Karena Nabi saw. tidak Mengerjakan?
8/19/2015
Masif
sekali beredar di kalangan masyarakat baik terpelajar atau pun juga tidak
(dalam hal ini masalah syariah) terkait kaidah yang menyebutkan bahwa segala
sesuatu yang Nabi s.a.w tidak kerjakan itu adalah perkara yang haram. Ini yang
masyhur. Maka perlu ada pembahasan terkait ini, apakah memang demikian. Apakah
memang benar apa yang ditinggalkan Nabi s.a.w atau Nabi s.a.w tidak mengerjakan
itu berarti haram dan terlarang untuk dilakukan? Untuk itu penting untuk
dijelaskan terlebih dahulu adalah hakikat ‘meninggalkan’ itu.
Dalam
bahasa Arab, meninggalkan disebut dengan al-Tarku [الترك], yang
secara bahasa memang mempunyai arti meninggalkan. Sedangkan al-Tarku [الترك] dalam
pembahasan kita berarti “Meninggalkannya Nabi s.a.w suatu pekerjaan tanpa
ada keterangan bahwa beliau melarangnya, baik secara lisan atau
juga dengan isyarat serta pernyataannya.”
Disebutkan “tanpa
ada keterangan … “ itu dimaksudkan bahwa kalau
memang ada keterangan Nabi s.a.w melarangnya baik secara lisan atau pernyataan,
maka itu tidak termasuk dalam kategori “meninggalkan”, akan
tetapi itu adalah “Larangan!”, karena ada keterangan Nabi
melarangnya.
Pertanyaannya
kemudian adalah, apakah semua yang tidak dilakukan Nabi s.a.w itu berbuah haram
dan terlarang untuk dikerjakan? Lebih sempit lagi apakah al-Tarku itu
konsekuensinya adalah keharaman? Nyatanya tidak ada ulama uhsul
fiqh yang menyatakan bahwa keharaman itu dihasilakn dari sebuah
perkara yang ditinggalkan Nabi s.a.w, atau juga dari perkara yang Nabi s.a.w
tidak pernah lakukan!
Ketika
membahas apa konsekuensi hukum dari al=Tarku (meninggalkannya
Nabi sebuah perkara) dalam kitabnya Husnu al-tafahhumi wa al-Darki fi
Masalati al-Tarki [حسن التفهم والدرك في مسألة الترك] hal. 11,
Sheikh Abdullah al-Shiddiq al-Ghumariy mengutip pernyataan Imam Ibn Hazm bahwa
memang meninggalkannya Nabi s.a.w bukan berarti itu dalil keharaman;
وَأَمَّا حَدِيثُ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ
فَلَا حُجَّةَ فِيهِ أَصْلًا؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ فِيهِ إلَّا إخْبَارُهُ - رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ - بِمَا عَلِمَ؛ مِنْ أَنَّهُ لَمْ يَرَ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - صَلَّاهُمَا، وَهُوَ الصَّادِقُ فِي قَوْلِهِ،
وَلَيْسَ فِي هَذَا نَهْيٌ عَنْهُمَا، وَلَا كَرَاهَةٌ لَهُمَا؛ [وَمَا] صَامَ -
عَلَيْهِ السَّلَامُ - قَطُّ شَهْرًا كَامِلًا غَيْرَ رَمَضَانَ؛ وَلَيْسَ هَذَا
بِمُوجِبٍ كَرَاهِيَةَ صَوْمِ [شَهْرٍ كَامِلٍ تَطَوُّعًا]
“sedangkan
hadits Ali, itu tidak menjadi dalil apa-apa, kecuali hanya pemberitahuan bahwa
ia tidak pernah melihat Nabi melakukan shalat 2 rakaat (ba’da ashar), ia benar
dengan perkataannya. Akan tetapi tidak ada dalil larangan sahalat 2 rakaat
ba’da ashar, tidak juga dimakruhkan. Dan tidak puasanya Nabi sebulan penuh
melainkan Ramadhan bukan dalil makruhnya puasa (sunnah) sebulan penuh di bulan
lain” (Ibn Hazm / al-Muhalla; 2/36)
Dalam
kutipan ini, kita menyaksikan bahwa Imam Ibnu Hazm sama sekali tidak menjalani
kaidah “Yang tidak Nabi Kerjakan, berarti haram!”, itu tidak
diamalkan oleh beliau. Karena memang al-Tarku itu tidak
membuahkan hasil hukum apa-apa. dan sebuah keharaman tidak bisa dihasilkan oleh
sesuatu yang ditinggalkan.
Kenapa Imam Ibnu
Hazm?
Penulis
mengutip pernyataan Imam Ibn Hazm al-Andalusi ini bukan tanpa alasan, tapi
justru guna memperkuat bahwa meninggalkannya Nabi s.a.w sebuah perkara bukan
berarti keharaman. Melihat bahwa Imam Ibn Hazm adalah ulama dari kalangan
madzhab fiqh al-Dzahiriyah yang terkenal sangat ketat dalam menjalan
sunnah-sunnah Nabi s.a.w dan sangat ketat sekali memperhatikan tekstual sebuah
ayat dan hadits.
Bahkan
madzhab al-Dzohiriyah mengharamkan adanya qiyas dalam ushul
mereka. jadi menurut mereka, qiyas tidak bisa dijadikan sebagai
dalil hukum, karena qiyas tidak pernah ada dalam al-Quran dan
juga hadits Nabi s.a.w. intinya memang sangat tekstualis sekali, sampai-sampai
mengharamkan qiyas dan hanya mengamalkan apa yang tertera secara eksplisit saja
dalam al-Quran dan hadits.
Imam Ibn
Hazm saja yang memang dikenal sangat ketat dan hanya melaksanakan apa yang ada
dalam al-Quran dan hadits itu meyakini dengan sangat bahwa yang namanyaal-tarku itu
tidak membuahkan hukum apa-apa. dan zaman sekarang ini, yang mengatakan bahwa
meninggalkannya Nabi s.a.w sebuah perkara berarti itu haram adalah kelompok
yang selalu mengaku kepatuhan mereka akan mengikuti al-Quran dan sunnah dengan
sangat ketat.
Berikut
ini akan dijelaskan beberapa hal yang menguatkan pandangan ulama bahwa yang
namanya al-Tarku atau meninggalkannya Nabi s.a.w sebuah
perkara tidak berbuah keharaman;
1] Haram adalah Hukum
Taklif
Hukum
taklif dalam syariah ada 5; Wajib, sunnah, haram, makruh, mubah. Itu menurut
Jumhur ulama, akan tetapi dalam madzhab Imam Abu Hanufah, hukum taklif ada 7;
Fardhu, Wajib, Sunnah, Makruh Karahah Tanzih, Makruh Karahah, Haram dan Mubah.
Sama
seperti hukum taklif lainnya, Haram pun tidak muncul begitu saja, sesuatu bisa
dihukumi haram tentu dengan beberapa bukti dan dalil dari teks-teks syariah yang
jelas nyata mengindikasikan larangan. Dan dalam litarasi Ushul fqih, ada
beberapa ciri teks syariah yang berbuah hukum haram dalam syariah, yang dalam
bahasa ulama Ushul disbeut dengan Shiyagh al-Tahrim [صيغ التحريم]. Di
antaranya;
a) Al-Nahyu
[النهي] = Larangan
Salah
satu ciri yang membuat sesuatu itu dihukumi haram adalah adanya teks syariah
yang melarang atau yang dalam bahasa syariah disebut dengan al-Nahyu [النهي].Bahkan
dalam madzhab Imam Abu Hanifah, sesuatu yang haram itu tidak mungkin muncul kecuali
dari teks syariah (nash) yang mengindikasikan larangan dengan syarat ia harusqath’iy (pasti
dan tidak multi tafsir) baik tsubut (sumber)-nya atau
juga dilalah (indikasi)-nya. Contohnya;
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“dan
janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (al-Isra; 32)
عن حذيفة أن النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ "نَهَانَا عَنْ الْحَرِيرِ وَالدِّيبَاجِ وَالشُّرْبِ فِي آنِيَةِ
الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَقَالَ هُنَّ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا وَهِيَ لَكُمْ فِي
الْآخِرَةِ"
Dari
Huzaifah, Nabi s.a.w melarang kami (memakai) sutera dan (melarang kami) meminum
dari bejana yang terbuat dari emas serta perak. Lalu beliau s.a.w mengatakan;
“itu untuk mereka (wanita) di dunia dan untuk kalian (laki-laki) di
akhirat”. (HR. al-Bukhari)
Dua tek
syariah ini mengindikasikan keharaman yang nyata karena kandungan
masing-masing nash itu larangan. Jadi hukum berzina haram
karena ayat tersebut, dan memakai emas serta sutra haram bagi laki-laki karena
adanya hadits tersebut.
b) Al-Tahrim
[التحريم] = Teks dengan Kalimat Haram
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ
وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ
“Sesungguhnya
Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang
(ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.” (al-Baqarah;
173)
وعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا لَمَّا
نَزَلَتْ آيَاتُ سُورَةِ الْبَقَرَةِ عَنْ آخِرِهَا خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ حُرِّمَتْ التِّجَارَةُ فِي الْخَمْرِ
Dari
A’isyah r.a, ketika turun beberapa ayat-ayat terakhir surat al-Baqarah, Rasul
s.a.w keluar dan mengatakan; “telah diharamkan jual beli khamr”. (HR
al-Bukhari)
Kedua
teks syariah di atas menunjukan bahwa bangkai itu haram di makan, dan yang
kedua haram menjual serta membeli khamr. Keduanya diharamkan karena ada teks(nash) syariah
yang melarangnya tersebut.
c) Ancaman
Melaksanakannya [التوعد على الفعل بالعقاب]
Kemudian,
yang juga membuat sesuatu itu haram dilakukan dalam syariah ini adalah sesuatu
yang teks-teks syariah mengancam kita untuk melakukannya atau jika dilakukan
ada dosa yang akan didapatkan. Misalnya;
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا
أَيْدِيَهُمَا
“pencuri
(laki-laki) dan pencuri (wanita), potonglah tangan-tangan mereka …” (al-Maidah;
38)
Dalam
ayat ini, Allah s.w.t mengancam bahwa pencuri itu ganjarannya adalah potong
tangan. Karena ada ancaman seperti itu, ini menjadikan pencurian itu sebagai
sesuatu yang diharamkan.
Sejatinya shiyagh atau
redaksi teks syariah yang menunjukkan sebuah kaharaman bukan hnaya 3 ini saja,
banyak juga yang lainnya, akan tetapi 3 contoh di atas sebagai contoh yang
paling sering muncul. Intinya bahwa kita tidak akan menemukan dalam
literasi ushul para ulama Salaf yang
mengatakan sesuatu itu haram karena Nabi s.a.w tidak mengerjakannya. Atau haram
karena Nabi s.a.w meninggalkan itu.
Dan al-Tarku bukan al-Nahyu
(larangan), bukan juga al-Tahrim (perngharaman),bukan
juga Dzamm wa al-Tawa’ud ala al-Fi’li (ancaman melaksanakan).
Al-Tarku adalah al-tarku yang tidak menghasilakn
hukum apa-apa.
2] Yang Diharamkan adalah
Yang Dilarang
Mari kita
teliti ayat dan hadits berikut ini;
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا
نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“apa yang
dikerjakan, ambillah. Dan apa yang dilarang, maka
tinggalkanlah” (al-Hasyr; 7)
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ ، وَمَا
أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“apa
yang aku larang, maka tinggalkanlah. Dan apa yang aku perintahkan,
kerjakanlah semampu kalian” (HR. Muslim)
Ayatnya
jelas memerintahkan kita orang muslim untuk selalu mengikuti apa yang telah
Nabi s.a.w kerjakan, dan meninggalkan apa yang beliau larang. Begitu juga
hadits setelahnya, perintah yang jelas sekali untuk umat Islam untuk mengikuti
dan mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Nabi s.a.w. dan meninggalkan dengan
sepenuhnya apa yang beliau larang.
Namun
perlu diperhatikan, bahwa yang diperintah untuk kita meninggalkannya adalah
apa-apa yang dilarang, bukan apa yang ditinggalkan. Jelas melarang berbeda
dengan meninggalkan. Dan karena inilah, para ulama ushul tidak
ada yang mengatakan sesuatu itu haram dan wajib ditinggalkan hanya karena Nabi
s.a.w. meniggalkannya. Yang jelas haram dan wajib ditinggalkan serta dijauhi
adalah yang Nabi s.a.w. larang bukan yang beliau tinggalkan (al-Tarku).
3] Meninggalkan itu Banyak
Motifnya
Ini yang
terpenting dalam perumusan hukum, para ulama ushul tidak
menjadikan sebuah hukum dari sesuatu yang mempunyai multi tafsir atau punya
banyak kemungkinan yang biasa disebut dengan Ihtimal [احتمال]. Berhukum
haruslah disandarkan kepada sesuatu/dalil yang pasti dan punya makna jelas
tidak bersayap.
Dan dalam
hal meninggalkan (al-Tarku) Nabi s.a.w. sebuah perkara, itu banyak
motifnya (akan disebutkan selanjutnya), bisa karena lupa, atau juga karena
khawatir menjadi wajib bagi ummatnya, atau juga karena memang –pada zamannya-
tidak ada yang membuatnya untuk melakukan itu.
Karena
banyak motifnya, banyak kemungkinannya, banyak tafsirnya, al-tarku ini
tidak bisa dijadikan dalil. Dan ulama ushul telah menyepakati
ini, sehingga mereka memunculkan sebuah kaidah dalam ilmu ushul Fiqh;
إذا تطرق إليه الاحتمال سقط به الاستدلال
“kalau
punya banyak kemungkinan (multi tafsir), maka tidak bisa dijadikan dalil.”
Dr.
Muhammad SUlaiman al-Asyqar, dalam kitabnya yang juga disertasi beliau
berjudul Af’al al-Rasul wa Dalalatuha ala al-Ahkam alSyar’iyyah [أفعال الرسول صلى الله عليه وسلم
ودلالتها في الأحكام الشرعية], yang
kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia bisa diartikan “Pekerjaan Nabi
s.a.w. dan Indikasinya atas Hukum Syariah”. Dalam disertasinya ini,
beliau menjelaskan secara rinci perihal al-Tarku (meninggalkan)
Nabi s.a.w. dalam satu bab khusus di jilid 2 dari halaman 45 sampai halaman 70.
Di
dalamnya juga beliau menjelaskan beberapa motif Nabi s.a.w. di antaranya;
a)
Meninggalkan Perkara Sunnah Khawatir Menjadi Wajib
Ini yang
masyhur sekali di telinga kita, bahwa Nabi s.a.w. meningalkan shalat tarawih
berjamaah bersama para sahabat, dan hanya melakukan jamaah tarawih bersama
mereka di 3 atau 3 malam pertama saja. Ketika ditanya mengapa Nabi s.a.w.
meninggalkannya, beliau menjawab; “Aku khawatir itu menjadi wajib bagi
kalian, dan kalian tidak sanggup”.(Muttafaq ‘alayh)
b) Meninggalkan
Perkara Sunnah Khawatir Dianggap Wajib
Ini
hampir sama dengan yang di atas, akan tetapi Dr. al-Asyqar mengatakannya
berbeda. Beliau mencontohkan perkara bahwa Nabi s.a.w. selalu melakukan wudhu
untuk setiap shalat sebagai sebuah kesunahan. Kemudian pada peristiwa fathu
Makkah, beliau hanya melakukan satu kali wudhu untuk shalat seharian
penuh itu. Lalu sayyidina Umar menanyakan hal itu kepada Nabi, kemudian Nabi
menjawab bahwa beliau melakukannya sengaja.
Imam Ibnu
Hajar al-Asqalani dalam kitabnya Fath al-Bari (jil. 1 hal.
316) mengutip serta menguatkan pendapat Imam Thahawi yang menafsirkan hadits
tersebut, bahwa melakukan wudhu di setiap kali shalat adalah perkara yang
sunnah, dan Nabi s.a.w. meninggalkan kebiasaan itu pada hari fathu
Makkah agar umat tidak menganggap bahwa berwudhu di setiap kali shalat
sebuah kewajiban, serta memberitahukan kepada umat bahwa ini sesuatu yang
boleh.
c)
Meninggalkan al-Raml dalam Thawaf Khawatir Menyulitkan
Imam
al-Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab al-Hajj di masing-masing Kitab Shahih
mereka, meriwayatkan hadits dari sahabat Ibnu Abbas r.a bahwa Nabi s.a.w.
meninggalkan al-Raml (lari-lari kecil) untuk thawaf di putaran
ke-4 sampai seterusnya karena khawatir memberatkan umat.
وَلَمْ يَمْنَعْهُ أَنْ يَأْمُرَهُمْ أَنْ
يَرْمُلُوا الْأَشْوَاطَ كُلَّهَا إِلَّا الْإِبْقَاءُ عَلَيْهِمْ
Ibnu
Abbas r.a.: “tidak ada yang mencegah Nabi untuk memerintahkan mereka agar raml
di semua putaran Thawaf kecuali karena kasih sayangnya kepada umat”. (Muttafaq
‘alayh)
d) Meninggalkan
Sesuatu Khawatir ada Mafsadah Yang Muncul
Nabi
s.a.w. pernah meninggalkan sesuatu karena khawatir kalau itu dikerjakan, akan
menimbulkan mafsadah/keburukan, atau juga stigma negative dari sekitar. Salah
satu contohnya, Nabi s.a.w. membiarkan dan tidak membunuh kaum Munafiq yan
sudah jelas kerusakan dan keburukannya kepada ummat. Karena khawatir kalau
beliau s.a.w. membunuh, orang-orang Kafir akan membuat opini negative bahwa
Nabi s.a.w membunuh sahabatnya sendiri. Dengan kesan negative itu, akhirnya
membuat yang lain enggan untuk memeluk Islam.
e)
Meninggalkan Shalat Jenazah Yang Berhutang
Dalam
hadits shahih yang diriwayatkan oleh shaikhan (Imam al-Bukhari
dan Imam Muslim), Nabi s.a.w. menolak untuk menshalati jenazah yang masih punya
hutang dan belu dilunasi. Nabi s.a.w. menolak untuk itu sebagai hukuman bagi
mereka yang masih punya tanggungan namun belum juga diselesaikan agar umat yang
lain tidak mengulangi hal yang sama.
Akan
tetapi, walaupun beliau menolak shalat untuk orang yang punya hutang, beliau
s.a.w. tidak melarang umatnya untuk menshalati jenazah yang punya hutang itu.
Dan para ulama pun sama sekali tidak ada yang mengharamkan shalat untuk jenazah
yang punya putang dengan alasan Nabi s.a.w menolak untuk menshalatinya.
f)
Meninggalkan Karena Tidak Biasa
Dalam
kitab shahih al-Bukhari dan juga Shahih Imam Muslim, Sahabat Abu Hurairah r.a.
pernah meriwayatkan bahwa Nabi s.a.w. pernah ditawari daging panggang, ketika
ingin mengambilnya, salah seorang sahabat mengatakan bahwa itu daging dhabb (sejenis
kadal), mendengar itu, Nabi s.a.w. tidak jadi mengambilnya.
Ketika
ditanya apakah itu haram? Nabi s.a.w. tidak mengatakan demikian, ia hanya tidak
biasa saja dengan makanan yang emmang tidak ada di kampungnya itu, namun tidak
melarang para sahabat yang lain untuk memakannya.
Itulah
beberapa jenis al-tarku (meninggalkan) yang dilakukan oleh
Nabi s.a.w., dan sejatinya masih banyak lagi, bahkan banyak sekali
perkara-perkara yang memang tidak dilakukan Nabi s.a.w. dalam hidupnya baik
berupa ibadah maupun ‘Adah (non-ibadah). Artinya memang motif
meninggalkan sebuah perkara itu bisa bermacam-macam, karena memang banyak
tafsirnya dan motifnya, itu tidak bisa serta merta dijadikan dalil untuk sebuah
keharaman.
Kalau Semua Yang
Ditinggalkan Menjadi Haram …
Dr.
Sulaiman al-Asyqar meneruskan bahwa kalau saja semua yang tidak Nabi s.a.w.
kerjakan dihukumi sebagai hukum haram dan tidak boleh dilaksanakan, tentu ini
akan menutup pintu ijtihad para ulama. Tidak ada juga kemudian Maslahah
al-Mursalah, tidak ada juga qiyas yang banyak
dijadikan dalil oleh ulama untuk menghukum perkara-perkara yang memang tidak
dilakukan oleh Nabi s.a.w.
Dan
menjadi haram juga mengamalkan keumuman [عموم] ayat atau untuk setiap perkaranya, karena
alasan Nabi s.a.w. tidak melakukan itu. Padahal ulama sejagad ini sepakat bahwa
ayat dan hadits yang sifatnya umum tetap wajib diamalkan kecuali pada perkara
yang sudah di-takhshish (dikhususkan).
Beliau
menambahkan, itu juga berarti kita tidak diwajibkan zakat pertanian kecuali apa
yang memang sudah Nabi s.a.w. keluarkan zakatnya saja, yaitu’ Kurma, Gandum,
Jelai, dan Kismis.
إِنَّمَا سَنَّ رَسُولُ اللهِ صلعم الزَّكَاةَ فيِ
الحِنْطَةِ وَالشَّعِيْرِ وَالتَّمْرِ وَالزَّبِيْبِ
“Sesungguhnya
Rasulullah SAW menetapkan zakat pada gandum, jelai, kurma dan kismis.” (HR.
Ibnu Majah dan Ad-Daruquthny)
Karena
memang hanya 4 jenis tanaman itu saja yang nyata bahwa Nabi s.a.w. keluarkan
zakatnya. Selain jenis yang 4 itu tidak ada zakatnya. Apakah demikian? Nyatanya
ulama 4 madzhab tidak mengatakan demikian. Mereka memasukkan segala jenis
tanaman lain yang wajib dizakati tidak terbatas 4 jenis itu. Apakah berani kita
mengatakan bahwa para ulama 4 madzhab itu melakukan sebuah keharaman? Melakukan
sebuah bid’ah dalam agama karena menambah-nambah kewajiban zakat yang sejatinya
Nabi s.a.w. tidak mewajibkan itu? Begitukah?
Jangan Asal Mengharamkan
Maka
perlu ada pembahasan yang detil dan terperinci perihal al-tarku ini,
apakah konsekuensinya dalam syariah. Yang ditetapkan oleh para ulama ushul, bahwa
meninggalkannya Nabi s.a.w. sebuah perkara itu bisa membuahkan hukum haram
dengan dalil atau qarinah yang menguatkan keharamannya
tersebut. Sedangkan hanya al-tarkusaja, itu tidak bisa dijadikan
dalil keharaman.
Dalam hal
ini ulama sepakat bahwa al-tarku itu sama seperti sukut (diam)-nya
Nabi s.a.w., dan diamnya Nabi tidak membuahkan hasil hukum apa-apa kecuali
dikuatkan dengan dalil atau qarinah lain yang memang
benar-benar mendukung.
Untuk itu
baiknya tidak asal menuduh orang lain berbuat haram hanya karena kita tidak
tahu bahwa Nabi s.a.w. tidak melakukannya. Periksa dulu betul-betul dan jangan
gegabah melempar status negative kepada saudara muslim lainnya yang sama sekali
tidak berguna apa-apa kecuali hanya menimbulkan permusuhan belaka.
Wallahu
a’lam
Ahmad Zarkasih, Lc
sumber: rumahfiqih.com
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload