Bagi seorang
muslim, membaca tafsir Alquran bahwa persenjataan dan teknik-teknik asing yang
memungkinkan orang-orang Eropa menguasai umat islam sebenarnya telah disebut
dan diramalkan di dalam Alquran, bisa menjadi pelipur lara. Inilah yang
diungkapkan M. Quraish Shihab sebagai kompensasi perasaan Inferiority Complex
(perasaan rendah diri). Lebih lanjut Quraish menulis, “Tidak dapat diingkari
bahwa mengingat kejayaan lama merupakan obat bius yang dapat meredakan sakit, meredakan
untuk sementara, tetapi bukan menyembuhkannya.”
Pandangan optimistik terhadap tren
ini dilontarkan oleh Iffat. Menurutnya, tren ini berusaha membangun rumah baru
bagi peradaban islam setelah umat islam mengalami dualisme budaya yang
tercermin pada sikap dan pemikiran. Dualisme ini melahirkan sikap kontradiktif
antara mengenang kejayaan masa lalu dan keinginan memperbaiki diri, dengan
kekaguman terhadap peradaban Barat yang hanya dapat diambil sisi materinya
saja. Sehingga yang terjadi, budaya di kawasan Muslim ‘berhati islam, tetapi
berbaju Barat’. Upaya mufasir ilmiah pada hakekatnya ingin membangun kesatuan
budaya melalui pola hubungan harmonis antara Alquran dan ilmu pengetahuan
modern yang menjadi simbol peradaban Barat.
A.3. Interpretasi filologik dan sastra (Ittijâh
Adaby)
Di awal abad modern, kecenderungan
ini sebenarnya telah dimulai oleh penganut tren sosial kemasyarakatan seperti,
M. Abduh, Rasyid Ridha dan al-Maraghy. Tetapi usaha mereka baru sebatas
mengungkap sekilas retorika Alquran, belum dalam bentuk sebuah metode ilmiah.
Sebab menurut mereka tujuan tafsir adalah mewjudkan hidayah Alquran.
Tren ini mencapai puncak
kematangannya di tangan Amin al-Khuli. Menurutnya, Alquran harus diperlakukan
sebagai kitab berbahasa Arab yang terbesar (Kitâb al-Arabiyyah al-Akbar). Maka
hak-hak kebahasaannya harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum maksud-maksud
lain. Amin mengatakan bahwa secara ideal studi tafsir harus dibagi dalam dua
bagian : (1) kajian sekitar Alquran, dirâsah hawl al-nash, dan (2) kajian
terhadap Alquran itu sendiri, dirâsah fi al-Qur’ân nafsihi. Kajian sekitar
Alquran diarahkan pada aspek sosio historis, geografis, kultural dan
antropologis wahyu. Studi terhadap latar belakang ini tidak jauh berbeda dengan
yang diperkenalkan oleh Noldeke dalam karyanya, Geschichte des Qoran, sebagai
“pendekatan historis tradisional”. Sedangkan yang kedua dimaksudkan pada
pelacakan kata-kata semenjak pertama diturunkan, pemakaiannya dalam Alquran
serta sirkulasinya dalam bahasa Arab. Dia memberi alasan bahwa Alquran datang
dengan sebuah pakaian Arab (fî tsaubihi al-arabiy) dan karena itulah untuk
memahami Alquran sesempurna mungkin kita harus mengetahui sejauh mungkin
keadaan bangsa Arab ketika Alquran diturunkan.
Sayyid A. Khalil menilai,
sebenarnya gagasan yang disampaikan al-Khuli tidak lain adalah gagasan yang
telah diperkenalkan oeh Schleirmacher yang dikenal sebagai pendekatan
hermeneutik. Khalil tidak berlebihan, sebab al-Khuli adalah sosok yang dikenal
banyak berinteraksi dengan kajian-kajian Barat, khususnya di bidang sastra. Ini
tidak berarti pendekatan tafsir seperti ini berasal dari Barat. Sebab jika
ditelusuri pendekatan hermeneutik dalam mengkaji teks telah berkembang lama
sejak awal masa islam. Ibnu Abbas, Abu Ubaydah, al-Zamakhsyari dan al-Jurjani
tidak dapat diragukan lagi kedudukannya sebagai peletak dasar-dasar filologi
dan sintaksis Alquran. Ini membuktikan adanya ta’tsîr dan ta’atstsur positif
antara Barat dan Islam sejak dulu.
Sampai akhir hayatnya, al-Khuli
tidak meninggalkan karya utuh sebagai penjabaran atas metodenya, kecuali
beberapa buku kecil hasil ceramahnya di radio yang diberi judul Min Hadyil
Qur’ân. Tetapi murid-muridnya seperti Bintu Syathi dan M.A. Khalfallah berhasil
mempraktekkannya dengan apik dalam beberapa karya yang memberikan kontribusi
besar dalam kajian Alquran modern.
B. Metodologi Penafsiran Modern
Di muka telah disinggung, metode dimaksud adalah cara
yang digunakan mufassir untuk mengungkapkan segenap pandangan dan pikiran yang
menjadi kecenderungannya.
Metode yang selama ini digunakan para mufasir sejak masa
kodifikasi tafsir, yang oleh sementara pakar diduga dimulai oleh al-Farra
(w.207 H), adalah menafsirkan Alquran ayat demi ayat sesuai dengan susunannya
dalam mushaf. Segala segi yang ‘dianggap perlu’ oleh sang mufasir diuraikan,
bermula dari arti kosa kata, asbab al-Nuzul, munasabah, dan lain-lain yang
berkaitan dengan teks dan kandungan ayat. Metode ini dikenal dengan metode
tahlily atau tajzi’iy dalam istilah Baqir Shadr. Para mufasir klasik umumnya
menggunakan metode ini. Kritik yang sering ditujukan pada metode ini adalah
karena diangap menghasilkan pandangan-pandangan parsial. Bahkan tidak jarang
ayat-ayat Alquran digunakan sebagai dalih pembenaran pendapat mufasir. Selain
itu terasa sekali bahwa metode ini tidak mampu memberi jawaban tuntas terhadap
persoalan-persoalan umat karena terlampau teoritis.
Sampai pada awal abad modern, penafsiran dengan
berdasarkan urutan mushaf masih dapat ditemukan. Tafsir al-Manar, yang
dikatakan Ibnu Asyur (JR) sebagai karya trio reformis dunia islam; Afghani,
Abduh dan Ridha, disusun dengan metode tersebut. Demikian pula karya karya
reformis lainnya seperti, al-Qasimi, al-Maraghy, Izzat Darwaza dan Ibnu Asyur.
Yang membedakan karya-karya modern dengan klasik, para mufasir modern tidak
lagi terjebak pada penafsiran-penafsiran teoritis, tetapi lebih bersifat
praktis. Jarang sekali ditemukan dalam karya mereka pembahasan gramatikal yang
bertele-tela. Seolah-olah mereka ingin cepat sampai ke fokus permasalahan yaitu
menuntaskan persoalan umat.
Sampai di sini, penulis merasa lebih sreg menyebut
metode ini dengan metode maudhi’iy (sesuai tempat atau posisi ayat yang
berurutan). Menyebutnya dengan tahlily, dengan pengertian analisis, terasa
tumpang tindih dengan yang dikenal sebagai metode maudhu’iy (tematis atau
topikal). Sebab karya-karya modern, meski banyak yang disusun sesuai dengan
urutan mushaf tidak lagi mengurai penjelasan secara rinci. Bahkan tema-tema
persoalan umat banyak ditemukan tuntas dalam karya seperti al-Manar. Demikian
pula, metode maudhu’iy yang berkembang saat ini meski jarang menggunakan
analisis gramatikal dalan lainnya, juga masih memerlukan analisis dengan
teori-teori ilmu sosial modern misalnya.
Metode kedua yang dikembangkan mufasir modern, seperti
telah disinggung, adalah metode maudhu’iy yang membahas tema-tema pokok dalam
suatu surat atau ayat-ayat tertentu. Embrionya sudah lama muncul sejak
diperkenalkan oleh al-Razy, al-Syathiby, Abu Hayyan dan al-Biqâ’iy. Kesemuanya
berpendapat perlunya pemahaman ayat secara utuh. Di samping akan memunculkan
sisi kemukjizatan Alquran, metode ini diharapkan mampu menuntaskan persoalan
umat.
M. Abduh dalam beberapa karyanya telah menekankan
kesatuan tema-tema Alquran. Namun gagasannya tersebut baru diwujudkan oleh
murid-muridnya seperti M. Abdullah Diraz (bukan Darraz) dan Mahmud Syaltout.
Pendekatan hermeneutik Barat yang diadopsi al-Khuli dalam ittijah adaby nya
sebenarnya juga menitik beratkan pemahaman kesatuan teks-teks kitab suci.
Al-Khuli misalnya menyatakan, “Yang ideal adalah menafsirkan Alquran secara
tematis, tidak menurut urutan mushaf.”
Quraish memberikan ilustrasi metode tahlily sebagai
penyajian makanan dalam bentuk hidangan prasmanan, sedangkan metode maudhu’iy
(tematis) diilustrasikan seperti menyodorkan kepada para tamu sebuah kotak
makanan. Yang ingin cepat tentu akan memilih kotak ketimbang harus memilih
makanan di meja prasmanan. Banyak persoalan umat sekarang menuntut penyelesaian
cepat. Maka maudhu’iy tentu lebih tepat. Tetapi yang perlu diingat, kotak-kotak
makanan itu tentunya dibuat sesuai dengan dana yang tersedia dan kemampuan
kateringnya. Yang membaca karya-karya tematis Quraish dan Dawam Raharjo dalam
Ensiklopedi Alquran nya akan dapat merasakan kualitas ‘katering’ masing-masing.
Bentuk lain dari metode penyajian tafsir modern adalah
artikel-artikel tafsir yang sering ditemukan dalam kolom-kolom harian. Di tahun
1959, Abdurahman al-Banna, saudara kandung Hasan al-Banna, misalnya, banyak
menulis dalam harian umum Kairo, al-Jumhuriyya. Dalam artikel ringkas ini ia
menawarkan suatu penafsiran terhadap surah al-Hujurat, di mana Alquran bicara
tentang perselisihan dalam masyarakat muslim. Masing-masing ayat dalam surah
ini dibahas olehnya dalam lebih dari satu artikel. Hal serupa juga sering
dijumpai dalam jurnal al-Manar pimpinan Rasyid Ridha dan Risalat al-Islam pimpinan
Syaltout yang mencurahkan pada persatuan umat islam (Al-Taqrib Bayn
al-Madzahib).
Metode ini oleh Sayyed Mursy, dosen penulis di Al-Azhar,
disebut dengan maudhu’iy muthlak (tidak terikat), sedangkan yang terdahulu
disebut maudhu’iy muqayyad (terikat). Agaknya ketiga metode inilah yang banyak
digunakan dalam menyajikan pesan-pesan Alquran oleh para mufasir modern.
Wallahua`lam.
Oleh: Muchlis M Hanafi
Dikutip dari psq.or.id
___
Ket. gbr diambil dari anneahira.com
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload