Ketika Seorang Menteri Mengontrak Rumah
8/20/2015
Di dalam gang sempit itu, berkelok dari jalan utama,
menyelusup gang-gang padat rumah di Jatinegara terdapat sebuah rumah mungil
dengan satu ruang besar. Begitu pintu dibuka, akan
ada koper-koper berkumpul di sudut rumah dan kasur-kasu digulung di sudut
lainnya ruang besar itu. Di sanalah tempat tidur Haji Agus Salim (Menteri Luar
Negeri RI) bersama istri dan anak-anaknya.
Dikontrakkan yang lain, Agus Salim, kira-kira enam
bulan sekali mengubah letak meja kursi, lemari sampai tempat tidur rumahnya.
Kadang-kadang kamar makan ditukarnya dengan kamar tidur. Haji Agus Salim
berpendapat bahwa dengan berbuat demikian ia merasa mengubah lingkungan, yang
manusia sewaktu-waktu perlukan tanpa pindah tempat atau rumah atau pergi
istirahat di lain kota atau negeri.
Begitulah seperti dikisahkan Mr. Roem, murid dari H.
Agus Salim yang juga tokoh Masyumi ini. Anies Baswedan dalam ‘Agus Salim:
Kesederhanaan, Keteladanan yang Menggerakan’ menyebutkan bahwa H. Agus Salim
hidup sebagai Menteri dengan pola ‘nomaden’ atau pindah kontrakkan ke
kontrakkan lain.
Dari satu gang ke gang lain. Berkali-kali Agus Salim
pindah rumah bersama keluarganya. “Selama hidupnya dia selalu melarat dan
miskin,” kata Profesor Willem “Wim” Schermerhorn. Wim menjadi ketua delegasi
Belanda dalam perundingan Linggarjati. (Majalah Tempo Edisi Khusus Agus Salim)
Pernah, pada salah satu kontrakkan tersebut, toiletnya
rusak. Setiap Agus Salim menyiram WC, air dari dalam meluap. Sang istri pun
menangis sejadi-jadinya, karena baunya yang meluber dan air yang meleber.
Zainatun Nahar istrinya,tak kuat lagi menahan jijik sehingga ia muntah-muntah.
Agus Salim akhirnya melarang istrinya membuang kakus di WC dan ia sendiri yang
membuang kotoran istirnya menggunakan pispot.
Kasman Singodimedjo (tokoh Muhammadiyah dan Masyumi
Ketua KNIP Pertama), dalam ‘Hidup Itu Berjuang’ mengutip perkataan mentornya
yang paling terkenal: “leiden is lijden” (memimpin itu menderita) kata Agus
Salim. Lihatlah bagaimana tak ada sumpah serapah meminta kenaikan jabatan,
tunjangan rumah dinas, tunjangan kendaraan, tunjangan kebersihan WC, tunjangan
dinas ke luar negeri untuk pelesiran, dll.
Saat salah satu anak Salim wafat ia bahkan tak punya
uang untuk membeli kain kafan. Salim membungkus jenazah anaknya dengan taplak
meja dan kelambu. Ia menolak pemberian kain kafan baru. “Orang yang masih hidup
lebih berhak memakai kain baru,” kata Salim. “Untuk yang mati, cukuplah kain
itu.”
Dalam Buku ‘Seratus Tahun Agus Salim’ Kustiniyati
Mochtar menulis, “Tak jarang mereka kekurangan uang belanja.” Ya, seorang
diplomat ulung, menteri, pendiri Bangsa yang mewakafkan dirinya untuk mengabdi
kepada Allah, bahwa memimpin itu adalah ibadah.
Seorang yang memilih jalan becek dan sunyi, berjalan
kaki dengan tongkatnya dibanding gemerlap karpet merah dan mobil Land Cruiser,
Alphard, dan gemerlap jantung kota lainnya. Kita tentu rindu sosok seperti
mereka, bukan tentang melaratnya mereka, tapi tentang ruang kesederhanaan yang
mengisi kekosongan nurani rakyat.
Ketika Wapres Mohammad Hata tak mampu membeli sepatu
impiannya hingga akhir hayat. Ketika Perdana Menteri Natsir menggunakan jas
tambal, mengayuh sepeda ontel ke rumah kontrakkanya. Ketika Menteri keuangan
Pak Syafrudin yang tak mampu membeli popok untuk anaknya. Semoga Allah hadirkan
mereka, sebuah keteladanan yang mulai memudar di tengah gemerlap karpet merah
Istana dan Senayan.
sumber: islampos.com
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload