Islam Nusantara dan Berkemajuan
7/04/2015
Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) akan
menyelenggarakan muktamar pada waktu yang berdekatan yakni minggu pertama
Agustus 2015.
Tema yang diangkat sekilas mirip:
Muhammadiyah ”Gerakan Pencerahan Menuju Indonesia Berkemajuan” dan NU
”Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”. Meski
terlihat bersinggungan, ”Islam berkemajuan” dan ”Islam Nusantara” adalah respons
yang berbeda terhadap fenomena yang sama yaitu globalisasi, terutama
globalisasi kebudayaan, baik dalam bentuk arabisasi ataupun westernisasi.
Globalisasi sering dipahami sebagai proses
penyatuan dunia di mana waktu, jarak, dan tempat bukan lagi persoalan dan
ketika setiap hal dan setiap orang di bumi ini terkait satu sama lain. Ada
empat pergerakan utama dalam globalisasi yaitu barang dan layanan, informasi,
orang, dan modal. Perpindahanempat haltersebutdari satunegara kenegara lain
memang telah terjadi sejak dahulu kala.
Namun, perpindahan dengan sangat cepat
hanya terjadi setelah revolusi dalam teknologi telekomunikasi dan transportasi
pada beberapa dekade belakangan ini. Akibat dari revolusi itu, dimensi jarak
dan waktu menjadi semakin kabur dan sedikit demi sedikit menghilang. Dalam
konteks Indonesia, globalisasi ini menyebabkan masyarakat secara mudah
mengakses informasi dari luar ataupun berinteraksi secara intens dalam sebuah
ruang global.
Ketika Islamic State of Iraq and Syria
(ISIS) mendeklarasikan kekhilafahan di bawah Abu Bakar al-Baghdadi, kita
dikejutkan dengan ada sejumlah orang Indonesia yang sudah bergabung dengan
mereka di Timur Tengah dan sebagian dari mereka merekrut anggota di Indonesia
serta melakukan baiat di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Ketika konflik
Sunni dan Syiah terjadi di Suriah, pengaruhnya merembet ke Indonesia dengan
munculnya gerakan anti- Syiah seperti dalam bentuk Aliansi Nasional Anti-Syiah
(ANNAS).
Globalisasi juga menyebabkan trans-national
capitalist network (TNC) masuk dalam kehidupan masyarakat dan menyedot kekayaan
yang mestinya diperuntukkan untuk kesejahteraan rakyat. Bekerja sama dengan
”komprador”, para kapitalis global itu menciptakan jurang yang begitu lebar
antara mereka yang kaya dan miskin seperti terjadi di daerah penambangan
Freeport di Papua.
Filosofi yang mendasari globalisasi adalah
asimilasionisme. Dalam filosofi ini, yang kuat akan mendominasi yang lemah.
Maka itu, dalam globalisasi budaya, salah satu dampaknya adalah homogenisasi. Ini
misalnya terwujud dalam bentuk McWorld atau McDonaldization. Contoh lainnya
adalah memandang Islam secara homogen dengan mengidentikkannya dengan Arab dan
arabisasi.
Islam
Nusantara
Homogenisasi ini tentu tidak serta-merta
diterima oleh masyarakat. Respons balik atau resistensi terhadap homogenisasi
ini di antaranya dalam bentuk indigenization. Islam Nusantara yang dipopulerkan
anak-anak NU dan menjadi tema Muktamar NU Ke-33 di Jombang pada 1-5 Agustus
nanti adalah satu bentuk respons terhadap globalisasi dengan melakukan
indigenisasi.
Islam Nusantara merupakan istilah yang
sering dipakai untuk mengacu pada Islam ala Indonesia yang otentik; langgamnya
Nusantara, tapi isi dan liriknya Islam; bajunya Indonesia, tapi badannya Islam.
Ide Islam Nusantara ini berkaitan dengan gagasan ”pribumisasi Islam” yang
pernah dipopulerkan almarhum KH Abdurrahman Wahid. Penggunaan resmi nama ini di
antaranya dalam Jurnal Tashwirul Afkar Edisi No 26 Tahun 2008.
Munculnya Islam Nusantara adalah bagian
dari apa yang biasanya disebut sebagai ”paradoks globalisasi”. Dalam istilah TH
Erikson (2007, 14), ”Semakin orang mengglobal seringkali dia menjadi semakin
terobsesi dengan keunikan budaya asalnya.” Dalamkalimat ilmuwanlain,”Ketika
dunia semakin global, perbedaan- perbedaan kecil antarumat manusia itu semakin
ditonjolkan” (Ang 2014).
Banyak yang menduga bahwa semakin kita
mengenal dunia luar dan kelompok yang berbeda, kita menjadi semakin terbuka.
Namun, seringkali yang terjadi tidak sejalan dengan logika itu. Di tengah
globalisasi banyak orang yang semakin fanatik dan tidak menerima perbedaan
serta pluralitas. Ini misalnya terjadi dalam beberapa pilkada yang
”mengharuskan” putra daerah yang dipilih.
Dalam konteks dunia, justru di era
globalisasi ini hampir setiap tahun kita melihat kemunculan negara baru dalam
keanggotaan PBB. Tentu saja respons terhadap globalisasi dalam bentuk ”Islam
Nusantara” adalah pilihan terbaik dibandingkan dengan penolakan total atau
penerimaan total.
Dalam merespons terhadap globalisasi,
terutama yang datang dari Barat, beberapa kelompok agama justru mencari
perlindungan dalam homogenitas dan eksklusivitas kelompoknya. Sepertinya
kedamaian itu bisa terjadi dengan menolak keragaman atau sesuatu yang asing. Di
tengah globalisasi, banyak orang yang mencoba menutup diri dan menghalangi
orang yang berbeda hadir di tengah masyarakat.
Fenomena kemunculan perumahan atau kluster
perumahan eksklusif untuk komunitas agama tertentu adalah misal. Kuburan/
pemakaman dan rumah kos pun kadang dibuat untuk pengikut agama tertentu.
Respons terhadap globalisasi yanglebihburuklagi tentusaja seperti dalam bentuk
radikalisme dan terorisme. Islam Nusantara bisa menjadi respons yang sangat
baik terhadap globalisasi jika ia tidak mengarah pada parokhialisme dan
sektarianisme.
Islam
Berkemajuan
Respons lain terhadap globalisasi
ditampilkan oleh Muhammadiyah dengan slogan ”Islam berkemajuan”. Sebelum 2009
slogan ini jarang terdengar bahkan di kalangan Muhammadiyah sendiri. Ia baru
diperkenalkan kembali, setelah cukup lama terpendam, dengan terbitnya buku
berjudul Islam Berkemajuan: Kyai Ahmad Dahlan dalam Catatan Pribadi Kyai Syuja
(2009). Buku yang ditulis oleh murid langsung Kyai Dahlan ini di antaranya
menjelaskan seperti apa karakter Islam yang dibawa oleh Muhammadiyah.
Istilah yang dipakai oleh Muhammadiyah awal
untuk menyebut dirinya adalah ”Islam berkemajuan”. Pada Muktamar di Yogyakarta
2010, istilah ini lantas dipakai dan dipopulerkan untuk mengidentifikasi
karakter keislaman Muhammadiyah. Dalam kaitannya dengan globalisasi, Islam
berkemajuan itu sering dimaknai sebagai ”Islam kosmopolitan” yakni kesadaran
bahwa umat Muhammadiyah adalah bagian dari warga dunia yang memiliki ”rasa
solidaritas kemanusiaan universal dan rasa tanggung jawab universal kepada
sesama manusia tanpa memandang perbedaan dan pemisahan jarakyangbersifat
primordialdan konvensional” (Tanfidz Muhammadiyah 2010, 18 ).
Mengapa Islam kosmopolitan menjadi pilihan
Muhammadiyah? Muhammadiyah menyadari bahwa kelahirannya merupakanprodukdari
interaksiTimurTengahdanBarat yang dikemas menjadi sesuatu yang otentik di
Indonesia. Ia memadukan pemikiran Muhammad Abduh, sistem yang berkembang di
Barat, dan karakter Indonesia. Karena itu, kosmopolitanisme yang dikembangkan
Muhammadiyah diharapkan menjadi wahana untuk dialog antarperadaban.
Ringkasnya, kelahiran dari slogan ”Islam
Nusantara” dan ”Islam berkemajuan” memiliki kemiripan dengan apa yang terjadi
pada 1920-an. Ketika itu, sebagai respons terhadap berbagai peristiwa di Arab
dan Turki (Comite Chilafat dan Comite Hijaz), lahirlah NU.
Sementara Muhammadiyah lahir sebagai reaksi
terhadap penjajahan, misi Kristen, pemikiran Abduh, dan budaya Jawa. Bisa
dikatakan bahwa apa yang terjadi saat ini adalah semacam deja vu.
_______
Oleh:
Ahmad Najib Burhani
Sumber:
Koran Sindo, edisi 3 Juli 2015
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload