Sejarah Pembukuan Tafsir
5/11/2015
Al-Qur'an memiliki sejarahnya sendiri. Ia diturunkan
kepada Muhammad saw, dihayati oleh umatnya. Dalam waktu kurang dari dua
dasawarsa setelah meninggalnya Rasulullah saw, ketika mereka yang pernah
langsung mendengarkan serta menuliskan ucapan-ucapan beliau masih hidup,
ayat-ayat al-Qur'an dikumpulkan dan dibukukan dalam suatu bentuk yang resmi.
Penafsiran akan al-Qur'an pun dibutuhkan sebagai refleksi dari keinginan untuk
mendapatkan sebuah petunjuk. Bermula dari tradisi oral hadis-hadis Rasul
kemudian pandangan para sahabat, penerusnya dan murid-murid para penerusnya.
Pada kesempatan ini, PUSTAKA MADRASAH akan menguraikan tentang
sejarah pembukuan tafsir dari generasi ke generasi. Pembaca Pustama akan
mendapati bagaimana kesungguhan para ulama dahulu dan karakteristik
pembukuannya secara sederhana dan lengkap.
Menurut imam adz-Dzahabi, perkembangan penafsiran
al-Qur’an terbagi menjadi dua periode. Periode pertama dinamai dengan periode
periwayatan dan periode kedua dinamakan periode pembukuan.
A. Periode Periwayatan
Diantara para sahabat yang menjadi
mufassir terkenal ternyata hanya sedikit saja. Di antara mereka adalah Khalifah
yang empat, Ibnu Mas'ud, Ibn Abbas, Ubay bin Ka'ab, Zayd bin Tsabit, Abu Musa
al-Asy'ari, dan Abdullah bin al-Zubairii. Pada masa Tabi'in terdapat
sekelompok ulama yang menaruh perhatian khusus terhadap Tafsir. Mereka
meriwayatkan tafsir yang berasal dari nabi dan sahabat. Di samping itu dengan
fikiran dan ijtihad, mereka juga menafsirkan kata-kata pelik yang semakin
banyak jumlahnya karena semakin jauh dari masa Rasulullah maupun masa
sahabatnya. Kemudian datang generasi berikutnya yang meriwayatkan tafsir dari
tabi'in dan juga menafsirkannya. Demikianlah tafsir berkembang terus dari
generasi ke generasi. Generasi yang datang belakangan meriwayatkan tafsir dari
generasi sebelumnya sampai datangnya periode pembukuan (marhalatut tadwin).
B. Periode Pembukuan
Pembaca Pustama semua, periode pembukuan
dimulai pada akhir abad pertama dan awal abad ke-2 Hijriyah. Dalam periode ini
tafsir memasuki beberapa tahap, masing-masing dengan metode dan cirinya yang
berbeda-beda.
Tahap pertama
Pada tahap pertama, pembukuan
tafsir dilakukan secara bersama-sama dengan pembukuan hadis. Hadis dibukukan
dengan beberapa bab dan tafsir merupakan salah satu dari bab-bab tersebut.
Bahkan dikatakan bahwa hampir seluruh himpunan hadis yang banyak sekali
jumlahnya dan tersusun menurut materinya pasti memuat bab tafsir al-Qur’an,
yakni sekumpulan kabar yang keluar dari Rasulullah saw. dalam menafsirkan
al-Quran.
Ketika itu belum ada tulisan khusus
yang berisi tafsir al-Qur'an baik surat demi surat ataupun ayat demi ayat.
Namun pada kurun waktu tersebut terdapat sejumlah ulama yang bertugas
mengunjungi berbagai wilayah untuk mengumpulkan hadis, dan di antara mereka
juga terdapat ulama yang mengumpulkan tafsir yang diyakini bersumber dari
Rasulullah saw., dari sahabat ataupun dari tabi'in. Di antara mereka yang
tersebut belakangan adalah Yazid bin Harun as-Salmi (w: 117 H), Syu'bah bin
Hajjaj (w: 160 H) dan Sufyan bin 'Uyainah (w: 198 H). Ketiga orang ulama ini
adalah ahli-ahli hadis yang menjadikan tafsir sebagai salah satu bab dalam
kitab hadis, dan tidak membukukannya secara terpisah sebagai kitab tersendiri.
Tahap kedua
Pada tahap kedua ini tafsir
dipisahkan dari hadis sehingga merupakan ilmu yang berdiri sendiri. Setiap ayat
al-Qur'an diberi tafsiran dan dibukukan menurut urutannya dalam mushaf (tartib
mushafi). Pembukuan seperti ini selesai dilakukan oleh sejumlah ulama,
antara lain Ibnu Majah (w: 273 H), Ibnu Jarir at-Thabary (w: 310 H) dan Ibnu Hatim
(w: 327 H). Semua tafsir ini mereka tulis berdasarkan pertautan periwayatan (isnad)
kepada Rasulullah, sahabat, tabi'in dan tabi'it tabi'in; dan sebagian besar
yang dimuat dalam tafsir-tafsir tersebut adalah tafsir bil-ma'tsur.
Kecuali Ibnu Jarir at-Thabary yang dalam tafsirnya menyebutkan berbagai
pendapat yang kemudian diperbandingkan dan dinilai kebenarannya. Dia juga
membahas i'rab (analisa bahasa Arab berdasarkan fungsi katanaya) di mana
perlu mengemukakan kesimpulan hukum (istimbath) yang bisa ditarik dari
suatu teks (nash) al-Qur'an.
Sistem isnad memang bermula
sejak zaman Rasulullah yang kemudian merebak menjadi ilmu tersendiri pada akhir
abad I hijriyah. Dasar tatanan ilmu ini berpijak pada kebiasaan para sahabat
dalam transmisi hadist di kalangan mereka.
Pada dasa masa keempat kalender
Islam, ungkapan-ungkapan yang belum sempurna dirasa penting karena munculnya
fitnah yang melanda pada saat itu (pemberontakan terhadap khalifah Usman. Ibnu
Sirin (w. 110 H), misalnya mengatakan, “Para ilmuwan (pada mulanya) tidak
mempersoalkan isnad, tetapi saat fitnah mulai meluas mereka menuntut,
‘sebutkan nama orang kalian pada kami’. Bagi yang termasuk ahli sunnah, hadis
mereka terima, sedang yang tergolong tukang mengada-ada, hadis mereka
dicampakkan ke pinggiran.”
Tahap ketiga
Pada tahap ini tafsir belum keluar
dari garis tafsir bil-ma'tsur. Akan tetapi berbeda dengan keadaan
sebelumnya yang dilengkapi dengan penulisan sanad secara lengkap, pada tahap
ini para ulama menghilangkan sanad tersebut. Mereka meriwayatkan tafsir dari
para mufassir sebelumnya tanpa menyebutkan nama mufassir yang dimaksud. Setiap
orang yang mengatakan sesuatu atau terbetik di hatinya sesuatu yang diyakini
kemudian perkara itu diambil oleh orang yang datang setelahnya dengan mengira
bahwa itu adalah ashli tanpa melihat dari mana perkara itu diambil. Sehingga
sejak saat itu tafsir mulai dipalsukan dan sulit untuk dilacak kebenarannya dan
ketidakbenarannya. Tahap ini merupakan permulaan munculnya pemasukan dan
perembesan dongeng-dongeng israiliyyat ke dalam tafsir.
Keinginan agar hadis lebih fokus
pada matan serta mudah untuk dipahami masyarakat yaitu dengan
menghilangkan sanadnya sehingga terlihat ringkas, namun ternyata penghilangan
sanad inilah penyebab yang paling berbahaya diantara sebab-sebab pemalsuan.
Karena dengan dihilangkannya sanad ini akan menjadikan orang yang melihat
sebuah kitab, cenderung menganggap shahih semua yang ada di dalamnya.
Bahkan ada diantara mufassir yang
concern dengan tafsir model itu (mengambil dari kisah-kisah israiliyat)
adalah Muqatil bin Sulaiman (w.150 H) yang karakter dan kredibilitasnya juga
banyak diberitakan, bahwa “pengetahuannya tentang al-Qur’an bersumber dari
Yahudi dan Nasrani. Dia menjadikan (ajaran) al-Qur’an sejalan dengan apa yang
ada dalam kedua kitab tersebut.
Tahap keempat
Pada tahap ini tafsir melangkah
lebih luas lagi, kalau dulu tafsir hanya membatasi diripada periwayatan tafsir
dari para ulama salaf, maka tafsir pada tahap ini menggabungkan tafsir bir-ra'yi
(tafsir 'aqli, rasional) dengan tafsir naqli, melalui beberapa
tahap yang menarik. Pertama dengan usaha-usaha penafsiran secara perorangan dan
memperbandingkan pendapat-pendapat tersebut satu sama lain dan menguji
kebenaran penafsiran masing-masing. Usaha penafsiran secara rasional tersebut
masih dibenarkan selama aspek pemikirannya masih berpijak pada aturan-aturan
kebahasaan yang berlaku dan pada makna konotatif dari kata-kata yang disebutkan
di dalam al-Qur'an.
Kegiatan penafsiran semata tanpa
mengindahkan kaidah-kaidah dan kriteria-kriteria inilah yang diharamkan Ibnu
Taimiyah, bahkan Imam ibnu Hanbal menyatakannya sebagai 'tidak berdasar',
sebagai hasil dari pemahaman hadis Ibnu Abbas:
مَنْ قَالَ الْقُرْآنَ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ
مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa yang berkata
tentang al-Qur’an dengan akalnya (semata), maka hendaknya menempati tempat
duduknya di Neraka.”
Sebaliknya keduanya sepakat
membolehkan penafsiran al-Qur'an dengan sunnah Rasul serta kaidah-kaidah yang mu'tabarah.
Sebagian ulama’ mensyaratkan bagi
penafsir jenis ini (bi ra’yi) sejumlah ilmu yang harus dikuasai.
Diantaranya adalah bahasa arab: dari nahwu, syaraf, isytiqaq, lughah,
balaghah, qira’at, ushuluddin, ushul fiqh, asbabun
nuzul, nashikh mansukh, hadis-hadis penjelas ayat-ayat al-Qur’an, fikih
dan terakhir: ilmu mauhibah. Adz-Dzahabi menambahkan satu syarat lagi
yaitu ilmu qishash (sejarah).
Mereka juga mensyaratkan kebersihan
hati dari sifat kibr, hawa nafsu, bid’ah, cinta dunia dan senang berbuat
dosa. Ini semua adalah yang menghalangi hatinya untuk mencapai pengetahuan yang
benar yang diturunkan oleh Allah swt., sebagaiman firmanNya:
“Aku akan memalingkan orang-orang
yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari
tanda-tanda kekuasaan-Ku. mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku).” (Q.S. al-A’raf:
146)
Kegiatan-kegiatan rasionalistik ini
berkembang terus sejalan dengan semakin berkembangnya berbagai macam ilmu
pengetahuan, pendapat dan isme, sehingga akhirnya terdapat penulis-penulis
tafsir yang mengumpulkan berbagai macam hal yang tidak berkaitan dengan tafsir
itu sendiri.
Ilmu-ilmu bahasa, nahwu dan sharaf dibukukan dan banyak buku filsafat diterjemahkan. Berbagai buku tentang bermacam-macam mazhab fikih dan akidah juga ditulis orang. Fanatisme kepada mazhab sangat kuat, pada saat itu setiap kelompok muslim berusaha menyebarluaskan aliran mazhabnya masing-masing dan berusaha mencari pengikut. Semuanya ini mengakibatkan tercampur aduknya berbagai macam ilmu pengetahuan berikut pembahasan-pembahasannya masing-masing dengan tafsir, dan bahkan mendesak tafsir tersebut. Aspek 'aqli dalam tafsir mengalahkan aspek naqlinya sehingga ia merupakan bagian yang paling dominan dalam buku-buku tafsir tersebut. Hanya sebagian kecil saja yang benar-benar mengemukakan tafsir berdasarkan asbabun-nuzul atau sumber-sumber tafsir bil ma'tsur.
Ilmu-ilmu bahasa, nahwu dan sharaf dibukukan dan banyak buku filsafat diterjemahkan. Berbagai buku tentang bermacam-macam mazhab fikih dan akidah juga ditulis orang. Fanatisme kepada mazhab sangat kuat, pada saat itu setiap kelompok muslim berusaha menyebarluaskan aliran mazhabnya masing-masing dan berusaha mencari pengikut. Semuanya ini mengakibatkan tercampur aduknya berbagai macam ilmu pengetahuan berikut pembahasan-pembahasannya masing-masing dengan tafsir, dan bahkan mendesak tafsir tersebut. Aspek 'aqli dalam tafsir mengalahkan aspek naqlinya sehingga ia merupakan bagian yang paling dominan dalam buku-buku tafsir tersebut. Hanya sebagian kecil saja yang benar-benar mengemukakan tafsir berdasarkan asbabun-nuzul atau sumber-sumber tafsir bil ma'tsur.
Akhirnya kita melihat bahwa
keahlian seseorang dalam disiplin ilmu tertentu secara eksplisit lebih mewarnai
tafsir yang ditulisnya. Para ahli nahwu lebih menekankan pada masalah i’rab
dan memberikan uraian yang panjang lebar tentang hal-hal yang berkaitan dengan
cabang-cabang ilmu tersebut. Para ahli sejarah banyak mengemukakan tokoh-tokoh
dan peristiwa-peristiwa sejarah masa lampau dalam tafsir mereka, tetapi - tambah
adz-Dzahabi - mereka sering mencampuradukkan antara fakta-fakta sejarah dengan
dongeng-dongeng yang tidak masuk akal.
Di antara tafsir yang berorientasi
pada filsafat, yang paling terkenal adalah at-Tafsir Mahir atau lebih
dikenal Mafatihul Ghaib karya Fakhruddin ar-Razi. Yang berorientasi pada
kesufian, terwakili oleh Gharaibul Qur'an wa Raghaibul Furqan oleh
an-Nisaburi (728/1327) dan Tafsir al-Qur'an Karim oleh Muhyidin ibn
'Arabi.
Pendek kata setiap ahli dalam
bidang kajian tertentu atau pendukung mazhab tertentu merasa terpanggil untuk
menulis tafsir sesuai dengan bidangnya masing-masing atau untuk mengukuhkan
madzhab mereka.
Begitu juga ketika periode ini
banyak sekali ulama-ulama yang berusaha membatasi bidang kajian mereka dalam
tafsir ini. Mereka membahas salah satu aspek tertentu saja dari banyak aspek
lainnya, misalnya Ibnu al-Qayyim dengan aqsamnya, Abu Ubaidah dengan majaznya,
Abu Ja’far an-Nuhas dengan nasikh mansukhnya dan Abu Hasan al-Wahidi
dengan asbabun nuzulnya. Di samping itu banyak sekali ulama-ulama yang
mencoba menulis tafsir tentang aspek-aspek tertentu dari al-Qur’an dan berusaha
mengkajinya dengan cara yang sangat cermat.
Kecenderungan rasionalistik dalam
penulisan tafsir ini berkembang terus dari masa ke masa. Bahkan pada zaman
modern sekarang ini dengan anggapan bahwa hal itu seakan-akan merupakan salah
satu aspek dari kumukjizatan al-Qur'an dan bukti elastisitasnya untuk
menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Padahal dalam kenyataannya hal itu
justru merupakan penyimpangan yang agak terlalu jauh dan tidak sesuai dengan
maksud diturunkannya al-Qur'an, terlebih jika penafsirannya tanpa mengindahkan aspek-aspek yang mendasar.
Semoga uraian di atas dapat memberikan penjelasan
tersendiri pada pembaca Pustama semua tentang sejarah pembukuan tafsir. Sebagai
penutup, PUSTAKA MADRASAH akan memberikan untaian kata dari Ibnu Abbas sebagai
penutup, sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya.
"Ada 4 tema pokok dalam tafsir al-Qur'an: yang
dapat dipahami oleh orang yang menguasai bahasa Arab, yang dapat dipahami oleh
orang bodoh, yang dapat dipahami oleh para ulama dan yang hanya diketahui oleh
Allah semata."
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur'an dan Terjemahnya
Depag RI. Semarang : PT Toha Putra
Al-A’zami, Prof. Dr. M.M. The
History Of The Qur’anic Text. Gema Insani Pustaka, Jakarta: 2005
Ayub, Dr. Muhammad. Qur'an dan
Para Penafsirnya 1. Pustaka Firdaus, Jakarta: Desember 1992
Baidan, Prof. Dr. Nashruddin. Wawasan
Baru Ilmu Tafsir, Pustaka Pelajar, Yogyakarta: Agustus 2005
Adz-Dzahabi, Dr. Muhammad Husein. Penyimpangan-penyimpangan
dalam Penafsiran al-Qur'an, Rajawali Pers, Jakarta: April 1996
Adz-Dzahabi, Dr. Muhammad Husain. Tafsir
wa al-mufassirun I. Maktabah wa Hibah, Qahirah-Mesih: 2000
Goldziher, Ignas. Mazhab Tafsir
dari Klasik hingga Modern. Penerbit eLSAQ Press, Yogyakarta: Maret 2006
__
Ket. gbr diambil dari anneahera.com
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload