Makna 'Jika telah Sahih sebuah Hadis, maka Ia Mazhabku'
8/29/2015
Masyhur dan
shahih periwayatan dari Imam As Syafi’i, bahwa beliau telah menyatakan, ”Jika
kalian melihat dalam kitabku menyelisihi Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wasallam maka tinggalkanlah perkataanku”, atau angkapan yang semakna dengannya, ”Jika
telah shahih sebuah hadits, maka ia adalah madzhabku”. Para ulama mujtahid, semisal Imam Abu
Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam As Syafi’i juga menyatakan hal yang semakna
dengan apa yang telah disampaikan oleh Imam As Syafi’i.
Namun, apakah itu bermakna bahwa siapa saja ketika mengetahui
hadits shahih maka ia bisa mengatakan, ”Ini adalah madzhab As Syafi’i”, lalu ia
mengamalkan makna dzahir dari hadits itu? Ternyata tidak demikian.
Para ulama mu’tabar telah menjelaskan maksud dari
pernyataan para imam mujtahid tersebut serta menetapkan kriteria
siapa yang memiliki kapasitas dalam menilai bahwa pendapat Imam telah
bertentangan dengan hadits shahih,sehingga perlu didahulukan hadits
shahih tersebut
daripada pernyataan sang Imam?
Kapasitas dalam Menilai Pendapat Imam
untuk Dihadapkan dengan Hadits Shahih
Dalam hal ini, Al Hafidz Ibnu Shalah menyampaikan, bahwa
beberapa ulama besar As Syafi’iyah melakukan hal ini, yakni berfatwa dengan
hadits ketika melihat bahwa pendapatmadzhab berselisihan dengan hadits. Semisal
dari mereka adalah Imam Al Buwaithi, Abu Qasim Ad Dariki serta Abu Hasan Ath
Thabari (lihat, Adab Al Mufti wa Al Mustafti, hal. 53).
Kemudian Al Hafidz Ibnu Shalah menyampaikan bahwa mereka
yang melakukan hal ini tidaklah banyak dan beliau menyampaikan, ”Hal ini
bukanlah perkara yang remeh, tidak setiap faqih mudah baginya independen dalam
mengamalkan apa yang ia pandang sebagai hujjah dalam hadits”. (lihat, Adab Al
Mufti wa Al Mustafti, hal.
54)
Dari para ulama yang disebutkan oleh Al Hafidz Ibnu
Shalah, diketahui bahwa yang mampu melakukan hal ini adalah mujtahid
madzhab.
Imam An Nawawi juga menjelaskan,”Hal ini, apa yang
dikatakan As Syafi’i, bukan bermakna bahwa siapa saja yang melihat hadits
shahih dia mengatakan,’ini adalah madzhab As Syafi’i’, dan mengamalkan
dzahirnya. Dan sesungguhnya hal ini bagi siapa yang sampai pada derajat ijtihad
dalam madzhab”. (Al Majmu’, 1/105)
Selanjutnya, Imam An Nawawi menyampaikan,”Dan syaratnya
dalam prasangkanya didominasi bahwa As Syafi’i-semoga Allah merahmatinya-belum
mengetahui hadits tersebut atau belum mengetahui keshahihannya. Hal ini tidak
lain setelah mentela’ah kitab-kitab As Syafi’I seluruhnya demikian juga
kitab-kitab para pengikutnya yang mengambil darinya juga yang semisal dengan
kitab-kitab tersebut. Dan syarat ini sulit, sedikit orang yang memiliki sifat
tersebut.” (Al Majmu’, 1/105)
Perlunya syarat itu menurut Imam An Nawawi, dikarenakan
Imam As Syafi’i sengaja meninggalkan pengamalan dhahir hadits yang beliau
mengatahuinya dan itu cukup banyak. Hal itu dikarenakan beliau memperoleh dalil
yang menunjukkan kecacatan, naskh, takhsis atau melakukan takwil padanya.
(lihat, Al Majmu’, 1/105)
Sedangkan pengetahuan Imam As Syafi’I yang menyeluruh
mengenai hadits hukum, Ibnu Huzaimah yang merupakan hafidz hadits yang juga
seorang faqih yang telah mengkaji pendapat-pendapat Imam As Syafi
menyatakan,”Aku tidak mengetahui Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam
dalam masalah halal dan haram yang tidak dicantumkan As Syafi’i dalam
kitab-kitabnya”. (lihat Al Majmu, 1/105)
Dengan demikian, amat kecil kemungkinan ada hadits yang terlewat
dari kajian Imam As Syafi’i. Namun meski demikian tetap ada upaya koreksi
terhadap pendapat Imam madzhabyang telah dilakukan oleh
para ulama derajat yang sampai pada mujtahid madzhab, seperti masalah tatswib,
rajih dalam madzhab
adalah Sunnah, dikarenakan adanya dalil
shahih,meski bertentangan dengan pendapat jadid Imam As Syafi’i.
Kritik terhadap Ulama yang Tidak
Tepat dalam Menerapkan Pernyataan Imam As Syafi’i
Para ulama menyebutkan sejumlah ulama yang menerapkan
kaidah Imam As Syafi’i di atas, namun kurang tepat dalam pelaksaannya. Diantara
adalah Ibnu Al Jarud yang menyampaikan, ”Telah shahih hadits mengenai batalnya puasa orang
yang membekam dan yang dibekam. Maka aku berkata, ’As Syafi’i menyatakan,
’telah berbuka orang yang membekam dan yang dibekam’”. Para ulama pun
menyanggah pendapat Ibnu Al Jarud, karena Imam As Syafi’i telah mengetahui
hadits tersebut dan sengaja meninggalkannya, karena menurut beliau hadits itu mansukh. (lihat, Al
Majmu’, 1/105)
Hal yang sama terjadi pada Abu Al Walid An Naisaburi,
ulama madzhab As Syafi’i yang mengikuti
pendapat Ibnu Al Jarud dalam masalah berbukanya orang yang dibekam dan yang
membekam. Para ulama Syafi’iyah pun menyanggah beliau sebagaimana menyanggah
Ibnu Al Jarud. Menurut Imam As Subki, hal itu terjadi karena keterbatasan upaya
mereka dalam melakukan pengkajian (lihat, Ma’na Qauli Al Imam Al Muththalibi, Idza Shaha Al
Hadits fa Huwa Madzhabi, hal.
95).
Hal serupa terjadi pada Abu Al Hasan Al Karaji, yang
meninggalkan qunut Shubuh
dengan argumen, ”Telah shahih hadits bahwa Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wasallam meninggalkanqunut shubuh”. Imam As Subki sempat
meninggalkan qunut shubuh
karena pendapat tersebut. Namun setelah mengetahui bahwa yang ditinggalkan dari qunut waktu Shubuh dan di luarnya adalah
berdoa atas qabilah
Ri’l dan Dzakwan, sedangkan doa qunut Shubuh secara mutlak ada haditsnya,
beliau pun kembali berqunut. As Subki pun menyampaikan, ”Tidak ada
sedikitpun permasalahan hal itu dengan pernyataan As Syafi’i, dan sesungguhnya
keterbatasan menimpa kita dalam sejumlah pandangan”. (lihat, Ma’na
Qauli Al Imam Al Muththalibi, Idza Shaha Al Hadits fa Huwa Madzhabi, hal. 95)
Jika para ulama besar terkadang kurang tapat, karena keterbatasan
dalam upaya melakukan kajian dalam menerapkan pernyataan Imam As Syafi’i,
bagaimana dengan kita yang alim pun tidak, faqih pun bukan mujtahid apalagi,
yang menyeru untuk mengoreksi pendapat Imam As Syafi’i dan meninggalkannya,
dengan alasan bahwa madzhab As Syafi’i adalah hadits shahih.
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload