Jasa Walisongo dalam Islamisasi Tradisi di Bumi Ahlussunnah
9/09/2015
Ketika Islam
berkembang di kepulauan Indonesia, para muballigh Walisongo melakukannya dengan
pendekatan tradisi, kultural dan tasawuf. Islam yang dibawa oleh para da’i
tersebut bercorak Sunni Syafi’i. Ternyata pendekatan ini berhasil. Prosesnya
berlangsung secara gradual dan bertahap mampu mengislamkan kepulauan Nusantara,
hingga zaman itu berdiri kerajaan-kerajaan Islam yang menerapkan hukum Islam
berdasarkan madzhab Syafi’i.
Namun kini, jika
mencermati dakwah Syiah, mereka sedang mencari pijakan dengan memanfaatkan isu
tradisi, kultur serta tasawuf ini. Buku berjudul Sejarah dan Budaya
Syiah di Asia Tenggara (Dicky Sofjan: 2012) diterbitkan Sekolah
Pascasarjana UGM setidaknya menjelaskan upaya serius Syiah itu dalam klaim
tradisi dan budaya itu. Dulu, lini ini menjadi benteng da’i Ahlussunnah melalui
Walisongo, belakang wilayah tersebut akan ‘direbut’ Syiah. Maka, di sinilah
kita perlu mencermatinya.
Para Walisongo yang
mengislamkan Indonesia itu adalah keturunan Arab dari bani Alawiyyin.
Islamisasi dilakukan dengan penyatuan dengan pribumi. Metode dakwah bani
Alawiyyin ini dalam menyatu dengan pribumi sangat efektif dalam mengislamkan
kepulauan Nusantara. Hamid al-Ghadri berpendapat, bahwa raja-raja Islam atau
sultan di kepulauan Nusantara zaman dahulu banyak yang keturunan bani Alawiyyin
karena hubungan keturunan Arab dan pribumi telah menyatu selama berabad-abab
sebelumnya.
Adalah para muballigh
Walisongo yang menjadi pelopor akulturasi antara ras Arab dan pribumi. Tradisi
tersebut diwarisi turun-temurun hingga era kejayaan kerajaan Islam. Sebagai
contoh, keluarga Kesultanan Pontianak memakai marga al-Qadri, yang tidak lain
marga keturunan Arab dari kalangan habaib. Di Riau terdapat kesultanan Siak
yang keluarga kesultanannya bermarga bin Shahab. Juga marga kalangan habaib.
Begitu pula, kesultanan-kesultanan lainnya misalnya Cirebon, Banten, Demak,
Jepara dan lain-lain. Jika dibaca dari sejarah berdirinya, kesultanan-kesultanan
tersebut berdiri tidak dengan kekuatan senjata (Hamid al-Ghadri, Islam
dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Penjajah, hal.39).
Bahkan menurut Hamid
al-Ghadri, karena begitu lama dan dalamnya penyatuan itu, zaman sebelum
penjajahan keturunan Arab disebut juga pribumi. Tapi tidak pernah Cina atau
India disebut pribumi. Meskipun sama-sama sudah hadir di Nusantara.
Belum pernah pula
terjadi peperangan keturunan Arab bani Alawiyyin dengan penduduk lokal pribumi.
Jika di Jawa mereka tak segan memakai pakaian adat jawa, blankon, batik dan
lain-lain. Begitu pula daerah-derah lainnya. Sebaliknya, dahulu pernah terjadi
peperangan-peperangan kecil antara pribmi dan orang Cina. Seperti yang pernah
terjadi di Surabaya dan Pasuruan pada zaman penjajahan Belanda. Biasanya perang
kecil itu diletup karena kecemburuan pribumi terhadap Cina, dimana Cina
mendapatkan perlakukan ‘khusus’ dari penjajah Belanda.
Pendekatan yang
digunakan muballigh Sunni itu menunjukkan, bahwa Islamisasi kepulauan Nusantara
dilakukan dengan cara yang efektif dan damai. Seperti mereka melakukannya
dengan mengislamkan terma-terma atau bahasa yang digunakan. Prof. Syed Naquib
al-Attas mengatakan Islam datang ke Nusantara yang dibawa langsung dari
Hadramaut telah mengubah pandangan hidup masyarakat secara kuat melalui bahasa.
Bahasa Melayu yang
menjadi bahasa pemersatu Muslim kepulauan Nusantara zaman dahulu banyak
menyerap dari istilah-istilah bahasa Arab. Misalnya, kata akal,
musyawarah, mukadimah, adil, adab, dan lain-lain. Dikenal pula di sini
jenis tulisan Arab-Melayu yang sering disebut tulisan Pegon(pego). Jenis
tulisan ini populer di pesantren tradisional yang diajarkan berabad-abad
lamanya, sejak kedatangan Islam. Namun, sayang jenis tulisan ini tidak lagi
populer di Indonesia – hanya dikenal oleh anak-anak Pesantren.
Barangkali sukeses
besar itu dapat dipahami karena karakter kaum bani Alawiyyin dari Hadramaut
zaman itu memang petualang, berakhlak luhur dan mudah menyatu dengan penduduk
asli. Dan nyatanya, pendekatan akhlak dan tasawuf tersebut sangat diminati
penduduk kepulauan Nusantara. Leluhur mereka, yaitu Ahmad bin Isa al-Muhajir,
mengajarkan akhlak dan tasawuf
Ahmad al-Muhajir
asalnya dari Basrah Irak kemudian pada abad ke-10 M hijrah ke Hadramaut karena
menghindar gejolak fitnah yang tidak pernah padam di Irak, diantaranya fitnah
kaum Qaramithah – sebuah sekte Syiah Ismialiyah yang dikenal kejam dalam
membunuh. Dalam hal ini al-Syilli menulis: “Berkat hijrah tersebut selamatlah
keturunan Imam Ahmad bin Isa dari berbagai bid’ah dan kegelapannnya serta dari
kecenderungan untuk mengikuti Rafidhah yang telah merusak warga Irak (Novel bin
Muhammad Alaydrus,Jalan Lurus Sekilas Pandang Tarekat Bani Alawi, hal.
36). Al-Syilli juga memberi kesaksian bahwa Ahmad bin Isa ini di Hadramaut
mengajarkan madzhab Syafi’iyah kepada anak keturunannya. Di Hadramaut beliau
diterima dengan baik oleh penduduk asli dengan menjarkan akhlak yang luhur dan
tasawuf.
Dari keturunan Ahmad
al-Muhajir ini menurunkan banyak muballigh yang menyebarkan Islam ke India,
Afrika dan Asia Tenggara. Di antarnya adalah Abdul Malik – keturunan ke-7 Ahmad
al-Muhajir yang menetap di India. Abdul Malik inilah yang menurunkan leluhur
Walisongo, seperti Syaikh Jumadil Kubro (Ibrahim Zain al-Akbar) yang merupakan
keturunan dari Abdul Malik.
Di India, Abdul Malik
juga menurunkan raja-raja Muslim India seperti sultan Syah Jiha, sultan Ibrahim
Adil Syah, sultan Mahmud bin Ibrahim Syah, Amir Habas Khan dan lain-lain. Semua
nasab sultan ini sambung kepada kerabat-kerabat kaum Alawiyin keturunan Abdul
Malik (Idrus Alwi al-Masyhur,Membongkar Kebohongan Sejarah dan Silsilah
Keturunan Nabi Saw di Indonesia, hal. 152).
Hal ini menunjukkan
bahwa, di mana-mana muballigh dari kaum Alawiyyin ini tidak menemui kesulitan
dalam menyatu dengan pribumi. Dan semua gerak dakwah dan pendirian kerajaan
tidak didahului oleh peperangan. Sampai saat ini di provinsi Kerala India
Selatan masih banyak ditemui keturunan habaib, dan tradisi Sunni-Syafi’i masih
dipelihara dengan baik oleh komunitas Muslim di sana. Bahkan di provinsi ini 90
% menganut madzhab Syafi’i. Ini berkat jasa Abdul Malik, yang menjadi benteng
pertama Ahlussunnah di India.
Jika di India
terdapat Abdul Malik, maka di Indonesia teradapa Syaikh Ibrahim Zain al-Akbar –
yaitu ayah dari Sunan Ampel. Syaikh al-Akbar mewarisi corak dakwah leluhur bani
Alawiyyin yakni dengan pendekatan tasawuf dan akhlak dengan mendekati kaum
pribumi dengan tetap mempertahankan pandangan hidup madzhab Sunni Syafi’i.
Islamisasi dengan
pendekatan tersebut menghasilkan dakwah yang luar biasa. Selama berabad-abad
sejak kerajaan Demak dan di sebagian besar wilayah Indonesia diterapkan hukum
Islam. Baru sampai abad ke-19 syariat Islam itu dihapus oleh penjajah Belanda.
Di paruh awal
penjajahan, VOC masih mengakui syariat Islam untuk kaum Muslimin di Jawa.
Eksistensi hukum Islam diakui undang-undang Belanda seperti tercantum dalam
Pasal 75 R.R (Regeringsreglement) 1855:2 ayat 2 disebutkan, “oleh hakim
Indonesia hendaklah diperlakukan undang-undang agama (Goldsdientstigewetten)
dan kebiasaan penduduk Indonesia itu. Kemudian ayat 4 berbunyi, “undang-undang
agama, instelling dan kebiasaan itu jugalah yang dipakai untuk mereka”
(Artawijaya,Dilema Mayoritas, hal. 275).
Pada tahun 1882 di
Jawa Madura dibentuk pengadilan Agama yang memiliki wewenang mengatur hukum
Islam untuk kaum Muslimin wilayah itu. pengadilan agama ini masih diakui oleh
Belanda.
Hukum Islam di
kepulauan Indonesia telah berjalan berabad-abad lamanya. Ketika Kerajaan
Mataram berkuasa di seluruh wilayah Jawa, kaum Muslimin menjadikan hukum Islam
sebagai hukum adatnya. Karena telah lama berjalan berabad-abad lamanya, dahulu
yang disebut hukum adat tidak lain adalah hukum Islam. Baru abad ke-19 Belanda
melarang kaum Muslimin menerapkan syariat Agama kecuali untuk beberapa amalan
saja. Kemudian Belanda membedakan antara hukum adat dan hukum agama.
Islam Sunni mengakar
kuat berabad-abad lamanya sehingga meskipun Belanda menjajah selama 350 tahun.
Jadi, dakwah muballigh Ahlussunnah di kepulauan Nusantara terbukti berhasil.
Yang perlu diambil pelajarannya untuk konteks sekarang adalah, umat Ahlussunnah
perlu ‘menyelamatkan’ pos-pos penting seperti tradisi dan tasawuf. Sebab pos
inilah yang menjadi benteng Ahlussunnah di Nusantara. Kenyataannya, tradisi
yang telah diislamkan muballigh itu menjadi lebih diterima. Dan, tradisi yang
telah diislamkan itu justru untuk membentengi Ahlussunnah, dari Syiah atau
aliran lainnya. Maka, pendekatan dakwah Ahlussunnah perlu dikembangkan pada
ranah tradisi dan tasawuf.
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload