Kedudukan Zina dan Anak Zina (menurut Hukum Islam dan KUHP)
6/04/2015
Pembaca
Pustama
Pada
kesempatan ini, Pustaka Madrasah akan membahas sedikit tentang perbandingan
antara hukum Islam dan KUHP tentang zina dan status anak zina.
Sebagaimana
penjelasan al-Jurjani, zina adalah memasukkan zakar ke dalam farji
bukan miliknya (istrinya) dan tidak ada unsur syubhat (keserupaan atau
kekeliruan). Dari definisi tersebut, maka suatu perbuatan dapat dikatakan zina
apabila terpenuhi 2 unsur berikut.
1.
Adanya persetubuhan
antara dua orang yang berbeda jenis kelamin.
2.
Tidak adanya
keserupaan atau kekeliruan dalam perbuatan tersebut.
Dengan
unsur pertama, maka jika dua orang yang berbeda kelamin baru bermesraan,
misalnya berciuman atau berpelukan belum dapat dikatakan berbuat zina yang
dapat dijatuhi hukuman had. Namun mereka bisa dihukum ta’zir yang
bersifat edukatif.
Demikian
pula, melakukan inseminasi buatan dengan sperma atau ovum donor untuk
memperoleh keturunan jika mengikuti definisi di atas tidak bisa disebut zina.
Namun menurut Mahmud Syaltut, inseminasi buatan itu hukumnya termasuk zina,
sebab hal itu mengakibatkan pencemaran kelamin dan pencampuran nasab.
Dengan
unsur kedua, maka persetubuhan yang dilakukan oleh orang karena kekeliruan,
misalnya dikira ‘istrinya’, juga tidak dapat disebut zina.
Sebagaimana
dijelaskan oleh Masjfuk Zuhdi ketika membandingkan KUHP Indonesia dengan hukum
pidana Islam mengenai kasus zina, maka akan didapatkan banyak perbedaan
pandangan, yaitu:
1.
Menurut KUHP, tidak
semua pelaku zina diancam dengan hukuman pidana. Misalnya pasal 284 (1) dan (2)
KUHP menetapkan ancaman pidana penjara paling lama 9 bulan bagi pria dan wanita
yang melakukan zina, padahal salah seorang atau kedua-duanya telah kawin dan
pasal 27 BW berlaku baginya. Ini berarti pria dan wanita yang melakukan zina
namun belum/tidak kawin, tidaklah dikenakan sanksi tersebut, asal kedua-duanya
telah dewasa dan suka sama suka. Hukuman bisa dikenakan jika ada unsur
perkosaan atau wanitanya belum dewasa (vide pasal 285 dan 287 (1)).
Sedangkan
menurut hukum pidana Islam, semua pelaku zina –pria dan wanita- dapat diancam
hukuman had. Hanya, dibedakan hukumannya, yakni bagi pelaku yang belum kawin
diancam dengan hukuman dera. Sedangkan bagi pelaku yang telah kawin
diancam dengan hukuman rajam. Mengenai wanita yang diperkosa tidak
dikenakan hukuman, tetapi bagi wanita di bawah umur yang bersetubuh dengan pria
tanpa unsur paksaan, dapat diancam dengan hukuman menurut Hukum Pidana Islam.
2.
Menurut KUHP,
perbuatan zina hanya dapat dituntut atas pengaduan suami/istri yang tercemar (vide
pasal 284 (2) KUHP); sedangkan Islam memandangnya sebagai perbuatan dosa besar
yang harus ditindak tanpa menunggu pengaduan dari yang bersangkutan.
3.
Menurut KUHP,
pelaku zina diancam dengan hukuman penjara yang lamanya berbeda (vide
pasal 284 (1) dan (2); pasal 285; 286; dan 287 (1)). Sedangkan menurut Islam,
pelaku zina diancam dengan hukuman dera jika ia belum kawin dan diancam hukuman
rajam jika ia telah kawin.
Anak
zina, ialah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah. Sedangkan perkawinan
yang diakui di Indonesia adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya, dan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku (vide pasal 2 (1) dan (2) UU No.
1/1974). Pencatatan perkawinan dilakukan oleh pegawai pencatat dari KUA untuk
mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut hukum Islam. Sedangkan bagi
yang melangsungkannya menurut agama dan kepercayaan selain Islam, maka
pencatatannya dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada Kantor Catatan
Sipil (vide pasal 2 (1) dan (2) PP No. 9/1975 tentang pelaksanaan UU No.
1/1974 tentang perkawinan).
Oleh
karena itu, perkawinan yang tidak memenuhi unsur-unsur di atas, maka
perkawinannya tersebut tidak sah menurut Negara. Sedangkan anak yang lahir di
luar perkawinan yang sah itu hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya (vide pasal 43 (1) PP No. 9/1975).
Adapun
menurut perdata Islam, anak zina itu suci dari segala dosa orang yang
menyebabkan eksistensinya di dunia ini. Oleh karena itu, anak zina harus
diperlakukan secara manusiawi, diberi pendidikan, pengajaran, dan keterampilan
yang berguna untuk bekal hidupnya di masyarakat nanti. Adapun yang
bertanggungjawab untuk mencukupi kebutuhan hidupnya adalah ibu yang melahirkan
dan keluarga ibunya, sebab zina hanya mempunyai hubungan nasab atau perdata
dengan ibunya.
Demikianlah
pembaca Pustama perbandingan zina dan status anak zina jika dilihat dari hukum
Islam dan KUHP Indonesia. Semoga bermanfaat.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Jurjani,
Al-Ta’rifat, Cairo: Musthafa al-Babi al-Halabi, 1938.
Sayid
Sabiq, Fiqh al-Sunnah, vol II, Libanon: Darul Fikar, 1981.
Mamud
Syaltut, Al-Fatwa, Mesir: Darul Qalam, s.a.
Ahmad
Fathi Bahnisi, Al-Siyasah al-Jinaiyyah fi al-Syari’ah al-Islamiyah,
Cairo: Darul ‘Uruah, 1965.
Moch.
Asnawi (ed), Himpunan Peraturan dan Undang-undang RI tentang Perkawinan sera
Peraturan Pelaksanaannya, Kudus: Menara Kudus, 1975
Masjfuk
Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1997
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload