Empat Titik dalam Muktamar NU ke-33
8/08/2015
Titik Pertama:
Dalam menentukan keputusan di dalam NU tidak ada yang lebih tinggi dari
Muktamar, Maka semua ide termasuk AHWA bisa dianggap hanya sebagai usulan
kepada muktamirin yang seharusnya dibahas di dalam Muktamar bukan menjadi
syarat untuk masuk ke arena Muktamar. Jadi mestinya AHWA itu bukan menjadi syarat masuk Muktamar
tetapi dibahas di dalam Muktamar apakah diterima usulan itu atau tidak. Jadi
kalau kita menolak itu memang aturan organisasi bukan karena membenci
siapa-siapa.
Titik
kedua adalah tata tertib. Tata tertib ini secara
waktu sudah telat untuk sampai di tangan para Muktamirin, kalau tidak ada di
tangan Muktamirin berarti tata tertib ini tidak bisa dipelajari. Bahkan, bila
berita mengenai belum dibuatnya tata tertib itu benar adanya sehingga
muktamirin tidak bisa mempelajari tata tertib itu maka nantinya para muktamirin
tidak bisa menyetujui tata tertib tersebut karena tidak bisa mempelajari.
Nah, kalau tata tertib muktamar itu belum
disetujui maka kita memakai tata tertib yang lama, seperti pada
Muktamar-Muktamar yang terdahulu.
Titik ketiga
adalah agenda Muktamar itu sendiri, agendanya begini: Normalnya setelah adanya
tata tertib ada pertanggung jawaban. Setelah pertanggung jawaban ada pandangan
umum setelah pandangan umum baru ada komisi-komisi yang merinci pemikiran
pandangan umum tersebut. Setelah dari komisi-komisi barulah dibawa ke sidang
pleno untuk disahkan. Kalau sudah disahkan di sidang pleno maka pengurus
dinyatakan demisioner. Kemudian dilakukan pemilihan pengurus, dan pengurus itu
bukan oleh PBNU tapi oleh para peserta. Oleh karena kita harus meluruskan
perjalanan ini sesuai dengan prosedur agenda Muktamar; titik pertama,
pendaftaran, kedua, tata tertib, yang ketiga, agenda Muktamar itu sendiri.
Yang keempat
jangan lupa isi dari Muktamar itu sendiri. Nah, isi Muktamar disampaikan baik
di komisi ataupun di sidang pleno. Jangan kita terperangkap di dalam pro-kontra
AHWA saja, sementara isi dari pada Muktamar membelokkan haluan Nahdlatul Ulama
(NU). Nah, setelah pemilihan itu, nanti biasanya ditentukan siapa pembantu atau
formatur yang mendampingi Rois dan ketua terpilih. Ini gambaran umumnya
sehingga kalau kita masuk di titik pertama, itu niat kita mengambil kembali hak
kita, hak suara kita, hak milik Wilayah dan Cabang kalau diambil orang lain,
misalnya PB, harus seridlo daripada Wilayah dan Cabang. Kalau tidak ada ridlo
kemudian diambil saja ya itu ghosob namanya.
Oleh:
KH. Hasyim Muzadi
Sumber:
tebuireng.org, edisi 1/8/15
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload