'Wahabi' di Mata Orang Aceh
9/11/2015
Istilah
“Wahabi” bukanlah istilah baru yang asing bagi masyarakat muslim, khususnya
masyarakat Aceh yang kental rasa keagamaannya jika dibanding dengan daerah lain
di Nusantara. Istilah wahabi itu sendiri telah muncul dalam literatur sejarah
pada seputaran abad ke 18 Masehi atau selaras dengan abad ke 12 Hijriah, telah
berlalu dua abad dari sekarang.
Syaikh
Muhammad bin Manzhur An-Nu’mani sebagaimana dikutip oleh Ruray (2011: 38)
mengungkapkan bahwa penjajah Inggris-lah yang pertama sekali memunculkan term
wahabi dan dialamatkan kepada para pejuang mujahidin yang dipimpin oleh Ulama
Deoband di India. Hal itu dilakukan oleh Inggris akibat kerasnya perlawanan
ulama Deoband terhadap penjajahan Inggris. Sikap anti penjajahan yang dilakoni
oleh para mujahidin Deoband ketika itu sedikit banyaknya juga dipengaruhi oleh
dakwah tauhid yang dikampanyekan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab di Saudi
Arabiya.
Menurut
Nasution (1996: 23), pemikiran yang dicetuskan oleh Muhammad bin Abdul Wahab
ketika itu merupakan reaksi terhadap rusaknya faham tauhid di kalangan umat
Islam, khususnya di Saudi Arabiya. Ketika itu kaum muslimin telah terjerumus ke
dalam kesyirikan dan bid’ah yang merajalela. Dikisahkan bahwa pada saat itu
orang-orang sudah tidak lagi berdoa kepada Allah, tetapi mereka meminta
pertolongan, kekayaan, kesembuhan dan berbagai permohonan lainnya kepada
kuburan syaikh-syaikh tarekat dan para wali yang telah meninggal. Fenomena
ini-lah yang akhirnya menjadi pemicu lahirnya gerakan pemurnian yang dilakukan
oleh Muhammad bin Abdul Wahab.
Pembaharuan
yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdul Wahab pada prinsipnya juga merupakan
kelanjutan dari dakwah Salafiah yang dipopulerkan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, seorang ulama besar dari Damaskus. Abu Mujahid dan Haneef Oliver
(2010: 44) mengisahkan bahwa Muhammad bin Abdul Wahab banyak menyalin dan
menela’ah karya-karya Ibn Taimiyah dan muridnya Ibn Qayyim Al-Jauziyah sehingga
konsep tauhid yang diserukan oleh Muhammad bin Abdul Wahab banyak menyerupai
pemikiran tauhid Ibn Taimiyah.
Nasution
(1986a: 96) juga menegaskan bahwa gerakan yang dilakukan oleh Muhammad bin
Abdul Wahab di Saudi Arabiya pada perkembangan selanjutnya telah membawa
pengaruh besar terhadap pemikiran dan pembaharuan yang timbul di periode
modern. Di antara sejumlah tokoh yang terinspirasi oleh pemikiran Muhammad bin
Abdul Wahab adalah Muhammad Abduh dan muridnya Rasyid Ridha.
Khususnya
di Indonesia, pengaruh gerakan Wahabi pertama sekali masuk ke Indonesia melalui
ulama-ulama di Sumatera Barat pada abad ke 19 Masehi. Dakwah yang digerakkan
oleh Muhammad bin Abdul Wahab membawa pengaruh besar terhadap gerakan kaum
Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol dalam mengusir penjajah Belanda di
Sumatera Barat. Di samping itu pengaruh Muhammad bin Abdul Wahab juga merambah
dalam beberapa organisasi besar di Indonesia, di antaranya Muhammadiyah, Persis
dan Al-Irsyad (Al-Thalibi, 2006: 10).
Seperti
halnya di daerah lain, pengaruh Muhammad bin Abdul Wahab juga terasa di Aceh,
khususnya di era perjuangan kemerdekaan. Di antara tokoh dan ulama Aceh yang
terpengaruh dengan dakwah Muhammad bin Abdul Wahab adalah Tgk. Daud Beureu-eh,
Tgk. Hasbi Ash-Shiddiqie, Ayah Hamid Samalanga, Tgk. Hasballah Indrapuri dan
masih banyak lagi tokoh-tokoh lainnya yang tidak mungkin disebut
satu-persatu.
Tgk.
Hasballah Indrapuri adalah tokoh yang paling gencar melakukan pemurnian akidah
umat, khususnya di Aceh Besar. Kitab pegangan beliau adalah Kitab Tauhid
karangan Muhammad bin Abdul Wahab (Lembaga Research dan Survey IAIN Ar-Raniry,
1978: 34).
Di
samping itu, masuk dan berkembangnya beberapa organisasi berhaluan modernis di
Aceh, seperti Syarikat Islam, Muhammadiyah dan Al-Irsyad juga menjadi bukti
bahwa masyarakat Aceh sebenarnya telah akrab dengan gerakan Wahabi.
Tokoh
lainnya yang memiliki banyak kontribusi terhadap perkembangan ilmu Fiqh di Aceh
adalah Tgk. Hasbi Ash-Shiddiqie. Beliau adalah ulama Aceh yang pernah belajar
di Al-Irsyad Surabaya dan pernah menjabat sebagai direktur Madrasah Al-Irsyad
cabang Lhokseumawe (Ismuha dalam Taufiq Abdullah, 1983 : 26). Sebagaimana kita
ketahui bersama bahwa Al-Irsyad adalah salah satu organisasi yang banyak
terpengaruh dengan gerakan Wahabi.
Wahabi
dalam Pandangan Masyarakat Aceh
Setelah
menikmati sajian singkat di atas tentang asal-usul dan perkembangan gerakan
Wahabi, baik di dunia Islam secara umum, di Indonesia dan di Aceh secara
khusus, teranglah bahwa gerakan Wahabi yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul
Wahab yang kemudian di sambut oleh ulama di Sumatera Barat dan disahuti pula
oleh para tokoh bangsa melalui berbagai organisasi Islam seperti Syarikat
Islam, Muhammadiyah, Persis dan Al-Irsyad telah jua mengalir melalui nadi para
ulama Aceh tempo dulu dan turut menjadi bagian dari corak pemikiran keagamaan
di Aceh.
Lantas
bagaimana tanggapan masyarakat Aceh hari ini ketika mendengar nama Wahabi? Satu
hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian masyarakat Aceh menjadi merah
mukanya ketika mendengar nama Wahabi disebut di hadapan mereka. Hal ini
wajar-wajar saja, mengingat kondisi keagamaan sebagian masyarakat Aceh telah
terbelenggu dengan fanatisme alias ta’ashub terhadap satu mazhab saja dan
cenderung “menolak” mazhab lain, sehingga memunculkan sikap jumud dan bekunya
pemikiran.
Di
samping itu, di sebagian tempat – provokasi terhadap Wahabi juga kian gencar
dilakukan di forum-forum keagamaan seperti Khutbah Jum’at, Perayaan Maulid dan
juga pengajian di sebagian mesjid dan menasah di Aceh. Stigma sesat terhadap
Wahabi terus dihembuskan di beberapa tempat sehingga melahirkan paradigma
keliru di tengah masyarakat Aceh terhadap orang-orang yang menurut mereka
berfahaman Wahabi. Kebencian berlebihan yang tertanam di benak sebagian
masyarakat Aceh terhadap Wahabi pada akhirnya akan menjalar ke dalam berbagai
persoalan lainnya, khususnya dalam praktek beragama.
Tragisnya
lagi perbedaan dalam persoalan furu’iyah terkadang juga memunculkan
stigma-stigma sesat terhadap Wahabi yang oleh sebagian teungku di Aceh dianggap
telah keluar dari barisan Ahlussunnah Waljam’ah. Padahal jika diteliti secara
ilmiah-objektif, banyak pendapat-pendapat Wahabi yang selaras dengan pemahaman
Abu Hasan Al-Asy’ari yang oleh mayoritas masyarakat Aceh dianggap sebagai
imam-nya Ahlussunnah Waljama’ah – meskipun tidak dapat dipungkiri dalam
sebagian perkara juga terdapat perbedaan yang tajam.
Menurut
penulis, perbedaan pemahaman antara Wahabiyah dengan Asy’ariyah tidak-lah
menjadi tolok ukur untuk mengeluarkan Wahabi dari lingkungan Ahlussunnah
Waljama’ah. Logikanya, dalam beberapa pendapatnya, Abu Mansur Al-Maturidi juga
memiliki pandangan yang bertolak belakang dengan Asy’ari dan malah lebih
menjurus kepada pendapat Mu’tazilah, hal ini sebagaimana diungkapkan oleh
Nasution (1986b: 76-78). Lantas haruskah kita mengeluarkan Abu Mansur dari
Ahlussunnah Waljama’ah? Jawabannya, tentu tidak.
Paradigma
keliru terhadap Wahabi hendaknya dapat dihilangkan secara perlahan dari benak
sebagian masyarakat Aceh yang mungkin selama ini telah terdoktrin pikirannya
sehingga melahirkan sikap yang keliru. Hal ini penting untuk diperhatikan,
khususnya para teungku kita agar bisa bersikap objektif dalam menyampaikan
sebuah informasi kepada masyarakat. Di samping itu pihak MPU juga harus mampu
bersikap arif dan bijak dalam menyikapi perbedaan yang terjadi di tengah
masyarakat.
Mimbar
jumat seharusnya menjadi media untuk mempersatukan umat, jangan sebaliknya
malah digunakan untuk memporak-porandakan persatuan umat Islam, khususnya di
Aceh yang sekarang sedang gencarnya melaksanakan Syari’at Islam. Wallahu
Waliyut Taufiq.
Oleh:
Khairil Miswar
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload