Sejarah Pertumbuhan/Pembukuan Hadis
6/03/2015
Pembaca
Pustama
Al-Qur’an
dan hadis memiliki sejarah pertumbuhan sendiri-sendiri. Proses pembukuan dan
penyusunannya berbeda satu dengan lainnya. Jika pembaca Pustama hendak
mengetahui sejarah pertumbuhan al-Qur’an atau tafsir al-Qur’an, silahkan klik
disini. Adapun pada kesempatan ini, Pustaka Madrasah akan membahas tentang
sejarah pertumbuhan hadis. Berikut sejarahnya dari zaman ke zaman.
A. Periode Periwayatan dengan Lisan
1. Larangan menulis hadis
Di
masa Rasulullah, hadis belum mendapat perhatian sepenuhnya seperti al-Qur’an.
Para sahabat selalu mencurahkan perhatiannya pada ayat-ayat al-Qur’an. Mereka
juga hanya menyampaikan sesuatu yang berkenaan dengan Rasulullah dengan berita
lisan semata, terlebih adanya sabda Rasulullah saw. berikut.
لاَ
تَكْتُبُوْا عَنِّىْ شَيْئًا إِلَّا الْقُرْآنَ, وَمَنْ كَتَبَ عَنِّىْ شَيْئًا
غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ وَحَدِّثُوْا عَنِّىْ وَلاَ حَرَجَ, وَمَنْ كَذَبَ
عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Jangan kamu tulis sesuatu yang telah kamu terima dariku selain
al-Qur’an. Barangsiapa menuliskan yang ia terima dariku selain al-Qur’an
hendaklah ia hapus. Ceritakan saja yang kamu terima dariku, tidak mengapa.
Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia menduduki
tempat duduknya di Neraka.” (H.R. Muslim)
Larangan
penulisan ini untuk menghindari adanya kemungkinan sebagian sahabat memasukkan
hadis ke dalam lembaran-lembaran al-Qur’an, karena dianggap segala yang
dikatakan Rasulullah saw. adalah wakyu semua. Lebih-lebih bagi generasi yang
tidak menyaksikan zaman tanzil (turunnya wahyu).
2. Perintah menulis hadis
Jika
di atas, Rasulullah saw. melarang menulis hadis, maka di sini kita akan jumpai
bahwa ternyata Rasulullah saw. memerintahkan juga kepada beberapa sahabat
tertentu untuk menulis hadis. Hal ini sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh
Abu Hurairah ra. bahwa sesaat kota Mekah telah dikuasai oleh Rasulullah, beliau
berpidato, tiba-tiba seorang laki-laki yang berasal dari Yaman, Abu Syah
berdiri dan bertanya kepada Rasulullah saw., ujarnya:
يَا
رَسُوْلَ اللهِ اُكْتُبُوْا لِيْ, فَقَالَ: اُكْتُبُوْا لَهُ
“Ya Rasulullah! Tulislah untukku!” Jawab Rasul, “Tulislah oleh
kamu sekalian untuknya!”
Begitu
juga, Rasulullah saw. telah mengizinkan kepada Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash untuk
menulis apa-apa yang didengarnya dari beliau karena ia adalah salah seorang
penulis yang baik. Hal ini sebagaimana dikisahkan saat Abdullah mengadukan
teguran seseorang kepadanya, “Kau tulis semua apa-apa yang telah kamu dengar
dari Nabi?, sedang beliau itu sebagai manusia, kadang-kadang berbicara dalam
suasana suka dan kadang-kadang berbicara dalam suasana duka?” Maka Rasululah
saw. pun menjawab.
اُكْتُبْ!
فَوَالَّذِيْ نَفْسِىْ بِيَدِهِ مَا يَخْرُجُ مِنْهُ إِلَّا حَقٌّ
“Tulislah! Demi Zat yang nyawaku ada di tanganNya, tidaklah
keluar daripadanya selain hak.” (H.R. Abu Dawud)
Bahkan
sejarah telah mencatat adanya beberapa naskah tulisan hadis yang bersifat
pribadi dari beberapa sahabat dan tabi’iy. Diantara naskah itu adalah ash-Shahifah
ash-Shadiqah (milik Abdullah bin ‘Amr), Shahifah Jabir (milik Jabir
bin Abdullah al-Anshary) dan ash-Shahifah ash-Shahihah (milik Human bin
Munabbih, seorang tabi’iy)
Jadi
jika disimpulkan, maka pada periode ini hadis masih berada pada hafalan para
sahabat dan penyebarannya masih bersifat lisaniyah. Sedangkan hadis jika
tertulis, maka masih terbatas pada sahabat-sahabat Rasulullah tertentu saja.
B. Periode Pembukuan Hadis secara Resmi
Setelah
agama Islam tersebar dengan luas di masyarakat, dipeluk oleh penduduk yang
bertempat tinggal di luar Jazirah Arab, sedang para sahabat mulai terpencar di
beberapa wilayah, bahkan tidak sediki jumlahnya yang telah meninggal, maka
terasa perlu dibukukannya hadis sebagaimana dibukukannya al-Qur’an pada masa Abu
Bakar ash-Shiddiq. Urgensi ini menggerakkan hati Khalifah Umar bin Abdul Aziz,
khalifah bani Umayyah untuk menulis dan membukukan hadis.
Atas
dasar itulah, beliau menginstruksikan kepada seluruh pejabat dan ulama yang
memegang kekuasaan di wilayah kekuasaannya untuk mengumpulkan hadis. Instruksi
itu berbunya:
اُنْظُرُوْا
حَدِيْثَ رَسُوْلِ اللهِ صلعم فَاجْمَعُوْا
“Telitilah hadis Rasulullah saw., kemudian kumpulkan.” (H.R. Abu
Nuaim)
Beliau
juga menginstruksikan kepada walikota Madinah, Ibnu Hazm untuk mengumpulkan
hadis yang ada padanya dan pada tabi’iy wanita, ‘Amrah binti Abdurrahman
(tabi’I wanita yang banyak meriwayatkan hadis Aisyah ra.) dan juga
menginstruksikan kepada Ibnu Syihab az-Zuhri. Oleh karenanya, Ibnu Syihab
mengumpulkan dan kemudian dituliskannya pada lembaran-lembaran dan dikirimkan
kepada masing-masing penguasa di tiap-tiap wilayah. Itulah sebabnya para ahli
sejarah dan ulama menganggap bahwa Ibnu Syihab-lah orang yang mula-mula
membukukan hadis secara resmi atas perintah khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Setelah
periode Ibnu Hazm dan Ibnu Syihab berlalu, muncullah periode pendewanan hadis
yang kedua yang disponsori oleh khalifah-khalifah bani Abbasiyah. Diantara
ulama-ulama hadis pada periode ini, yang semua adalah murid Ibnu Hazm dan Ibnu
Syihab adalah
1.
Ibnu Juraij di
Mekah
2.
Imam Malik di
Madinah
3.
Ar-Rabi’ bin Shabih
di Basrah
4.
Sufyah ats-Tsaury
di Kufah
5.
Al-Auza’I di Syam
6.
Dll.
Jika
catatan Ibnu Hazm hanya terdiri atas hadis-hadis Rasulullah saw. saja
(-mengingat instruksi khalifah Umar bin Abdul Aziz), maka pada karya
ulama-ulama selanjutnya justru tercampur antara hadis-hadis Rasulullah, fatwa
sahabat dan tabi’in. Hal itu karena didorong oleh semangat mengumpulkan hadis
yang sangat tinggi. Bahkan, belum ada keinginan untuk mengklasifikasikan hadis
sesuai dengan isi kandungannya ataupun kepada jenis dan kwalitas hadisnya.
Mungkin jika dicermati, hanya Imam Syafi’I saja yang berinisiatif
mengklasifikasikan hadis pada masalah-masalah yang menjurus.
Diantara
karya yang muncul pada masa ini adalah kitab al-Muwaththa’, karya imam
Malik atas anjuran khalifah al-Manshur, kitab Musnad asy-Syafi’I dan
kitab Mukhtalif al-Hadits, yang keduanya karya imam Syafi’i.
C. Periode Penyaringan Hadis
Di
permulaan abad ketiga, para ahli hadis berusaha menyisihkan hadis dari
fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in. Untuk tujuan ini, mereka menyusun kitab-kitab
musnad, seperti Musa al-‘Abbasy, Musaddad al-Bashry, Asad bin Musa, Nuaim bin
Hammad al-Khaza’iy, imam Ahmad, dan lain-lain.
Kemudian
pada pertengahan abad ketiga, muncullah usaha untuk menyisihkan hadis-hadis dhaif,
termasuk juga maudhu’. Oleh karenanya, para ulama pada masa itu membuat
kaidah dan syarat-syarat untuk menentukan hadis sahih dan dhaif, bahkan
para rawi hadis pun tidak luput menjadi sasaran penelitian mereka.
Pada
abad ketiga ini, muncullah kitab-kitab musnad, kitab-kitab shahih,
dan kitab-kitab sunan, dengan ciri khas masing-masing.
D. Periode Menghafal dan Mengisnadkan Hadis Mutaqaddimin
Jika
pada abad pertama, kedua, dan ketiga, hadis berturut-turut mengalami masa
periwayatan, penulisan, dan penyaringan dari fatwa-fatwa para sahabat dan
tabi’in, dan hadis pun telah didewankan oleh ulama-ulama mutaqaddimin, makapada
periode ini hadis mengalami sasaran baru. Sasaran itu adalah hadis dihafal dan
diselidiki sanadnya oleh ulama-ulama muta’akhikhirin. Oleh karenanya,
muncullah gelar keahlian dalam ilmu
hadis, seperti al-Hakim, al-Hafiz, dan lain sebagainya.
Kitab-kitab
yang masyhur hasil karya ulama abad keempat ini antara lain adalah:
1.
Mu’jam al-Kabir,
karya imam Thabari
2.
Mu’jam al-Ausath,
karya imam Thabari
3.
Mu’jam ash-Shaghir,
karya imam Thabari
4.
Sunan Daruquthny
5.
Shahih Abi ‘Auwanah
6.
Shahih Ibnu
Khuzaimah
E. Periode Klasifikasi dan Sistematisasi Susunan Kitab
Hadis.
Usaha
ulama ahli hadis pada abad kelima adalah ditujukan untuk mengklasifikasikan
hadis dengan menghimpun hadis-hadis yang sejenis kandungannya. Disamping itu,
mereka juga mensyarah dan mengikhtisarkan kitab-kitab hadis yang disusun oleh
ulama terdahulu.
Oleh
karenya muncullah kitab-kitab hadis hukum, seperti Sunan al-Kubra, karya
al-Baihaqy, Muntaqa al-Akhbar, karya Majdudin al-Harrary, dan Nail
al-Authar, karya asy-Syaukany. Begitu juga muncul kitab-kitab hadis targhib
wa tarhib, seperti at-Targhib wa at-Tarhib milik imam Zakiyuddin Abdul
Adzim al-Mundziry, Dalil al-Falihin (syarah Riyadush Shalihin)
karya Muhammad Ibnu ‘Allan as-Shiddiqy.
Bahkan
muncul juga kamus-kamus hadis, seperti al-Jami’ ash-Shaghir fi Ahadits
al-Basyir an-Nadzir karya imam Suyuti, al-Mu’jam al-Mufahras li al-fadz
al-hadis an-nabawy karya Dr A.J. Winsinc dan Dr. J.F. Mensing, dan Miftah
Kunuz as-Sunnah karya Dr. Winsinc.
Demikian
pembaca Pustama, sejarah pemtumbuhan hadis Rasulullah saw.. Jika kita cermati
lebih dalam, sungguh besar sekali jara para ulama yang akhirnya kita yang
berada pada zaman yang sangat jauh dari zaman Rasulullah saw. bisa menikmati
hadis-hadis beliau. Akhirnya, semoga Allah swt. membalas pahala yang berlipat
kepada ulama-ulama yang gigih dan tekun tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Muhammad
‘Ajjaj al-Khatib, as-Sunnah qabla at-Tadwin, Kairo: Maktabah Wahbah
Muhammad
Abu Rayyah, Qishshatul al-Hadits al-Muhammady, Kairo: Dar al-Katib
al-Araby
Muhammad
Mahfudz at-Tarmusy, Manhaj Dzawi an-Nadzar, Surabaya: Maktabah
Nabhaniyah
Fatchur
Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, Bandung: PT al-Ma’arif
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload