Mengenali Keilmuan Al-Qur'an dan As-Sunnah Imam Al-Ghazali
5/15/2015
Hujjatul Islam
Imam Abu Hamid al-Ghazali (450-550 H) merupakan tokoh sentral Ahlus Sunnah wal
Jama’ah pada abad ke-5 H yang dikenal ulung dalam berbagai bidang keilmuan
Islam. Imam al-Subki dalam Thabaqat
al-Syafi’iyah memujinya
dengan mengatakan, dia adalah pribadi yang cerdas, berpandangan jitu,
pikirannya kuat, cerdik dan mendalam dalam ilmu-ilmu ma’ani (al-Subki, Thabaqat al-Syafi’iyyah,VI
hal. 96).
Beliau hidup pada masa umat Ahlus Sunnah mengalami berbagai
macam tantangan dan kemunduran yang serius. Ia dikenang para ulama setelahnya
setelah membangkitkan umat Islam dengan mengajarkan karya monumental Ihya Ulumuuddinmenyeru
untuk diamalkan. Dengan
modal keahlian dalam berbagai displin ilmu keilsaman yang ia kuasai,
karya-karyanya menjadi pilar kebangkitan Islam. Imam al-Suyuthi menulis,
al-Ghazali adalah mujaddid (pembaharu) abad ke-lima.
Pembaharuan yang dilakukan oleh Imam al-Ghazal dimulai dengan
perbaikan ilmu pengetahuan. Inilah ciri khas beliau. Dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin II beliau mengatakan: “Sesungguhnya,
kerusakan rakyat di sebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan
penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh
cinta harta dan kedudukan; dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia
tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allah-lah tempat
meminta segala persoalan.” (Imam al-Ghazali,Ihya’ Ulumuddin II hal. 381).
Sebagai seorang mujaddid,
tingkat keilmuan imam al-Ghazali tidak bisa dipandang remeh. Al-Manawi
berpendapat bahwa, sebagian ulama salaf mengatakan bahwa seorang mujaddid harus
pula seorang mujtahid (al-Manawi,Faidhul Qadhir Juz I, hal. 10). Seorang
mujtahid tentunya diharuskan menguasai berbagai ilmu-ilmu alat dalam
berijtihad, khususnya ilmu al-Qur’an dan al-Sunnah.
Dalam kapasitasnya sebagai ulama, ia berusaha mengungkapkan
kebenaran dan membersihkannya dari kesalahan, serta menunjukkan mana jalan yang
perlu ditempuh dan mana yang perlu dihindari. Ia menunjukkan
kesalahan-kesalahan mendasar pada paham-paham tertentu yang berkembang di dunia
Islam. Seperti mengoreksi falafah Yunani, kebatinan kaum Bathiniyah (Syiah),
Kalam Mu’tazilah dan penyimpangan tasawwuf.
Dalam mengkritik ilmu kalam kaum Mu’tazilah, imam al-Ghazali
telah meletakkan landasan fundamental, yaitu metode yang benar untuk
menganalisis masalah-masalah akidah dan dalil-dalinya, seperti metode
al-Qur’an. Imam al-Ghazali menandaskan bahwa argumentasi-argumentasi logis
dalam al-Qur’an cukup bagai akal dan fitrah yang sehat. Ia menggambarkan, ayat
al-Qur’an itu bagaikan air yang dimanfaatkan oleh baik bayi maupun orang
dewasa. Beliau berhasil mematahkan logika-logika falsafah Yunani dan
kalam Mu’tazilah dengan baik. Para ulama setelahnya banyak yang mengambil
faidah dari metode mantiq-nya.
Tentang interaksi dengan al-Qur’an, imam al-Ghazali memberi
masukan-masukan agar umat Muslim tidak tertipu dalam mu’amalah dengan al-Qur’an. Bahwa al-Qur’an itu
bukan sekedar huruf-huruf namun makna-maknanya. Melafadzkan huruf harus benar
dan sekaligus memahami makna di dakandungnya.
Anjuran untuk memperbanyak bacaan al-Qur’an juga beliau
sampaikan dalam kitab Ihya
Ulumuddin. Al-Ghazali
menulis contoh para Sahabat Nabi Saw ada yang mengkhatamkan al-Qur’an sekali
setiap pekan, seperti Sahabat Ustman bin Affan, Zain bin Tsabit, Ibnu Mas’ud,
dan Ubay bin Ka’ab. Beliau mengajurkan untuk menghkatamkan al-Qur’an tiap pekan
sekali atau dua kali. Bagi beliau khatam sekali sepekan ini merupakan
tengah-tengah (Imam al-Ghazali, Ihya Ulumuddin I, hal. 325).
Kedalaman tentang ilmu al-Qur’an dapat disimak dari
nasihatnya.Beliau berpendapat bahwa ada sekeompok orang yang tertipu dengan
bacaan al-Qur’an. Mereka membanggakan dengan kehebatan melafadzkan huruf namun
lalu atau lupa maksud ayat yang dikandungnya.
Menurut imam al-Ghazali, mereka tidak memikirkan
makna-makna ayat al-Qur’an, tidak memahami ayat-ayat tentang perintah dan
larangan serta tidka mengambil ibrah dari tempat-tempat yang memberikan
pelajaran (Imam al-Ghazali,al-Kasyf wa al-Tabyin fi Ghururi
al-Khalqi Ajma’in, 305).
Imam al-Ghazali sangat mengecam orang secara sembarangan
menafsirkan al-Qur’an tanpa ilmu dan metode ulama. Dalam kitab monumentalnya Ihya’ Ulumuddin beliau menulis bab Fi Fahmi al-Qur’an wa Tafsirihi bil
Ra’yi min Ghairi Naqli. Di dalamnya diterangkan dua larangan ketika
menafirkan al-Qur’an. Pertama, menafsirkan ayat al-Qur’an mengikuti
pikiran dan hawa nafsunya dengan tujuan membenarkan pendapatnya dan bid’ahnya.
Seseorang telah memiliki suatu pikiran lalu mencari-cari landasan al-Qur’an
agar supaya pemikirannya yang mengandung bid’ah diterima orang. Dipaksakan
untuk dicocok-cocokkan. Kedua, tidak terburu-buru menafsirkan dzahir
ayat al-Qur’an. Khususnya, ayat-ayat gharib (lafadz asing) yang tidak bisa
langsung dimaknai secara literal (Imam al-Ghazali,Ihya Ulumuddin juz I, hal. 343).
Secara khusus beliau juga menulis kitab Qanun al-Takwil (Kaidah Menakwilkan). Di dalam kitab
ini imam al-Ghazali menyeimbangkan antara manqul (teks) dan ma’qul (akal) dalam memahami al-Qur’an.
Banyak orang yang terjebak pada ekstrimisme untuk memasung teks demi rasionya.
Atau memasung teks demi rasionya. Di sinilah imam al-Ghazali menjelaskan
kaidah-kaidah yang tepat sesuai al-Qur’an dan al-Sunnah. Keseimbangan antara manqul danma’qul inilah kelebihan kitab ini.
Tulisan-tulisan tersebut sudah cukup menunjukkan kedalaman ilmu al-Qur’an imam
al-Ghazali.
Dalam ilmu hadits, ada beberapa yang meremahkan. Sebagai seorang
mujtahid, mustahil rasanya beliau tidak memahami ilmu hadits. Beliau dikenal
seorang faqih, menulis kitab Al-Mustashfa fi ilmil Ushul. Salah satu perangkat dasar dalam
ijtihad bidang fikih adalah penguasaan ilmu hadits.
Memang, beliau tidak menulis tentang ilmu hadits, dan dikatakan
relative kurang menonjol dalam bidang hadits. Peniliaian ini lebih tepat jika
dibandingkan dengan penguasaan beliau terhadap ilmu-ilmu lain dan dibandingkan
dengan para pakar ahli hadi seperti imam Syafii, imam Maliki dan imam Bukhari.
Namun, jika kita perhatikan beliau punya guru-guru hadits yang
berisnad. Sedang sanad dalam ilmu hadits ini merupakan sesuatu yang niscaya
untuk menguasai ilmu hadits. Sanadnya bersambung kepada para perawi-perawi
terdahulu. Sedangkan, hari ini sanad ilmu hadits merupakan sesuatu yang tidak
mudah didapat. Dikhabarkan juga bahwa beliau pernah mengajar hadits di madrasah
Nidzamiyah.
Dalam menyikapi hadits palsu beliau berpendapat bahwa banyak
orang menyangka dibolehkan membuat hadits palsu untuk fadhilah amal atau untuk menakut-nakuti agar tidak
bermaksiat, dan mereka berpendapat bahwa hal ini dapat dibenarkan padahal, kata
imam al-Ghazali, ancaman membuat hadits palsu itu berar seperti sabda Nabi Saw:
“Barangisapa
yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah ia menyiapkan tempat
duduknya di neraka”.
Adapun hadits-hadits
dhaif dalam kitab Ihya
Ulumuddin, bukanlah suatu masalah besar. Kitab Ihya bukanlah kitab hukum, tapi termasuk
kitab akhlak dan adab dan penggunaan hadits-hadits dhaif dalam kitab seperti
ini tidak tercela. Bahkan hadits-hadits shahih dan hasan dalam kitab Ihya’ lebih banyak daripada hadits
dhaif. Kitab-kitab para ulama lainnya pun tidak sepi dari hadits-hadits dhaif.
Imam Bukhari (w. 256 H.) mempunyai kitab Adab
al-Mufrad yang juga memuatkan
hadits-hadits dhaif. Sebab, hadits dhaif untuk masalah akhlak tidak bermasalah
dan tidak dipermasalahkan oleh para ulama.
Imam al-Ghazali pada masa-masa sebelum wafat ternyata menekuni
ilmu hadits lebih dalam lagi, melebihi pengkajian ilmu hadits pada masa
sebelumnya. Ini semata didasarkan pada prinsip kebutuhan pada zaman itu dimana
beliau telah terangkan tentang ilmu fardhu ‘ain dan ilmu fardhu kifayah. Dimana
fardhu ‘ain mendahului fardhu kifayah. Beliau memang tidak terlalu menonjol
dalam ilmu hadits tapi adalah salah jika dikatakan beliau tidak faham ilmu
hadits. Jika beliau tidak faham ilmu hadits para ulama sudah pasti tidak
memberinya gelar al-faqih. Ada yang menyebut, umpama beliau lebih
dipanjangkan ilmunya kemungkinan beliau menjadi ahli hadits yang meriwayatkan
hadits.
Hari ini umat kita dirasuki kesombongan. Menyamakan keadaan
dirinya dengan para ulama. Termasuk menyamakan terminologi yang melekat pada
para ulama dahulu dengan diri kita yang masih miskin ilmu. Jika dikatakan
Syaikh fulan tidak menonjol dalam suatu ilmu, tidak serta merta itu berarti
sama dengan kita yang juga tidak menonjol dalam suatu ilmu tersebut. Imam
al-Ghazali pernah mengajar ilmu hadits, lalu disamakan dengan kita yang juga
mengajar ilmu hadits. Inilah yang dinamakan loss
of adab. Pembandingan
yang jauh dari sifat adil.
Terhadap keilmuan imam al-Ghozali ini para ulama banyak yang
memujinya. Syaikh al-Habib Abullah al-Aidarus mengatakan para ulama sepakat
bahwa kitab-kitab imam la-Ghazali merpakan inti dari al-Qur’an dan al-Sunnah
serta inti dari manqul dan ma’qul (Zain bin Sumaith,al-Manhaj
al-Sawiy,hal. 407). Imam Nawawi pun memuji Ihya Ulumuddin, katanya
hampir-hampir kitab Ihya itu seperti al-Qur’an. Semata-mata
dikarenakan kelengkapan kandungan dari kitab Ihya
Ulumuddin.
Imam al-Ghazali pernah mendapatkan tuduhan tidak baik karena
konon katanya tidak menyerukan jihad. Imam al-Ghazali lebih menekankan jihad al-nafs bukan berarti beliau menganggap jihad qital (perang) tidak penting. Posisi ini
dijelaskan oleh Adian Husaini, dia menulis: “Posisi al-Ghazali dalam soal jihad
– bahwa ia juga sangat menekankan pentingnya jihad dalam makna qital – menjadi jelas jika menelaah Kitab
Jihad yang ditulis oleh Syeikh Ali al-Sulami. Dalam naskah kitab yang diringkas
oleh Niall Christie, al-Sulami mengutip ucapan Imam al-Ghazali menyatakan bahwa
jihad adalah fardhu
kifayah. Jika satu kelompok yang berjuang melawan musuh sudah
mencukupi, maka mereka dapat berjuang keras melawan musuh. Tetapi, jika
kelompok itu lemah dan tidak memadai untuk menghadapi musuh dan menghapuskan
kejahatannya, maka kewajiban jihad itu dibebankan kepada negara-negara
terdekat, seperti Suriah, misalnya. Jika musuh menyerang salah satu kota di
Suriah dan penduduk di kota itu tidak mencukupi untuk menghadapinya, maka
adalah kewajiban bagi seluruh kota di Suriah untuk mengirimkan penduduknya
untuk berperang melawan penjajah sampai jumlahnya memadai” (Baca: Adian Husaini
dalam Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi
Islam di Perguruan Tinggi,13).
Kita sebenarnya bisa menyimpulkan bahwa titik tolak reformasi
Imam al-Ghazali ini tidak berangkat dari politik dan militer. Melainkan
memulainya dengan islah al-dzati,
reformasi pemikiran internal dan akidahnya.
Hari ini, kerusakan umat muara sebenarnya berasal dari kerusakan
pemikiran yang ditimbulkan oleh kerusakan hati. Inilah yang menyebabkan faktor
kerusakan ilmu dan adab.
Di masa saat ini, umat Islam membutuhkan imam al-Ghazali. Dr.
Majid Irsan Kilani dalam bukunya, Hakadza
Dzahara Jil Shalah al-Din wa Hakadza ‘Adat al-Quds (Misteri Masa Kelam Islam dan
Kemenangan Perang Salib) mengatakan sejumlah ulama yang tidak boleh
disingkarkan perannya yang signifikan dalam kemenangan merebut al-Quds pada
perang Salib adalah; imam al-Ghazali, Abdul Qadir al-Jailani, Ibnu Qudamah
al-Maqdisi dan lain-lain.
Imam al-Ghazali, patut dicontoh metode islahnya (reformasi).
Keduanya tidak hanya konsentrasi kepada menyerang virus eksternal, namun juga
melakukan reformasi internal. Keduanya mengikis virus yang menggerogoti
imunitas internal umat Islam. Memang, tidak Nampak keduanya menyiapkan pasukan
militer. Tapi justru kekuatan terbentuk berkat keberhasilan membersihkan
‘penyakit’ yang ada di dalam umat Islam. untuk mengoreksi keilmuan umat Islam
seperti itu, jelas saja tidak mungkin Imam al-Ghazali tidak menguasai al-Qur’an
dan al-Sunnah.*
Oleh: Kholili Hasib, pengurus MIUMI Jawa Timur
Sumber: Hidayatullah.com, edisi 14 Mei 2015, diakses 15 Mei 2015
pukul 14.00 WIB
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload