Sejarah Disyariatkannya Puasa Ramadan
6/26/2015
A.
Puasa Pra Islam
1.
Puasa Umat Terdahulu
Dalam kitab suci al-qur’an telah dijelaskan
bahwa kewajiban untuk mengerjakan puasajuga telah disyari’atkan bagi umat-umat
para nabi terdahulu sebelum diwajibkan bagi umat Nabi Muhammad saw. Allah
berfirman:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ
مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan
bagi kalian berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan kepada umat-umat sebelum
kalian, agar kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah : 183)
Syekh Thonthowi dalam kitab Tafsir
Al-Wasith menjelaskan bahwa penyerupaan pada ayat tersebut adalah penyerupaan
dalam hal kewajiban mengerjakan puasa, maksudnya kewajiban mengerjakan puasa
juga telah diwajibkan kepada umat-umat terdahulu, hanya saja puasa mereka
dikerjakan dengan cara yang hanya diketahui oleh Allah, sebab tidak ditemukan
dalil yang nash (penjelasan) dari Rasulullah tentang tata cara puasa mereka.
Sebagian ulama’ berpendapat bahwa
penyerupaan pada ayat diatas juga dalam hal tata cara berpuasanya, artinya
puasa ramadan juga diwajibkan bagi umat-umat terdahulu, namun pendapat ini tak
memiliki dasar, karena itulah Qadhi Abu Bakar bin ‘Arabi secara tegas
menyatakan; “Hal yang pasti adalah bahwa penyerupaan tersebut dalam hal
kewajibannya saja, dan adanya beberapa pendapat yang berbeda (mengenai cara
puasanya) itu hanyalah berdasarkan kemungkinan semata (mujarrodu ihtimal).
Salah satu bukti yang menguatkan pendapat
bahwa penyerupaan ini hanyalah dalam hal kewajibannya saja adalah bahwa kata “كَمَا”
(seperti halnya) pada ayat tersebut posisinya dibaca nashob sebagai masdar, ini
berarti bahwa jika dinampakkan dalam bentuk kata susunan katanya akan menjadi “فرض
عليكم الصيام فرضا كالذي فرض على الذين من قبلكم” (Diwajibkan puasa bagi kalian sebagaimana
diwajibkan puasa bagiu orang-orang sebelum kalian).
Lalu, apa tujuan dari penyerupaan seperti
itu? para ulama’ menjelaskan bahwa diantara manfaat dari penyerupaan tersebut
adalah agar ibadah puasa lebih ringan dikerjakan oleh kaum muslimin, sebab
sesuatu yang berat akan terasa ringan dikerjakan oleh manusi saat mereka tahu
bahwa orang-orang sebelum mereka juga telah lebih mengerjakannya sebelum
mereka.
2. Puasa Pada zaman jahiliyah
Puasa juga telah dikenal dan dikerjakan
oleh masyarakat mekah pada saat belum diwajibkannya puasa romadhon bagi kaum
muslimin, pada masa jahiliyah penduduk Mekah telah mengerjakan puasa asyuro’
(10 Muharam), sebagaimana dikisahkan dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh
Aisyah ra, beliau mengisahkan;
كَانَ
يَوْمُ عَاشُورَاءَ يَوْمًا تَصُومُهُ قُرَيْشٌ، فِي الجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ، فَلَمَّا قَدِمَ
المَدِينَةَ صَامَهُ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ، فَلَمَّا نَزَلَ رَمَضَانُ كَانَ مَنْ
شَاءَ صَامَهُ، وَمَنْ شَاءَ لاَ يَصُومُهُ»
“Hari Asyuro’ merupakan hari dimana orang
quraisy mengerjakan puasa pada masa jahiliyah, Nabi saw juga mengerjakan puasa tersebut, ketika beliau berhijrah ke Madinah
beliau juga mengejakan puasa tersebut dan memerintahkan untuk mengerjakan puasa
asyuro’. Ketika turun perintah untuk mengerjakan puasa romadhon, puasa tersebut
boleh dikerjakan dan juga boleh tidak dikerjakan.” (Shahih Bukhari, no.
3831)
B. Puasa Pada Masa Islam
1.
Puasa ayyamul bidh dan Puasa Asyuro’ .
Sebelum turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad
yang memerintahkan kaum muslimin untuk mengerjakan puasa ramadan, puasa yang
pertama kali disyari’atkan dalam islam adalah puasa ayyamul bidh (13, 14 &
15 tiap bulan) dan puasa Asyura’. Hal ini didasarkan pada hadits yang
diriwayatkan Jabir bin Samuroh radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan;
كَانَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنَا بِصِيَامِ يَوْمِ
عَاشُورَاءَ، وَيَحُثُّنَا عَلَيْهِ، وَيَتَعَاهَدُنَا عِنْدَهُ، فَلَمَّا فُرِضَ
رَمَضَانُ، لَمْ يَأْمُرْنَا، وَلَمْ يَنْهَنَا وَلَمْ يَتَعَاهَدْنَا عِنْدَهُ
“Rasulullah saw memerintahkan kami untuk
mengerjakan puasa hari asyuro’ dan mendorong kami untuk mengerjakannya, dan
mengamati kami (apakah kami mengerjakan puasa asyuro’ atau tidak). Ketika telah
diwajibkan puasa bulan ramadan, beliau tak lagi memerintahkan kami
(mengerjakan puasa ayura’), namun beliau juga tidak melarang kami
mengerjakannya, begitu juga beliau tak lagi mengamati kami.” (Shahih
Muslim, 1128)
Sedangkan tambahan puasa ayyamul bidh
dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Mu’adz bin Jabal ra, beliau mengisahkan;
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ
كُلِّ شَهْرٍ، وَيَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى:
{كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ}
“Rasulullah saw mengerjakan puasa 3 hari
pada setiap bulan, selain itu beliau juga mengerjakan puasa asyuro’. Kemudian
Allah menurunkan wahyu:
كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ
“Diwajibkan bagi kalian berpuasa,
sebagaimana telah diwajibkan kepada umat-umat sebelum kalian, agar kalian
bertakwa.” (QS. Al-Baqarah : 183) (Sunan Abu Dawud, no.507)
2. Keringan Bagi Orang Yang Mampu Berpuasa
Wahyu yang yang memerintahkan untuk
mengerjakan puasa bulan ramadan diturunkan kepada nabi Muhammadpada bulan
Sya’ban tahun 2 hijriyah. Ketika turun wahyu yang memerintahkan untuk puasa
pada bulan romadhon pada mulanya masih ada keringanan bagi orang-orang yang
mampu berpuasa, mereka bisa memilih antara mengerjakan puasa atau membayar
fidyah yang diberikan kepada orang-orang miskin yang berpuasa jika tidak
berpuasa.
Allah berfirman:
فَمَنْ
كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang
sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa)
sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi
orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar
fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah : 184)
Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya
meriwayatkan;
نَزَلَ
رَمَضَانُ فَشَقَّ عَلَيْهِمْ، فَكَانَ مَنْ أَطْعَمَ كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِينًا
تَرَكَ الصَّوْمَ مِمَّنْ يُطِيقُهُ، وَرُخِّصَ لَهُمْ فِي ذَلِكَ
“Saat turun kewajiban puasa ramadan, hal
tersebut dirasa berat bagi mereka, karena itu (pada mulanya) orang yang mampu
mengerjakkannya, namun tidak berpuasa memberi makan setiap hari kepada orang
miskin ketika ia meninggalkan puasa, hal tersebut merupakan keringanan bagi
mereka. (Shahih Bukhari, 3/34)
3.
Semua orang yang mampu berpuasa pada bulan ramadan, diwajibkan mengerjakan
puasa sebulan penuh.
Setelah pada mulanya orang-orang yang mampu
berpuasa boleh memilih antara mengerjakan puasa atau membayar fidyah ketika
mereka tidak mengerjakan puasa, selanjutnya turun wahyu yang memerintahkan
untuk mengerjakan puasa bagi semua orang yang mampu mengerjakannya, dan tak ada
lagi pilihan lain.
Imam Muslim meriwayatkan satu hadits dari
Salamah bin Al-Akwa’ ra, beliau mengatakan;
لَمَّا
نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ: {وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ
مِسْكِينٍ} كَانَ مَنْ أَرَادَ أَنْ يُفْطِرَ وَيَفْتَدِيَ، حَتَّى نَزَلَتِ
الْآيَةُ الَّتِي بَعْدَهَا فَنَسَخَتْهَا
“Ketika turun ayat ini:
وَعَلَى
الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin) ‘ (Qs. Al Baqarah: 184).)
orang
yang hendak berbuka dan membayar fidyah maka boleh ia melakukannya, hingga
turunlah ayat yang setelahnya dan menghapus hukum ayat tersebut.” (Shahih
Muslim, no.1145)
Ayat yang menash (menghapus hukum)
kebolehan tidak berpuasa bagi orang yang mampu dan menggantinya dengan membayar
fidyah adalah firman Allah;
فَمَنْ
شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Maka barangsiapa di antara kamu hadir (di
negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan
itu.” (QS. Al-Baqarah : 185)
Setelah turun ayat tersebut semua orang
yang mampu berpuasa, wajib mengerjakan puasa ramadan sebulan penuh.
Wallahu a’lam.
Referensi:
1. Al-Qur’anul Karim
2.
Tafsir Al-Wasith, Syekh Thanthawi
3.
Shahih Bukhari
4.
Shahih Muslim, tahqiq Fu’ad Abdul Baqi.
5.
Sunan Abu Dawud
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload