Pasangan NU-Muhammadiyah yang Mengabadi
10/19/2015
Haji Kalla dan Hajjah Athirah adalah pasangan suami-istri saudagar kaya
yang saling mendukung dalam pengembangan dakwah Islam berbasis mesjid dan ormas
Islam di Sulawesi Selatan. Ayahanda Wakil Presiden RI Jusuf Kalla ini
membesarkan Nahdlatul Ulama (NU), sementara Athirah membesarkan Muhammadiyah.
Haji Kalla lahir pada tahun 1920 di Kampung Nipa, Cenrana, Kabupaten
Bone, Sulawesi Selatan. Pada tahun 1937, dalam usia 17 tahun Haji Kalla menikah
dengan Athirah binti Muhammad, putri cantik kelahiran kampung Bukaka, Kabupaten
Bone, Sulawesi Selatan, tahun 1924. Dari pernikahan ini pasangan baru ini
kemudian dikaruniai sepuluh orang putra-putri: Nuraini Kalla, Muhammad Jusuf
Kalla, Zohrah Kalla, Salman Kalla, Achmad Kalla, Suhaely Kalla, Ramlah Kalla,
Halim Kalla, Faridah Kalla, dan Fatimah Kalla. Tiga anak mereka yang pertama
lahir di Bone, sementara tujuh yang lainnya di kota Makassar.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup, Haji Kalla dan Athirah menjalankan usaha
bersama dengan mengembangkan kios mereka di Pasar Bajoe. Jiwa dagang Athirah
yang diwarisi dari ibunya sangat membantu Haji Kalla. Pada 1950, seiring
kemajuan usaha, pasangan ini selalu kompak bersama. Awalnya membuka Toko
Sederhana di Jalan Wajo, Watampone. Sukses berdagang di kampung, Haji Kalla dan
Athirah memberanikan diri merantau dan berdagang ke Makassar membawa tiga anak
mereka.
Selain kerja keras, kunci keberhasilan Haji Kalla membangun jaringan
bisnisnya adalah karena keteguhannya memegang kejujuran dan kesalehan. Dan itu
ditanamkan betul kepada para karyawannya. Sebagai pengusaha yang saleh, Haji
Kalla mewajibkan semua pengemudi truk maupun bus miliknya untuk singgah di
masjid tatkala waktu shalat tiba. Kejujuran juga diberlakukan kepada para
karyawannya. Falsafah hidup Haji Kalla ini juga dituturkan oleh Drs
Abdurrahman, mantan Sekretaris PWNU Sulawesi Selatan yang pernah bersama beliau
di jajaran kepengurusan wilayah NU. Haji Kalla punya prinsip teguh. Mengambil
keuntungan dari perniagaan seperti mengambil wudhu (bersuci). “Jika air wudhu
yang kita ambil kotor maka wudhu kita tidak sah. Begitu juga dengan berbisnis:
jika perdagangan yang kita lakukan terkotori, maka hasil yang kita peroleh
tidak sah.” kata Haji Kalla suatu ketika.
Haji Kalla dikenal sebagai figur pengusaha yang cinta mesjid. Sebelum ke
Makassar, beliau menjadi bendahara Mesjid Raya Watampone. Kemudian, dari tahun
1953 sampai wafatnya beliau menjadi bendahara Masjid Raya Makassar. Suatu
ketika, Alwi Hamu, pemimpin grup Harian Fajar Makassar, berada di kantor PT
Haji Kalla. Ia menyaksikan bosnya yang tak suka ruangan ber-AC itu memberikan
sumbangan pembangunan sebuah masjid. Dia menduga, paling-paling sumbangan yang
diberikan hanya Rp 5 juta. Ternyata sumbangan yang diberikan Haji Kalla Rp 50
juta. Jumlah yang luar biasa besar untuk ukuran tahun 1970-an. “Kenapa banyak
sekali, Puang Haji?” tanya Alwi. “Tidak tahulah kenapa hatiku menyuruh
memberikan sebanyak itu. Mungkin itu memang rezekinya yang dititipkan kepada
saya,” jawab Haji Kalla kalem.
Begitu cintanya pada masjid, Haji Kalla rela membobol tembok rumahnya
agar tersambung pada Masjid Raya Makassar. Karena cintanya pada mesjid itu,
beliau kemudian dipercaya menjadi bendahara Masjid Raya Makassar – sepanjang
hidupnya. Pada masa kepengurusan beliau itu, terbentuk Yayasan Masjid Raya, yang
salah satu kegiatannya adalah melakukan pengkaderan ulama dengan merekrut
alumni IAIN (kini UIN Alauddin) Makassar. Mereka diberi fasilitas seperti
tempat menginap di belakang rumah Haji Kalla. Salah seorang kader ulama itu
adalah Gurutta KH. Sanusi Baco, ulama kharismatik asal Makassar dan kini Rais
Syuriyah PWNU Sulawesi Selatan dan pernah masuk jajaran Syuriyah PBNU. Sepulang
dari studi di Universitas Al Azhar Kairo di akhir 1960-an, Kiai Sanusi langsung
mengajar di IAIN Makassar; dari IAIN beliau direkrut ke program kaderisasi
ulama. Dan dari program ini pula, Kiai Sanusi diajak Haji Kalla untuk
membesarkan NU – dan itu terbukti hingga kini.
Menurut Gurutta Sanusi, Haji Kalla sering menjadi imam di masjid
termegah kebanggaan warga Makassar itu, tentunya dengan mengajak para karyawan
perusahaannya. Haji Kalla memang mengundang Gurutta Sanusi, yang pada saat itu
baru saja pulang dari Kairo, Mesir, untuk tinggal di Masjid Raya – hingga
diberi kepercayaan memimpin Masjid Raya. Tidak cuma itu, Kiai Sanusi juga
sekali seminggu diminta berceramah di kantor NV Haji Kalla, yaitu setiap Kamis
pada waktu zuhur. “Haji Kalla sebagai pengurus masjid memberikan perhatian yang
sangat besar terhadap masjid dan jemaahnya,” kata Kiai Sanusi. Dalam pandangan
Haji Kalla, filosofi PT Haji Kalla adalah hidup bermasyarakat. Itulah sebabnya,
beliau lebih banyak mengurus Masjid Raya daripada perusahaan. “Dia memang
santri dan juga pengusaha yang sukses,” puji KH. Ali Yafie, mantan Wakil Rais
Am PBNU dan kader beliau di Makassar era tahun 1970-an, dalam sebuah
kesempatan.
Selama hidupnya, Haji Kalla juga menjadi menjadi bendahara “abadi” NU
Sulawesi Selatan hingga akhir hayatnya. Pengabdiannya di organisasi ulama itu
dilatarbelakangi kecintaannya pada para ulama, khususnya dalam melihat peran
mereka sebagai pengembang syiar Islam di Sulawesi Selatan. Ketika salah seorang
ulama Arab terkenal, Syekh Mahmud Al-Jawad, menetap di Watampone, atas undangan
Raja Bone Andi Mappanyukki, Haji Kalla sering berguru kepada mufti Madinah ini.
Demikian pula ketika beliau tinggal di Makassar, beliau selalu akrab dengan
para ulama, bahkan membantu mereka dalam urusan transportasi mereka dalam
berdakwah ke desa-desa. Kerap juga Haji Kalla mengajak para kiai bermain golf
seusai shalat subuh. Menurut beliau, kiai itu harus membiasakan diri berolah
raga agar sehat dan kuat saat menyampaikan dakwah. Maka setiap pekan usai
shalat subuh pergilah mereka beramai-ramai ke lapangan golf Baddoka, pinggiran
kota Makassar. Mereka memainkan stik golf dengan tetap bersarung. Maklum saja,
para kiai kawan-kawan Haji Kalla itu – di antara mereka adalah KH. Muhammad
Ramli, ketua NU Makassar, dan KH. Ali Ba’bud, imam Mesjid Raya Makassar –
sehari-harinya hanya memakai sarung, kemeja dan kopiah.
Kecintaannya pada NU kian kuat ketika beliau diserahi amanah menjadi
bendahara NU jelang Pemilu 1955. Untuk pertama kalinya partai kiai ini ikut
pemilu dan harus bertarung dengan partai-partai lainnya dalam merebut suara
rakyat. Haji Kalla mendapat tugas mengamankan basis NU di Bone dan Makassar. Di
Bone beliau bekerja sekuat tenaga bersama Raja Bone Andi Mappanyukki yang
mendirikan NU pertama di tahun 1930-an, dan juga dengan KH. Ahmad Bone, qadhi
Bone dan ulama sepuh NU. Sementara di Makassar beliau memperkuat basis NU di
Mesjid Raya Makassar, yang menjadi poros mobilisasi warga NU. Apalagi waktu itu
banyak ulama berhimpun di mesjid ini. Perjuangan beliau ternyata sukses. Hasil
Pemilu 1955 menunjukkan NU berada di posisi ketiga secara nasional.
Kantong-kantong NU di Bone dan Makassar – termasuk daerah Mandar – di Sulawesi
Selatan memberi kontribusi sekitar 12 persen buat kemenangan besar partai ulama
itu.
Di masa Orde Baru, setelah NU tidak lagi aktif dalam politik praktis,
Haji Kalla kini menfokuskan perjuangan NU pada bidang pendidikan. Atas usul KH.
Subhan Z.E. dari PBNU, beliau merintis pendirian perguruan tinggi di kota
Makassar bernama Universitas Nahdlatul Ulama, disingkat UNNU, yang juga
didirikan PBNU di beberapa kota. Pengadaan lahannya seluas sembilan hektar
disediakan sendiri oleh Haji Kalla dari kocek pribadinya. Lokasinya berada di
jantung kota Makassar kini, di Jalan Perintis Kemerdekaan. KH.Sanusi Baco,
kader beliau dari Mesjid Raya, lalu diserahi amanah menjadi “komandan” untuk
urusan pendidikan ini. Untuk itu Kiai Sanusi kemudian terpilih sebagai Rais
Syuriyah kota Makassar, lalu Rais Syuriyah PWNU Sulawesi Selatan – hingga kini.
Karena pembatasan pemerintahan Suharto yang melarang NU punya lembaga
pendidikan dengan label NU, maka UNNU pun kemudian berganti nama menjadi
Universitas Al Ghazali – kini dengan nama Universitas Islam Makassar (UIM).
Kalau Haji Kalla cinta NU, maka istrinya justru cinta Muhammadiyah. Hj.
Athirah aktif dalam kegiatan Aisyiyah (organisasi perempuan Muhammadiyah)
cabang Makassar. Sejak tahun 1960, beliau telah aktif mengikuti pengajian
tafsir Al-Qur’an dan hadits di bawah bimbingan Dra. Hj. Hadrah Makmur Ali di
komplek perguruan Muhammadiyah Cabang Makassar. Pada tahun 1965, Athirah
menjadi pengurus Tabligh Aisyiyah Cabang Makassar. Tahun 1966, Athirah
mengikuti program sukawati (sukarelawati) Aisyiyah yang diadakan pimpinan
wilayah Aisyiyah Sulawesi Selatan dan Tenggara di Wisma PHI Jalan Laiya
Makassar. Sukawati dibentuk untuk menghadapi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani)
yang dibentuk Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam kegiatan ini, Athirah
berlatih militer, di antaranya bongkar pasang senjata api dengan mata tertutup.
Sebagai pengurus Aisyiyah, Athirah sangat disiplin waktu dan tidak pernah
menolak atau berkomentar kalau diberi tugas. Biasanya dia bertugas sebagai
bendahara. Banyak sumbangan yang diberikan Athirah kepada Aisyiyah. Yang paling
berkesan adalah pemberian tanah wakaf di daerah Gombara, Kelurahan Bulorokeng,
Kecamatan Biringkanaya, Makassar. Di atas tanah wakaf seluas kurang lebih dua
hektar itu kini berdiri kokoh Pondok Pesantren Puteri Ummul Mukminin yang
meliputi bangunan asrama, masjid, aula, laboratorium, perpustakaan, ruang
kelas, dan kantor. Masjid di komplek tersebut diberi nama sesuai dengan
namanya, Masjid Athirah. Pesantren ini dikelola oleh pengurus Muhammadiyah
Makassar hingga kini.
Meski ada perbedaan antara NU dan Muhammadiyah, tapi di dalam kehidupan
keluarga Haji Kalla dan Athirah sudah terbina suasana harmonis dan rukun. Kalau
sang istri mengadakan pengajian ibu-ibu Muhammadiyah di rumah, Haji Kalla
membuka pintu selebar-lebarnya. Demikian pula sebaliknya, kalau pengurus dan
warga NU ikut kegiatan lailatul ijtima (acara keagamaan bersama yang dimulai
dari tahlilan untuk pengurus dan warga NU yang sudah wafat, doa, hingga ceramah
agama) di rumah beliau di bilangan Jalan Pelabuhan, maka Hj. Athirah menyiapkan
aneka hidangan spesial untuk para jamaah agar betah ikut kegiatan rutin NU itu
hingga larut malam.
Namun, khusus untuk putra pertamanya, Haji Kalla mengarahkan Jusuf untuk
peduli NU. Hingga suatu hari Jusuf Kalla pernah didamprat habis-habisan oleh
beliau gara-gara putranya itu tak mengikuti NU dalam penetapan awal bulan
Ramadhan seperti yang dikehendaki beliau. Dan pesan itu benar-benar
dilaksanakan oleh Jusuf. Sepeninggal ayahnya Jusuf Kalla ikut masuk dalam
jajaran kepengurusan PWNU Sulawesi Selatan, hingga pernah jadi anggota
mustasyar PBNU – selain melanjutkan kiprah ayahandanya sebagai ketua Yayasan
Pembangunan Mesjid Raya Makassar. Perjuangan Kiai Sanusi Baco sendiri di PWNU
Sulawesi Selatan banyak dibantu oleh Jusuf Kalla.
Hj. Athirah wafat tanggal 19 Januari 1982 karena sakit dan dimakamkan di
pemakaman Arab, Bontoala, utara kota Makassar. Sebagai tanda hormat dan cinta
keturunannya kepada beliau, nama Athirah diabadikan sebagai nama lembaga
pendidikan yang didirikan Kalla Group, yaitu Sekolah Islam Athirah. Nama
kampungnya Bukaka juga dijadikan nama perusahaan di Jakarta, Bukaka Group, yang
kini dikelola oleh Achmad dan Suhaely. Sekitar 86 hari kemudian setelah
wafatnya sang istri tercinta, tepatnya pada tanggal 15 April 1982, Haji Kalla
menghembuskan nafas terakhirnya. Ribuan orang mengiringi jenazah beliau menuju
tempat pemakaman di samping pusara istrinya di Pekuburan Arab, Bontoala,
Makassar, di belakang rumah Ahmad Baso.
Oleh: Ahmad Baso dalam facebooknya, 18/10/15
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload