Tengku Wisnu, Wahabi, dan "Khilafiyah Karet"
9/05/2015
Sebagai
masyarakat “kampung”, saya tidak banyak tahu tentang dunia keartisan (dunia
hiburan), karena saya paling malas nonton acara-acara berbau artis di TV,
apalagi yang namanya SE-NE-TRON, kecuali film-film layar
lebar yang diangkat dari novel-novel ternama, semisal El-Syirazi itu. Dari
kecil, saya tidak pernah hafal nama-nama artis, karena tidak pernah ditanyakan
di sekolah. Hanya beberapa artis yang saya ingat namanya, seperti Rhoma Irama,
Rano Karno, Titik Puspa dan artis-artis “lawas” lainnya.
Saya juga paling “murka” melihat
tayangan-tayangan infotainment yang umumnya tidak bermutu dan
“kampungan”. Coba bayangkan, kita capek-capek ngumpulin uang untuk beli TV, tapi justru dapat
tayangan artis lagi “menyusui”, artis brantem, artis pakai “jilbabeb”, artis
selingkuh, artis hamil dan bahkan artis “melahirkan”. Kalau tayangannya
model-model itu, di kampung saya juga banyak Bro...!
Dalam dua hari terakhir, beranda facebook dan juga twitter di Indonesia penuh dengan
berbagai komentar tentang sosok Teuku Wisnu, seorang pria berdarah Aceh yang
telah sukses menjadi artis di Ibu Kota. Seperti telah saya jelaskan, bahwa
pengetahuan saya tentang artis sangat minim. Dengan demikian, adalah wajar jika
saya juga tidak banyak tahu tentang sosok artis bernama Teuku Wisnu.
Cuma saja, dalam beberapa waktu
terakhir, secara tidak sengaja, saya pernah beberapa kali membaca berita di
media online bahwa artis bernama Teuku Wisnu sudah
“berjenggot” dan memakai celana “cingkrang”. Bahkan ada kabar yang menyebut
bahwa Teuku Wisnu sudah mulai menjaga jarak dengan dunia hiburan. Benar
tidaknya kabar tersebut wallahu a’lam. Namun sebagai masyarakat
Aceh, tentu ada kebanggan tersendiri melihat Wisnu yang nampak telah “berubah”
itu.
Baru-baru ini, kononnya, Teuku Wisnu
dan Sazkia Mecca telah membuat kehebohan di TV, melalui program “Berita Islam
Masa Kini”. Diriwayatkan bahwa dalam acara tersebut, Sazkia menyebut bahwa
membacakan surat Al-Fatihah untuk orang-orang yang sudah meninggal
adalah perbuatan bid’ah, kerena tidak dicontohkan oleh
Rasul. Pada saat itu, Teuku Wisnu turut menguatkan apa yang disampaikan Sazkia
dan mengatakan bahwa mengirim Al-Fatihah untuk orang yang sudah meninggal tidak
ada dalilnya dan tidak sesuai dengan tuntunanRasulullah,
demikian dilaporkan oleh Tribunnews.
Tanpa diduga, komentar Teuku Wisnu
dalam acara tersebut mendapat respon publik, khususnya nitizen,
di antaranya dari akun Imron Rosyadi yang menyatakan bahwa komentar tersebut
adalah khilafiyah yang dapat mengundang perdebatan.
Setelah membaca berita tersebut, saya mencoba googling untuk mencari vidio dimaksud. Setelah
menonton vidio tersebut berulang kali, saya melihat tidak ada yang aneh,
biasa-biasa saja. Adapun statemen tentang kiriman Fatihah itu juga tidak “seradikal” informasi
yang berkembang di media sosial.
Saya melihat, bahwa respon yang
ditujukan kepada Wisnu terlalu berlebihan. Bahkan ada beberapa akun yang
menuding Teuku Wisnu sebagai “ustaz Wahabi”. Dalam pandangan awam saya, apa
yang disampaikan oleh Teuku Wisnu masih lebih baik jika dibandingkan dengan
bahasa “olok-olok” seorang ustaz di TV dengan ucapan khasnya “Alhamdoo-lillaaaaah”.
“Serbuan” terhadap Teuku Wisnu di
media sosial semakin lebay dan
liar. Wisnu disebut-sebut telah menyebarkan doktrin Wahabi. Akibat reaksi yang
berlebihan, kabar terakhir menyebutkan bahwa Teuku Wisnu sudah meminta maaf
atas komentarnya yang “heboh” itu. Di satu sisi, permintaan maaf yang dilakukan
Wisnu memang patut diapresiasi, artinya Wisnu telah berjiwa besar dan
menghargai perbedaan. Namun pada hakikatnya, permintaan maaf itu tidak perlu
dilakukan, karena apa yang disampaikan Wisnu masih dalam katagori wajar dan
bukanlah hal baru.
Jika hanya karena statemen Fatihah itu Wisnu dituduh Wahabi dan
harus minta maaf, maka Said Agil Siradj juga harus minta maaf kepada publik
atas statemennya bahwa orang yang menolak tahlilan sebagai tidak Pancasilais.
Si Armando yang banyak nyeleneh itu pun harus minta maaf kepada umat
Islam. Nusron Wahid yang kononnya menyebut bahwa ayat konstitusi lebih tinggi
dari Alquran juga harus minta maaf.
Adalah tidak adil jika cuma Wisnu
yang dijadikan “bulan-bulanan”, sedangkan yang lain terlihat enjoy saja. Bagi saya, fokusnya bukan
masalah benar tidaknya apa yang disampaikan Wisnu, tapi objektivitasnya itu
yang harus dikedepankan.
Jika memang kita meyakini bahwa
persoalan kirim Fatihah itu khilafiyah, maka konsekwensinya kita
juga harus sepakat bahwa ada dua golongan yang punya pendapat berbeda terhadap
amalan tersebut. Jelasnya, ada yang menyatakan kiriman Fatihah itu sampai, dan ada pula yang
berkeyakinan tidak sampai. Seharusnya, jika ada seseorang yang mengatakan Fatihah itu tidak sampai dianggap sebagai
“mengundang perdebatan” karena membincangkan khilafiyah, maka orang yang mengatakan
kiriman Fatihah itu sampai juga harus dilarang, karena
statemen itu pun khilafiyah dan juga mengundang perdebatan. Ini
baru adil.
Adalah aneh, jika Teuku Wisnu dan
juga siapa pun yang mengatakan kiriman Fatihah tidak sampai langsung diberi stempel
Wahabi, sesat dan menyesatkan, tapi ketika ada pihak lain yang juga di depan
publik menyatakan kiriman Fatihah sampai justru disambut
dengan “tepuk tangan” dan bebas dari tuduhan khilafiyah. Yang mengatakan kirimanFatihah tidak sampai disebut sebagai tidak
toleran, sebaliknya yang mengatakan kiriman Fatihah sampai disebut TOLLERANS. Di mana
logikanya, Bro!
Ini namanya “khilafiyah karet”, jika merugikan kita,
maka dengan penuh semangat kita menyebutnya sebagai khilafiyah,
tapi jika menguntungkan kita, itu bukan khilafiyah. Tak naik ketawa saya. Wallahul
Musta’an.
Oleh: Khairil Miswar, Mahasiswa PPs UIN Ar-Raniry Banda Aceh dalam kompasiana.com
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload