Kritik atas Pandangan Syi'ah tentang Nikah Mut'ah
7/07/2015
A. Pendahuluan
Dalam
Islam, pernikahan merupakah bagian dari agama dan memiliki nilai yang sakral.[1] Karena itu pelaksanaannya harus
sesuai dengan hukum fiqih yang telah disepakati para ulama. Mengabaikan
ketentuan hukum ini akan menghilangkan nilai kesakralan itu. Konsekuensinya,
akan banyak permasalahan yang ditimbulkan. Sebab, garis nasab/garis keturunan seseorang hanya bisa didapat dari
hasil sebuah perkawinan yang sah, begitu juga pembagian harta warisan. Seorang
anak yang terlahir dari orang tua di luar perkawinan yang sah, secara
biologis memiliki orang tua, namun secara hukum tidak bisa dikatakan sebagai orang
tua yang sah pula.
Berbeda
dengan sebuah pernikahan dalam ajaran Syiah; yang dikenal dengan sebutan nikah
mut’ah (kawin kontrak). Meskipun kasusnya telah lama terjadi, namun demikian
masih banyak terjadi simpang-siur pendapat tentang hukum pernikahan tersebut.
Sementara dampak negatif yang ditimbulkan juga membuat orang tidak semuanya
setuju secara nurani. Namun, Syiah berkeyakinan, bahwa nikah mut’ah masih
dibolehkan berdasarkan Al-Kitab, Hadits an-Nabawi, ijma’ dan qiyas.[2] Mereka juga beranggapan, bahwa
mut’ah adalah sebuah solusi untuk menghindarkan seseorang dari perzinaan.[3] Bahkan, beberapa Imam dan ulama’
mereka ada yang berfatwa bahwa nikah mut’ah dapat mengampuni dosa[4]. Ada juga yang menyebutnya belum
sempurna seorang mukmin kalau belum melakukan nikah mut’ah.[5]
Islam
memang pernah membolehkan nikah mut’ah pada awal Islam.[6] Tapi yang masih menjadi polemik,
apakah pembolehan itu masih berlaku sampai sekarang atau tidak? Sebab,
telah ada nash yang me-nasakh hukum tersebut.
Jika
Syiah menyatakan bahwa nikah mut’ah dibolehkan dan bahkan dianjurkan, maka
pertanyaannya: Sejauh mana kevalidan dalil-dalil yang mereka gunakan dapat
dipertahankan? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan penulis bahas dalam
kajian berikut.
B.
Pengertian Nikah Mut’ah
Secara
etimologi, kata mut’ah (متعة) dalam bahasa Arab berasal dari kata mata’
(متاع) yang bermakna kesenangan atau sesuatu yang memberi manfaat
seperti makanan, perlengkapan rumah tangga, uang dan lain-lainnya.[7]
Sedangkan
secara terminologi, kata mut’ah setidaknya mengandung beberapa makna dan
pengertian yang berbeda, sesuai dengan namanya. Ada nikah mut’ah, mut’ah haji
dan mut’ah cerai.[8] Ketiganya meski sama-sama
menggunakan istilah mut’ah tetapi memiliki pengertian yang berbeda-beda.
Nikah
mut’ah adalah sebuah pernikahan yang terikat dengan waktu atau pernikahan munqathi’ (terputus), di mana seorang laki-laki
dan perempuan mengadakan akad nikah dengan ketentuan waktu sehari, sepekan atau
sebulan. Pernikahan seperti ini akan habis masanya bersama dengan habisnya
waktu kontrak.[9] Sedangkan menurut Muhammad Jawad,
antara nikah mut’ah dengan nikah permanen tidak ada perbedaan, di mana ia tidak
sah tanpa adanya akad yang sah yang menunjukkan maksud nikah mut’ah secara
jelas.[10]
Menurut
Muhammad Bagir, dinamakan nikah mut’ah yang berarti (sesuatu yang dinikmati
atau dimanfaatkan) karena yang melakukannya memperoleh manfaat dan kenikmatan
sampai batas waktu yang ditentukan.[11] Singkatnya, nikah mut’ah adalah
nikah yang waktunya terbatas.
Dalam
ibadah haji juga dikenal istilah mut’ah, yaitu haji tamattu’. Haji tamattu’
adalah salah satu metode mengerjakan haji, di mana orang yang telah tiba di
Tanah Haram dan telah melaksanakan umrah, tidak langsung mengerjakan ibadah
haji dengan terus berihram, akan tetapi berhenti dari berihram sambil menunggu
masuknya Hari Arafah.[12] Haji dengan metode tamattu’ ini
disyariatkan dalam firman Allah SWT. (QS Al-Baqarah 196): “ … Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan ‘umrah sebelum haji (di
dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat…”.
Yang
terakhir, istilah mut’ah juga digunakan sebagai harta yang diberikan oleh suami
kepada istri ketika terjadi perceraian, yang sifatnya bukan kewajiban melainkan
hanya sebagai anjuran.[13] Dasarnya adalah firman Allah
SWT, “Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh
suaminya) mut’ah menurut yang ma’ruf….”[14]
C.
Syarat dan Ketentuan dalam
Mut’ah
Dalam
nikah mut’ah ada rukun yang harus dipenuhi oleh seseorang yang ingin melakukan
pernikahan tersebut. Seperti halnya dalam nikah permanen, rukun-rukun itu jika
tidak terpenuhi maka menyebabkan tidak sahnya pernikahan. Rukun-rukun itu
adalah sebagai berikut:
Pertama, akad, karena ada dan tidaknya
suatu ikatan itu tergantung pada akad. Bentuk akad dalam nikah mut’ah adalah
sebagai berikut[15]:
“أتزوجك متعة كذا كذا… بكذا كذا….”
“Saya
nikahi kamu secara mut’ah dengan mahar sekian dan waktu sekian….”
Sebagian
ulama Syiah berpendapat bahwa lafazh yang dipakai dalam akad harus menggunakan
bentuk madhi, yaitu zawwajtuka atau ankahtuka, karena bentuk seperti ini lebih mengandung
makna yang pasti daripada bentuk mudhari’nya.[16]
Kedua, harus ada kesepakatan tentang
batasan waktu. Jika tidak disebutkan batasan waktunya, maka status nikahnya
menjadi permanen. Dan adanya batasan waktu itulah yang paling membedakan di
antara dua nikah tersebut. Karena itu dalam Al-Kafi, Abu ‘Abdillah berpendapat
bahwa tidak ada nikah mut’ah jika tidak ada batasan waktu.[17] Sementara Imam ar-Ridho pernah
ditanya oleh muridnya: “Apakah mungkin melaksanakan nikah mut’ah untuk waktu
satu atau dua jam saja? Beliau menjawab: “Tidak ada batas waktu yang dapat
dimengerti dari satu atau dua jam saja. Bahkan Syiah mengutip perkataan Abu
Hasan yang menyatakan bahwa mut’ah boleh dilakukan untuk sekali hubungan saja.”[18]
Ketiga, mahar. Sebagaimana dalam nikah
permanen, dalam nikah mut’ah, pihak laki-laki wajib memberi mahar kepada pihak
perempuan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Abdillah bahwa nikah mut’ah itu
tidak sah kecuali dengan batasan waktu dan mahar.[19] Adapun bentuk dari mahar itu tidak
mengikat. Bisa harta benda, uang, perhiasan, perabotan rumah tangga, binatang,
ataupun berbentuk jasa dan tidak ada batas minimal dan maksimal pemberiannya.
Segala sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli dapat dijadikan
mahar.[20] Hal ini dipertegas lagi oleh
pernyataan Abu Abdillah ketika ditanya tentang jumlah mahar dalam nikah mut’ah
itu, beliau menjawab: “Berapapun jumlahnya yang kamu saling meridhai
terhadapnya”[21]
Keempat, adanya calon suami-istri. Tidak
mungkin ketiga rukun di atas tadi terlaksana jika tidak ada rukun ini. Dalam
hal ini, calon suami-istri adalah orang yang tidak terhalang oleh ketentuan
syara’ untuk melangsungkan akad pernikahan, baik itu karena nasab maupun
sesusuan, ataupun tidak sedang menjadi istri orang lain dan tidak dalam waktu
‘iddah.[22]
Selain
keempat rukun di atas, masih ada beberapa ketentuan lain berkaitan dengan nikah
mut’ah dalam madzhab Syiah Imamiyah (yang biasa disebut juga madzhab Ja’fary).
Bahwa dalam nikah mut’ah tidak ada kewajiban memberi nafkah, karena sudah cukup
dengan pembayaran mahar yang disetujui bersama pada saat dilangsungkannya akad
nikah. Dalam hal ini, pihak perempuan punya hak tawar di awal. Dia berhak
menentukan besar-kecilnya mahar, yang sekiranya pihak laki-laki nanti tidak
memberi nafkah, hal itu tidak menjadi persoalan.[23]
Seperti
halnya nikah permanen, dalam nikah mut’ah juga dikenal ‘iddah apabila perempuan
(yang dimut’ah) itu ditinggal mati atau dicerai suaminya. Dan masa Iddah itu
selama 45 hari atau dua kali masa haid bagi yang dicerai, dan empat bulan
sepuluh hari bagi yang ditinggal mati suaminya, baik telah dicampuri ataupun
belum.[24]
Mengenai
jumlah wanita yang dimut’ah, tidak ada batasan tertentu. Dan dia tidak termasuk
wanita yang empat – jumlah wanita yang boleh dinikahi dalam nikah permanen –
dan hal itu karena mereka dibayar, jadi terserah kepada laki-laki.[25]
Yang
lebih membedakan lagi dengan nikah permanen adalah, bahwa dalam nikah mut’ah
tidak diperlukan adanya saksi, sama seperti pendapat madzhab Syiah Imamiyah
(atau madzhab Ja’fary) tentang tidak wajibnya persaksian dalam nikah biasa.
Bahkan, jika calon istri telah baligh, dia berhak menentukan nasibnya sendiri
tanpa ada intervensi dari orang tuanya dalam memilih calon suami. Jika demikian
nikah mut’ah bisa dilaksanakan antara dua orang saja (calon suami-istri).[26]
Ketentuan
yang lain, tidak boleh memperpanjang waktu yang ditentukan. Apabila
seorang yang melakukan mut’ah ingin menambah masa kontraknya, ia harus menunggu
kesepakatan yang pertama habis baru membuat kesepakatan yang baru lagi.[27]
Dalam
masalah warisan, meskipun terdapat perselisihan pendapat, namun menurut riwayat
yang sah sebagaimana dianut oleh kebanyakan ulama’ Syiah adalah yang mengatakan
tidak ada waris dalam nikah mut’ah, kecuali jika dalam akadnya tidak ada ikatan
waktu, artinya nikah itu adalah nikah daim (selamanya),
yang tidak masuk dalam kategori nikah mut’ah. Dalam kondisi ini terdapat hak
waris bagi yang ditinggal mati.[28]
Sebagai
legalisasi hukum mut’ah, para ulama’ Syiah banyak mengeluarkan fatwa, baik
dalam kitab-kitab maupun melalui dunia maya (internet), seperti di blog,
situs-situs, bahkan jejaring sosial. Dan perlu diketahui, bahwa seorang
Ulama apalagi telah dianggap sebagai marja’ (rujukan)
mereka, akan selalu diikuti apabila mengeluarkan fatwa. Karena menaati ulama’
-dalam pandangan mereka- merupakan kewajiban pertama[29]. Ucapan mereka adalah ucapan Tuhan[30], karena para fuqaha’ adalah pengganti
Imam, sementara Imam adalah penerus Rasul, dan Rasul adalah utusan Tuhan. Untuk
itu, para Rasul dan Imam memiliki sifat ma’shum[31], sementara
para fuqaha’ dekat dengan kemaksuman, sehingga apa yang diucapkan itu pastilah
merupakan representasi dari kebenaran.
Di antara
fatwa-fatwa para fuqaha’ Syiah terkait dengan nikah Mut’ah adalah: Dibolehkan
melakukan mut’ah dengan seorang PSK. Sebagaimana fatwa yang dikeluarkan oleh
Ayatullah Al-‘Uzhma Sayyid Muhammad Shadiq Al-Husaini Ar-Ruhani.
Saat
beliau ditanya oleh salah seorang:
“Suatu
saat saya pergi ke klub malam, seorang wanita pelacur (PSK) memintaku untuk membayarnya
sebesar 100 $ (dolar), ia berkata padaku, “Saya berikan tubuhku ini semuanya
untuk kamu pakai bersenang-senang sebagai ganti dari uang ini, tapi dalam
jangka sehari saja”, apakah ini sudah termasuk nikah mut’ah?
Beliau
(Muhammad Shadiq) menjawab:
”Bismillahi
Jallat Asma’uhu… jika ia mengatakan dengan maksud untuk menikah dan Anda
menjawabnya setelah itu dengan: “Saya terima untuk diriku sendiri”, maka ini
sudah termasuk nikah mut’ah.[32]
Jika
demikian, lantas apa bedanya dengan orang yang pergi ke tempat lokalisasi, lalu
mengadakan transaksi berupa kesepakatan uang dan waktu?
Transaksi
mut’ah juga diperbolehkan melalui telepon. Pendapat ini diutarakan oleh Syekh
Ali As-Sistani. Yang penting syarat-syaratnya dipenuhi, seperti shighah, mahr, dan muddah (waktu).[33]
D.
Keutamaan dan Pahala Nikah
Mut’ah menurut Syiah
Menurut
pandangan Syiah seorang yang melakukan mut’ah akan mendapat pahala dan ampunan
dari Allah SWT. Dalam hal ini Syiah mengutip perkataan Imam Al-Baqir:
“Jika
seseorang melakukan mut’ah karena Allah ‘Azza wa jalla dan
menyelisihi si fulan, maka tidaklah ia mengucap satu ucapan, kecuali Allah
mencatatnya sebagai satu kebaikan untuknya. Jika ia menyetubuhinya, Allah akan
mengampuni dosanya. Jika ia mandi, Allah memberi ampunan untuknya sejumlah air
yang membasahi kepalanya, yaitu sebanyak rambutnya.[34]
Masih
dari Imam Al-Baqir, ketika Rasulullah Saw di-isra’kan ke langit,
beliau ditemui Jibril, lalu berkata:
“Wahai
Muhammad, sesungguhnya aku telah mengampuni orang-orang yang melakukan nikah
mut’ah dari kalangan wanita.”[35]
Yang
menjadi pertanyaan lagi: Dalam nikah mutlak yang jelas-jelas dibolehkan,
tidak ada jaminan pahala sebesar itu, mengapa mut’ah yang masih belum jelas
hukumnya, pahalanya begitu besar?
Selain
itu, mut’ah dianggap sebagai pengganti dari diharamkannya khamr. Hal ini dapat
dilihat dari fatwa yang disematkan kepada Imam As-Shadiq, bahwa Allah ‘Azza wa Jalla mengharamkan setiap minuman yang
memabukkan atas Syiah (kelompok) kami, dan menggantinya dengan mut’ah.”[36] Di mana letak hubungan antara
minuman khamr dan nikah mut’ah? Bukankah fatwa ini mengada-ada?
Tidak
seperti ajaran Sunni, mut’ah juga boleh dilakukan dengan wanita Yahudi, Nasrani
dan Majusi. Syekh Muhammad At-Thusi menyebutkan riwayat yang bersumber dari
Imam al-Ridha, bahwa beliau membolehkan menikahi wanita Yahudi, Nashrani,
bahkan Majusi secara mut’ah.[37] Padahal dalam Al-Quran surat Al-Baqarah 221, disebutkan, bahwa diharamkan bagi
kaum Muslimin menikahi wanita-wanita maupun budak perempuan yang musyrikah. Ataupun sebaliknya, kecuali mereka telah
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Dalam
kitab “Man la Yahdhuruhu al-Faqih” disebutkan bahwa seorang Mukmin tidak
dianggap sempurna sebelum melakukan nikah mut’ah.[38]
Mengenai
batas waktunya, tidak terbatas. Mut’ah boleh dilakukan dengan sekali melakukan
hubungan badan, sebagaimana disebutkan dalam kitab Furu’ al-Kafi: Bahwa Abu
Abdillah, ditanya tentang orang nikah mut’ah dengan jangka waktu sekali
hubungan suami-istri. Jawabnya: “Tidak mengapa, tetapi jika
selesai berhubungan hendaknya memalingkan wajahnya dan tidak melihat
pasangannya”.[39]
Mut’ah
juga tetap dianggap sah bila dilakukan dengan perempuan yang telah bersuami,
namun ia berbohong. Menurut Ayatullah Ali As-Sistani, sebaiknya sebelum
melakukan mut’ah, disarankan untuk bertanya-tanya dulu tentang status wanita
yang diinginkannya, pertama apakah dia wanita yang baik? Kemudian bertanya
tentang status bersuami atau belum. Seandainya dia ternyata berbohong, karena
mengaku perawan ternyata sudah bersuami, hal itu tidak membatalkan pelaksanaan
mut’ah. Karena mengetahui status wanita bukanlah syarat sahnya nikah mut’ah.[40] Hal serupa juga dikatakan Abu
Abdillah ketika ditanya, bagaimana jika ternyata wanita itu berbohong tentang statusnya,
bahwa dia bukan perawan lagi bahkan ada yang bilang dia pelacur? Maka jawaban
beliau: “Ini bukan urusanmu, percayalah pada pengakuannya.[41]
Dari
pemaparan fatwa-fatwa para Imam Syiah di atas tadi, dapat diambil kesimpulan,
bahwa betapa mudahnya pelaksanaan nikah mut’ah itu. Bahkan, kalau kita mau,
tiap hari bisa melakukannya untuk sekali hubungan dengan mahar yang paling
rendah, berarti bisa berupa sebungkus mie instan, atau sebotol minuman kaleng,
dan barangkali dengan membelikan pulsahandphone mungkin
saja terjadi, karena yang terpenting dalam mut’ah ini adalah mahar meskipun
sedikit dan waktu yang tidak ada batasan minimal. Selain itu, jaminan pahala
yang besar, dan kemuliaan yang didapat dari mut’ah begitu menggiurkan. Hal ini
akan mendorong para budak nafsu birahi untuk selalu menuruti kemauan
syahwatnya.
E.
Dalil-dalil Nikah Mut’ah
menurut Syiah dan Kritik Terhadapnya
Syiah
memakai beberapa dalil sebagai landasan pendapat mereka terhadap nikah mut’ah,
baik dari Al-Quran maupun Al-Hadits. Berikut dalil-dalil yang mereka
gunakan:
a) Dalil
dari Al-Quran surat An-Nisa’
Yang menjadi
dasar utama bagi Syiah dalam menentukan hukum mut’ah itu halal adalah firman
Allah SWT:
“Maka
karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah maskawinnya
kepada mereka sebagai suatu kewajiban”.[42]
Melalui
ayat tersebut di atas, Syiah memegang kuat qira’at beberapa
Sahabat seperti Abdullah bin Masu’d, Ibnu Abbas, Ubay Ibnu Ka’ab, Sai’d ibn
Jubair dan As-Saddi:
(فمااستمتعتم منهن (إِلَى أَجَلٍ مُسَمَّى) فآتوهن
أجورهن بالمعروف) Artinya: Maka karena kenikmatan yang telah kalian dapatkan
dari mereka “sampai batas waktu tertentu.[43] Maka berikanlah maskawinnya kepada mereka
sebagai suatu kewajiban.
Dasar
yang dijadikan pijakan pemahaman Syiah tentang tambahan kalimat ini:
Bahwa istimta’ (mengambil kenikmatan) dalam waktu
tertentu (ajal musamma) itu disebut mut’ah. Singkatnya,
ayat ini –menurut Syiah- telah menunjukkan dihalalkannya mut’ah.
Selain
itu ayat ini tidak dalam rangka menetapkan hukum yang baru, tetapi menerangkan
apa yang dipraktikkan kaum Muslimin dari kalangan Sahabat-Sahabat Nabi Saw dan
membimbing mereka kepada apa yang harus dilakukan dalam praktik yang sedang
mereka kerjakan. Karena itu, Allah SWT menggunakan kata kerja bentuk lampau
untuk menunjuk apa yang telah mereka kerjakan: استمتعتم, dan ini merupakan bukti kuat
bahwa para Sahabat sejatinya telah mempraktikkan nikah mut’ah.[44]
Menjawab
tentang qirā’ah Ibnu Mas’ud dan yang lainnya, Imam Nawawi
menyebutnya sebagai qirā’ah syādzah[45]. Artinya, bacaan itu cacat karena berbeda
dengan yang telah disepakati Jumhur Ulama’. Selain itu, tidak ada yang
meriwayatkan qiraah tersebut dari Nabi Saw kecuali sangat jarang dan itupun
hanya sebatas pemahaman atau pendapat pribadi Sahabat yang dalam ucapannya
menggunakan lafazhnya sendiri.[46] Padahal telah maklum, bahwa secara prinsip, pendapat Sahabat itu tidak
bisa dijadikan hujjah.[47] Imam At-Thabari juga berpendapat, bahwa ayat
tersebut bertentangan dengan yang tertulis dalam mushaf yang selama ini
digunakan oleh kaum Muslimin. Sehingga tidak boleh bagi siapapun memberi
tambahan ataupun pengurangan selama tidak ada riwayat yang qath’i dan mutawatir.[48] Al-Maziri juga menambahkan
dalam Al-Mu’allim bahwa qira’at Ibnu
Mas’ud itu adalah cacat, sehingga tidak boleh dijadikan hujjah.[49]
Selain
itu, kata إلى أجل مسمى terdiri dari jār dan majrūr yang
berkaitan dengan istimtā’, bukan terkait dengan
akad mut’ah itu sendiri. Padahal, sangat jelas bahwa adanya ketentuan waktu
dalam mut’ah itu berkaitan dengan akad bukan pada istimtā’.[50] Jelaslah bahwa tambahan kalimat
dalam ayat tersebut terdapat kerancuan, karena ada kontradiksi antara makna
ayat secara lahiriah dengan pengertian mut’ah itu sendiri.
Jika
memang ayat di atas konteksnya adalah mut’ah, mengapa ketika Umar Ra di atas
mimbar dan menyampaikan bahwa nikah mut’ah telah diharamkan sampai hari Kiamat,
tidak ada satu Sahabatpun yang menyanggahnya. Mestinya, dari golongan Syiah
memprotes ketika itu juga, begitu juga Ali Ra -yang mereka anggap sebagai Imam-[51] pasti tidak akan tinggal diam jika
ada yang salah dalam menerapkan syariat.
Turunnya
surat An-Nisa’ ayat 24 jika ditelusuri, merupakah bagian
dari ayat-ayat lainnya, yang menerangkan tentang wanita-wanita yang halal
maupun haram untuk dinikahi.[52] Meskipun, menurut Imam Ibnu Katsir
dalam tafsirnya,[53] ayat ini memiliki makna yang umum, sehingga
bisa juga dijadikan hujjah untuk
nikah mut’ah. Namun terlepas dari masalah umum dan tidaknya ayat itu, kita
dapat melihat bahwa perempuan yang dimut’ah itu, dalam pandangan Syiah,
tidak dianggap sebagai salah satu dari istri yang empat dalam nikah permanen.
Hal itu dikarenakan tidak ada talak dan tidak saling mewarisi, dia hanyalah
wanita sewaan (musta’jarah).[54] Jadi, sangat tidak sinkron jika
ayat ini dikatakan sebagai ayat mut’ah, karena tidak ada korelasi dengan wanita
yang halal dan yang haram untuk dinikahi.
b) Syiah
ber-hujjah dengan perkataan Sayyidina Ali Ra.
Menurut
Syiah, Ali menolak pengharaman mut’ah. Buktinya, dalam sebuah riwayat beliau
pernah ditanya oleh seseorang tentang hukum mut’ah, jawabnya:
“Sesungguhnya
Ali berkata bahwa kalau saja Umar tidak melarang mut’ah, maka tidak akan ada
orang berbuat zina.”[55].
Perkataan
Ali ini seakan-akan menyatakan tidak setuju dengan dilarangnya mut’ah oleh Umar.
Karena, dengan mut’ah itu orang-orang terhindar dari perbuatan zina.
Apakah
Ali benar-benar mengatakan demikian? Mari kita lihat sanad dari Hadits tersebut. Yang meriwayatkan
Hadits tersebut adalah Hakam bin ‘Utbah. Menurut Imam Ibn Hibban, dia telah berbohong
dan tidak jelas apakah Hadits itu berasal dari Ali, karena sanadnya terputus.
Sedangkan dia sendiri tidak mungkin bertemu dengan Ali karena hidup dalam waktu
yang berbeda. Dia lahir pada tahun 47 atau 50 H, sedangkan Ali Ra wafat pada 40
H. Jelaslah, bahwa riwayat ini tidak bisa dijadikan hujjah.[56]
Selain
itu, tidak satu pendapatpun dari Ahlu Bait yang meriwayatkan tentang
dibolehkannya mut’ah selain di atas tadi yang notabene-nya dha’if. Bahkan secara ijma’ Ahli Bait telah
mengharamkannya. Seperti disebutkan dalam Shahih Bukhari,
bahwa Ali Ra pernah mengingatkan Ibnu Abbas Ra yang bersikap “lunak”
dalam masalah mut’ah, dengan mengatakan bahwa Rasulullah Saw telah
melarangnya.[57]
Begitulah
usaha Syiah dalam mendapatkan dalil penghalalan mut’ah. Mereka membuat riwayat
dari Ali Ra padahal beliau sendiri melarang mut’ah secara keras.
c) Syiah
ber-hujjah dengan riwayat Ibnu Umar yang telah diubah.
Untuk
mendapatkan dalil yang kuat dalam penghalalan mut’ah, banyak cara dilakukan
oleh Syiah meskipun harus berbohong. Hal ini terlihat dari Hadits yang mereka
gunakan, salah satunya adalah Hadits Ibnu Umar, di mana Ibnu Umar pernah
ditanya tentang hukum nikah mut’ah, lalu beliau menjawab bahwa hal itu
dibolehkan.[58] Padahal dalam Jāmi’ at-Turmudhi, Imam At-Tirmidhi berkata bahwa
Ibnu Umar tidak ditanya tentang nikah mut’ah, akan tetapi tentang Mut’atul Hajj (Haji Tamattu’).[59] Bagaimana mereka begitu berani mengubah
nash, bukankah itu sebuah kebohongan yang jelas dan nyata? Dalam Mushannif Abdurrozak juga ada riwayat tentang Ibnu
Abbas, yang dijadikan dalil penghalalan mut’ah oleh Syiah.[60] Tapi dalam hal ini ada tiga
pendapat[61]:
Pertama, membolehkannya secara mutlak.
Disebutkan dari ‘Atha’, beliau mendengar Ibnu Abbas Ra berpendapat bahwa nikah
mut’ah dibolehkan.[62]
Kedua, membolehkannya dalam keadaan
darurat. Riwayat ini yang termasyhur dari beliau. Di antaranya lagi riwayat
dari Ubaidillah,[63] bahwa Abdullah bin Abbas berfatwa
tentang mut’ah. Karenanya, para ahli ilmu mencelanya, akan tetapi beliau
bergeming pada pendapatnya, hingga para ahli syair melantunkan syair tentang
fatwanya:
Wahai
kawan, kenapa engkau tidak melakukan fatwa Ibnu ‘Abbas?
Apakah
engkau tidak mau dengan si perawan sintal, dan seterusnya …
Maka
berkatalah Ibnu Abbas: “Bukan itu yang aku maksud, dan bukan begitu yang aku
fatwakan. Sesungguhnya mut’ah tidak halal, kecuali
bagi
yang terpaksa. Ketahuilah, bahwa ia tidak ubahnya seperti makan
bangkai,
darah dan daging babi”.
Ketiga, melarangnya secara mutlak, akan
tetapi riwayat ini lemah karena salah satu sanadnya ada Musa bin ‘Ubaidah.
Beliau dianggap oleh ahli rijal lemah (Dha’if).[64]
Dari tiga
pendapat ini, pendapat pertama yang diambil oleh Syiah. Namun, yang menjadi
pertanyaan kita (Sunni), mengapa mereka mengambil riwayat dari Ibnu Abbas Ra
yang sangat mereka benci, termasuk kepada Umar Ra, Aisyah, Abu Hurairah dan
lain-lainnya. Bahkan dalam salah satu ungkapannya mereka mengatakan bahwa para
Sahabat itu (derajatnya) tidak lebih dari sayap nyamuk.[65]
Tanggapan para Ulama Sunni
terhadap Fatwa Ibnu Abbas Ra
Dalam
sebuah riwayat, Ibnu Umar menanggapi pendapat Ibnu Abbas itu, bahwa tidak
mungkin dia memberi keringanan terhadap mut’ah. Bahkan dia (Ibnu Umar) berani
bersumpah atas nama Allah SWT untuk meyakinkan bahwa Ibnu Abbas tidak
melakukan (memberi keringanan mut’ah) itu. Menurutnya, jika dia berani
mengatakan itu pada masa Umar Ra sehingga orang-orang melakukan mut’ah, pasti
beliau akan menghukumnya karena mut’ah itu tidak lain adalah zina.[66]
Sementara
tanggapan Khattabi, pembolehan Ibnu Abbas akan nikah mut’ah itu adalah bagi
orang yang terdesak, atau karena terlalu lama membujang atau karena tidak
mampu. Akan tetapi beliau akhirnya mencabut fatwa itu dikarenakan banyak yang
melakukan praktik mut’ah ini secara serampangan, lalu beliau bertobat.[67] Pendapat ini juga diamini oleh Ibnu
al-Qayyim Al-Jauzi.[68] Sedangkan Al-Hafidz Ibnu Hajar
berpendapat bahwa kalangan ulama menilai bahwa fatwa Ibnu Abbas dalam masalah
mut’ah merupakan satu-satunya fatwa yang mengatakan boleh.[69]
Di
sinilah perbedaan antara Syiah dan Sunni. Mereka banyak melakukan manipulasi
terhadap periwayatan Hadits. Apakah hal itu dilakukan semata-mata untuk agama,
atau sekadar mencari legitimasi guna menuruti hawa nafsu mereka? Sebenarnya,
tidak sulit untuk membantah argumen-argumen Syiah dalam masalah nikah
mut’ah. Selain karena dangkalnya landasan argumentasi mereka, juga karena
sesuatu yang bathil meskipun ditutupi dengan serapat-rapatnya, akan tercium
juga kelak bau busuknya.
Syiah
berargumen dibolehkannya mut’ah adalah qath’i, sementara
pelarangannya adalah zhanni.
Penghalalan
nikah mut’ah pada awal Islam adalah suatu yang mujma’
‘alaih (disepakati). Baik Syiah
maupun Sunni telah sepakat akan hal itu, sehingga sifatnya adalah qath’i. Sementara, menurut Syiah, pengharamannya
sampai sekarang masih terjadi ikhtilaf dan
berarti zhanni. Sesuatu yang qat’i tidak bisa dihapus dengan zhanni.[70]
Jika
memang benar pendapat mereka itu, bukankah dulu umat Islam pernah disuruh
shalat menghadap ke Bait al-Maqdis dan
ini qath’i, lalu hukum itu dihapus dengan
perintah menghadap ke arah Ka’bah. Jadi sesuatu yang qath’i bukan berarti tidak bisa di-nasakh. Apalagi dalam nikah mut’ah, banyak riwayat
shahih yang telah menyebutkan pengharamannya,[71] sebagaimana yang akan penulis
paparkan nanti. Selain dari itu, dalam nikah mut’ah yang dipermasalahkan bukan
hukum asal penghalalannya melainkan hukum keberlangsungannya yakni setelah
pernah dihalalkan itu sampai sekarang. Jika menurut Syiah pengharamannya
adalah zhanni, maka keberlangsungan hukum halal itupun
juga zhanni. Sehingga hukum yang zhanni bisa di-naskh dengan
yang zhanni pula. Dalam hal ini, keberlangsungan hukum
halal itu yang di-nasakh (hapus).[72]
F.
Dalil-dalil Pengharaman Nikah
Mut’ah
Banyak
dalil yang menerangkan dilarangnya nikah mut’ah, baik dari Al-Quran maupun dari
Al-Hadits bahkan terdapat juga dalam kitab Syiah sendiri, berikut rinciannya:
a) Dalil
pengharaman Mut’ah dari kitab mereka sendiri.
Sebenarnya,
dalam kitab marja’ Syiah sendiri terdapat riwayat yang
melarang mut’ah itu. Bahkan matan Hadits
yang digunakannya sama dengan yang dipakai dalam riwayat Hadits Sunni.
Sebagaimana tercantum dalam kitab Tahdhību al-Ahkām,
dengan sanadnya dari Muhammad bin Yahya, dari Abu Ja’far dari Abul Jauza’ dari
Husein bin Alwan dari Amr bin Khalid dari Zaid bin Ali dari ayahnya dari
kakeknya dari Ali ‘alaihi as-salam berkata: “Rasulullah Saw mengharamkan pada perang Khaibar daging keledai
jinak dan nikah mut’ah.” [73]
Semua
perawi Hadits itu tsiqah ditinjau dari literatur
Syiah sendiri:
Muhammad
bin Yahya[74]: Dia adalah tsiqah, An-Najashi mengatakan dalam kitabnya, (no.
946): “Dia adalah guru madzhab kami di zamannya, dia ini tsiqah
(tepercaya)”. Abu Ja’far[75] juga tsiqah (terpercaya), lihat juga dalam Al-Mufid min Mu’jam Rijālil al-Hadits.
Abul
Jauza’, namanya adalah Munabbih bin Abdullah At-Taimi[76], Haditsnya shahih. Lihat juga
dalam Al-Mufid min Mu’jam Rijalil Hadits.
Husein
bin Alwan[77] ialah tsiqah (terpercaya). Lihat juga dalam Fa’iqul Maqal, Khatimatul Mustadrak, dan Al-Mufid min Mu’jam Rijalil Hadits.
‘Amr bin
Khalid Al Wasithi[78] adalah thiqah, juga terdapat dalam Mu’jam Rijalil Hadits dan Mustadrakat Ilmi Rijalil Hadits.
Zaid bin
Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, salah satu Ahlul Bait Nabi, jelas thiqah.
Lagi-lagi
yang menjadi pertanyaan kita, apakah ulama’ Syiah tidak mengetahui riwayat ini?
Atau mereka mengetahui akan tetapi tidak menjelaskan pada umat tentang
kenyataan ini? Atau kenyataan ini tidak sesuai dengan kepentingan mereka?
Hadits ini jelas masyhur di kalangan Syiah. Jika tujuannya untuk taqiyyah[79], berarti Syiah
benar-benar meremehkan Ali Ra karena dengan begitu telah menganggapnya sebagai
orang pengecut karena mengatakan haramnya mut’ah hanya pura-pura. Dan berarti
juga bahwa Ali Ra telah berbohong kepada Rasulullah Saw.
Dalil
pelarangan mut’ah dari kitab mereka yang lain adalah dalam kitab Ar-Raudh an-Nadhir, yang
dikutip oleh Ya’qub Badar al-Qothomi dalam Al-Kafi fī Naqdhi
al-Mut’ah, bahwa Ali Ra pernah menegur Ibnu Abbas dengan keras
ketika beliau mengatakan mut’ah itu boleh. Ali Ra mengatakan: “………sungguh kamu telah tersesat!”[80] Apakah ucapan yang keras itu juga
dianggaptaqiyyah oleh Syiah?
Kalau
memang nikah mut’ah itu menurut mereka dibolehkan, mengapa hal ini tidak
berlaku bagi perempuan dari ulama’ ataupun syekh mereka, baik untuk istri,
saudara maupun anak-anak mereka? Bagaimana sebuah hukum agama hanya berlaku
untuk satu kalangan, dan tidak berlaku untuk kalangan yang lain? Hal ini dapat
dilihat dari sebuah cerita yang tercantum dalam kitabFurū’
al-Kāfī bahwa ketika Abu Ja’far[81] -termasuk yang dianggap Imam
mereka- ditanya tentang hukum mut’ah, beliau mengatakan bahwa itu telah
ditetapkan dalam Al-Kitab maupun As-Sunnah. Namun ketika beliau ditanya apakah
boleh istri-istri beliau, anak-anak perempuannya ataupun saudara perempuannya
untuk dimut’ah? Beliau berpaling dan tidak menjawabnya.[82] Hal itu menunjukkan bahwa mut’ah itu
tidak berlaku bagi keluarga ulama’ ataupun pembesar mereka.
b) Dalil
Pengharaman Mut’ah dari Kalangan Sunni
Secara
umum, para ulama’ dari kalangan Sunni sepakat bahwa nikah mut’ah telah
diharamkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya sampai hari Kiamat. Meskipun ulama’
Ahlu Sunnah tidak mengingkari bahwa pada awal Islam nikah mut’ah pernah
dihalalkan. Satu-satunya riwayat yang membolehkan adalah Ibnu Abbas Ra namun
itu tidak bisa dijadikan pedoman karena lemahnya riwayat sebagaimana telah
dijelaskan di atas. Atau, Ibnu Abbas sendiri telah mencabut pendapatnya
tersebut karena melihat banyak yang melakukan praktik mut’ah ini secara
serampangan.
Dalam
Al-Quran terdapat ayat yang konteksnya adalah perintah menjaga kemaluan,
sebagaimana disebutkan dalam Surat Al-Ma’ārij ayat
29-31.
“Dan
orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka
atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini
tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang
yang melampaui batas.”[83]
Ayat ini
menyebutkan bahwa kemaluan hanya halal bagi istri-istri mereka, dan tidak
termasuk pasangan mut’ah, karena perempuan mut’ah tidak termasuk dalam kategori
tersebut, akan tetapi hanya sebatas sewaan.[84]
Riwayat
yang paling kuat kesahihannya adalah yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim,
yang disandarkan kepada Sayyidina Ali Ra bahwa Rasulullah Saw telah melarang
nikah mut’ah pada perang Khaibar dan melarang memakan daging keledai peliharaan[85]. Pertanyaannya, mengapa ulama-ulama
Syiah tidak memakai Hadits ini? Bukankah Ali Ra itu Imam pertama mereka yang
ma’shum? Kenapa ada pengingkaran terhadap riwayat dari Imam mereka? Di mana
letak loyalitas mereka kepada Imam-nya? Jika alasannya karena tidak mendengar
riwayat ini, bukankah sekarang sudah banyak yang menyampaikan? Jika tujuannya
adalah taqiyyah, pertanyaannya, kepada siapa mereka ber-taqiyyah? Jika penghalalan mut’ah itu ternyata tidak
berlaku dengan berbagai alasan, bagaimana dengan daging keledai yang
penyebutannya bersamaan dengan mut’ah? Mestinya hukum pengharamannya juga tidak
berlaku sebagaimana hukum yang ada pada mut’ah. Namun tidak ada juga keterangan
atau riwayat yang menyanggah hukum daging keledai tersebut.
Dalil
pelarangan mut’ah yang lain adalah riwayat dari Ibnu Umar Ra bahwa Sayyidina
Umar bin Khattab Ra dalam pidatonya mengatakan:
“….Demi
Allah, saya tidak melihat seseorang melakukan mut’ah sedang ia adalah muhshan,
kecuali aku akan merajamnya…” (HR Imam Ibn Majah).[86]
Sebagai
catatan, tidak ada satu Sahabatpun yang memprotes Umar Ra ketika itu. Hal ini
menunjukkan bahwa pelarangan mut’ah itu bukan dari diri Umar Ra melainkan
menyampaikan apa yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Saw. Berbeda dengan
mut’ah haji, beberapa Sahabat memprotes Umar Ra ketika menyebut bahwa mut’ah
haji juga dilarang, karena Rasulullah Saw pernah melakukan.[87]
Pengharaman
mut’ah ini juga disebutkan dalam Musnad Ibn Hanbal,
bahwa Rasulullah Saw pernah mengatakan dalam pidatonya:
“Wahai
manusia, sesungguhnya aku pernah membolehkan mut’ah kepada wanita, tahukah
kalian bahwa Allah SWT telah melarangnya sampai hari Kiamat….”.
Mari kita
lihat Rijāl Hadits ini, mereka adalah Waki’, Abdul Aziz,
Robi’ dan Sabroh Al-Juhani, semuanya tsiqah (terpercaya)
dan Imam Muslim mengambil Hadits dari mereka kecuali Robi’ dan Sabroh, Imam
Bukhari tidak mengambilnya.[88] Namun Hadits ini sudah dapat
dikategorikan shahih, karena masih banyak riwayat lain yang menerangkan tentang
diharamkannya mut’ah.
G.
Dampak Nikah Mut’ah
Jika
nikah mut’ah banyak terjadi di tengah-tengah masyarakat, maka masalah besar
yang akan muncul adalah lahirnya bayi-bayi yang tidak jelas statusnya. Hal ini
dikarenakan mereka terlahir dari pernikahan yang tidak sah, sebagaimana
bayi yang terlahir dari luar pernikahan. Tidak berhenti di situ saja,
masalahnya justru akan selalu bertambah banyak. Tanpa seorang ayah sebagai
figur dalam keluarga, masa depan anak secara psikologis akan terganggu, dan hal
ini bisa mempengaruhi kepribadiannya secara negatif.
Di segi
yang lain, anak hasil mut’ah tidak punya hak atas harta warisan dari siapapun.
Karena tidak adanya garis nasab yang sah yang dia miliki. Selanjutnya, jika
jenis kelamin bayi itu perempuan berarti dia tidak punya wali ketika ingin
menikah. Padahal keberadaan wali bagi pengantin wanita merupakan rukun dalam
pernikahan. Ketidak-beradaan wali menyebabkan tidak sahnya pernikahan, dan jika
tetap dilakukan berarti hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan juga dianggap
tidak sah.
Kemungkinan
besar lain yang bisa terjadi akibat mut’ah adalah anak yang dilahirkan akan
melakukan hubungan dengan orang tua biologisnya, baik kepada bapaknya maupun
kepada ibunya sendiri. Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena, terlalu seringnya
berganti-ganti pasangan mut’ah dan berkali-kali melakukannya, sehingga
bercampur-aduklah antara wanita-wanita yang di-mut’ah dan anak-anak yang
dihasilkannya dari mut’ah.
Singkatnya,
cukuplah seseorang itu memahami bahwa madharat dan
manfaat nikah mut’ah itu lebih besar mudharatnya, sehingga terlepas dari hukum
halal dan haramnya, dia akan selalu menjauhi nikah mut’ah. Setiap hati nurani
kita pasti sama, tidak rela jika salah satu keluarga kita dinikahi secara
mut’ah, sebesar apapun pahala dan kemuliaan yang ditawarkan kepada kita. Hal
ini menunjukkan bahwa hati kita selalu jujur dalam menerima mana yang haq dan
mana yang bathil. Makanya, ketika Syiah berusaha mencari pengesahan hukum
mut’ah, sebenarnya mereka telah mengkhianati hatinya sendiri. Hal ini tercermin
dari sikap beberapa ulama’ mereka ketika perempuan dari keluarganya ingin
dinikahi secara mut’ah, mereka tidak merelakannya.
Dalam
nikah mut’ah, begitu ketentuan waktunya habis, pihak laki-laki tidak wajib
menafkahi bekas perempuannya yang dimut’ah, begitu juga terhadap anak-anak yang
dilahirkan. Jika demikian, berarti mut’ah bisa menimbulkan gejala kemiskinan.
Dari situ akan muncul kebodohan dan selanjutnya kekufuran.
Jika kita
bandingkan dengan nikah hakiki, di sana terdapat tujuan yang sangat mulia bagi
yang menjalaninya, yaitu membina rumah tangga yang langgeng, mendapatkan keturunan yang baik dan
menambah kuat ikatan antar-kelurga. Hal ini bertolak belakang dengan nikah
mut’ah yang nihil akan semua itu kecuali terpenuhinya hasrat sex yang dibungkus
dengan kain pernikahan.
H.
Penutup
Dari
pemaparan yang singkat ini, dapat disimpulkan, bahwa –sesuai dengan ijma’
ulama’ Ahlu Sunnah- nikah mut’ah telah diharamkan oleh Allah SWT sampai hari
Kiamat. Hal ini didasari oleh Nas dari
Al-Quran maupun Al-Hadits yang shahih. Sementara, pandangan Syiah tentang
nikah mut’ah dapat terbantahkan karena hanya bersandarkan kepada fatwa-fatwa
ulama’nya dan Hadits-Hadits yang dhaif bahkan palsu. Meskipun mereka juga
beralasan, mut’ah bisa menjadi solusi untuk menghindari perzinaan, akan tetapi
justru bisa menimbulkan permasalahan baru dalam agama, dan juga dalam kehidupan
sosial.
Nikah
secara Islami adalah solusi paling utama untuk menghindarkan seseorang dari
perzinaan. Bukan itu saja, barang siapa yang telah menikah, berarti telah
membangun sebuah pondasi rumah tangga dengan penuh cinta dan kasih sayang
sebagai jalan menuju ridha Allah SWT. Sehingga, bukan sekadar kebahagiaan dunia
yang dia dapat tetapi juga kebahagiaan akhirat yang kekal dan abadi. Wallahu a’lam bi as-shawab.
—
Catatan Kaki:
[1]
As-Sakhowi, Al-Maqāshid al-Hasanah fī ma Isytahara
‘alā al-Sinah, (Dar al-Kitab al-‘Arabi, Beirut: Cet.
IV, 2002), hlm. 355, No. 1046.
[2] Muhammad
Abdurrahman Syamilah al-Abdal, Nikāh al-Mut’ah Dirāsah wa
at-Tahqīq, (Damaskus: Muassasah al-Khafiqain wa Maktabatuha,
Cet. I, 1983), hlm. 293.
[3] Hal ini dapat dilihat dari
dalil yang mereka gunakan, yaitu perkataan Ali Ra: “Kalau saja Umar tidak
melarang mut’ah, tidak ada orang berbuat zina kecuali sedikit”.
Lihat: (Tahdhīb al-Ahkām, jz.VII), hlm. 250.
[4] Al-Mirza An-Nauri, Mustadrak al-Wasā’il, (t.k: t.p, Cet. II, 1988), Jz.
XIV, hlm. 452, no. 17257.
[5] As}-Shaduq Abu Ja’far, Man lā Yahdhuru al-Faqīh, (www.Ghaemiyeh.com, Markazu al-Qaimiyyah bi Ashfahan
lit-Tahriyyat al-Combiuteriyah), Jz. III, hlm. 346, no. 4613.
[9] Ya’qub Badr ‘Abdul Wahab
al-Qothomi, Al-Kāfī fī Naqdhi al-Mut’ah; Zuwāju al-Mut’ah
am Rawāju al-Mut’ah, (Madinah al-Munawwarah, t.p, 1427), hlm. 2.
[11] Muhammad Bagir, Fiqih Praktis II, Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Pedapat para
Ulama, (Bandung: Karisma, Cet.I, 2008), hlm. 42.
[15] Muhammad Ya’kub
Al-Kulaini, Furū’ al-Kāfī, (Beirut: Daru
al-Ta’aruf lil Mathbu’at, 1993), hlm. 3/461.
[22] Teuku Edy Faisal
Rusydi, Pengesahan Kawin Kontrak, Pandangan Sunni & Syī’ah, (Yogyakarta:
Pilar Media, Cet. I, 2007), hlm. 54.
[24] Lihat Furū’ al-Kāfī, hlm. 3/464. Lihat juga
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, ibid,
hlm. 394.
[25] Abu Ja’far bin Hasan
at-Thusi, al-Istibshār fī ma Ikhtalafa min al-Akhbār,
(t.k: t.p., t.t, Cet.II, 1992), hlm. 3/209.
[29] Fajrul
al-Islam, 276-278, dalam Agus Hasan Bashari, Gen Shi’ah, (Darul Falah-Jaktim, Cet. I, 2001),
hlm. 87.
[31] Muhammad Baqir
Al-Majlisi, Bihār al-Anwār, (Beirut: Daru
Ihya’i al-Turath al-‘Araby, Cet. III, 1983), hlm. 25/191. Ma’shum menurut Syī’ah Rafidhah Imamiyah
merupakan salah satu syarat Imamah sekaligus salah satu prinsip utama dalam
eksistensi ideologinya. Kemaksuman memiliki arti yang sangat penting bagi
mereka. Di samping mengalamatkan beberapa sifat serta kapasitas keilmuan luar
biasa dan tidak terbatas kepada para Imam, Syī’ah Imamiyyah berpendapat seorang
Imam tidak bertanggung jawab kepada siapapun dan tidak ada cela untuk
menyalahkan sikap dan kebijakannnya. Semua kebijakan yang diambil dan tindakan
apapun yang dilakukan harus diyakini kebenarannya, baik ataupun buruk, benar
ataupun salah. Sebab, seorang Imam mempunyai ilmu luar biasa yang tidak dimiliki
seorangpun. Lihat Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi, Khawarij
dan Syī’ah dalam Timbangan Ahlu Sunnah wal Jama’ah, (Pustaka
Al-Kautsar), hlm. 182.
[33] Al-Khu’i, Maniyyatu as-Sāil, (t.k: t.p., 1991), hlm. 101, lihat
juga situs: http://www.alseraj.net/maktaba/kotob/feqh/serat1/html/bo/ sirat/1/index.htm
[34] Al-Mirza An-Nauri, Mustadrak al-Wasā’il, (t.k: t.p., Cet. II, 1998),
Bab: Kitab Nikah, hlm. 114/452, No. 17257.
[38] Ash-Shaduq Abu
Ja’far, Man lā Yahdhuruhu al-Faqīh, (www.alhassanain.com),
hlm. 3/466, no. 4613.
[40] Ali Al-Sistani, Minhāj as-Shālihīn, (t.k: t.p., t.t), jz. III, hlm. 82,
dikutip dari www.shia.com, masalah 260.
[43] Lihat Ibnu Katsir, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azhīm, (Daru al-Kutub
al-‘Ilmiah, Beirut: Cet. I, 1998), jz. 2, hlm. 226.
[44] (1) Furū’ al-Kāfī, jz. 3, hlm. 455, (2) Al-Istibshār, jz. 3, hlm. 201, (3) Man lā Yahdhuruhu al-Faqih, jz.III, hlm. 460,
(4) lihat juga http://syiahi.wordpress.com/2012/04/05/nikah-mutah-jelas-dilakukan
–di-zaman-Rasulullah-saw-zaman-abu-bakar-dan-sebagian-di-zaman-umar/
[45] Lihat Maktabah
Shamilah, Sharh Muslim li An-Nawawi, (179/9) Bab Nikāh
al-Mut’ah. (qirā’ah syādzah artinya bacaan yang menyimpang)
[46] Ahmad Haris Suhaimi, Tautsiqu as-Sunnah Baina as-Syī’ah al-Imāmiyyah wa Ahli
as-Sunnah fī Ahkām al-Imāmah wa nikāh al-Mut’ah, (Kairo:
Daru as-Salam, Cet. I, 2003), hlm. 498.
[49] Dikutip dari Al-Mu’allim bi Fawāidi al-Muslim, (2/130), dalam
Yusuf Jabir Al-Muhammadi, Tahrimu al-Mut’ah fī Al-Kitāb
wa As-Sunnah, (t.k: t.p., Cet. I, 1997), hlm. 114.
[52] Lihat Muhammad
Malullah, dalam As-Syī’ah wa al-Mut’ah, (Daru
As-Shahwah al-Islamiyh, Cet. II), hlm.106.
[53] Lihat Ibnu Katsir, Tafsīr Al-Qur’ān al-Azhīm, (Beirut: Darul Kutub
Al-Ilmiyah, Cet. I, 1998), jz. II, hlm. 226.
[54] Abu Ja’far Muhammad bin
Hasan at-Thusi, Al-Istibshār fī mā Ikhtalafa min
al-Akhbār, (Darul Adhwa’, Cet. II , 1992), juz. III, hlm. 209.
[55] Yusuf Jabir
Al-Muhammadi, Tahrīmu al-Mut’ah fī Al-Kitāb wa
as-Sunnah, (t.k: t.p, Cet. I, 1997), hlm. 191.
[59] Muhammad ‘Isa
At-Turmudzi, Jāmi’ At-Turmudhi, (Beirut:
Dar al-Turath al-‘Arabi, Cet. I, t.t), hlm. 318, no. 752.
[60] Abdu al-Razzaq
as-Shina’i, Musannif ‘Abdurrozzaq, (Al-Maktab
Al-Islami, Cet. II), hlm. 2413, no. 13621.
[63] Lihat Shahih Muslim (9/174), dan lihat ucapan Ibnu Abbas
yang disebutkan oleh Baihaqi dalam Sunannya.
[64] Muhammad bin Isa
At-Tirmidhi, Jāmi’ At-Tirmidhi, (Beirut:
Daru Ihya’i al-Turoth al-‘Arabi, Cet. I, t.t.), hlm. 426, no. 1037.
[67] Ibnu Al-Qayyim
Al-Jauzi, ‘Aunul Ma’bud-Syarh Sunan Abi Daud,
(Maktabah Salafiah bil Madinah al-Munawwarah, Cet. II, t.t), Jz.VI, hlm. 84.
[68] Ibnu Al-Qayyim
Al-Jauzi, Zadu al-Ma’ād fi. Hadyi Khairi al-‘Ibād,
(Mu’assasah Ar-Risalah, Cet.III, 1998), Jz. III, hlm. 305.
[69] Ahmad Ali Ibnu Hajar, Fathu al-Bāri bisyarhi Shahih al-Bukhāri, Tahqiq: Abdul
Baqi dan Ibnu Baz, (t.k: Al-Maktabah as-Salafiyah, t.p, t.t), Jz. 9, hlm. 173.
[70] Husein Ali Kasyif
al-Ghitha’, Ashlu as-Syī’ah wa Ushuluha, (Darul
Adhwa’, Beirut: Cet. I, 1990), hlm. 197.
[73] Abu Ja’far Muhammad bin
Hasan At-Thusi, Tahdhīb al-Ahkām, Jz. 7,
hlm. 252. Lihat juga Al-Istibshār, Jz.3,
hlm. 202, no.5/511
[74] Abdurrahman Abdullah
Az-Zar’i, Rijāl as-Syī’ah fī al-Mīzān, (t.k:
Darul Arqam, t.p., Cet. I, 1983), hlm. 136.
[76] Abu ‘Abbas Ahmad, Rijal Najāshi, (Beirut: Shirkatu al-A’limi lil
Mathbuat, Cet. I, 2001), hlm.439, no.1252.
[79]Taqiyyah menurut seorang guru besar Syī’ah
menuturkan adalah merahasiakan kebenaran, menutupi keyakinan, merahasiakan dari
para lawan, tidak menerima bantuan yang bisa merugikan agama atau urusan dunia.
Yusuf Al-Bahrani –salah satu pembesar ulama Shyi’ah pada abad ke-12- menuturkan
bahwa maksud taqiyyah adalah menampilkan
diri pada orang lain seolah sependapat dengan lawan dalam perkara yang
dianutnya karena adanya kecemasan. Sementara Khomaeni mengatakan makna taqiyyah adalah hendaknya seseorang mengatakan
perkataan yang berbeda dari kenyataan, atau melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan dengan aturan-aturan syari’at, semua ini dilakukan untuk
menjaga nyawa, kehormatan, atau harta orang tersebut.
Taqiyyah menurut mereka menempati posisi
yang sangat luhur. Al-Kulaini dan yang lain meriwayatkan dari Ja’far Shodiq
bahwa ia telah berkata: “Taqiyyah adalah
bagian dari agamaku dan agama leluhurku. Tiada iman bagi orang yang tidak
memiliki taqiyyah.” (Tashih al-i’tiqad, hlm. 115,
Al-Kasykul I/202, Kasyful Asror, hlm. 147, Ushūl Kafi, 2/219 – dikutip Prof.
Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi, Khawarij dan Shi’ah dalam
timbangan Ahlu Sunnah wal Jama’ah, Pustaka al-Kautsar, 2012,
hlm. 417-418.
[81] Imam Ja’far nama lengkapnya
adalah Imam Ja’far bin Muhammad bin Ali Zainal ‘Abidin bin Al Husain bin Ali
bin Abu Thalib. Beliau termasuk orang yang sangat mencintai kakeknya Abu Bakar
Ash-Siddiq dan juga Umar bin Khaththab Radhiyallahu `anhu.
Berbeda
dengan anggapan kaum Syī’ah, Ja`far malah membenci Rafidhah yang telah
menetapkannya sebagai Imam yang ma`sum. Diriwayatkan oleh Abdul Jabbar bin Al
Abbas Al Hamdzani bahwa Ja`far bin Muhammad mendatangi mereka ketika mereka
hendak meninggalkan Madinah. Dia (Ash Shadiq) berkata: “Sesunggunya kalian insya Allah adalah termasuk orang-orang
shalih di negeri kalian, maka sampaikanlah kepada mereka ucapanku, `Barangsiapa
mengira bahwa aku adalah Imam ma`shum yang wajib ditaati maka aku benar-benar
tidak ada sangkut-paut dengannya. Dan barangsiapa mengira bahwa aku berlepas
diri dari Abu Bakar dan Umar maka aku berlepas diri daripadanya` (Siyar
`A`lam An Nubala, hlm. 259)
Dikutip
dari Mamduh Farhan Al Buhairi, Gen Syī’ah, Sebuah Tinjauan
Sejarah Penyimpangan Aqīdah dan Konspirasi Yahudi, (t.k: Darul
Falah, t.p., t.h), hlm. 268-269.
[85] HR. Al-Bukhari
(3919,4748, 5124) dan Muslim (2518, 2519, 2521, 3588), lihat juga Syekh Salim
bin ‘Ied al-Hilali dalam Ensiklopedi Larangan, (Bogor,
Pustaka Imam Syafi’i, Bogor, 2005), hlm. 26.
[86] Ibnu Majah
Al-Quzuaini, Sunan Ibnu Mājah, (Beirut:
Darul Fikr, Cet. I, t.t), hlm. 488, no. 1949.
[87] Muhammad Malullah, As-Syī’ah wal Mut’ah, (t.k: Daru as-Shahwah
al-Islami, Cet. I, 1407), hlm. 17
[88] Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hanbal, (Beirut: Daru Ihya’i
at-Turath al-‘Araby, Cet. I, t.t), hlm. 3.681, no. 15. 051. Lihat juga dalam
Shahih Muslim, No. 2.517
___
Oleh:
Dr. M. Kholid Muslih, MA; Dosen dan Ketua Program Studi Ilmu Aqidah Pascasarjana ISID Gontor Jawa
Timur
Dikutip dari tulisan beliau yaitu
Konsepsi Syi’ah tentang Fiqih; yang dipublikasihan oleh dakwatuna
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload