Tradisi dalam Timbangan Al-Qur'an, Hadis, Sahabat, dan Ulama
5/19/2015
Pada dasarnya, Islam itu agama. Islam bukan
budaya dan bukan tradisi. Akan tetapi harus dipahami bahwa Islam tidak anti
budaya dan tidak anti tradisi. Dalam menyikapi budaya dan tradisi yang
berkembang di luar Islam, Islam akan menyikapinya dengan bijaksana, korektif
dan selektif. Ketika sebuah tradisi dan budaya tidak bertentangan dengan agama,
maka Islam akan mengakui dan melestarikannya. Tetapi, ketika suatu tradisi dan
budaya bertentangan dengan nilai-nilai agama, maka Islam akan memberikan
beberapa solusi, seperti menghapus budaya tersebut, atau melakukan islamisasi
dan atau meminimalisir kadar mafsadah dan madharat budaya tersebut. Namun
ketika suatu budaya dan tradisi masyarakat yang telah berjalan tidak dilarang
dalam agama, maka dengan sendirinya menjadi bagian yang integral dari syari’ah
Islam. Demikian ini sesuai dengan dalil-dalil al-Qur’an, Hadits dan atsar kaum
salaf yang dipaparkan oleh para ulama dalam kitab-kitab yang mu’tabar
(otoritatif).
A. Tradisi menurut al-Qur’an.
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ
بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ (الأعراف: 199)
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf
(tradisi yang baik), serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.”. (QS.
al-A’raf : 199).
Dalam ayat di atas Allah memerintahkan Nabi saw
agar menyuruh umatnya mengerjakan yang makruf. Maksud dari ‘urf dalam
ayat di atas adalah tradisi yang baik. Al-Imam Abu al-Muzhaffar al-Sam’ani
berkata:
وَالْعُرْفُ مَا يَعْرِفُهُ
النَّاسُ وَيَتَعَارَفُوْنَهُ فِيْمَا بَيْنَهُمْ
“’Urf adalah sesuatu yang dikenal oleh masyarakat dan mereja
jadikan tradisi dalam interaksi di antara mereka”. (Al-Sam’ani, Qawathi’
al-Adillah, juz 1 hlm 29).
Syaikh Wahbah al-Zuhaili berkata:
وَالْوَاقِعُ أَنَّ الْمُرَادَ
بِالْعُرْفِ فِي اْلآَيَةِ هُوَ الْمَعْنَى اللُّغَوِيُّ وَهُوَ اْلأَمْرُ
الْمُسْتَحْسَنُ الْمَعْرُوْفُ
“Yang realistis, maksud dari ‘uruf dalam ayat di atas adalah arti
secara bahasa, yaitu tradisi baik yang telah dikenal masyarakat.” (Al-Zuhaili,
Ushul al-Fiqh al-Islami, 2/836).
Penafsiran ‘urf dengan tradisi yang baik
dan telah dikenal masyarakat dalam ayat di atas, juga sejalan dengan pernyataan
para ulama ahli tafsir. Al-Imam al-Nasafi berkata dalam tafsirnya:
(وَأْمُرْ
بِالْعُرْفِ) هُوَ كُل ُّخَصْلَةٍ يَرْتَضِيْهَا الْعَقْلُ وَيَقْبَلُهَا
الشَّرْعُ.
“Suruhlah orang mengerjakan yang ‘urf , yaitu setiap perbuatan
yang disukai oleh akal dan diterima oleh syara’.” (Tafsir al-Nasafi, juz 2 hlm
82).
Al-Imam Burhanuddin Ibrahim bin Umar al-Biqa’i
juga berkata:
(وَأْمُرْ
بِالْعُرْفِ) أَيْ بِكُلِّ مَا عَرَفَهُ الشَّرْعُ وَأَجَازَهُ، فَإِنَّهُ مِنَ
الْعَفْوِ سُهُوْلَةً وَشَرَفاً
“Suruhlah orang mengerjakan yang ‘urf, yaitu setiap perbuatan yang
telah dikenal baik oleh syara’ dan dibolehkannya. Karena hal tersebut termasuk
sifat pemaaf yang ringan dan mulia.” (Al-Biqa’i, Nazhm al-Durar fi Tanasub
al-Ayat wa al-Suwar, juz 3 hlm 174).
Oleh karena yang dimaksud dengan ‘urf
dalam ayat di atas adalah tradisi yang baik, al-Imam al-Sya’rani berkata:
وَمِنْ أَخْلاَقِهِمْ أَي
السَّلَفِ الصَّالِحِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ تَوَقُّفُهْم عَنْ كُلِّ فِعْلٍ أَوْ
قَوْلٍ حَتَّى يَعْرِفُوْا مِيْزَانَهُ عَلىَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ أَوِ
الْعُرْفِ، لأَنَّ الْعُرْفَ مِنْ جُمْلَةِ الشَّرِيْعَةِ، قَالَ اللهُ تَعَالَى:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ (الأعراف :
199)
“Di antara budi pekerti kaum salaf yang shaleh, semoga Allah
meridhai mereka, adalah penundaan mereka terhadap setiap perbuatan atau ucapan,
sebelum mengetahui pertimbangannya menurut al-Qur’an dan hadits atau tradisi.
Karena tradisi termasuk bagian dari syari’ah. Allah SWT berfirman: ““Jadilah
engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ‘urf (tradisi yang baik),
serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.”. (QS. al-A’raf : 199).”
(Al-Imam al-Sya’rani, Tanbih al-Mughtarrin, hlm 14).
Paparan di aras memberikan kesimpulan, bahwa
tradisi dan budaya termasuk bagian dari syari’ah (aturan agama), yang harus
dijadikan pertimbangan dalam setiap tindakan dan ucapan, berdasarkan ayat
al-Qur’an di atas.”
B. Tradisi Dalam Sunnah.
Dalam hadits diterangkan:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ
اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: إِنَّمَا بُعِثْتُ
لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ. أخرجه أحمد ، وابن سعد والحاكم وصححه على شرط
مسلم. والبيهقى و الديلمى.
“Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk
menyempurnakan budi pekerti yang mulia.” (HR. Ahmad [8939], Ibnu Sa’ad (1/192),
al-Baihaqi [20571-20572], al-Dailami [2098], dan dishahihkan oleh al-Hakim
sesuai dengan syarat Muslim (2/670 [4221]).
Dalam banyak tradisi, seringkali terkandung
nilai-nilai budi pekerti yang luhur, dan Islam pun datang untuk menyempurnakannya.
Oleh karena itu, kita dapati beberapa hukum syari’ah dalam Islam diadopsi dari
tradisi jahiliah seperti hukum qasamah, diyat ‘aqilah,
persyaratan kafa’ah (keserasian sosial) dalam pernikahan, akad qiradh
(bagi hasil), dan tradisi-tradisi baik lainnya dalam Jahiliyah. Demikian
diterangkan dalam kitab-kitab fiqih. Sebagaimana puasa Asyura, juga berasal
dari tradisi Jahiliyah dan Yahudi, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih
al-Bukhari dan Muslim.
Islam juga sangat toleran terhadap tradisi. Dalam
hadits lain diterangkan:
عَنْ أَبِيْ مُوْسَى
اْلأَشْعَرِيِّ رضي الله عنه قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا بَعَثََ أَحَدًا مِنْ أََصْحَابِهِ فِيْ بَعْضِ أَمْرِهِ ، قَالَ
: «بشِّروا ، ولا تُنَفِّرُوا ، ويسِّروا ولا تُعَسِّروا». رواه مسلم.
“Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu berkata: “Apabila Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus seseorang dari sahabatnya tentang suatu
urusan, beliau akan berpesan: “Sampaikanlah kabar gembira, dan jangan membuat
mereka benci (kepada agama). Mudahkanlah dan jangan mempersulit.” (HR. Muslim
[1732]).
Hadits di atas memberikan pesan bahwa Islam itu
agama yang memberikan kabar gembira, dan tidak menjadikan orang lain
membencinya, memudahkan dan tidak mempersulit, antara lain dengan menerima
system dari luar Islam yang mengajak pada kebaikan. Sebagaimana dimaklumi,
suatu masyarakat sangat berat untuk meninggalkan tradisi yang telah berjalan
lama. Menolak tradisi mereka, berarti mempersulit keislaman mereka. Oleh karena
itu dalam konteks ini Rasulullah saw bersabda:
عَنْ الْمِسْوَرِ بْنِ
مَخْرَمَةَ وَمَرْوَانَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لاَ يَسْأَلُونِي خُطَّةً يُعَظِّمُونَ فِيهَا
حُرُمَاتِ اللهِ إِلاَّ أَعْطَيْتُهُمْ إِيَّاهَا. رواه البخاري
“Dari Miswar bin Makhramah dan Marwan, Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Demi Tuhan yang jiwaku berada pada kekuasaan-Nya, mereka
(kaum Musyrik) tidaklah meminta suatu kebiasaan (adat), dimana mereka
mengagungkan hak-hak Allah, kecuali aku kabulkan permintaan mereka.” (HR.
al-Bukhari [2581]).
Dalam riwayat lain disebutkan:
أَمَّا وَاللهِ لاَ يَدْعُونِي
الْيَوْمَ إِلَى خُطَّةٍ ، يُعَظِّمُونَ فِيهَا حُرْمَةً ، وَلاَ يَدْعُونِي
فِيهَا إِلَى صِلَةٍ إِلاَّ أَجَبْتُهُمْ إِلَيْهَا. رواه ابن أبي شيبة
“Ingatlah, demi Allah, mereka (orang-orang musyrik) tidak
mengajakku pada hari ini terhadap suatu kebiasaan, dimana mereka mengagungkan
hak-hak Allah, dan tidak mengajukku suatu hubungan, kecuali aku kabulkan ajakan
mereka.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, [36855]).
Hadits di atas memberikan penegasan, bahwa Islam
akan selalu menerima ajakan kaum Musrik pada suatu tradisi yang membawa pada
pengagungan hak-hak Allah dan ikatan silaturrahmi. Hal ini membuktikan bahwa
Islam tidak anti tradisi. Bahkan mengapresiasi tradisi yang dapat membawa pada
kebaikan.
C. Tradisi Menurut Sahabat
Perhatian Islam terhadap tradisi juga ditegaskan
oleh para sahabat, antara lain Abdullah bin Mas’ud ra yang berkata:
قال عبد الله بن مسعود : مَا
رَآَهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَآَهُ
الْمُسْلِمُوْنَ سَيِّئاً فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّءٌ. رواه أحمد وأبو يعلى
والحاكم
Abdullah bin Mas’ud berkata: “Tradisi yang dianggap baik oleh umat
Islam, adalah baik pula menurut Allah. Tradisi yang dianggap jelek oleh umat
Islam, maka jelek pula menurut Allah.” (HR. Ahmad, Abu Ya’la dan al-Hakim).”
Menjaga tradisi, berarti menjaga kebersamaan.
Melanggar tradisi dapat menimbulkan fitnah dan perpecahan di kalangan umat.
Demikian ini sebagaimana kita dapati dalam interaksi para sahabat dan ulama
salaf dengan trasidi. Dalam kitab-kitab hadits diriwayatkan:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ
يَزِيدَ قَالَ صَلَّى عُثْمَانُ بِمِنًى أَرْبَعًا فَقَالَ عَبْدُ اللهِ صَلَّيْتُ
مَعَ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم رَكْعَتَيْنِ وَمَعَ أَبِى بَكْرٍ
رَكْعَتَيْنِ وَمَعَ عُمَرَ رَكْعَتَيْنِ وَمَعَ عُثْمَانَ صَدْرًا مِنْ
إِمَارَتِهِ ثُمَّ أَتَمَّهَا. قَالَ الأَعْمَشُ فَحَدَّثَنِى مُعَاوِيَةُ بْنُ
قُرَّةَ عَنْ أَشْيَاخِهِ أَنَّ عَبْدَ اللهِ صَلَّى أَرْبَعًا قَالَ فَقِيلَ لَهُ
عِبْتَ عَلَى عُثْمَانَ ثُمَّ صَلَّيْتَ أَرْبَعًا قَالَ الْخِلاَفُ شَرٌّ. رواه
أبو داود والبيهقي
Dari Abdurrahman bin Yazid, berkata: “Utsman menunaikan shalat di
Mina empat raka’at.” Lalu Abdullah bin Mas’ud berkata: “Aku shalat bersama Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam dua raka’at. Bersama Abu Bakar dua raka’at.
Bersama Umar dua raka’at. Bersama Utsman pada awal pemerintahannya dua raka’at.
Kemudian Utsman menyempurnakannya (empat raka’at). Ternyata kemudian Abdullah
bin Mas’ud shalat empat raka’at. Lalu beliau ditanya: “Anda dulu mencela Utsman
karena shalat empat raka’at, sekarang Anda justru shalat empat raka’at juga.”
Ia menjawab: “Berselisih dengan jama’ah itu tidak baik.” (HR. Abu Dawud dan
al-Baihaqi).
Perhatikan dalam riwayat di atas, Rasulullah saw,
Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar ra menunaikan shalat di Mina (ketika
menunaikan ibadah haji, dengan di-qashar) dua raka’at. Kemudian Khalifah
Utsman tidak melakukan qashar. Sahabat Ibnu Mas’ud ra mencela Khalifah
Utsman karena tidak melakukaan qashar shalat sebagaimana dilakukan oleh
pemimpin sebelumnya. Meski begitu, karena Khalifah Utsman dan umat Islam pada
saat itu tidak melakukan qashar, Ibnu Mas’ud juga tidak melakukan qashar, demi
menjaga kebersamaan dengan jama’ah, karena berbeda dengan jama’ah suatu
keburukan.
D. Tradisi Menurut Para Ulama
Dalam kitab-kitab sejarah juga disebutkan:
قال محمد بن رافع : ” كنت مع
أحمد بن حنبل وإسحاق عند عبدالرزاق فجاءنا يوم الفطر ، فخرجنا مع عبدالرزاق إلى
المصلى ومعنا ناس كثير ، فلما رجعنا من المصلى دعانا عبدالرزاق إلى الغداء ، فقال
عبدالرزاق لأحمد وإسحاق : رأيت اليوم منكما عجباً ، لمْ تكبّرا !قال أحمد وإسحاق :
يا أبابكر ، نحن كنا ننظر إليك : هل تكبّر فنكبّر ؟ فلما رأيناك لم تكبّر أمسكنا
.قال : أنا كنت أنظر إليكما : هل تكبران فأكبّر “
“Muhammad bin Rafi’ berkata: “Aku bersama Ahmad bin Hanbal dan
Ishaq di tempat Abdurrazzaq. Lalu kami memasuki hari raya Idul Fitri. Maka kami
berangkan ke mushalla bersama Abdurrazzaq dan banyak orang. Setelah kami pulang
dari mushalla, Abdurrazzaq mengajak kami sarapan. Lalu Abdurrazzaq berkata
kepada Ahmad dan Ishaq: “Hari ini saya melihat keanehan pada kalian berdua.
Mengapa kalian tidak membaca takbir?” Ahmad dan Ishaq menjawab: “Wahai Abu
Bakar, kami melihat engkau apakah engkau membaca takbir, sehingga kami juga
bertakbir. Setelah kami melihat engkat tidak bertakbir, maka kami pun diam.”
Abdurrazzaq berkata: “Justru aku melihat kalian berdua, apakah kalian
bertakbir, sehingga aku akan bertakbir juga.” (Al-Hafizh Ibnu Asakir, Tarikh
Dimasyq, juz 36 hlm 175; dan al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubala’juz, 9 hlm 566
).
Perhatikan dalam riwayat di atas, bagaimana Imam
Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin Rahawaih tidak bertakbir ketika berangkat ke
mushalla pada hari raya idul fitri, karena melihat guru mereka, Imam
Abdurrazzaq al-Shan’ani tidak bertakbir. Sementara Imam Abdurrazzaq tidak
bertakbir, karena melihat kedua muridnya yang sangat alim tidak bertakbir.
Suatu budi pekerti yang sangat bagus, yaitu meninggalkan amalan sunnah, karena
khawatir menyinggung perasaan orang di sekitarnya. Dari sinilah, sebagian ulama
mengeluarkan kaedah:
يُشْرَعُ تَرْكُ السُّنَنِ
وَالْمُسْتَحَبَّاتِ لِتَأْلِيْفِ الْقُلُوْبِ
Disyari’atkan meninggalkan amalan-amalan sunnah dan mustahab untuk
menarik simpati masyarakat.
Paparan di atas semakin jelas apabila kita
membaca pernyataan al-Imam Ibnu Muflih al-Maqdisi al-Hanbali, murid Syaikh Ibnu
Taimiyah, yang berkata dalam kitabnya al-Adab al-Syar’iyyah sebagai
berikut:
وَقَالَ ابْنُ عَقِيلٍ فِي
الْفُنُونِ لاَ يَنْبَغِي الْخُرُوجُ مِنْ عَادَاتِ النَّاسِ إلاَّ فِي الْحَرَامِ
فَإِنَّ الرَّسُولَ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَرَكَ الْكَعْبَةَ وَقَالَ
(لَوْلاَ حِدْثَانُ قَوْمِكِ الْجَاهِلِيَّةَ) وَقَالَ عُمَرُ لَوْلاَ أَنْ
يُقَالَ عُمَرُ زَادَ فِي الْقُرْآنِ لَكَتَبْتُ آيَةَ الرَّجْمِ. وَتَرَكَ
أَحْمَدُ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ لإِنْكَارِ النَّاسِ لَهَا، وَذَكَرَ
فِي الْفُصُولِ عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ وَفَعَلَ ذَلِكَ
إمَامُنَا أَحْمَدُ ثُمَّ تَرَكَهُ بِأَنْ قَالَ رَأَيْت النَّاسَ لا
يَعْرِفُونَهُ، وَكَرِهَ أَحْمَدُ قَضَاءَ الْفَوَائِتِ فِي مُصَلَّى الْعِيدِ
وَقَالَ: أَخَافُ أَنْ يَقْتَدِيَ بِهِ بَعْضُ مَنْ يَرَاهُ . (الإمام الفقيه ابن
مفلح الحنبلي، الآداب الشرعية، ٢/٤٧)
“Imam Ibnu ‘Aqil berkata dalam kitab al-Funun,
“Tidak baik keluar dari tradisi masyarakat, kecuali tradisi yang haram, karena
Rasulullah saw. telah membiarkan Ka’bah dan berkata, “Seandainya kaummu tidak
baru saja meninggalkan masa-masa Jahiliyah…” Umar berkata: “Seandainya
orang-orang tidak akan berkata, Umar menambah al-Qur’an, tentu aku tulis ayat
rajam di dalamnya.” Imam Ahmad bin Hanbal meninggalkan dua raka’at sebelum
maghrib karena masyarakat mengingkarinya. Dalam kitab al-Fushul
disebutkan tentang dua raka’at sebelum Maghrib bahwa Imam kami Ahmad bin Hanbal
pada awalnya melakukannya, namun kemudian meninggalkannya, dan beliau berkata,
“Aku melihat orang-orang tidak mengetahuinya.” Ahmad bin Hanbal juga
memakruhkan melakukan qadha’ shalat di mushalla pada waktu dilaksanakan shalat
id (hari raya). Beliau berkata, “Saya khawatir sebagian orang-orang yang
melihat akan ikut-ikutan melakukannya.” (Al-Imam Ibnu Muflih al-Hanbali,
al-Adab al-Syar’iyyah, juz 2, hal. 47).
Kaedah di atas sangat jelas, agar kita mengikuti
tradisi masyarakat, selama tradisi tersebut tidak haram. Imam Ahmad bin Hanbal
meninggalkan shalat sunnah qabliyah Jum’at, juga karena tradisi masyarakatnya
yang tidak pernah melakukannya dan menganggapnya tidak sunnah, untuk menjaga
kebersamaan dan kerukunan dengan mereka.
Syaikh Ibnu Taimiyah juga berkata:
إذا اقتدى المأموم بمن يقنت في
الفجر أو الوتر قنت معه ، سواء قنت قبل الركوع أو بعده ، وإن كان لا يقنت لم يقنت
معه ، ولو كان الإمام يرى استحباب شيء والمأمومون لايستحبونه ، فتركه لأجل الإتفاق
والإئتلاف كان قد أحسن … وكذلك لو كان رجل يرى الجهر بالبسملة فأمّ قوماً لا
يستحبونه أو بالعكس ووافقهم فقد أحسن “
“Apabila makmum bermakmum kepada imam yang membaca qunut dalam
shalat shubuh atau witir, maka ia membaca qunut bersamanya, baik ia membaca
qunut sebelum ruku’ atau sesudah ruku’. Apabila imamnya tidak membaca qunut,
maka ia juga tidak membaca qunut. Apabila imam berpendapat sunnahnya sesuatu,
sementara para makmum tidak menganggapnya sunnah, lalu imam tersebut
meninggalkan sesuatu itu demi kekompakan dan kerukunan, maka ia telah melakukan
kebaikan. Demikian pula apabila seorang laki-laki berpendapat mengeraskan
membaca basmalah dalam shalat, lalu menjadi imam suatu kaum yang tidak
menganjurkannya, atau sebaliknya, dan ia menunaikan shalat seperti madzhab
mereka, maka ia benar-benar melakukan kebaikan.” (Syaikh Ibnu Taimiyah, Majmu’
Fatawa, juz 22 hlm 268).
Paparan di atas memberikan kesimpulan suatu
kaedah, bahwa keluar dari tradisi masyarakat itu tidak baik, selama tradisi
tersebut tidak diharamkan dalam agama. Kaedah tersebut didasarkan pada
al-Qur’an, hadits, atsar para sahabat dan ulama salaf yang shaleh. Para ulama
salaf yang shaleh terkadang meninggalkan amalan sunnah, semata menjaga
kebersamaan dengan kaumnya yang menganggapnya tidak sunnah, sebagaimana banyak
diceritakan dalam kitab-kitab sejarah dan hadits. Tidak jarang pula fatwa-fatwa
para ulama juga berubah sesuai dengan perubahan tradisi, sebagaimana ditegaskan
dalam kitab-kitab ushul fiqih dan qawa’id. Terdapat sebelas macam kaedah
fiqih yang berkaitan dengan tradisi. Bahkan Syaikh Ibnu Qayyimil Jauziyyah
sangat membela kaedah tradisi berikut ini:
تتغير الأحكام بتغير الأحوال
والأزمان
“Hukum-hukum agama dapat berubah sebab perubahan tradisi dan
perkembangan zaman.”
Hal tersebut sebagaimana ditegaskan dalam
kitabnya A’lam al-Muwaqqi’in. Tentu saja hukum-hukum yang berubah sebab
tradisi bukan hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan nash yang mutlak seperti
wajibnya shalat lima waktu dan semacamnya.
Kiranya paparan sekelumit ini menjadi pelajaran
bagi kita tentang pentingnya menjaga tradisi yang baik dan tidak bertentangan
dengan agama.
Ket. Tulisan di atas disarikan dari tulisan Ustadz Muhammad
Idrus Romli, Pribumisasi Islam, Mengenal Islam, dan Relasinya dengan Sosial
Budaya. muslimedianews.com, edisi 4 Mei 2015, diakses 19 Mei 2015
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload