Madrasah dari Masa ke Masa
5/20/2015
Berbicara tentang perkembangan
madrasah tidak bisa lepas dari perkembangan Islam di Indonesia. Bermula dari
keinginan para pemeluk Islam mempelajari dan mendalami lebih jauh tentang
ajaran agamanya, muncul pendidikan agama yang secara sporadis dilaksanakan di
rumah-rumah, langgar, masjid, lalu berkembang menjadi lembaga yang disebut
pondok pesantren.
Pesantren menjadi lembaga
pendidikan Islam tertua di Indonesia. Sejarah tidak mencatat secara persis
kapan pesantren mulai ada. Namun sekurang-kurangnya bisa diketahui, pada awal
abad ke-17 terdapat pesantren di Jawa yang didirikan oleh Sunan Malik Ibrahim
di Gresik (tahun 1619).
Baru pada akhir abad ke-19, Belanda atas saran Snouck Hurgronje
mulai memperkenalkan sistem pendidikan klasikal untuk memperluas pengaruh
pemerintah kolonialnya dan menandingi pengaruh pesantren yang luar biasa.
Pesantren selalu waspada terhadap politik etis Belanda.
Setelah menyadari perlunya perubahan atau penambahan sistem
pendidikannya, maka baru pada awal abad ke-20, pesantren memperkenalkan sistem
klasikal yang disebut madrasah. Sistem ini dilengkapi dengan pengetahuan umum
-walaupun masih sangat terbatas- sebagai jawaban positif atas terjadinya
perubahan-perubahan akibat politik etis kolonial.
Madrasah sudah mengajarkan pengetahuan umum sejak awal, sesuai
dengan kebutuhan. Namun ia tetap merupakan pengembangan dari pesantren,
menekankan pendidikan keagamaan Islam, terutama menyangkut disiplin akidah,
syari’ah dan akhlak. Titik tekan ini masih mampu dipertahankan secara mencolok
sampai akhir masa penjajahan Jepang.
Prestasi yang dapat dilihat adalah munculnya para alumni yang
mendapat legitimasi dari masyarakat sebagai ulama atau kiai. Mereka dinilai
tangguh dan mampu mengembangkan dirinya di bidang keilmuan agama Islam, juga
memiliki kepekaan tinggi terhadap masalah sosial dan lingkungan.
Madrasah dengan titik tekan materi pendidikannya di atas, diperkuat
lagi dengan sikap non-kooperatif para pendirinya terhadap pemerintah kolonial
Belanda, sengaja tidak menelorkan anak didik sebagai tenaga kerja dan birokrat
kolonial. Kegiatan pendidikan yang diciptakan pesantren dan madrasahnya tidak
diproyeksikan pada produktifitas kerja.
Madrasah dan pesantren bahkan menentang paham priyayiisme yang
sengaja diangkat oleh Belanda untuk menarik pengaruh masyarakat terhadap
timbulnya ‘nilai lain’ akibat perbedaan status sosial. Ijazah-ijazah formal
sebagai tanda keberhasilan pendidikan murid, belum mampu mempengaruhi mereka
untuk mengubah pandangan, dari dasar menuntut ilmu li wajhillah ke arah
pandangan yang bersifat duniawi. Dari sini timbul watak kemandirian, sebuah
ciri utama dan identitas madrasah waktu itu, sesuai dengan induk pengembangnya
yaitu pesantren.
***
Ketika awal masa kemerdekaan RI sampai adanya SKB Tiga Menteri,
madrasah dengan persentase lumayan masih konsisten berdiri di atas orientasinya
sendiri. Perubahan struktur sosial kemudian mendorong pesantren menyesuaikan
diri dengan kebutuhan mendasar yang dipolakan oleh sistem pendidikan nasional.
Berbagai komponen bidang studi yang semula belum menjadi wilayah garapan
madrasah, lalu muncul.
Dulu madrash hanya mengenal sistem klasikal dalam bentuk shiff
(kelas) satu sampai dengan enam atau sampai belasan (seperti di Madrasah
Mamba’ul Ulum). Kini, pengelolaannya semakin meningkat dengan sistem manajerial
madrasah. Ada komponen kurikulum secara teratur, ketatausahaan yang lengkap dan
sebagainya. Pendek kata, madrasah mulai berusaha mengembangkan dirinya
sesempurna mungkin, sebagai sisi lain dari sistem pendidikan nasional, terutama
pada waktu lembaga ini menjadi rival Departeman Agama dengan kebijaksanaanya
membentuk MWB (Madrasah Wajib Belajar).
Bila pada awal kemerdekaan, madrasah pada galibnya menolak campur
tangan pemerintah, sikap itu muncul terutama karena negara baru ini berwatak
duniawi dan nasionalistis. Sedangkan madrasah yang dikelola swasta memiliki
tradisi keagamaan. Mulai masa MWB itu, madrasah mengakomodasikan sikap. Subsidi
pemerintah dalam bentuk material mulai diterima. Maknanya, ia mulai membuka
keterlibatan pemerintah dalam dunianya. Guru Agama Negeri -walaupun secara
selektif- mulai diterima, bahkan menjadi kebutuhan terutama bagi yang kekurangan
tenaga guru.
Ide peningkatan madrasah yang datang dari pemerintah untuk
mengubah orientasi kepada pola sistem pendidikan mulai diterima,
sekurang-kurangnya dipertimbangkan. Kurikulum mulai dibicarakan bentuk dan
ragamnya yang sesuai dengan peningkatan kualitasnya. Sejak ini, banyak
perubahan-perubahan besar di madrasah. Akan tetapi secara ideal saat itu
madrasah masih dapat konsisten pada titik tekan disiplin ilmunya, walaupun
dipandang dari sudut prestasinya mengalami penurunan.
Ilustrasi di atas memperlihatkan, madrasah mampu menunjukkan daya
adaptasi untuk menyerap unsurunsur inovasi. Lebih dari itu, madrasah mempunyai
daya tangkap terhadap persoalan yang dihadapi oleh masyarakat sekelilingaya.
Yang menjadi masalah sekarang ialah, apakah proses penyerapan
unsur-unsur baru dan perubahan hasil daya tangkap terhadap persoalan masyarakat
itu memperkuat identitasnya semula (karakter keagamaan dan kemandiriannya),
atau justru memperlemah dan akhirnya menghilangkan sama sekali identitasnya?
Apakah proses dan perubahan itu memberikan makna baru bagi identitas lama
tersebut?
***
Suatu fenomena lain yang merupakan kelanjutan dari proses itu
ialah ketika SKB Tiga Menteri tahun 1975 diterapkan pada madrasah. Sejak itu
madrasah dituntut mengikuti berbagai perkembangan sosial lebih jauh lagi dan
beradaptasi dengan pola hidup masyarakat. SKB itu sebenarnya merupakan bentuk
legalisasi saja dari tuntutan itu.
Mulailah madrasah menstandarkan kurikulumnya dengan sekolah dan
madrasah negeri. Apalagi setelah terbukanya kesempatan penegerian madrasah atau
sekurang-kurangnya memfilialkan dengan negeri, ujian persamaan negeri dan UUB
di madrasah.
Perubahan di madrasah kini tidak hanya terjadi pada kurikulum
silabusnya dengan literatur yang baru, akan tetapi wawasannya juga berubah.
Pendidikan di madrasah mulai berimplikasi pada kebutuhan hidup murid dan status
sosial mereka di masa mendatang. Ijazah formal madrasah, ijazah hasil ujian
persamaan negeri menjadi amat penting dan berpengaruh mengubah pandangan ke
arah duniawi.
Nilai belajar li wajhillah mulai pudar atau hilang sama sekali,
digeser oleh niat lil ijazah. Pandangan priyayiisme yang dulu ditentang oleh
madrasah, sekarang justru ditolerir. Penilaian prestasi madrasah diukur secara
kuantitatif dengan banyak sedikitnya siswa yang lulus ujian negeri. Komponen
pendidikan agama menjadi sesuatu yang rutin saja. Rasa ketergantungan kepada
pihak lain mulai menggeser watak kemandiriannya.
Gambaran di atas menunjukkan adanya perubahan nilai di madrasah.
Orientasi dan titik-tekan materi pendidikan yang secara esensial menjadi
identitasnya semula, menjadi hambar dengan konsekuensi mengubah posisi madrasah
menjadi tidak jelas. Akhirnya madrasah di mata para peserta didik yang kritis,
kurang mendapat perhatian kecuali kadang-kadang dianggap hanya sebagai tempat
pelarian belajar.
***
Struktur sosial dan sistem nilai yang berkembang di masyarakat
mempunyai dampak yang kuat terhadap pendidikan termasuk di madrasah. Jika
pemerintah kini sedang mengupayakan agar tahun 2000 Indonesia sudah mampu tinggal
landas terbang mencapai status “negara maju”, tentu akan terjadi berbagai
perubahan besar. Antara lain peranan sektor industri akan semakin besar,
menggeser peranan sektor pertanian yang selama ini menjadi tumpuan lapangan
kerja sebagian besar penduduk Indonesia, terutama 80% penduduk desa.
Bersamaan dengan itu, sektor jasa yang selama ini relatif masih
terbatas juga akan mengalami perubahan besar, di mana peranan modal dan
keterampilan akan sangat menentukan. Alam lingkungan tidak begitu ramah lagi,
antara lain disebabkan laju pertumbuhan penduduk yang terus membengkak dan akan
banyak mempengaruhi kebebasan dan kelestariannya.
Semua perubahan yang akan terjadi itu tentu akan mempengaruhi
pendidikan madrasah. Sedangkan perubahan yang terjadi pada diri madrasah,
dengan serinya membawa kemelut dalam wawasan yang dimilikinya. Madrasah tidak
dapat mengubah wawasan pendidikannya begitu saja, tanpa kehilangan identitas
diri semula.
Tanpa mampu memecahkan masalah dilematik seperti itu, madrasah
jelas tidak mampu melakukan kerja pengembangan apapun yang bersifat
konsepsional. Di sinilah madrasah dihadapkan kepada masa esok yang cerah atau
suram, tergantung kemampuan madrasah mengembangkan dirinya sekaligus memecahkan
masalah dilematik di atas.
Satu hal yang harus dilakukan oleh madrasah dalam pengembangan
diri ialah, melihat masalah-masalah dasar yang dihadapi madrasah.
Masalah-masalah dasar itu dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, baik yang
bersifat internal (seperti kualitas pimpinan dan pengelola pendidikan
madrasah), maupun yang bersifat eksternal (seperti aspirasi umat, perkembangan
sosial dll). Namun pada dasarnya, masalah utama yang dihadapi madrasah adalah:
a.
Masalah identitas diri
madrasah, dalam hubungannya dengan karakteristik dan kemandiriannya terhadap
lembaga-lembaga lain di masyarakat.
b.
Masalah jenis pendidikan
yang dipilih sebagai alternatif dasar yang akan dikelola untuk menciptakan satu
sistem pendidikan yang masih memiliki titik-tekan keagamaan, tetapi pengetahuan
umum tetap diberi porsi cukup sebagai basis mengantisipasi perkembangan
aspirasi masyarakat.
c.
Masalah sumber daya
internal yang ada dan pemanfaatannya bagi pengembangan madrasah sendiri di masa
esok.
***
Satu hal yang rumit bagi madrasah adalah, usaha pengembangan yang
diarahkan untuk mendekatkan atau menghilangkan sama sekali polarisasi dua
orientasi-orientasi agama dan orientasi umum- menuju keseimbangan dalam porsi
yang sama. Tujuan itu juga erat korelasinya dengan identitas madrasah. Madrasah
adalah madrasah, bukan sekolah umum dan tentu memiliki identitas sendiri, walaupun
“madrasah” dari segi bahasa adalah nama lain dari “sekolah”.
Madrasah sebagai lembaga pendidikan lslam, kecuali memiliki
identitas sendiri, juga mempunyai tujuan bagi sasaran didiknya. Dilihat dari
sudut sasaran ini, ada dua dimensi yang harus dipertimbangkan dalam menetapkan
tujuan pendidikan. Secara mikro dapat dipandang, peserta didik sebagai makhluk
individu, dan secara makro dipandang sebagai makhluk sosial.
Sebagai individu, ia diharapkan menjadi manusia “akram” dan
“shalih” dalam artinya yang luas. Sedangkan sebagai makhluk sosial diharapkan
menjadi manusia yang bertanggung jawab kepada masyarakat, dalam rangka
melaksanakan dua tugas utama ‘khalifatullah” di atas bumi ini, yaitu
’ibadatullah dan ‘imaratul ardli (beribadah kepada Allah dan membangun di atas
bumi). Kesemuanya itu diarahkan untuk mencapai tujuan hidup manusia, yakni
sa’adatud darain.
Madrasah yang juga sebagai media perjuangan mempertahankan ajaran
Islam, amat penting diusahakan kelestarian dan keberadannnya di tengah-tengah
masyarakat Indonesia yang sedang membangun dan akan tinggal landas. Madrasah
harus mampu secara dinamis dan kreatif menjawab segala tantangan seraya
memperkuat misinya, tanpa kehilangan identitasnya yang hakiki. Dalam hal ini,
madrasah tidak boleh menutup mata sebelah terhadap kenyataan-kenyataan yang
dihadapi, akan tetapi juga tidak selalu melihat (meniru) perkembangan kemajuan
yang terjadi di sekelilingnya.
***
Problematika madrasah dewasa ini perlu disimak dan diamati secara
akurat, sebagai bahan mengaca diri untuk memetakan prospeknya di masa
mendatang. Upaya ini mesti berangkat dari kondisi objektif, utamanya di bidang
pendidikan yang mempengaruhi proses perkembangan madrasah itu sendiri.
Dewasa ini, setiap anggota masyarakat dengan berbagai latar
belakang stratifikasi sosialnya mempunyai persepsi dan antisipasi pendidikan
yang berbeda-beda. Ada yang melihatnya dari sisi kegunaan praktis sebagai suatu
bidang usaha yang bersifat ekonomis. Di pihak lain pendidikan dipandang sebagai
sarana pembinaan kehidupan nilai-nilai budaya.
Pandangan pertama menumbuhkan kecenderungan perlunya menempatkan
usaha pendidikan sebagai sarana mutlak untuk membentuk kualitas manusia yang
bertumpu pada produktivitas kerja. Sedangkan pandangan kedua menekankan
pendidikan moral dan budaya. Sementara itu, tujuan pendidikan nasional seperti
dalam GBHN, untuk meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan
mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia
pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung
jawab atas pembangunan bangsa-bangsa”.
Pengertiannya, pendidikan merupakan sarana yang sangat strategis
dalam proses pembangunan yang mempunyai cakupan lebih luas lagi ketimbang kedua
pandangan di atas.
Madrasah pada umumnya, terutama dalam dekade terakhir ini,
tampaknya mempunyai kecenderungan mencari pemecahan problematika dengan caranya
sendiri. Rumusannya bisa jadi terpengaruh berbagai pola pandangan di atas atau
karena lingkungan yang menuntut sikap akomodatif pada dirinya.
Pada prinsipnya, bentuk pemecahan itu ialah mengkompromikan antara
wawasan di atas dengan konsekuensi orientasinya sendiri menjadi tidak jelas,
walaupun arah sasaran akhirnya jelas untuk mengejar kredibilitas atau
akreditasi langsung mau pun tidak langsung, demi mensejajarkan dirinya dengan
“sekolah” (baca: bukan madrasah). Lalu berdirilah Madrasah Aliyah IPA (sekarang
ada A2), ada lagi Aliyah IPS (sekarang A3) dan lain sebagainya.
Madrasah tidak lagi mempermasalahkan “identitas”. Otonomi madrasah
yang notabene “swasta” dan “mandiri” mulai berkurang. Upaya pengembangan
kurikulum tersendiri untuk mengatasi problem-problem yang dihadapi masyarakat
-termasuk komponen pendidikan agama sekalipun- mulai kurang dihiraukan demi
mengejar status. Etatisme (kehidupan serba-negara) mulai mempengaruhi sikap,
pandangan ataupun wawasannya.
Ijazah formal menjadi amat penting, bahkan manfaat ekonomisnya
selalu diintrodusir kepada para peserta didik sebagai motivasi kegairahan
peningkatan proses belajar-mengajar. Ironisnya, menurut Dr. Ir. Seno
Sastroamidjojo -guru besar Universitas Diponegoro- masyarakat sendiri
mendukungnya. Opini umum mengatakan, ijazah merupakan legitimasi untuk
memperoleh pekerjaan.
Jadi proses pendidikan sekarang ini tidak lagi memacu kreativitas
alumninya untuk menciptakan pekerjaan, namun mencari dan menunggu datangnya
pekerjaan. Ini suatu proses ketergantungan. Lebih tandas lagi, sosiolog Dr.
Loekman Sutrisno dari UGM- mengatakan, “Yang ada sekarang adalah
intelektual-intelektual yang hanya berorientasi pada ekonomi. Kemudian timbul
erosi, di antaranya gejala mahasiswa ingin cepat selesai, dapat pekerjaan dan
jadi birokrat”.
***
Dampak dari kenyataan-kenyataan di atas, secara kurang disadari
oleh madrasah, ialah adanya semacam ambivalensi wawasan pada diri madrasah yang
mengakibatkan makin kurang jelasnya orientasi yang dimiliki.
Kredibilitas formal sebuah lembaga pendidikan dengan segala
konsekuensinya, secara argumentatif tidak mungkin dihindari. Tapi secara
sportif harus diakui, hal itu melemahkan, bahkan mendangkalkan misi madrasah
yang mempunyai ciri intrinsik berupa tradisi keilmuan agama Islam. Tata nilai
Islami sebagai sumber referensi yang mampu melakukan transformasi kultural dan
membentuk sikap rasional Islami dalam membangun manusia seutuhnya, mulai
diabaikan.
Problem masyarakat yang belum mendapat perhatian serius dari
kalangan madrasah, ialah kian meledaknya secara dahsyat jumlah anak usia
sekolah yang sangat memerlukan bimbingan dan pendidikan agama Islam. Sebagai
indikatornya, mushala, masjid, majelis ta’lim dan madrasah yang secara
kuantitatif meningkat, semuanya dibanjiri oleh sekurang-kurangnya 70% dari
kalangan muda, pelajar dan mahasiswa.
Namun bersamaan dengan itu, eksponen Muslim yang mampu menguasai
ajaran Islam semakin langka. Apalagi sampai menguasai totalitas ilmu agama yang
meliputi akidah, syari’ah dan akhlak. Kenyataan ini menunjukkan kemunduran
kualitas ajaran Islam bagi peserta didik. Tenaga ahli agama secara kuantitatif
mau pun kualitatif tidak memadai dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat.
Kesenjangan yang mendasar antara Islam dan pemeltak terelakkan lagi.
Giliran berikutnya, tidak mustahil akan terjadi pemahaman dangkal
terhadap ajaran Islam, dan akan muncul persepsi eksklusif atas ajaran Islam
yang universal. Terbukti di dalam proses transformasi kultural dewasa ini, ada
kecenderungan masyarakat untuk berorientasi pada tata nilai yang non-Islami.
Ini mungkin karena kurangnya intensitas upaya mengangkat nilainilai Islamiyah
ke permukaan secara aplikatif di tengah-tengah perkembangan masyarakat.
Sebab lain adalah, masih sulitnya menampilkan aktivitas bercorak
Islam yang bertolak dari falsafah Pancasila. Hal ini menyangkut hubungan antara
agama dan dasar negara yang rumit. Kenyataan yang diilustrasikan itu,
memerlukan pemecahan tuntas dengan tahapan-tahapan yang sesuai dengan kondisi
objektif mau pun potensi dan misi madrasah.
Madrasah (di samping pesantren) dewasa ini merupakan lembaga
pendidikan Islam yang masih mempunyai kredibilitas dari masyarakat di dalam
menanamkan nilai-nilai Islami maupun penyebaran ajaran Islam. Namun sejauh mana
madrasah mampu mengemban amanat tersebut, akan bergantung pada kemampuan
mencari alternatif-altematif pemecahan problematika madrasah itu sendiri.
Madrasah mesti mampu merumuskan sendiri prospeknya yang lebih utuh dengan
konsep-konsep strategis dan rencana operasional yang tidak semata-mata utopis.
***
Analisis mengenai eksistensi madrasah dan masyarakatnya di atas,
mengantarkan kepada penglihatan lebih jauh mengenai prospek madrasah berangkat
dari kerangka acuan strategis. Pendidikan di madrasah tidak hanya diarahkan
bagi peserta didik sebagai individu, tetapi juga sebagai anggota masyarakat.
Jangkauan waktu pun tidak hanya untuk sekarang, tetapi jauh ke depan. Pembinnan
semacam ini perlu direncanakan matang, karena hal itu merupakan proses normatif
dan teknis, yang tentu saja akan bisa dicapai melalui satu pertumbuhan panjang
dan kompleks, di mana semua aspek-aspeknya tidak mudah dikuantifikasikan.
Di sinilah diperlukan sebuah strategi yang, di satu segi
mengutamakan kenyataan-kenyataan yang hidup “di sini hari ini”, sedangkan di
segi lain mengutamakan, aspirasi pendidikan Islam yang perlu direalisasikan “di
hari esok”. Segi pertama berjangka pendek, yang kedua berjangka panjang.
Agar bernilai strategis, kebutuhan jangka pendek tidak dapat
dibiarkan berhubungan semata-mata atas pengaruh kebutuhan pragmatis, tetapi
harus ditetapkan dan dirancang; secara selektif agar dengan perkembangan itu
dapat dicapai sisi kedua secara sinkron dan serasi. Dalam hal tersebut, sejak
sekarang madrasah perlu merumuskan langkah-langkah kongkrit yang mempunyai
nilai spesifik dalam konteks komunitas nasional.
Tapi intensitas pendidikan dan pengajaran Islam yang universal
tetap dicernakan dalam suatu kerangka acuan paripurna dan terpadu antara
pemenuhan kebutuhan pragmatis (produktivitas kerja) dan pembentukan watak dan
karakter ”ke-akram-an” dalam arti “kelebihtakwaan”. Watak ketakwaan itu tidak
saja menekankan hal-hal yang semata-mata ritual formal, akan tetapi meliputi
etika kemasyarakatan dan segala aspek kehidupan.
Dalam tahapan tertentu harus ditanamkan juga kemampuan menerima
kenyataan hidup dan penyesuaian antara kebutuhan manusia dan ajaran agama.
Demikian juga kebutuhan akan penafsiran atau reinterpretasi ajaran agama sampai
titik tertentu, untuk menjaga aktualitas dan kontekstualitas ajaran agama serta
untak mengenali kaitan kuat antara agama dan kehidupan.
Konsep ini akan mengantarkan madrasah mampu melaksanakan
transformasi kultural yang sarat dengan motivasi dan nilai-nilai Islamiyah.
Bila madrasah tidak mampu melakukan tugas transformasi kultural secara total,
ia justru akan terbawa proses transformasi budaya di luarnya.
Karena itu, pendidikan agama harus mampu menumbuhkan sikap dan
tingkah laku pribadi yang tanggap terhadap masalah sektoral yang terjadi dalam
kehidupan, baik yang berwawasan mikro mau pun makro. Konsekuensinya, pendidikan
agama harus menumbuhkan keberanian manusia didiknya untuk melakukan
pilihan-pilihan yang dianggap tepat bagi kehidupan, untuk merumuskan sendiri
jawaban yang dituntut oleh berbagai tantangan yang ditimbulkan oleh kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kemampuan madrasah dalam hal membentak dirinya sendiri seperti di
atas dengan konsep-konsep yang aplikatif serta dapat diproyeksikan dalam
berbagai kegiatan nyata, diharapkan akan dapat membentuk imuan-ilmuan Muslim
yang akram serta shalih. Di samping itu, ia juga memiliki kepekaan yang tinggi
dan antisipasi jauh terhadap problem dan kemaslahatan makhluk dalam rangka
melaksanakan tugasnya sebagai khalifah Allah, yakni ‘ibadatullah dan ‘imaratul
ardli, yang pada gilirannya akan mampu mencapai tujuan akhir dari kehidupan
ini, yaitu sa’adatud darain.
Di sinilah letak tanggung jawab madrasah untuk mempertahankan
identitasnya, menjadi lembaga tafaqquh fiddin secara utuh dan paripurna.
Dalam komunitas nasional dan dalam lingkaran sistem pendidikan nasional,
madrasah bisa menjadi alternatif ideal yang mampu melahirkan ilmuwan Muslim
yang mempunyai integritas keagamaan dan sosial.
___
Oleh: KH MA Sahal Mahfudh
Ket. Diambil dari KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS). Tulisan ini pernah disampaikan dalam Panel Diskusi Ikatan Alumni Madrasah Qudsiyah di Kudus, 8 Oktober 1983. Pernah dimuat Aula edisi No.9 Tahun IX November 1987. Judul asli Perkembangan dan Pengembangan Madrasah.
Ket. Diambil dari KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS). Tulisan ini pernah disampaikan dalam Panel Diskusi Ikatan Alumni Madrasah Qudsiyah di Kudus, 8 Oktober 1983. Pernah dimuat Aula edisi No.9 Tahun IX November 1987. Judul asli Perkembangan dan Pengembangan Madrasah.
Sumber:
nu.or.id, edisi 7/9/2014, diakses 20/5/2015
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload