Menjawab Tulisan 'Apakah Non-Muslim Itu Kafir?'

Menjawab Tulisan 'Apakah Non-Muslim Itu Kafir?'
Tulisan M Kholid Syeirazi yang berjudul 'Apakah Non-Muslim Itu Kafir?' di situs nu.or.id tertanggal 23 Desember 2016 mendapat jawaban sekaligus bantahan dari Alfitri dengan penjelasan yang runtut dan memadai. Berikut adalah uraiannya sebagaimana ditulisnya di dalam wall facebook.

[Kholid Syeirazi (KS)]:
Baru-baru ini, seorang netizen dilaporkan ke polisi atas dugaan ujaran kebencian dan SARA karena menyebut pahlawan nasional non-Muslim sebagai kafir. “Di al-Qur’an, katanya, sebutan kafir untuk yang tidak beriman pada Allah dan Rasul-Nya. Saya salah ikut al-Qur’an?” Demikian cuitan orang itu. Mengikuti al-Qur’an jelas tidak salah bahkan wajib bagi mukmin dan muslim. Yang salah adalah mengikuti seleranya sendiri memenggal al-Qur’an dan tidak memahaminya secara utuh berdasarkan ilmu.

[Alfitri (AL)]:
Mari kita lihat sejauh mana pula selera anda dalam memahami Quran berdasarkan ilmu yang anda rasa sudah miliki.

[KS]: Al-Qur’an harus dipahami berdasarkan konteks dan pertalian antar ayat (munâsabah), asbâbun nuzûl, penjelasan Nabi, nâsikh-mansûkh, serta memahami uslûb dan karakteristik ayat. Perihal uslûb dan karakteristik ayat al-Qur’an bisa dibaca dalam tulisan saya di link ini sebagai pengantar: Jangan Sembrono dalam Menggali Hukum dan Mencuplik Dalil (Bagian I).

[AL]: Ok, secara umum saya sepakat dengan apa yang anda sebutkan di atas, tinggal lagi melihat sejauh mana ketetapatan dalam pengaplikasiannya.

[KS]: Memukul rata non-Muslim sebagai kafir yang harus dimusuhi bukan hanya tidak adil dan tidak sejalan dengan al-Qur’an, tetapi juga merusak prinsip negara-kebangsaan yang tidak mendiskriminasi warga negara berdasarkan suku, agama, ras, dan golongan.

[AL]: Memukul rata non-muslim sebagai kafir yang harus dimusuhi, jelas tidak sesuai dengan Quran. Tapi, memukul rata non-muslim dengan penyebutan mereka sebagai kafir, ya jelas tidak bertentangan dengan Quran.

[KS]: Nation-state yang telah disepakati sebagai konsensus nasional, menurut saya, adalah ‘illat (faktor) keberlakuan hukum. Pemberlakuan dan pengamalan hukum, termasuk hukum Islam, harus dilakukan dalam kerangka NKRI.

[AL]:
Tidak semua konsensus yang diakui oleh syariat. Sejak kapan Ijmak (konsensus) umat Islam dan ulama Islam bisa menggugurkan kewajiban penerapan hukum syariat?

[KS]: Dalam NKRI, misalnya, orang tidak bisa menerapkan hukum hudûd (jilid, rajam, potong tangan, qisas dst) karena tidak diakui dalam hukum positif di Indonesia.

[AL]: Semua konsensus yang merubah hukum Quran, statusnya batil. Coba tunjukkan satu saja ayat, hadis atau perkataan ulama yang menjelaskan Ijmak atas hukum positif itu bisa menggugurkan kewajiban penerapan hukum Huduud dan Qishash!

[KS]: Idiom kafir, baik itu dzimmî maupun harbî, juga tidak bisa diterapkan dalam konteks nation-state dan demokrasi. Sebab, dalam negara-bangsa berdasarkan demokrasi, warga-negara tidak dikualifikasi berdasarkan agama, ras, dan golongannya. Kedudukan mereka sama di muka hukum (equal before the law).

[AL]: Apakah itu artinya anda menyakini bahwa penerapan idiom kafir dalam pemerintahan Islam dahulu, menunjukkan kedudukan warga saat itu tidak sama di muka hukum, sehingga penerapan hukum pada masa Nabi, Sahabat dan Khilafah Islam dianggap tidak adil?

[KS]: Menyebut pahlawan nasional non-Muslim sebagai kafir bukan hanya mengingkari konsensus nasional oleh founding fathers yang mendirikan Indonesia sebagai negara-kebangsaan, bukan negara agama, tetapi juga tidak adil dalam perspektif al-Qur’an itu sendiri. Apakah semua orang yang mengingkari risalah Muhammad disebut kafir?

[AL]: Ya, jelas kafir, seperti halnya umat Nasrani melabeli umat Islam dengan 'domba tersesat'. Apakah penyematan 'domba tersesat' kepada non-kristen itu adil?

[KS]: Apakah mereka harus dihadapi dengan sikap bermusuhan selamanya?

[AL]:
Ya tentu tidak. Nampaknya, anda belum bisa memisahkan antara 'penyematan label kafir' dengan 'memposisikan sebagai musuh'. Selain umat Islam yang tidak percaya dengan risalah Muhammad, maka hukumnya kafir. Lalu, apakah semua kafir diposisikan sebagai musuh? Di sinilah poin pentingnya.

[KS]: Mari kita lihat penjelasannya di dalam al-Qur’an. Untuk alasan teknis, saya akan kutip terjemahannya. Mohon diperiksa langsung teks-nya di dalam al-Qur’ân al-Karîm aslinya. Membaca al-Qur’an, bukan terjemahannya, sudah dinilai ibadah, apalagi memahami maknanya.

[AL]: Ok, mari.

[KS]: Pertama, yang mengingkari risalah Nabi Muhammad saw terdiri dari beberapa kelompok yang dibeda-bedakan oleh al-Qur’an. Saat risalah Islam didakwahkan, Nabi ditentang dan dimusuhi oleh kafir Quraisy. Dalam banyak kitab tafsir, mereka sering disebut sebagai kuffâru Makkah. Pengikut Yahudi kebanyakan tinggal di Yatsrib, yang kelak namanya diganti Madinah, bersama suku Aus dan Khazraj. Sementara orang-orang Nasrani kebanyakan tinggal di Yaman, beberapa ratus mil dari pusat dakwah Nabi.

Mereka disebut sebagai Ahlul Kitâb. Sebelum Nabi hijrah ke madinah, orang Yahudi sering mengharap kedatangan Nabi untuk menguatkan kedudukan mereka sebagai pemuluk monoteisme melawan bangsa Arab yang pagan. Tetapi, setelah Nabi hijrah ke Madinah, orang Yahudi mengingkari kenabian Muhammad. (Lihat QS. al-Baqarah/2: 89). Mereka kecewa karena Nabi yang ditunggu-tunggu itu, yang tersebut dalam kitab suci mereka, ternyata berasal dari keturunan Arab, bukan dari Bani Israel. Mereka menentang Nabi dan bahkan berkomplot dengan kafir Quraisy memusuhi Nabi. Perhatikan redaksi dalam QS. al-Bayyinah/98: 1 berikut ini:

“Orang-orang kafir dari golongan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tidak akan meninggalkan (agama mereka) sampai datang kepada mereka bukti yang nyata.”

Jika kita gunakan analisis bahasa, dalam ayat itu tersebut kata ‘min’ yang oleh mufasir disebut lit tab’îdz yang artinya sebagian. Jadi, orang kafir itu sebagian berasal dari Ahlul Kitâb. Artinya, tidak semua Ahlul Kitâb itu kafir.

[AL]:
Kata 'min' di situ bukan lit tabi`idh melainkan lit tabyiin (penjelas/perincian), seperti yang dijelaskan oleh imam ar-Raazy berikut:

السؤال الأول :
تقدير الآية : لم يكن الذين كفروا من أهل الكتاب ومن المشركين فهذا يقتضي أن أهل الكتاب منهم كافر ومنهم ليس بكافر ، وهذا حق ، وأن المشركين منهم كافر ومنهم ليس بكافر ، ومعلوم أن هذا ليس بحق .

والجواب من وجوه :
أحدها : كلمة "من" ههنا ليست للتبعيض بل للتبيين كقوله تعالى : (فاجتنبوا الرجس من الأوثان).

Dengan demikian, maksud ayat ini, orang kafir itu ada dua jenis. Siapakah kedua jenis ini? Jawabannya, Ahl Kitab dan Orang Musyrik. Jadi, tidak benar bila maksud ayat ini menunjukkan Ahl Kitab itu ada yang kafir, dan ada yang tidak.

Kalaupun ada yang tidak kafir, maka yang dimaksudkan adalah Ahl Kitab yang percaya dan menerima Risalah Muhammad, seperti Waraqah bin Naufal, bukan Ahl Kitab secara umum.

Kalau anda 'ngotot' dengan pemahaman seperti itu, maka anda juga harus mengatakan orang musyrik itu ada yang kafir, dan ada juga yang tidak kafir. Bukankah di situ ada huruf 'Waw-`Athaf'!?

To be continued...
Wallaahua`lam (0)
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel