K.H. Hasyim Asy'ari dan Umat
5/12/2015
Sejak ada ulama Arab
Saudi yang memberikan sebutan imam kepada KH Hasyim Asy’ari, kami merasa ingin
tahu lebih jauh tentang profil pendiri Nahdlatul Ulama itu. Selama ini, julukan
yang akrab disandangkan kepada orang yang juga mendirikan Pesantren Tebuireng
itu adalah Hadhratusy Syaikh, sebutan yang memberikan konotasi keilmuan dan
keguruan. Sementara, sebutan imam memiliki konotasi kepemimpinan dan keumatan.
Seyogianya sebagai orang
yang pernah menyantri di Tebuireng selama 10 tahun (1966-1976), kami bisa
mendapatkan informasi tentang KH Hasyim Asy’ari dari guru-guru kami yang
menjadi murid langsung beliau. Namun sayang, tidak satu pun para kiai yang
menjadi guru kami itu memberikan informasi tentang KH Hasyim Asy’ari kepada
kami.
Mungkin waktu itu, kami
masih dianggap anak-anak sehingga belum masanya mendapatkan informasi tentang
sosok KH Hasyim Asy’ari secara lengkap. Kami juga termasuk santri yang akrab
dengan putra Hadhratusy Syaikh, yaitu KH M Yusuf Hasyim Rahimahullah yang akrab
dipanggil Pak Ud, tapi juga sayang Pak Ud tidak memberikan informasi banyak
tentang ayahanda beliau kepada kami, kecuali bahwa Hadhratusy Syaikh Hasyim
Asy’ari tidak mau diadakan acara haul karena beliau tidak mau dikultuskan.
Haul adalah acara
peringatan tahunan tentang wafatnya seseorang. Demikian pula dengan cucu-cucu
beliau seperti Gus Dur, Gus Solah (KH Salahuddin Wahid), Ibu Aisyah Baidhawi
Wahid Hasyim, dan lain-lain karena ketika Hadhratusy Syaikh wafat (1947),
mereka masih anak-anak.
Untuk mengorek informasi
tentang Hadhratusy Syaikh, tinggal satu cara, yaitu melalui murid-murid beliau
yang masih hidup. Dan ternyata hampir semua murid Hadhratusy Syaikh juga telah
wafat. Namun, alhamdulillah, setelah mencari informasi, kami
menemukan salah satu murid Hadhratusy Syaikh yang sampai hari ini masih sehat,
yaitu Romo KH Abdul Muhit Muzadi, kakak kandung KH Hasyim Muzadi, anggota
Wantimpres RI.
Mbah Muhit, begitu
beliau akrab disapa, kini berusia 92 tahun dan sejak tiga tahun lalu tinggal di
Kota Malang, Jawa Timur. Sebelumnya, beliau tinggal di Jember. Awal Februari
lalu, kami sengaja datang ke Kota Malang dengan satu tujuan, sowan ke Mbah Muhit
untuk mendapatkan informasi terkait kepemimpinan dan keumatan Hadhratusy Syaikh
Hasyim Asy’ari dan lain-lain.
Beliau tinggal di
kompleks Pesantren Mahasiswa al-Hikam Malang yang didirikan oleh adik beliau,
KH Hasyim Muzadi. Beliau tampak gembira sekali menerima kedatangan kami.
Pandangan matanya, pendengarannya, dan suaranya masih seperti puluhan tahun
lalu ketika kami sering bertemu beliau.
Setelah kami menanyakan
kitab-kitab karya Hadhratusy Syaikh, metode mengajar para santri sehingga
banyak santri beliau yang menjadi kiai, kami menanyakan kepada Mbah Muhit
tentang pandangan Hadhratusy Syaikh terhadap ormas-ormas Islam. Beliau adalah
penggagas Kongres Umat Islam pertama pada November 1945 yang melahirkan Partai
Islam Masyumi untuk menyatukan umat Islam Indonesia dan beliau diamanati
menjadi rais akbar partai Islam tersebut.
Dalam pikiran kami,
sebagai pendiri Nahdlatul Ulama dan Pesantren Tebuireng, mungkin beliau
menggunakan kharismanya untuk meng-NU-kan santri-santri beliau. Ternyata,
pikiran kami ini tidak tepat. Setelah kami tanyakan kepada Mbah Muhit, apakah
KH Hasyim pernah menyuruh santrinya masuk NU? Beliau menjawab, "KH Hasyim
tidak pernah menyuruh santrinya untuk masuk NU, bahkan salah satu putera
beliau, Gus Kholik (KH Abdul Khalik Hasyim) tidak masuk NU."
Di sinilah tampak
kebesaran jiwa Hadratusy Syaikh kendati beliau mampu meng-NU-kan santri-santri
tapi beliau tidak melakukannya. Tampaknya, Hadhratusy Syaikh mempunyai prinsip,
selama masih dalam rumpun Ahlussunnah wal Jamaah, beliau tidak mempermasalahkan
apakah menjadi NU atau bukan. Tak mengherankan bila kemudian banyak santri
Hadhratus Syaikh yang aktif di ormas Islam bukan NU.
Sebut saja sebagai
contoh Dr H Anwar Heryono SH yang waktu hidupnya pernah menjadi ketua Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), KH Abdul Rahman al-Hafizh, tokoh
Muhammadiyah dari Lamongan Jawa Timur, dan lain-lain.
Pada masa Hadhratusy
Syaikh tentulah sudah ada perbedaan para ulama dalam menetapkan Lebaran.
Bagaimana sikap beliau tehadap perbedaan tersebut? Hal itu juga kami tanyakan
kepada Mbah Muhit.
Jawaban beliau,
Hadratusy Syaikh pernah ditanya masyarakat kapan berlebaran, beliau menjawab,
"Lek melok Maksum, yo mene, lek jare aku, yo nunggu rukyat se (Kalau
ikut Maksum, lebarannya besok, tapi kalau menurut saya, kita menunggu rukyat
dulu)." Maksum yang disebut oleh Hadratusy Syaikh adalah murid dan menantu
beliau sendiri. Nama lengkapnya KH Maksum bin Ali, seorang ahli falak yang
telah menulis kitab falak berjudul al-Durus al-Falakiyyah (Pelajaran
Ilmu Falak) tiga jilid dalam bahasa Arab.
Tampak di sini bahwa
Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari tidak memaksa orang lain mengikuti pendapat
beliau. Beliau juga tidak mempermasalahkan seorang santri dan menantu beliau
sendiri yang ternyata berbeda pendapat. Bandingkan, misalnya, dengan kiai
kacangan yang jika mengetahui muridnya berbeda pendapat dengannya, dia langsung
memvonis, "Ilmumu tidak bermanfaat."
Boleh jadi, KH Hasyim
Asy’ari memandang penetapan Lebaran adalah masuk wilayah ijtihad sehingga tidak
perlu dipermasalahkan. Yang mau mengikuti rukyat, silakan, dan yang mau
mengikuti hisab, silakan. Wajar jika sikap beliau terhadap perbedaan ormas
Islam dan perbedaan pendapat di kalangan umat Islam menjadikan beliau sebagai
imam umat Islam Indonesia.
Dan ternyata sampai
beliau wafat, umat Islam Indonesia masih bersatu dalam satu wadah Partai
Masyumi. Ketika hal itu kami ceritakan kepada seorang kawan, dia bertanya
kepada kami, "Cak Mus, apakah sekarang ini Gusti Allah sudah tidak
menciptakan lagi orang semacam Kiai Hasyim Asy’ari?"
Oleh: KH. Ali Mustafa Ya’qub,
Imam besar masjid Istiqlal, Rais Syuriah PBNU bidang Fatwa
Ket. gbr diambil dari pkspiyungan.org
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload