Pelestarian Satwa Langka untuk Keseimbangan Ekosistem - Fatwa MUI
6/11/2015
FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor 04 Tahun 2014
Tentang
PELESTARIAN SATWA LANGKA
UNTUK MENJAGA KESEIMBANGAN
EKOSISTEM
MENIMBANG
:
1.
bahwa dewasa ini banyak satwa langka seperti
harimau, badak, gajah, dan orangutan serta berbagai jenis reptil, mamalia, dan
aves terancam punah akibat kesalahan perbuatan manusia;
2.
bahwa manusia diciptakan oleh Allah SWT
sebagai khalifah di bumi (khalifah fi al-ardl) mengemban amanah dan bertanggung
jawab untuk memakmurkan bumi seisinya;
3.
bahwa seluruh makhluk hidup, termasuk satwa
langka seperti seperti harimau, badak, gajah, dan orangutan serta berbagai
jenis reptil, mamalia, dan aves diciptakan Allah SWT dalam rangka menjaga
keseimbangan ekosistem dan ditundukkan untuk kepentingan kemaslahatan manusia
(mashlahah ‘ammah) secara berkelanjutan;
4.
bahwa oleh karenanya manusia wajib menjaga
keseimbangan ekosistem dan kelestariannya agar tidak menimbulkan kerusakan
(mafsadah);
5.
bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a,
b, c, dan d Komisi Fatwa MUI perlu menetapkan fatwa tentang pelestarian satwa
langka untuk menjaga keseimbangan ekosistem guna dijadikan pedoman.
MENGINGAT
:
1.
Ayat-ayat al-Quran :
a. Firman
Allah SWT yang memerintahkan untuk berbuat kebajikan (ihsan) antarsesama
makhluk hidup, termasuk di dalamnya dalam masalah satwa langka, antara lain :
وَمَا
مِن دَآبَّةٍ فِي الأَرْضِ وَلاَ طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلاَّ أُمَمٌ أَمْثَالُكُم
مَّا فَرَّطْنَا فِي الكِتَابِ مِن شَيْءٍ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ
“Dan tiadalah binatang-binatang
yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya,
melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam
Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan”. (QS. Al-An’am [6] :38)
وَابْتَغِ
فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ
إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bahagianmu dari (keni’matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan. (QS. Al-Qashash [28]:77)
b. Firman
Allah yang menegaskan bahwa Allah telah menjadikan dan menundukkan ciptaan-Nya
untuk kepentingan manusia, antara lain:
أَلَمْ
تَرَوْا أَنَّ اللهَ سَخَّرَ لَكُم مَّافِي السَّمَاوَاتِ وَمَافِي اْلأَرْضِ
وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً
”Tidakkah kamu perhatikan
Sesungguhnya Allah Telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit
dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. (QS.
Lukman [31]: 20)
هُوَ
الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيعًا
”Dia-lah Allah, yang menjadikan
segala yang ada di bumi untuk kamu (QS. Al-Baqarah[2] :29)
إِنَّ
فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ
وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنزَلَ
اللّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِن مَّاء فَأَحْيَا بِهِ الأرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا
وَبَثَّ فِيهَا مِن كُلِّ دَآبَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ
الْمُسَخِّرِ بَيْنَ السَّمَاء وَالأَرْضِ لآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya dalam penciptaan
langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di
laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari
langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati
(kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran
angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat)
tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”. (QS.
Al-Baqarah [2:] 164)
c. Firman
Allah SWT yang menugaskan manusia sebagai khalifah untuk memakmurkan dan
menjaga keseimbangan ekosistem, antara lain :
وَإِذْ
قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُواْ
أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاء وَنَحْنُ نُسَبِّحُ
بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
”Ingatlah ketika Tuhanmu
berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang
khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang
tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 30)
وَهُوَ
الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلاَئِفَ الأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ
دَرَجَاتٍ لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ الْعِقَابِ
وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Dan Dia lah yang menjadikan
kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas
sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang
diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan
sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. al-An’am[6]:
165)
d. Firman
Allah SWT yang menegaskan bahwa seluruh makhluk itu diciptakan Allah memiliki
manfaat dan tidak ada yang sia-sia, termasuk di dalamnya dalam masalah satwa
langka, antara lain :
الَّذِينَ
يَذْكُرُونَ اللّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَىَ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ
فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذا بَاطِلاً
سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“(yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya
Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau,
maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS. Ali Imran [3]: 191)
e. Firman
Allah SWT yang melarang berbuat kerusakan di bumi, termasuk di dalamnya
terhadap satwa langka, antara lain :
وَلاَتُفْسِدُوا
فِي اْلأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا
”Dan janganlah kamu membuat
kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya”(QS. Al-A’raf [7]: 56)
كُلُواْ
وَاشْرَبُواْ مِن رِّزْقِ اللَّهِ وَلاَ تَعْثَوْاْ فِي الأَرْضِ مُفْسِدِينَ
Makan dan minumlah rezki (yang
diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat
kerusakan. (QS. Al-Baqarah [2]:60)
وَلَا
تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ
Dan janganlah kamu merugikan
manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan
membuat kerusakan. (QS al-Syuara’ [26]:183)
ظَهَرَ
الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah nampak kerusakan di
darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah
merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka
kembali (ke jalan yang benar). (QS. Al-Rum [30]:41)
2.
Hadis Rasulullah SAW, antara lain:
عَنْ
جَرِيْرٍ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ
وَ سَلَّمَ : “ارْحَمُوْا مَنْ فِي الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ ”
(أخرجه أبوداود والترمذي والحاكم)
Dari Jarir ibn Abdullah ra ia
berkata: Rasulullah saw bersabda: “Sayangilah setiap makhluk di bumi niscaya
kalian akan disayangi oleh Dzat yang di langit”. (HR. Abu Dawud, al-Turmudzi, dan
al-Hakim)
Hadis di atas menegaskan
perintah menyayangi makhluk hidup di bumi, termasuk satwa.
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلىَّ اللهُ
عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ: بَيْنَا رَجُلٌ يَمْشِي فَاشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ،
فَنَزَلَ بِئْرًا فَشَرِبَ مِنْهَا، ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا هُوَ بِكَلْبٍ يَلْهَثُ
يَأْكُلُ الثََّرَى مِنَ الْعَطَشِ، فَقَالَ: لَقَدْ بَلَغَ هَذَا مِثْلُ الَّذِي
بَلَغَ بِي، فَمَلأَ خُفََّهُ ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ ثُمَّ رَقِيَ فَسَقَى
الْكَلْبَ، فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ،
وَإِنََّ لَنَا فِي الْبَهَائِمِ أَجْرًا؟! قَالَ: “فِي كُلِّ كَبِدٍ رَطْبَةٍ
أَجْرٌ” (رواه البخاري ومسلم)
Dari Abi Hurairah ra bahwa
rasulullah saw bersabda: “Suatu ketika ada seseorang berjalan dan merasa
sangat dahaga, lantas menuju sungai dan meminum air darinya. Setelah itu ia
keluar, lalu ada anjing menjulurkan lidah memakan tanah karena kehausan,
kemudian ia berkata: anjing ini merasakan apa yang telah aku rasakan”, lantas
ia memenuhi sepatunya (dengan air) dan ia gigit dengan mulutnya kemudian naik
dan memberikan minum ke anjing tersebut. Allah pun bersyukur padanya dan
mengampuni dosanya. Mereka berkata: “Wahai Rasulallah, apakah bagi kita dalam
(berbuat baik pada) binatang ada pahala?” Rasul menjawab: “di setiap hati yang
basah ada pahala”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis di atas menunjukkan
penghargaan terhadap prilaku kasih sayang terhadap satwa untuk memenuhi hak
hidupnya.
عَنْ
جَابِرٍ بْنِ عَبْدِ اللهِ يَقُوْلُ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : “لَا يَغْرِسُ رَجُلٌ مُسْلِمٌ غَرْسًا وَلَا
زَرْعًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ سَبُعٌ أَوْ طَائِرٌ أَوْ شَيْءٌ إِلَّا كَانَ لَهُ
فِيْهِ أَجْرٌ” (رواه مسلم)
“Dari Jabir ibn Abdillah ra ia
berkata: Rasulullah saw bersabda: Tidaklah seorang muslim menanam satu buah
pohon kemudian dari pohon tersebut (buahnya) dimakan oleh binatang buas atau
burung atau yang lainnya kecuali ia memperoleh pahala” (HR. Muslim)
Hadis ini mendorong kita untuk
melakukan aktifitas yang dapat menjamin keberlangsungan hidup satwa, meskipun
binatang buas sekalipun.
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ إِنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ قَتْلِ
أَرْبَعٍ مِنَ الدَّوَابِّ النَّمْلَةِ وَالنَّحْلَةِ وَالْهُدْهُدِ وَالصُّرَدِ
(رواه أحمد وأبوداود وابن ماجه)
Dari Ibn ‘Abbas ra ia berkata:
Rasulullah saw melarang membunuh empat jenis binatang; semut, lebah, burung
hudhud, dan shurad (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibn Majah)
Hadis tentang larangan untuk
membunuh beberapa jenis hewan tersebut secara mafhum muwafaqah (pengertian yang
sebanding) menunjukkan tentang perlunya pelestarian hewan serta larangan
melakukan hal yang menyebabkan kepunahannya.
عَنْ
عَمْرِو بْنِ الشَّرِيدِ قَالَ سَمِعْتُ الشَّرِيدَ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ قَتَلَ عُصْفُورًا
عَبَثًا عَجَّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَقُولُ يَا رَبِّ
إِنَّ فُلَانًا قَتَلَنِي عَبَثًا وَلَمْ يَقْتُلْنِي لِمَنْفَعَةٍ (رواه النسائي)
Dari ‘Amr ibn Syarid ia
berkata: Saya mendengar Syarid ra berkata: Saya mendengar Rasulullah saw
bersabda: “Barang siapa membunuh satu ekor burung dengan sia-sia ia akan datang
menghadap Allah SWT di hari kiamat dan melapor: “Wahai Tuhanku, sesungguhnya si
fulan telah membunuhku sia-sia, tidak karena untuk diambil manfaatnya”. (HR.
al-Nasa’i)
Hadis di atas menegaskan
larangan pembunuhan satwa tanpa tujuan yang dibenarkan secara syar’i.
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنَّ نَمْلَةً قَرَصَتْ نَبِيًّا مِنْ الْأَنْبِيَاءِ فَأَمَرَ
بِقَرْيَةِ النَّمْلِ فَأُحْرِقَتْ فَأَوْحَى اللَّهُ إِلَيْهِ فِي أَنْ
قَرَصَتْكَ نَمْلَةٌ أَهْلَكْتَ أُمَّةً مِنْ الْأُمَمِ تُسَبِّحُ وَفِي
رِوَايَةٍ: فَهَلاَ نَمْلَةً وَاحِدَةً (رواه البخاري)
Dari
Abi Hurairah ra dari Rasulullah saw bahwa ada semut yang menggigit seorang nabi
dari nabi-nabi Allah lantas ia memerintahkan untuk mencari sarang semut dan
kemudian sarang semut tersebut dibakar. Maka Allah SWT memberikan wahyu
kepadanya tentang (bagaimana) engkau digigit satu semut dan engkau
menghancurkan satu komunitas umat yang bertasbih. Dan dalam satu riwayat:
“mengapa tidak semut (yang menggingit itu saja)? (HR. Bukhari)
Hadis diatas menegaskan
larangan melakukan pemunahan jenis satwa secara keseluruhan.
عَنْ
عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ”عُذٍّبَتْ امْرَأَةٌ فِيْ هِرَّةٍ سَجَنَتْهَا
حَتَّى مَاتَتْ فَدَخَلَتْ فِيْهَا النَّارَ لَا هِيَ أَطْعَمَتْهَا وَلَا
سَقَتْهَا إِذْ حَبَسَتْهَا وَلَا هِيَ تَرَكَتْهَا تَأْكُلُ مِنْ خَشَاشِ
الْأَرْضِ” (أخرجه البخاري)
Dari Abdillah Ibn Umar ra bahwa
rasulullah saw bersabda: “Seseorang perempuan disiksa karena kucing yang ia
kerangkeng sampai mati, dan karenanya ia masuk neraka. Dia tidak memberi makan
dan minum ketika ia menahan kucing tersebut, tidak pula membiarkannya mencari
makan sendiri”. (HR. al-Bukhari)
Hadis di atas menegaskan
ancaman hukuman terhadap setiap orang yang melakukan penganiayaan, pembunuhan
dan tindakan yang mengancam kepunahan satwa.
عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ (رواه أحمد والبيهقي والحاكم
وابن ماجة)
Dari
Ibn Abbas ra ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Tidak boleh memudharatkan
diri sendiri dan tidak boleh memudharatkan orang lain” (HR Ahmad,
al-Baihaqi, al-Hakim, dan Ibnu Majah)
Hadis
di atas juga menunjukkan larangan melakukan aktifitas yang memudharatkan satwa,
demikian juga larangan perlakuan salah terhadap satwa yang menyebabkan mudharat
bagi diri dan/atau orang lain.
3.
Qaidah ushuliyyah dan qaidah fiqhiyyah
الأَصْلُ
فِيْ الأَشْيَاءِ الإِبَاحَةُ إِلَّا مَا دَلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى خِلَافِهِ
“Pada prinsipnya setiap hal (di
luar ibadah) adalah boleh kecuali ada dalil yang menunjukkan sebaliknya”
الأَصْلُ
فِيْ النَّهْيِ لِلتَّحْرِيْمِ
“Pada prinsipnya larangan itu
menunjukkan keharaman”
تَصَرُّفُ
اْلإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصَلَحَةِ
“Kebijakan imam
(pemerintah) terhadap rakyatnya didasarkan pada kemaslahatan.”
الضَّرَرُ
يُزَالُ
”Kemudaratan itu harus
dihilangkan.”
الضَّرَرُ
يُدْفَعُ بِقَدْرِ الْإِمْكَانِ
“Segala mudharat (bahaya) harus
dihindarkan sedapat mungkin”.
الضَّرَرُ
لاَ يُزَالُ بِالضَّرَرِ
“Bahaya itu tidak boleh
dihilangkan dengan mendatangkan bahaya yang lain.”
دَرْءُ
الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“Menghindarkan mafsadat
didahulukan atas mendatangkan maslahat.
يُتَحَمَّلُ
الضَّرَرُ الْخَاصُّ لِدَفْعِ الضَّرَرِ الْعَامِّ
“Dharar yang bersifat khusus
harus ditanggung untuk menghindarkan dharar yang bersifat umum (lebih luas).”
إِذَا
تَعَارَضَتْ مَفْسَدَتَانِ أَوْ ضَرَرَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا
بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا
“Apabila terdapat dua kerusakan
atau bahaya yang saling bertentangan, maka kerusakan atau bahaya yang lebih
besar dihindari dengan jalan melakukan perbuatan yang resiko bahayanya lebih
kecil.”
حُرْمَةُ
بَنِي آدَمَ أَعْظَمُ مِنْ حُرْمَةِ الْحَيَوَانِ
Kemulian manusia lebih besar
(untuk dijaga) dari kemulian hewan.
MEMPERHATIKAN
:
1.
Pendapat para ulama terkait masalah
pelestarian satwa, antara lain:
a.
Imam Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam Kitab Fath
al-Bari yang menerangkan tentang makna berbuat kasih sayang dalam hadis
yang juga meliputi hewan:
قَالَ
اِبْنُ بَطَّالٍ : فِيْهِ ( هَذاَ الْحَدِيْثِ ) الْحَضُّ عَلَى اسْتِعْمَالِ
الرَّحْمَةِ لِجَمِيْعِ الْخَلْقِ فَيَدْخُلُ الْمُؤْمِنُ وَالْكَافِرُ
وَالْبَهَائِمُ الْمَمْلُوْكُ مِنْهَا وَغَيْرُ الْمَمْلُوْكِ ، وَيَدْخُلُ فِي
الرَّحْمَةِ التَّعَاهُدُ بِالْإِطْعَامِ وَالسَّقِيِ وَالتَّخْفِيْفِ فِي
الْحَمْلِ وَتَرْكِ التَّعَدِّي بِالضَّرْبِ
Ibn Bathal berkata: Dalam hadis
(tentang perintah berbuat kasih sayang) terdapat dorongan untuk memberikan
rahmat (kasih sayang) bagi seluruh makhluk, termasuk di dalamnya orang mukmin
dan kafir, hewan ternak yang dimiliki dan yang tidak dimiliki; termasuk di
dalamnya adalah janji untuk memberikan makan dan minum serta memperingan beban
dan meninggalkan tindakan melampaui batas dengan memukulnya.
b.
Imam al-Syarbainy dalam kitab Mughni
al-Muhtaj (5/527) dan (6/37) menjelaskan tentang keharusan memberikan
perlindungan terhadap satwa yang terancam dan larangan memunahkannya :
أَمَّا
مَا فِيهِ رُوحٌ فَيَجِبُ الدَّفْعُ عَنْهُ إذَا قُصِدَ إتْلَافُهُ مَا لَمْ
يَخْشَ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ بُضْعٌ لِحُرْمَةِ الرُّوحِ حَتَّى لَوْ رَأَى
أَجْنَبِيٌّ شَخْصًا يُتْلِفُ حَيَوَانَ نَفْسِهِ إتْلَافًا مُحَرَّمًا وَجَبَ
عَلَيْهِ دَفْعُهُ (مغني المحتاج 5/527، للشربيني
Adapun hewan yang
memiliki ruh, wajib untuk melindunginya apabila ada yang hendak
memunahkannya sepanjang tidak ada kekhawatiran atas dirinya karena mulianya
ruh. Bahkan seandainya ada seseorang yang melihat pemilik hewan memunahkan
hewan miliknya dengan pemunahan yang diharamkan, maka (orang yang melihat tadi)
wajib memberikan perlindungan.
وَيَحْرُمُ
إتْلَافُ الْحَيَوَانِ الْمُحْتَرَمِ لِلنَّهْيِ عَنْ ذَبْحِ الْحَيَوَانِ إلَّا
لِأَكْلِهِ وَخَالَفَ الْأَشْجَارَ؛ لِأَنَّ لِلْحَيَوَانِ حُرْمَتَيْنِ :
حَقَّ مَالِكِهِ ، وَحَقَّ اللَّهِ تَعَالَى… وَلِذَلِكَ يُمْنَعُ مَالِكُ الْحَيَوَانِ
مِنْ إجَاعَتِهِ وَعَطَشِهِ بِخِلَافِ الْأَشْجَارِ (مغني المحتاج 6/37، للشربيني
Haram memunahkan hewan yang
dimuliakan karena adanya larangan menyembelih hewan kecuali untuk tujuan
dikonsumsi; berbeda dengan pepohonan; karena hewan itu memiliki dua kemulian,
hak dari pemiliknya dan hak Allah SWT….. Untuk itu pemilik hewan dilarang untuk
menyebabkan hewan tersebut lapar dan dahaga; berbeda dengan pepohonan.
c.
Imam Zakariya dalam kitab Asna al-Mathalib
(1/555) menjelaskan keharaman berburu yang menyebabkan kehancuran dan
kepunahan, tanpa tujuan yang dibenarkan:
وَقَدْ
نَصَّ الْفُقَهَاءُ عَلَى حُرْمَةِ اصْطِيَادِ الْمَأْكُوْلِ بِغَيْرِ نِيَّةِ
الذَّكَاةِ لأَنَّهُ يَؤُوْلُ إِلَى إِهْلاَكِهِ بِغَيْرِ مَقْصَدٍ شَرْعِيٍّ،
مِمَّا يَجْعَلُ الْفِعْلَ عَبَثًا وَهُوَ مَمْنُوْعٌ شَرْعًا (أسنى المطالب شرح
دليل الطالب 1/555، لزكريا بن محمد بن زكيا الأنصاري
Para Fuqaha menetapkan
keharaman berburu binatang yang halal dagingnya tanpa niat disembelih (kemudian
untuk dimakan), karena aktivitas tersebut akan berakibat pada pembinasaan tanpa
tujuan yang syar’i, perbuatan yang sia-sia tanpa makna. Ini adalah
aktivitas yang dilarang secara syar’i.
d.
Imam Ibn Qudamah dalam kitab al-Mughni (4/137)
menegaskan kebolehan membunuh hewan yang membahayakan jiwa, dan sebaliknya
larangan membunuh satwa yang tidak membahayakan:
كُلُّ
مَا آذَى النَّاسَ ، وَضَرَّهُمْ فِي أَنْفُسِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ ، يُبَاحُ
قَتْلُهُ ؛ لِأَنَّهُ يُؤْذِي بِلَا نَفْعٍ ، أَشْبَهَ الذِّئْبَ ، وَمَا لَا
مَضَرَّةَ فِيهِ ، لَا يُبَاحُ قَتْلُهُ (المغني 4/173، لابن قدامة
Setiap jenis hewan yang
menyakiti serta membahayakan jiwa dan harta manusia boleh dibunuh, karena ia
menyakiti tanpa adanya manfaat seperti serigala. Sedang hewan yang tidak
membahayakan tidak boleh untuk dibunuh…
e.
Imam al-Dardiri dalam Kitab al-Syarh
al-Kabiir (1/162) menerangkan penyelamatan kehidupan satwa adalah
memperoleh prioritas:
إِذَا
كَانَ الْمَاءُ الَّذِي يَمْلِكُهُ الإِنْسَانُ لاَ يَكْفِي إِلاَّ لِوُضُوْئِهِ
وَكَانَ هُنَاكَ حَيَوَانٌ مُحْتَرَمٌ مُضْطَرٌّ لِذَلِكَ الْمَاءِ، فَإِنَّ
الْوَاجِبَ عَلَى صَاحِبِ الْمَاءِ التَّيَمُّمُ وَإِيْثَارُ الْحَيَوَانِ
بِالْمَاءِ وَالْعُدُوْلُ إِلىَ التَّيَمُّمِ، وَلَوْ كَانَ صَاحِبُ الْمَاءِ
مَيِّتاً فَإِنَّهُ يُتَيَمَّمُ كَذَلِكَ وَيُدْفَعُ الْمَاءُ إِلَى الْحَيَوَانِ
لِيَشْرَبَ، وَيُعَلِّلُ الْفُقَهَاءُ ذَلِكَ بِالْمُحَافَظَةِ عَلَى حَيَاةِ
الْحَيَوَانِ (الشرح الكبير مع حاشية الدسوقي 1/162، للدردير)
Apabila air yang dimiliki
seseorang hanya cukup untuk berwudlu, sementara ada hewan dimuliakan yang
membutuhkan air tersebut dengan sangat mendesak, maka pemilik air wajib untuk
tayammum dan memprioritaskan pemanfaatan air untuk hewan tersebut, serta berpindah
ke tayammum. Dan seandainya pemilik air tersebut mayyit maka ia juga
ditayammumi (saja), dan airnya digunakan hewan untuk minum. Para fuqaha
memberikan alasan (atas penetapan hukum tersebut) dengan kepentingan menjaga
kehidupan hewan.
f.
Imam Ahmad al-Khatthabi dalam Ma’alim
al-Sunan (4/289) yang menerangkan larangan pemunahan hewan secara
keseluruhan:
مَعْنَاهُ
أَنَّهُ كُرِهَ إِفْنَاءُ أُمَّةٍ مِنَ اْلأُمَمِ وَإِعْدَامُ جَيْلٍ مِنَ
الْخَلْقِ حَتَّى يَأْتِيَ عَلَيْهِ كُلِّهِ، فَلاَ يَبْقَى مِنْهُ بَاقِيَةٌ
لأَنَّهُ مَا مِنْ خَلْقٍ لِلَّهِ تَعَالَى إِلاَّ وَفِيْهِ نَوْعٌ مِنَ
الْحِكْمَةِ وَضَرْبٌ مِنَ الْمَصْلَحَةِ. يَقُوْلُ إِذَا كَانَ الأَمْرُ عَلَى
هَذَا وَلاَ سَبِيْلَ إِلَى قَتْلِهِنَّ كُلِّهِنَّ فَاقْتُلُوْا شِرَارَهُنَّ
وَهِيَ السُّوْدُ الْبُهْمُ، وَأَبْقُوْا مَا سِوَاهَا لِتَنْتَفِعُوْا بِهِنَّ
فِي الْحِرَاسَةِ (معالم السنن 4/289، لأحمد بن حمد بن محمد الخطابي
Pengertiannya, sangat dibenci
pemunahan umat dan peniadaan generasi makhluk hidup sampai tidak tersisa
sedikitpun. Tidak ada satupun dari ciptaan Allah SWT kecuali terdapat
hikmah dan mashlahah. Jika demikian, maka tidak ada jalan (yang dijadikan
alasan untuk membenarkan) pada pembunuhan hewan secara keseluruhan (pemunahan).
Maka bunuhlah pada hewan yang membahayakan dan biarkan selainnya agar dapat
mendatangkan manfaat untuk jaga.
g.
Imam ‘Izz ibn Abd al-Salam dalam Kitab Qawa’id
al-Ahkam (1/167) menjelaskan hak-hak satwa yang menjadi kewajiban manusia:
حُقُوْقُ
الْبَهَائِمِ وَالْحَيَوَانِ عَلَى اْلإِنْسَانِ، وَذَلِكَ أَنْ يُنْفِقَ عَلَيْهَا
نَفَقَةَ مِثْلِهَا وَلَوْ زَمِنَتْ أَوْ مَرِضَتْ بِحَيْثُ لاَ يُنْتَفَعُ بِهَا،
وَأَلاَّ يُحَمِّلَهَا مَا لاَ تُطِيْقُ وَلاَ يَجْمَعَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ مَا
يُؤْذِيْهَا مِنْ جِنْسِهَا أَوْ مِنْ غَيْرِ جِنْسِهَا بِكَسْرٍ أَوْ نَطْحٍ أَوْ
جَرْحٍ … وَأَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ ذُكُوْرِهَا وَإِنَاثِهَا فِي إِبَانِ
إِتْيَانِهَا (قواعد الأحكام 1/167، للعز بن عبد السلام)
(Di antara) hak satwa yang
menjadi tanggung jawab manusia adalah menjamin ketersedian nafkah yang layak
untuknya sekalipun lumpuh atau sakit yang sekira ia tidak dapat dimanfaatkan,
tidak memberikan beban di luar kemampuannya, tidak menyatukannya dengan hewan
yang membahayakan dirinya, baik dengan hewan yang sejenis maupun yang tidak
sejenis, …. serta mengumpulkan antara pejantan dan betinanya guna melanggengkan
keturunannya
h.
Imam al-Syaukani dalam kitab Nail
al-Authar (8/100) menukil pendapat imam al-Katthabi sebagai berikut:
قَالَ الْخَطَّابِي: يُشْبِهُ أَنْ يَكُوْنَ الْمَعْنَى وَاللهُ
أَعْلَمُ أَنَّ الْحُمُرَ إِذَا حَمَلَتْ عَلَى الْخَيْلِ قَلَّ عَدَدُهَا
وَانْقَطَعَ نَمَاؤُهَا وَتَعَطَّلَتْ مَنَافِعُهَا (نيل الأوطار 8/100، للشوكاني
Pengertiannya –wallahu a’lam-
bahwa keledai apabila hamil oleh kuda maka (akan menyebabkan sedikit jumlahnya,
terputus perkembangannya)
i.
Al-Jahiz, Abu Utsman Amr bin Bahr al-Fukaymi
al-Basri (776-869 M), menyatakan di dalam Kitab al-Hayawan bahwa
manusia tidak berhak menganiaya semua jenis satwa, sebagaimana diungkapnya
sebagai berikut:
لَيْسَ
لَكَ أَنْ تُحْدِثَ فِي جَمِيْعِ الْحَيَوَانِ حَدَثاً مِنْ نَقْصٍ أَوْ
نَقْضٍ أَوْ إِيْلاَمٍ، لأَنَّكَ لاَ تَمْلِكُ النَّشْأَةَ، وَلاَ
يُمْكِنُكَ التَّعْوِيْضُ لَهُ، فَإِذَا أًذِنَ لَكَ مَالِكُ الْعَيْنِ … حَلَّ
لَكَ مِنْ ذَلِكَ مَا كَانَ لاَ يَحِلُّ، وَلَيْسَ لَكَ فِي حُجَّةِ الْعَقْلِ
أَنْ تَصْنَعَ بِهَا إِلاَّ مَا كَانَ بِهِ مَصْلَحَةٌ. (كتاب الحيوان، ص 162
للجاحظ)
Engkau tidak berhak untuk
melakukan pengurangan anggota badan, penganiayaan, dan menyakiti semua jenis
hewan karena engkau bukan yang menciptanya dan tidak dapat menggantinya. Jika
Sang Pemilik makhluk mengizinkan, maka engkau diperbolehkan melakukan yang
tidak diperkenankan tersebut. Engkau tidak dapat melakukannya dengan alasan
rasional, kecuali ada maslahat di dalamnya
j.
Makalah Dr. Ahmad Yasin Al-Qaralah berjudul “Huquq
al-Hayawan wa Dhamanatuha fi al-Fiqh al-Islami” sebagai berikut:
أَثْبَتَ
الْفِقْهُ الإِسْلاَمِيُّ لِلْحَيَوَانِ الحَقَّ فِى بَقَاءِ نَوْعِهِ، لِذَلِكَ
لاَ يَجُوْزُ قَتْلُهُ أَوْ ذبْحُهُ إِذَا كَانَ ذَلِكَ يُؤَدِّي إِلَى
انْقِرَاضِهِ وَفَنَائِهِ (المجلة الأردنية في الدراسات الإسلامية ص.34
Ketentuan hukum (fikih ) Islam
menetapkan bahwa hewan memiliki hak untuk melestarikan spesiesnya. Oleh karena
itu, tidak boleh membunuh atau menyembelihnya apabila hal itu menyebabkan
kepunahan dan hilangnya spesies.
2.
Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya;
3.
Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun
2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Menjadi Undang-undang;
4.
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999
tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar;
5.
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999
tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar;
6.
Hasil pertemuan MUI dan Focus Group Discussion
(FGD) MUI dengan Kementerian Kehutanan, Universitas Nasional, WWF Indonesia dan
Forum HarimauKita tentang “Pelestarian Harimau dan Satwa Langka lainnya Melalui
Kearifan Islam” pada 13 Juni 2013 dan 25 Juli 2013, yang antara lain menegaskan
bahwa Harimau dan satwa langka lainnya, merupakan makhluk Allah SWT yang
menjadi bagian dari ekosistem dan perlu dilindungi habitatnya agar dapat terus
memberikan manfaat jasa ekosistem untuk keperluan manusia, serta menyimpulkan
perlunya kajian keagamaan guna menunjang aksi-aksi perlindungan dan pelestarian
satwa;
7.
Hasil kunjungan lapangan bersama antara MUI,
Universitas Nasional, WWF Indonesia dan Forum HarimauKita ke Taman Nasional
Tesso Nilo dan Suaka Margasatwa Rimbang Baling, Riau pada 30 Agustus sampai
dengan 1 September 2013, yang antara lain menemukan adanya konflik antara satwa
dengan manusia akibat terganggunya habitat satwa sehingga menyimpulkan perlunya
suatu gerakan terpadu antara legislatif, yudikatif, pemerintah pusat,
pemerintah daerah, pelaku usaha, ulama dan tokoh masyarakat serta masyarakat
dalam mendukung keselarasan dan keseimbangan kehidupan keanekaragaman hayati,
termasuk mempertahankan habitatnya sehingga manusia dan satwa dapat hidup
berdampingan secara harmoni;
8.
Hasil Rapat Pendalaman Komisi Fatwa MUI
bersama Kementerian Kehutanan, LPLH-MUI, Universitas Nasional dan WWF pada 20
Desember 2013;
9.
Pendapat, saran, dan masukan yang berkembang
dalam Rapat Pleno Komisi Fatwa pada tanggal 22 Januari 2014.
MEMUTUSKAN
Pertama
: Ketentuan Umum
Dalam
fatwa ini, yang dimaksud dengan:
Satwa
langka adalah semua jenis sumber daya alam hewani yang hidup di darat, air,
dan/atau di udara, baik yang dilindungi maupun yang tidak, baik yang hidup di
alam bebas maupun yang dipelihara; mempunyai populasi yang kecil serta
jumlahnya di alam menurun tajam, dan jika tidak ada upaya penyelamatan maka
akan punah.
Kedua
: Ketentuan Hukum
1.
Setiap makhluk hidup memiliki hak untuk
melangsungkan kehidupannya dan didayagunakan untuk kepentingan kemashlahatan
manusia.
2.
Memperlakukan satwa langka dengan baik
(ihsan), dengan jalan melindungi dan melestarikannya guna menjamin
keberlangsungan hidupnya hukumnya wajib.
3.
Pelindungan dan pelestarian satwa langka
sebagaimana angka 2 antara lain dengan jalan:
a.
menjamin kebutuhan dasarnya, seperti pangan,
tempat tinggal, dan kebutuhan berkembang biak;
b.
tidak memberikan beban yang di luar batas
kemampuannya;
c.
tidak menyatukan dengan satwa lain yang
membahayakannya;
d.
menjaga keutuhan habitat;
e.
mencegah perburuan dan perdagangan illegal;
f.
mencegah konflik dengan manusia;
g.
menjaga kesejahteraan hewan (animal welfare).
4.
Satwa langka boleh dimanfaatkan untuk
kemaslahatan sesuai dengan ketentuan syariat dan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
5.
Pemanfaatan satwa langka sebagaimana angka 4
antara lain dengan jalan:
a.
menjaga keseimbangan ekosistem;
b.
menggunakannya untuk kepentingan ekowisata,
pendidikan dan penelitian;
c.
menggunakannya untuk menjaga keamanan
lingkungan;
d.
membudidayakan untuk kepentingan kemaslahatan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
6.
Membunuh, menyakiti, menganiaya, memburu,
dan/atau melakukan tindakan yang mengancam kepunahan satwa langka
hukumnya haram kecuali ada alasan syar’i, seperti melindungi dan menyelamatkan
jiwa manusia.
7.
Melakukan perburuan dan/atau perdagangan
illegal satwa langka hukumnya haram.
Ketiga
: Rekomendasi
Pemerintah
1.
Melakukan langkah-langkah perlindungan dan
pelestarian satwa langka serta mencegah terjadinya kepunahan dengan berpedoman
pada fatwa ini;
2.
Melakukan pengawasan efektif dan peninjauan
ulang tata ruang dan rasionalisasi kawasan hutan demi menghindari konflik
dengan masyarakat dan memprioritaskan perbaikan fungsi kawasan hutan.
3.
Meninjau kembali izin yang diberikan kepada
perusahaan yang merugikan, baik dari segi aspek ekologi, sosial, ekonomi,
budaya masyarakat, sejarah maupun kondisi objektif kawasan, dan mengancam
kepunahan satwa langka.
4.
Melakukan restorasi lahan kritis dan
konservasi hutan yang kolaboratif dengan melibatkan peran serta masyarakat;
5.
Mendorong lembaga pendidikan untuk menumbuhkan
kesadaran pentingnya perlindungan satwa langka.
6.
Melakukan penegakan hukum terhadap siapa pun
yang mengancam kelestarian satwa langka dan pelaku kejahatan di bidang
Kehutanan, khususnya pembalakan liar (illegal logging) dan perdagangan satwa
illegal (illegal wildlife trade)
Legislatif
1.
Mengkaji ulang dan membuat ketentuan peraturan
perundang-undangan yang menjamin pelestarian satwa langka, menjaga ekosistem,
serta menjamin kesejahteraan masyarakat dan kedaulatan nasional;
2.
Harmonisasi undang-undang serta kebijakan
pemerintah pusat dan daerah yang koheren terkait pemanfaatan lahan yang
dibebani fungsi sebagai hutan.
Pemerintah Daerah
1.
Mencegah terjadinya penguasaaan lahan di dalam
kawasan hutan melalui pengawasan praktek legalisasi keberadaan pemukiman,
perkebunan, pertambangan serta pembangunan infrakstruktur di dalam kawasan
hutan.
2.
Melestarikan dan mengembangkan kearifan lokal
dan pemberdayaan masyarakat serta menciptakan peluang ekonomi ramah lingkungan
dan berkelanjutan dengan tetap menjaga keseimbangan ekosistem.
Pelaku Usaha
1.
Menjalankan praktek usaha yang bermanfaat bagi
masyarakat banyak dan menjaga kelestarian lingkungan, khususnya satwa dan
habitatnya;
2.
Menaati seluruh ketentuan perizinan;
3.
Berkontribusi terhadap upaya pelestarian
ekosistem dan lingkungan, pembentukan kelompok peduli satwa langka serta
pemulihan populasi dan habitat satwa langka, khususnya di tempat perusahaan
beroperasi.
Tokoh Agama
1.
Memberikan pemahaman keagamaan tentang
pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem, khususnya pelestarian satwa langka.
2.
Mendorong penyusunan panduan keagamaan dan
pembentukan “Dai Lingkungan Hidup” guna mewujudkan kesadaran masyarakat dalam
perlindungan lingkungan hidup dan konservasi satwa langka.
Masyarakat
1.
Melestarikan dan mengembangkan kearifan lokal
dan pemberdayaan masyarakat serta menciptakan peluang ekonomi ramah lingkungan
dan berkelanjutan dengan tetap menjaga keseimbangan ekosistem;
2.
Berperan aktif dalam upaya pelestarian satwa,
termasuk penanganan konflik satwa liar di daerahnya baik secara langsung
(dengan pembentukan kelompok peduli satwa atau tim penanganan konflik satwa di
daerahnya) maupun secara tidak langsung (dengan mendukung tindakan aparat yang
berwenang).
Keempat : Ketentuan Penutup
1.
Fatwa ini mulai berlaku sejak tanggal
ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat
kekeliruan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
2.
Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang
memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan
fatwa ini.
Ditetapkan di
: Jakarta
Pada tanggal : 19
Rabi’ul Awwal 1435 H
22 J a n u a r i 2014 M
MAJELIS ULAMA INDONESIA
KOMISI FATWA
Ketua
PROF. DR. H. HASANUDDIN AF, MA
Sekretaris
DR. HM. ASRORUN NI’AM SHOLEH,
MA
Dokumen
asli fatwa ini, bisa didownload DISINI
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload