Haji: Manusia Berbahaya
9/30/2015
“..Kabar-kabar tentang Paduka telah sampai pada kami bersinar bagai permata. Tetapkanlah hati. Paduka akan beruntung jika Paduka bekerja semata karena takwa pada Allah. Janganlah takut akan kemalangan dan jauhilah segala perbuatan jahat. Jika orang melakukan yang demikian, akan dia temukan surga tanpa awan dan bumi tanpa kotoran..” Surakarta, 1772.
Tiga
surat berbahasa Arab beserta bendera bertulis “La ilaha illallah” yang
diserahkan Patih Kasunanan, Raden Adipati Sasradiningrat itu menggemparkan
kediaman Residen F.C. Van Straalendorff. Salinan terjemah dari salah satu
nawala yang kemudian dikirim ke Batavia bahkan membuat Gubernur Jenderal VOC,
Petrus Albertus van der Parra (1761-1775) sukar tidur, meski Sasradiningrat
bersumpah bahwa tak seorang Jawapun yang telah membaca surat itu selain dia dan
carik (sekretaris)-nya.
Penulis
surat itu tinggal nun jauh di Makkah. Namanya Syaikh ‘Abdushshamad Al Jawi Al
Falimbani (1704-1789), seorang ‘ulama besar di Masjidil Haram kelahiran
Palembang, penulis berbagai kitab dan yang terpenting untuk disebut di sini di
antaranya berjudul Nashihatul Muslimin wa Tadzkiratul Mu’minin fi Fadhailil
Jihadi wa Karamatil Mujahidin (Nasehat orang-orang muslim dan pengingat
orang-orang mukmin tentang keutaman jihad dan kemulian para mujahid).
Alamat
yang dituju adalah tiga anggota Wangsa Mataram yang paling berkuasa di Jawa;
Kangjeng Sultan Hamengkubuwana I (1755-1792) di Yogyakarta, Sri Susuhunan
Pakubuwana III (1749-1788) di Surakarta, dan Pangeran Miji Mangkunegara
(1757-1795).
Yang
diterjemahkan ke dalam Bahasa Jawa oleh Carik Kertabasa adalah surat untuk
Mangkunegara, yang lalu dialihmakna ke Bahasa Belanda untuk dikirim pada
Gubernur Jenderal. Sejarawan Merle C. Ricklefs dalam karyanya, Yogyakarta Under
Sultan Mangkubumi 1749-1792, menduga bahwa surat untuk Mangkunegara inilah yang
paling menghasut, mengingat Sang Pangeran “angkuh dan mudah berkelahi” serta
“lebih cenderung menggunakan kekerasan” karena “milik yang dipertaruhkannya
paling kecil dan berharap mendapat lebih besar jika terjadi pergolakan”.
Tapi
patut pula diduga, surat untuk Susuhunan Surakarta, dan terutama Sultan
Yogyakarta yang pernah membuat VOC berdarah-darah dalam Perang Palihan Nagari
(1746-1755) tak kalah seru isinya. Bahkan konon surat untuk Sultan disertai
hadiah air zam-zam sebagaimana dahulu moyangnya Sultan Agung (1613-1645)
menerimanya dalam Enceh Kyai Mendung dari Sultan ‘Utsmani, Murad IV (1623-1640)
dan Syarif Makkah, Zaid ibn Muhsin Al Hasyimi (1631-1666). Tentu saja, atas
perintah Batavia semua surat itu segera dihancurkan agar tak bocor isinya.
“..dan karena Paduka adalah keturunan Raja-raja Mataram yang dianugerahi berkat Allah dan RasulNya. Maka keadilan Paduka sudah diketahui di mana-mana. Lagi pula sudilah hendaknya Paduka membaca ayat-ayat Al Quran yang berbunyi: ‘Sedikit orang dapat mengalahkan kekuatan besar.’
Lagi
pula sudilah hendaknya Paduka mempertimbangkan bahwa dalam Quran tertulis
ayat-ayat yang menyatakan: ‘Bila seseorang mati dalam Perang Sabil, janganlah
kalian katakan dia mati.’ Karena Allah telah berfirman bahwa jiwa orang itu
masuk ke dalam badan seekor burung yang langsung membawanya ke surga.
Dan
haruslah lebih-lebih Paduka camkan, karena jiwa yang mati dalam Perang Sabil
adalah bagai bunga yang harumnya tercium dari fajar sampai petang. Ya, bahkan
semua Makkah dan Madinah, beserta seluruh negeri Melayu, takjub akan
keharumannya..”
Dalam
kutipan singkat kita membaca, betapa luar biasa perhatian Syaikh ‘Abdushshamad
yang ayahnya menjadi Mufti Kesultanan Kedah ini terhadap perkembangan Nusantara
dan bagaimana pemahamannya akan kewajiban ‘Ulama untuk menasehati Umara’,
menegakkan amar ma’ruf-nahi munkar, serta mengobarkan jihad di Nusantara
melawan kekuatan penjajah kafir.
Betapapun
surat-surat ini keburu dicegat oleh Patih Surakarta yang amat setia kepada VOC
dan gagal sampai pada tujuannya, tulisan kami ini hendak memberi penghargaan
kepada kurir yang telah membawanya menantang bahaya, terombang-ambing di lautan
dari Jeddah ke Aden ke Mascat ke Gujarat ke Sailan ke Penang ke Palembang ke
Batavia ke Semarang hingga sampai di ibukota Kasunanan.
Dokumen
Belanda dari salinan surat menyebut nama Haji Besari dan Haji Muhammad Idris.
Kematian
Haji Besari di Surakarta sebelum sempat menyerahkan ketiga surat inilah yang
menjadikan Patih Sasradiningrat berhasil ‘mengamankannya’. Adapun nasib Haji
Muhammad Idris yang kemudian diburu oleh pasukan Sang Patih tidak jelas. Kabar
burung menyebut dia berlindung ke wilayah Kasultanan Yogyakarta.
Gelar
Haji
Inilah
salah satu peristiwa mula-mula yang membuat pemerintahan VOC menyadari; mereka
yang pulang dari Makkah dengan membawa gelar Haji adalah manusia berbahaya.
Bahaya bagi penjajahan. Bahaya bagi penindasan. Bahaya bagi keterpecahan,
keterbelakangan, dan kebodohan.
Sebab
mereka yang pulang dari menunaikan rukun Islam kelima ini pastilah kuat secara
sosial ekonomi, dan tentu saja beriman, tangguh fisiknya, lagi bernyali;
terbukti mampu mengarungi perjalanan pergi pulang yang sukar dan berbahaya. Pun
di Tanah Suci mereka pasti mendapatkan wawasan internasional, ilmu agama yang
kian dalam, serta menyelami persaudaraan muslimin sedunia. Memandang keluar
membaca bentang dunia luas, serta merenung ke dalam memikirkan diri dan
bangsanya, jiwa-jiwa imani itu pasti akan membawa pulang nyala api perjuangan
untuk tanah airnya.
Serentetan
peristiwa di abad selanjutnya semakin membuat pemerintah jajahan yakin, para
haji adalah manusia berbahaya. Di Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwana I dengan
pemurah terus mengirimkan para pengulu, kaum, kyai, dan santri perdikan untuk
berhaji. Menurut Ricklefs, pada 1776 dan 1781 Sultan memberangkatkan rombongan
haji. Bahkan pada 1785, sekelompok ‘ulama ditugaskan menerima gelar resmi
Sultan untuk Hamengkubuwana I dari Syarif Makkah, disertai pembangunan Gedung
Wakaf Mataram di dekat Masjidil Haram yang akan terus menjadi tempat tinggal
para mukimin Jawa di Makkah hingga masa Hamengkubuwana VIII.
Masjid-masjid
Pathok Negara-nya di Dongkelan, Babadan, Plasakuning, dan terutama Mlangi yang
dipimpin putranya sendiri, Raden Mas Sandiya bergelar Kyai Nur Iman, menjadi
pusat-pusat keislaman yang menarik kehadiran kaum santri. Di abad baru,
Tegalreja yang dikelola permaisurinya yakni Ratu Ageng sembari mengasuh
Diponegoro kecil menambah daftar pusat syiar. Di tempat-tempat inilah para
calon haji biasanya bermukim beberapa bulan untuk mempersiapkan diri dan ilmu
sebelum diberangkatkan.
Peter
Carey dalam The Power of The Prophecy mencatat nama Haji Badaruddin, panglima
pasukan santri Suronatan yang sampai dua kali berhaji. Ada pula Pengulu Keraton
Pekih Ibrahim, Ketib Muhamad Bahwi, Nur Samsi, Amad Ripangi, Abdullatip, Amad
Anom, Ngarpani, Amad Ngali, Amad Ngijan, Amad Masam, Amad Sangi, Nitirejo,
Resomenggala, dan Kyai Pengulu Rahmanudin.
Di
Surakarta, Susuhunan Pakubuwana IV (1788-1820) lebih masyhur lagi sebagai
‘sahabat kaum santri’. Pada 1812, demikian dilaporkan kepada Letnan Gubernur
Jenderal Thomas Stanford Raffles, seperti dikutip Carey, Susuhunan punya 24
Haji Keraton dan 51 Kyai yang digajinya secara pribadi. Adik beliau, Pangeran
Buminata, terkenal akan kedermawanannya pada kaum ‘ulama termasuk kepada Kyai
Taptajani, juga Kyai Maja beserta saudara-saudaranya; Kyai Kasan Besari, Kyai
Baderan, dan Kyai Pulukadang.
Jejaring
komunitas haji, kyai, pengulu, dan santri inilah, baik yang ada di Kasultanan
maupun Kasunanan, demikian disimpulkan dari Peter Carey, akan menjadi tulang
punggung perlawanan dahsyat Pangeran Diponegoro kepada Pemerintah kolonial
Belanda (1825-1830). Dalam daftar yang dia susun dari Babad Diponegoro Manado,
Carey mencantumkan lebih dari 120 haji yang kemungkinan besar hadir di Selarong
saat pembai’atan Diponegoro sebagai Sultan ‘Abdul Hamid Herucakra Kabirul
Mukminin Khalifatu Rasulillah Ratu Paneteg Panatagama. Beserta mereka, demikian
dicatat Saleh As’ad Djamhari dalam Strategi Menjinakkan Diponegoro, ada lebih
dari 15 Syeikh, puluhan Kyai besar dan Pengulu, serta ratusan Kyai desa.
Sekali
lagi, para haji adalah manusia-manusia berbahaya. Bersama Diponegoro mereka
menguras 20 Juta Gulden kas penjajah, serta menewaskan 15.000 pasukan Belanda.
Tentu
saudara-saudara mereka di Sumatera tak kalah greget. Tiga nama jamhur; Haji
Miskin dari Pandai Sikat, Haji Sumanik dari VIII Kota, dan Haji Piobang dari
Tanah Datar sebagai cikal bakal Gerakan Padri telah amat masyhur. Perubahan
yang mereka bawa, dari memurnikan pengamalan agama di Minangkabau hingga perang
besar melawan tentara kolonial Belanda, 1803-1838, amat nyata.
Abad
selanjutnya mencatat nama Haji Ahmad Dahlan yang mendirikan Persyarikatan
Muhammadiyah, Haji Hasyim Asy’ari yang membidani Jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama,
Haji Rasul dengan Sumatera Tawalib, dan jejaring jama’ah haji yang menjadi
murid-murid Syaikh Ahmad Khatib Al Minankabawy di Makkah. Semua haji itu pulang
membawa bahaya. Bahaya bagi penjajahan. Bahaya bagi penindasan. Bahaya bagi
keterpecahan, keterbelakangan, dan kebodohan.
Para
haji yang kembali ke tanah air itu hampir semuanya bergerak aktif dalam bidang
kemasyarakatan, pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, pengajaran agama,
penyadaran kebangsaan, serta penguatan persatuan dan ukhuwah islamiyah.
Menurut
Yudi Latif dalam Intelegensia Muslim dan Kuasa, bersebab kian besarnya
kekhawatiran akan bahaya haji, Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1825,
1827, 1831 dan 1859 mengeluarkan berbagai Oordonnatie yang ditujukan untuk
pembatasan ibadah haji dan memantau aktivitas mereka sekembalinya ke Tanah Air.
Larangan
Haji
Puncak
dari kekhawatiran Pemerintah Kolonial Belanda terhadap bahaya dari para haji
ini tampak dengan dikeluarkannya Pilgrims Ordonnantie Staatsblad 1903 Nomer 26,
Staatsblad 1922 Nomor 698, Staatsblad 1927 Nomor 508, dan Staatsblad 1931 Nomor 44. Ringkasan
dampaknya antara lain adalah:
1.
Tidak boleh lagi
orang-orang asing, terutama Arab, berkunjung ke daerah Indonesia karena
dianggap melakukan provokasi.
2.
Sultan, kaum
priyayi, penguasa daerah, dan abdi dalem dilarang pergi haji, dikhawatirkan
akan terpengaruh Pan-Islamisme.
3.
Membuka Karantina
Haji di Pulau Onrust, Teluk Jakarta. Untuk alasan kesehatan memang di sinilah
tempat penampungan para haji untuk dipastikan tak membawa penyakit menular.
Tapi tercatat pula, di sinilah banyak para haji yang jika pulang dinilai akan
menimbulkan masalah bagi pemerintah jajahan hidupnya berakhir.
4.
Mengharuskan yang
sudah berhaji untuk selalu mencantumkan gelar hajinya, agar mudah diawasi.
Orang yang pergi haji hanya diberi passpor khusus haji, agar tidak bisa pergi
ke tempat lain.
5.
Masjid tidak boleh
dibangun di tempat-tempat ramai. Kuburan didekatkan ke Masjid dan
dihembuskanlah propaganda bahwa kuburan itu angker agar Masjid tak menjadi
pusat pergerakan, tempat kaum muda berkumpul membahas nasib bangsa.
Disebabkan
aturan inilah seorang putra Wedana di Kleco-Madiun sekaligus cucu Bupati
Ponorogo yang bernama Oemar Said meninggalkan jabatannya sebagai ambtenaar dan
bersungkal-faham dengan mertuanya. Dia memilih untuk berhaji, dan sepulangnya
ke Nusantara membesarkan Sarekat Islam untuk menjadi Ibu bagi semua pergerakan
Nasional dan rumahnya pun menjadi tempat tinggal para pemuda yang kelak menjadi
para Bapak Bangsa. Namanya terus bergaung, sang Raja Jawa Tanpa Mahkota, Haji
Oemar Said Tjokroaminoto. Semboyannya yang berbahaya terus berkumandang:
semurni-murni tauhid, setinggi-tinggi ilmu, sepandai-pandai siasat.
Inilah
para haji kita, manusia-manusia yang berbahaya bagi segala kezhaliman,
kemunkaran, dan kekejian. Kedatangan mereka ke tanah air dinantikan untuk
menghabisi penindasan, keterpecahan, keterbelakangan, dan kebodohan. Kedatangan mereka ke tanah air harus menjadi
tonggak perubahan sosial, perbaikan ekonomi, pembinaan moral, peningkatan taraf
pendidikan, kesehatan, serta kemakmuran.
Selamat
datang kembali di tanah air jama’ah haji Indonesia. Selamat menjadi manusia
berbahaya. Selamat berkiprah berdarma bakti untuk ummat dan bangsa. Atau jangan
kita bangga menyandang rukun Islam agung itu di depan nama.
Oleh:
Salim A. Fillah dalam Rajutan Makna
Sumber:
salimafillah.com, edisi 15 Zulhijah 1436 H
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload