Santri tak Masuk NU?
5/12/2015
Melengkapi Tulisan KH Ali Mustafa Yaqub
Pada Senin (13/4), harian Republika memuat opini
yang berjudul "KH Hasyim Asy’ari dan Umat" yang ditulis Imam Besar
Mesjid Istiqlal KH Ali Mustafa Yaqub. Atas saran dari seorang aktivis Nahdlatul
Ulama DI Yogyakarta, saya menyempatkan diri untuk memberikan kesempurnaan
informasi tentang satu poin yang beliau angkat, yaitu "KH Hasyim tidak
pernah menyuruh santrinya untuk masuk NU, bahkan salah satu putera beliau, Gus
Kholik (KH Abdul Khalik Hasyim) tidak masuk NU."
"Tampaknya, Hadhratusy Syaikh mempunyai
prinsip, selama masih dalam rumpun Ahlussunnah wal Jamaah, beliau tidak
mempermasalahkan apakah menjadi NU atau bukan. Tak mengherankan bila kemudian
banyak santri Hadhratus Syaikh yang aktif di ormas Islam bukan NU."
Benarkah KH Hasyim Asy'ari tidak mengajak
santri-santrinya masuk NU? Pada tulisan ini saya menambah penjelasan dari dua
sumber. Pertama, penuturan KH Abdul Muchit Muzadi kepada saya saat silaturahim
ke kediaman beliau di Jember, Jawa Timur, pada 2001 dan 2011 untuk keperluan
Nahdlatul Ulama. Menurut Kiai Muchith—begitu kami biasa menyapa—KH Hasyim
Asy'ari tidak pernah bercerita tentang Nahdlatul Ulama kepada para santri Tebu
Ireng saat itu. Setidaknya sepengetahuan beliau selama kurang lebih lima tahun
nyantri di Tebu Ireng.
Setiap berada di lingkungan Pesantren Tebu Ireng,
KH Hasyim Asy'ari fokus mendidik dan mengajar santri. Sikap beliau sering kali
membuat para santri Tebu Ireng saat itu gundah. Para santri saat itu berharap KH
Hasyim Asy'ari bercerita tentang Nahdlatul Ulama, terutama saat beliau baru
datang dari aktivitas ke-NU-an setelah beberapa hari meninggalkan pondok
pesantren. Namun, harapan itu tak pernah terwujud hingga Kiai Muchith
menyelesaikan studinya di Tebu Ireng. Barulah setelah selesai belajar di Tebu
Ireng, Muchith muda mendaftarkan diri masuk Nahdlatul Ulama dengan proses dan
persyaratan yang ketat.
Persyaratan ketat memang diberlakukan bagi
seseorang yang ingin menjadi anggota NU. Menurut Kiai Muchith, seseorang yang
masuk anggota NU tidak langsung mendapatkan kartu anggota NU. Ia harus melalui
beberapa tahapan ujian dan persyaratan. Namun, berbagai privilege diberikan
kepada seseorang yang telah menjadi anggota NU. Misalnya, anggota NU dibolehkan
menggunakan lambang NU untuk aktivitas ekonominya dengan imbalan 1 hingga 2,5
persen untuk NU (Feillard, 1999).
Kedua, dalam Qanun Asasi Nahdlatul Ulama yang
dideklarasikan pada Muktamar ke-3 NU pada 28 September 1928 di Surabaya, KH
Hasyim Asy'ari menuliskan (terjemah dalam bahasa Indonesia), "Marilah,
wahai para ulama sekalian para pengikutnya, baik dari kalangan si fakir, si
kaya, maupun si lemah dan si kuat! Bersatu padulah ke dalam satu organisasi
yang dinamakan Nahdlatul Ulama. Masuklah kalian menjadi warga organisasi
Nahdlatul Ulama dengan penuh iktikad baik dan kasih sayang serta bersatu,
rukun, baik lahir maupun batin."
Penuturan Kiai Muchith dan dokumen KH Hasyim
Asy'ari di atas memberi pemahaman bahwa KH Hasyim Asy'ari memberi batasan tegas
antara urusan Nahdlatul Ulama dan pondok pesantren. Kedua institusi tersebut,
meski substansinya sama, tapi secara praksis berbeda, mulai dari
konsentrasinya, locus, hingga alokasi waktunya. Karena itu saya memahami Kiai
Hasyim Asy'ari tidak mau mengganggu konsentrasi belajar santri Tebu Ireng,
meskipun karena urusan Nahdlatul Ulama.
Menjadi warga Nahdlatul Ulama itu mempunyai
konsekuensi. Di antara konsekuensinya adalah bentuk tuntutan bagi seseorang
yang masuk menjadi anggota Nahdlatul Ulama, terlebih menjadi pengurusnya. Pada
Muktamar ke-12 NU tanggal 25 Maret 1937 di Malang, misalnya, para kiai dalam
forum itu memutuskan, seseorang yang telah ditetapkan sebagai pengurus NU,
mulai dari tingkat ranting hingga pusat, wajib mengerjakan segala Anggaran
Dasar NU.
Maksud anggaran Dasar Nahdlatul Ulama adalah
segala aktivitas yang terkait dengan realisasi empat agenda besar Nahdlatul
Ulama, yaitu memberikan perlindungan (jam’iyyatu aman), memperjuangkan keadilan
(jam’iyyatu ‘adl), upaya meningkatkan kualitas hidup (jam’iyyatu ishlah), dan
jam’iyyatu ihsan, yaitu mengupayakan kemakmuran (Hasyim Asy'ari, 1938).
Dua fakta tentang KH Hasyim Asy'ari di atas
saling berkaitan. Keduanya mengonstruksi integritas KH Hasyim Asy'ari sebagai
pemimpin besar umat Islam Indonesia. KH Hasyim Asy'ari menempatkan dan menjaga
pondok pesantren sebagai institusi yang harus steril dari segala kepentingan
selain ilmu pengetahuan.
Sedangkan, Nahdlatul Ulama ditempatkan sebagai
wahana perjuangan para kiai dan pengikutnya untuk mewujudkan empat gagasan
besarnya. Mencermati penuturan dan pengalaman Kiai Muchith menunjukkan bahwa
pondok pesantren adalah wahana pengaderan para kiai yang di masa depan
diharapkan menjadi penggerak Nahdlatul Ulama. Kalaupun terdapat kasus seorang
santri tidak menjadi kiai, ia masuk NU karena mengikuti gerakan kiainya. Hal
ini merujuk kepada statement KH Hasyim Asy'ari yang menegaskan bahwa Nahdlatul
Ulama adalah perkumpulan para kiai dan pengikutnya (KH Hasyim Asy'ari, 1938).
Pusat pengaderan kiai
Perkembangan NU yang pesat tak lepas dari
strategi menempatkan kiai sebagai motor gerakan. Menjelang pendirian Nahdlatul
Ulama, KH Hasyim Asy'ari meminta agar KH Abdulwahab Chasbullah berkunjung ke KH
Mas Nawawi Sidogiri, Pasuruan. Kunjungan itu akhirnya direspons KH Nawawi
dengan menggelar pertemuan para kiai se-Pasuruan yang ditempatkan di Masjid
Jami Pasuruan. Konsolidasi para kiai tersebut akhirnya melahirkan Nahdlatul
Ulama. Masyarakat secara cepat menyambut NU karena mereka telah
terkonsolidasikan sebelumnya oleh para kiai.
Pada 1935, NU sudah mempunyai 68 cabang dengan 67
ribu anggota. Tiga tahun kemudian mempunyai 99 cabang dan mulai berkembang ke
luar Jawa: Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Sumatra Selatan (Feillard,
1999). Prinsipnya, semakin banyak kiai yang bergabung, maka warga NU terus
bertambah mengingat para kiai membawa komunitasnya.
Para pengikut kiai ini, Andree Feillard
menyebutnya dengan "non-ulama", sejak 1926 hingga sekarang telah
disediakan tempat yang disebut dengan "tanfidziyah" dan perangkat
teknis di bawahnya. Jumlah anggota NU itu tidak menghitung para santri yang
berada di pondok-pondok pesantren.
Setelah 92 tahun berdiri, kini warga NU tak
kurang dari 76 juta jiwa yang tersebar hampir di 27 negara. Terdapat 23 ribu
pondok pesantren, 13 ribu madrasah, 210 perguruan tinggi, 350 ribu mahasiswa,
4.000 dosen, dan 536 ribu guru serta ustaz, dan 3,5 juta siswa. Atas capaian
ini, the Royal Islamic Strategic Studies Centre yang berpusat di Yordania
menempatkan Nahdlatul Ulama berada di urutan ketujuh sebagai organisasi Islam
berpengaruh di dunia.
Lantas, berapakah jumlah santri saat ini? Tak
kurang dari 7 juta santri yang tersebar di berbagai pondok pesantren di dalam
dan luar negeri. Merekalah yang diharapkan menjadi penerus estafet kepemimpinan
Nahdlatul Ulama di masa depan. Mereka harus diberi ruang dan waktu belajar yang
terbaik.
Inilah generasi yang menurut KH Muchith Muzadi
"tak diajak ngomong tentang NU" oleh KH Hasyim Asy'ari. Masuk NU
harus dengan iktikad baik, rasa kecintaan, bersatu, rukun secara lahir dan batin.
Inilah sikap KH Hasyim Asy'ari.
Soal ada santrinya yangg tidak masuk NU, tentu
beliau tak akan memaksa. Saya pun teringat saat nyantri di Pesantren Sidogiri
Pasuruan sekira 22 tahun lalu. Enam tahun di pesantren, tak satu pun kiai
Sidogiri pernah mengajak para santri untuk masuk NU. Padahal, salah satu kiai
Sidogiri, Nawawi, termasuk pendiri Nahdlatul Ulama pada 1926.
Oleh: Muhammad Sulton Fatoni, Wakil Sekretaris Jenderal PBNU, Dosen STAINU Jakarta
Sumber: Harian Republika, edisi 15 April 2015
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload